PEMBAHASAN
Amsal adalah bentuk
jamak dari masal. Kata masal, misl
dan masil adalah sama dengan syabah, syibh dan syabih,
baik lafadz maupun maknanya.[1]
Dalam sastra, masal adalah suatu ungkapan perkataan yang
dihikayatkan dan sudah populer dengan maksud menyerupakan keadaan yang terdapat
dalam perkataan itu dengan keadaan sesuatu yang karenanya perkataan itu
diucapkan. Maksudnya, menyerupakan sesuatu (seseorang, keadaan) dengan apa yang
terkandung dalam perkataan itu. Misalnya, رب ؤمية غير
زام )betapa banyak lemparan
panah yang mengena tanpa sengaja). Artinya, betapa banyak lemparan panah yang
mengenai sasaran itu dilakukan seorang pelempar yang bisanya tidak tepat
lemparannya. Orang pertama yang mengucapkan masal itu adalah al-Hakam
bin Yaqus an-Nagri. Masal ini ia katakan kepada orang yang biasanya berbuat
salah yang kadang-kadang ia berbuat benar. Atas dasar ini, masalah harus
mempunyai maurid (sumber) yang kepadanya yang sesuatu yang lain
diserupakan.
Kata masal, digunakan pula untuk menunjukkan arti “keadaan” dan
kisah yang menakjubkan”. Dengan pengertian inilah ditafsirkan kata-kata “masal”
dalam sejumlah besar ayat. Misalnya firman Allah:
مَثَلُ
الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ فِيهَا أَنْهَارٌ مِنْ مَاءٍ غَيْرِ
ءَاسِنٍ وَأَنْهَارٌ
“(Apakah) masal surga yang didalamnya ada sungai-sungai dari air
yang tiada berubah rasa dan baunya…” (Muhammad [47]:15).[2]
Maksudnya, kisah dan sifat surga yang sangat mengagumkan.
Zamakhsyari telah mengisyaratkan akan ketika arti ini dalam
kitabnya, al-Kasysyaf. Ia berkata: masal menurut asal perkataan mereka
berarti al-misl dan an-nazir (yang serupa, sebanding). Kemudian
setiap perkataan yang berlaku, populer, yang menyerupakan sesuatu (orang,
keadaan dan sebagainya) dengan “maurid” (atau apa yang terkandung dalam)
perkataan itu disebut masal. Mereka tidak menjadikan sebagai masal dan tidak
memandang pantas untuk dijadikan masal yang layak diterima dan dipopulerkan
kecuali perkataan yang mengandung keanehan dari beberapa segi. Dan, katanya
lebih lanjut, “masal” dipinjam (dipakai secara pinjaman) untuk menunjukkan
keadaan, sifat atau kisah jika ketiganya dianggap penting dan mempunyai
keanehan.
Masih terdapat makna lain, yakni makna keempat, dari masal menurut
ulama Bayan. Menurut mereka, masal adalah majaz murakkab yang ‘alaqah-Nya
musyabahah jika penggunanya telah populer. Majaz ini pada asalnya adalah
isti’arah tamsiliyah, seperti kata-kata yang diucapkan terhadap orang
yang ragu-ragu dalam melakukan suatu urusan مالي أراك
رجلا وتؤخر أخرى (mengapa
aku lihat engkau melangkahkan satu kaki yang lain?)
amsal yang
terkandung didalam al-Qur’an tidak dapat diartikan dengan arti etimologi, asy-syabih
da an-nazir. Juga tidak dapat diartikan dengan pengertian yang
disebutkan dalam kitab-kitab kebahasaan yang dipakai oleh para pengubah
masal-masal, sebab amsal Qur’an bukanlah perkataan-perkataan yang
dipergunakan untuk menyerupakan sesuatu dengan isi perkataan itu. Juga
tidak dapat diartikan dengan arti masal menurut ilmu Bayan, karena di antara amsal
Qur’an ada yang bukan isti’arah dan penggunaannya pun tidak begitu
populer. Oleh karena itu maka definisi terakhir lebih cocok dengan pengertian amsal
dalam Qur’an. Yaitu, menonjolkan makna dalam bentuk (perkataan) yang menarik
dan padat serta mempunyai pengaruh mendalam terhadap jiwa, baik berupa tasybih
ataupun perkataan bebas (lepas, bukan tasybih).
Ibnu Qayyim mendefinisikan amsal al-Qur’an dengan
“menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lian dalam hal hukumnya, dan
mendekatkan sesuatu yang abstrak (ma’qul) dengan yang indrawi (konkrit,
mahsus), atau mendekatkan salah sati dari dua mahsus dengan yang lain dan
menganggap salah satunya itu sebagai yang lain.”[3]
Lebih lanjut ia mengemukakan sejumlah contoh. Contoh-contoh
tersebut sebagian besar berupa penggunaan tasybih sarih, seperti firman
Allah:
إِنَّمَا
مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ
“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air
(hujan) yang Kami turunkan dari langit.”
(Yunus [10]: 24). Sebagian lagi berupa penggunaan tasybih dimni
(penyerupaan secara tidak tegas, tidak langsung), misalnya:
وَلَا
تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ
يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ
“Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain.
Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?
Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (al-Hujarat [49]: 12).
Dikatakan dimni karena dalam ayat ini tidak terdapat tasybih sarih. Dan ada
pula yang tidak mengandung tasybih maupun isti’arah, seperti
firman-Nya:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ
الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَنْ يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ
اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِنْ يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لَا يَسْتَنْقِذُوهُ
مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ(73)
“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu
perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu
untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah
mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah
dan amat lemah (pulalah) yang disembah.”
(al-Hajj [22]:73). Firman-Nya, “Sesungguhnya segala apa yang kamu seru
selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun” oleh
Allah disebut dengan masal padahal di dalamnya tidak terdapat isti’arah maupun
tasybih.
Amsal dalam
al-Qur’an, ada tiga macam: amsal mausarrahah, amsal kaminah dan amsal
mursalah.
A.
Amsal musarrahah, ialah yang di dalamnya dijelaskan dengan lafadz
masal atau sesuatu yang menunjukkan tasybih. Amsal seperti ini
banyak ditemukan dalam Qur’an dan berikut ini beberapa di antaranya:
1.
Firman Allah mengenai orang munafik:
مَثَلُهُمْ
كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ
اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لَا يُبْصِرُونَ(17)صُمٌّ بُكْمٌ
عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ(18)أَوْ كَصَيِّبٍ مِنَ السَّمَاءِ فِيهِ ظُلُمَاتٌ
وَرَعْدٌ وَبَرْقٌ يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي ءَاذَانِهِمْ مِنَ الصَّوَاعِقِ
حَذَرَ الْمَوْتِ وَاللَّهُ مُحِيطٌ بِالْكَافِرِينَ(19)يَكَادُ الْبَرْقُ
يَخْطَفُ أَبْصَارَهُمْ كُلَّمَا أَضَاءَ لَهُمْ مَشَوْا فِيهِ وَإِذَا أَظْلَمَ
عَلَيْهِمْ قَامُوا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ
إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(20)
“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api,
maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang
menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.
Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang
benar). atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit
disertai gelap gulita, guruh dan kilat…” sampai dengan “Sesungguhnya
Allah berkuasa atas segala sesuatu.” (al-Baqarah [2]: 17-20).
Di dalam ayat-ayat ini Allah membuat dua perumpamaan (masal) bagi
orang munafik; masal yang berkenaan dengan api (nari) dalam firman-Nya,
“adalah seperti orang yang menyelakan api...”, karena di dalam api terdapat unsur
cahaya; dan masal yang berkenaan dengan air (ma’i), “atau seperti
(orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit...”, karena di dalam air
terdapat materi kehidupan. Dan wahyu yang turun dari langit pun bermaksud untuk
memerangi hati dan menghidupkannya. Allah menyebutkan juga kedudukan dan
fasilitas orang munafik dalam dua keadaan, di satu sisi mereka bagaikan orang
yang menyalakan api untuk penerangan dan kemanfaatan mengingat mereka
memperoleh kemanfaatan materi dengan sebab masuk Islam. Namun di sisi lain
Islam tidak memberikan pengaruh “nur”-Nya terhadap hati mereka karena Allah
menghilangkan cahaya (nur) yang ada di dalam api itum “Allah menghilangkan
cahaya (yang menyinari) mereka”, dan membiarkan unsur “membakar” yang ada
padanya. Inilah perumpamaan mereka yang berkenaan dengan api.
Mengenai masal mereka yang berkenaan dengan air (ma’i),
Allah menyerupakan mereka dengan keadaan orang yang ditimpa hujan lebat yang
disertai gelap gulita, guruh dan kilat, sehingga terkoyaklah kekuatan orang itu
dan ia meletakkan jari jemari untuk menyumbat telinga serta memejamkan mata
karena takut petir menimpanya. Ini mengingat bahwa Qur’an dengan segala
peringatan, perintah, larangan dan khitabnya bagi mereka tidak ubahnya dengan
petir yang turun sambar-menyambar.
2. Allah
menyebutkan pula dua macam masal, ma’i dan nari, dalam surat ar-Ra’d, bagi yang
hak dan batil:
أَنْزَلَ
مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ
زَبَدًا رَابِيًا وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ
أَوْ مَتَاعٍ زَبَدٌ مِثْلُهُ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ
فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ
فِي الْأَرْضِ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ(17)
“Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka
mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih
yang mengeambang. Dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat
perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah
Allah membuat perumpamaan, masal (bagi) orang yang benar dan yang batil. Adapun
buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada harganya; adapun yang
memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah
membuat perumpamaan-perumpamaan.” (ar-Ra’d[13]:17).[4]
Wahyu yang diturunkan Allah dari langit untuk kehidupan hati
diserupakan dengan air hujan yang diturunkan-Nya untuk kehidupan bumi dengan
tumbuh-tumbuhan. Dari hasil diserupakan dengan lembah. Arus air yang mengalir
di lembah, membawa buih dan sampah. Begitu pula hidayah dan ilmu bila mengalir
di hati akan berpengaruh terhadap nafsu syahwat, dngan menghilangkannya. Inilah
masal ma’i dalam firman-Nya, “Dia telah menurunkan air (hujan) dari
langit…”. Demikianlah Allah membuat masal bagi yang berhak dan yang batil.
Mengenai masal nari, dikemukakan dalam firman-Nya, “Dan
dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api…” Logam, baik emas, perak,
tembaga maupun besi, ketika dituangkan ke dalam api, maka api akan
menghilangkan kotoran, karat, yang melekat padanya, dan memisahkannya dari
substansi yang dapat dimanfaatkan, sehingga hilanglah karat itu dengan sia-sia.
Begitu pula, syahwat akan dilemparkan dan dibuang dengan sia-sia oleh hati
orang mukmin sebagaimana arus air menghanyutkan sampah atau api
melemparkan karat logam.
B.
Amsal Kaminah, yaitu yang di dalamnya tidak disebutkan dengan jelas
lafaz tamsil (pemisalan) tetapi ia menunjukkan makna-makna yang indah,
menarik, dalam kepadatan redaksinya, dan mempunyai pengaruh tersendiri bila
dipindahkan kepada yang serupa dengannya. Untuk masal ini mereka mengajukan
sejumlah contoh, di antaranya:
1.
Ayat-ayat yang senada dengan perkataan خَيْرٌ
اْْلأُمُوْرِ اْلوُسْطَ
(sebaik-baik urusan adalah pertengahannya), yaitu:
a)
Firman-Nya mengenai shalat:
وَلَا
تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan
janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu"
(al-Isra’ [17]:110),
b)
firman-Nya mengenai infaq:
وَلَا
تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ
فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu
dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya.” (al-Isra’ [17]: 29).
2. Ayat yang senada dengan
perkataan: لَيْسَ اْلخَيَرُ كَاْلمُعًايَنَةِ (Kabar itu tidak sama dengan menyaksikan
sendiri). Misalnya firman Allah tentang Ibrahim:
قَالَ
أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي
“Allah berfirman: “apakah kamu belum percaya? Ibrahim menjawab:
saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya,”
(al-Baqarah [2]: 260).
3. Ayat yang senada dengan
perkataan: كاَتَدِيْنُ تُدًانُ (sebagaimana kamu telah menghutangkan, maka kamu akan dibayar).
Misalnya:
مَنْ
يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا
نَصِيرًا
“Barang siapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi
pembalasan dengan kejahatan itu.” (an-Nisa’ [4]:123)
4. Ayat yang senada dengan
perkataan لايلدغ المؤمن من جحر مرّتين (orang mukmin tidak akan disengat dua
kali dari lubang yang sama). Misalnya firman melalui lisan Ya’kub:
قَالَ
هَلْ ءَامَنُكُمْ عَلَيْهِ إِلَّا كَمَا أَمِنْتُكُمْ عَلَى أَخِيهِ مِنْ قَبْلُ
“Bagaimana aku mempercayakannya (Benyamin) kepadamu, kecuali
seperti aku telah mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepada dahulu.” (Yusuf
[12]: 64)
C.
Amsal Mursalah, yaitu kalimat-kalimat bebas yang tidak
menggunakan lafaz tasybih secara jelas. Tetapi kalimat-kalimat itu berlaku
sebagai masal.
Berikut ini contoh-contohnya:
1.
"Sekarang ini jelaslah kebenaran itu.” (Yusuf [12]:51).
قُلْنَ
حَاشَ لِلَّهِ مَا عَلِمْنَا عَلَيْهِ مِنْ سُوءٍ
2.
“Kamu kira mereka tidak bersatu sedang hati mereka berpecah belah.”
(al-Hasyr [59]:14)
تَحْسَبُهُمْ
جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى
Para ulama berbeda pendapat tentang ayat-ayat yang mereka namakan amsal
mursalah ini, apa atau bagaimana hukum mempergunakannya sebagai masal?
Sebagian ahli ilmu memandang hal demikian sebagai telah keluar dari
adab Qur’an. Berkata ar-Razi ketikan menafsirkan ayat, “Untukmulah agamamu,
dan untukkulah agamaku.” (al-Kafirun [109]:6): “Sudah menjadi tradisi
orang, menjadikan ayat ini sebagai masal (untuk membela, membenarkan perbuatannya
– peny,) ketika ia meninggalkan agama, padahal ini demikian tidak benarkan.
Sebab Allah menurunkan Qur’an bukan untuk dijadikan masal, tetapi untuk
direnungkan dan kemudian diamalkan isi kandungannya.”
Golongan lain berpendapat, tak ada halangan bila seseorang
mempergunakan Qur’an sebagai masal dalam keadaan sungguh-sungguh. Misalnya, ia
sangat merasa sedih dan berduka karena tertimpa bencana, sedangkan sebab-sebab
tersingkapnya bencana itu telah terputus dari manusia, lalu ia mengatakan, “Tidak
ada yang menyingkapkannya selain dari Allah.” (an-Najm [53]:58). Atau ia
diajak bicara oleh penganut ajaran sesat yang berusaha membujuknya agar
mengikuti ajarannya itu, maka ia menjawab: “Untukmulah agamamu dan
untukmulah agamaku.” (al-Kafirun [109]:6). Tetapi berdosa besarlah
seseorang yang dengan sengaja berpura-pura pandai lalu ia menggunakan Qur’an
sebagai masal, sampai-sampai ia terlihat bagai sedang senda-gurau.[5][5]
1.
Menonjolkan
sesuatu ma’qul (yang hanya bisa dijangkau akal, abstrak) dalam bentuk
konkrit yang dapat dirasakan indra manusia, sehingga akal mudah menerimanya;
sebab pengertian-pengertian abstrak tidak akan tertanam dalam benak kecuali
jika ia dituangkan dalam bentuk inderawi yang dekat dengan pemahaman. Misalnya
Allah membuat masal bagi keadaan orang yang menafkahkan harta benda riya’, di
mana ia tidak akan mendapatkan pahala sedikit pun dari perbuatannya itu,
فَمَثَلُهُ
كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا
يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ
الْكَافِرِينَ
“Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya
ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadikan ia bersih
(tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka
usahakan.” (al-Baqarah [2]:264).
2.
Menyingkapkan
hakikat-hakikat dan mengemukakan sesuatu yang tidak tampak seakan-akan sesuatu
yang tampak. Misalnya:
الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ
الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
“Mereka yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan)
penyakit gila.” (al-Baqarah [2]: 275)
3.
Mengumpulkan makna
yang menarik lagi indah dalam ungkapan tang padat, seperti amsal kaminah
dan amsal mursalah dalam ayat-ayat di atas.
4.
Mendorong orang
yang diberi masal untuk berbuat sesuai dengan isi masal, jika ia merupakan
sesuatu yang disenangi jiwa. Misalnya Allah membuat masal bagi keadaan orang
yang menafkahkan harta di jalan Allah, di mana hal itu akan memberikan
kepadanya kebaikan yang banyak. Allah berfirman:
مَثَلُ
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ
أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ
يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat
gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas
(kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah [2]: 261)
5.
Menjauhkan (tanfir,
kebalikan no 4), jika isi masal berupa sesuatu yang dibenci jiwa. Misalnya
firman Allah tentang larangan bergunjing:
تَجَسَّسُوا
وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ
أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ
“Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain.
Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?
Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (al-Hujarat [49]:12)
6.
Untuk memuji
orang yang diberi masal. Seperti firman-Nya tentang para sahabat:
ذَلِكَ
مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ
شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ
لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ
“Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat
mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas
itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di
atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah
hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang
mu'min). (al-Fath [48]:29).
Demikianlah keadaan para sahabat. Pada mulanya mereka hanya
golongan minoritas, kemudian tumbuh berkembang hingga keadaannya semakin kuat
dan mengagumkan hati karena kebesaran mereka.
7.
Untuk
menggambarkan (dengan masal itu) sesuatu yang mempunyai sifat yang dipandang
buruk oleh orang banyak. Misalnya masal tentang keadaan orang yang dikaruniai
Kitabullah tetapi ia tersesat jalan hingga tidak mengamalkannya, dalam ayat:
وَاتْلُ
عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي ءَاتَيْنَاهُ ءَايَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا
فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ(175)وَلَوْ شِئْنَا
لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ
فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ
يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ
الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami
berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian
dia melepaskan diri daripada ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh syaitan
(sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan
kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan
ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya
yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya
diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya
(juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat
Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.
(al-A’raf [7]: 175-176)
8.
Amsal lebih berpengaruh pada jiwa, lebih efektif dalam memberikan
nasihat, lebih kuat dalam memberikan peringatan, dan lebih dapat memuaskan hati.
Allah banyak menyebut amsal di dalam al-Qur’an untuk peringatan dan
pelajaran. Ia berfirman:
وَلَقَدْ
ضَرَبْنَا لِلنَّاسِ فِي هَذَا الْقُرْءَانِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ لَعَلَّهُمْ
يَتَذَكَّرُونَ
“Dan sungguh Kami buatkan bagi manusia dalam Al Qur'an ini setiap
macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran.” (az-Zumar [39]: 27),
وَتِلْكَ
الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan
tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (al-Ankabut [29]:
43)
Nabi juga membuat masal dalam haditsnya. Demikian juga pada da’i
yang menyeru manusia kepada Allah mempergunakannya di setiap masa untuk
menolong kebenaran dan menegakkan hujjah. Para pendidik pun mempergunakannya
dan menjadikannya sebagai media untuk
menjelaskan dan membangkitkan semangat, serta sebagai media untuk membujuk dan
melarang, memuji dan mencaci.[6]
Telah menjadi tradisi para sastrawan, menggunakan amsal di
tempat-tempat yang kondisinya serupa atau sesuai dengan isi amsal
tersebut. Jika hal demikian dibenarkan dalam ucapan-ucapan manusia yang telah
berlaku sebagai masal, maka para ulama tidak menyukai penggunaan ayat-ayat
al-Qur’an sebagai masal. Mereka tidak memandang perlu bahwa orang harus
membacakan sesuatu ayat amsal dalam Kitabullah ketika ia menghadapi
suatu urusan duniawi. Hal ini demi menjaga keagungan Qur’an dan kedudukannya
dalam jiwa orang-orang mukmin.
Abu ‘Ubaid berkata, “Demikianlah, seseorang yang ingin bertemu
dengan sahabatnya atau ada kepentingan dengannya, tiba-tiba sahabat itu datang
tanpa diminta, maka ia berkata kepadanya secara humor; “Kamu datang menurut
waktu yang ditetapkan wahai Musa (Taha [20]: 40). Perbuatan demikian
merupakan penghinaan terhadap Qur’an.” Ibn Syihab az-Zuhri berkata, “Janganlah
kamu menyerupakan (sesuatu) dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.”
Maksudnya, kata Abu ‘Ubaid, janganlah kamu menjadikan keduanya sesuatu
perumpamaan, baik berua ucapan maupun perbuatan.
Aqsam adalah bentuk jamak
dari “qasam” yang mengandung arti “sumpah” Dalam bahasa Arab, kata
“sumpah” juga sering disebut dengan “al-hilf” (الحلف) atau “al-yamin” (المين). Adapun
shighat asli dari kata “qasam” ialah fi’il atau kata kerja
“aqsama” atau “ahlafa” yang di-muta’addi-kan dengan “ba” menjadi muqsam
bih (sesuatu yang digunakan untuk bersumpah), kemudian muqsam alaih,
yang dinamakan dengan jawab qasam.[7]
Misalnya firman Allah SWT:
وَأَقْسَمُوْا بِاللهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لاَ
يَبْعَثُ الله ُمَنْ يَمُوتُ
“Mereka bersumpah
dengan nama Allah, dengan sumpah yang sungguh-sungguh, bahwasanya Allah tidak
membangkitkan orang yang mati.” (QS. An-Nahl: 38).
Dengan
demikian, ada tiga ungsur dalam sighat qosam: fi’il yang ditranstifkan dengan
ba muqsam bih dan muqsam ‘alaih. Oleh karena itu, qosam sering dipergunakan
dalam percakapan maka ia ringkas, yaitu fi’il qosam dihilangkan dan dicukupkan
dengan “ba”, kemudian “ba”
pun diganti dengan wawu pada isim zhahir, seperti وَاللَّيْلِ
إِذَا يَغْشَى ( الليل: ١ ) ( demi
malam, bila menutupi cahaya siang. Dan diganti dengan ta
pada lavad jalalah semisalnya. ( ٥٧: الأنبياء ) وَتَاللَّهِ لَأَكِيدَنَّ أَصْنَامَكُم “demi allah sesunguhnya
aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu.” Namun qosam dengan Ta ini jarang digunakan, sedangkan yang banyak ialah “wawu”
Qosam dan yamin
adalah dua kata sinonim, mempunyai makna yang sama. Qosam didefinisikan sebagai
mengikat jiwa ( hati) agar tidak melakukan sesuatu, dengan suatu makna’ yang
dipandang besar, agung, baik secara hakiki maupun I’tiqodiyah, oleh orang yang
bersumpah itu” bersumpah dinamakan juga dengan yamin ( tangan kanan), karena
orang Arab ketika bersumpah memegang tangan kanan sahabatnnya.
Fi’il Qasam
(Yang di Muta’addikan Dengan Huruf Ba’) Sighat qasam baik yang berbentuk uqsimu
ataupun yang berbentuk akhlifu tidak akan berfungsi tanpa dita’adiyahkan dengan
huruf ba’. Seperti yang terdapat dalam surat An-Nahl ayat 38 :
وَأَقْسَمُواْ ِاللّهِ
Artinya : “Mereka bersumpah dengan nama Allah”
وَأَقْسَمُواْ ِاللّهِ
Artinya : “Mereka bersumpah dengan nama Allah”
Namun kadang kala dalam suatu ayat, sighat
qasam langsung disebutkan dengan huruf wawu pada isim dzahir, kadang kala
langsung disebutkan dengan huruf ta’ pada lafal jalalah. Hal ini terjadi mana
kala fi’il qasam tidak disebutkan dalam ayat tersebut. Contoh, Dengan huruf
wawu :
وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى
Artinya : “Demi malam apabila menutupi (cahaya
siang), Dengan huruf ta’ :
وَتَاللَّهِ لَأَكِيدَنَّ أَصْنَامَكُم
وَتَاللَّهِ لَأَكِيدَنَّ أَصْنَامَكُم
Muqassam bih ialah lafaz yang terletak setelah
qasam yang dijadikan sebagai sandaran dalam bersumpah yang juga disebut sebagai
syarat. Dalam al-qur’an, Allah bersumpah dengan zat-Nya sendiri yang Maha Agung
atau dengan tanda-tanda kekuasaan-Nya yang Maha Besar. Allah bersumpah dengan
zat-Nya sendiri:
قلْ بَلَى وَرَبِّي لَتَأْتِيَنَّكُمْ عَالِمِ
الْغَيْب
Artinya : “Katakanlah: ‘Pasti datang, demi Tuhanku Yang Mengetahui yang ghaib’.”
Allah bersumpah dengan makhluk ciptaannya :
وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ. وَطُورِ سِينِينَ
Artinya : “Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun , dan demi bukit Sinai.”
Artinya : “Katakanlah: ‘Pasti datang, demi Tuhanku Yang Mengetahui yang ghaib’.”
Allah bersumpah dengan makhluk ciptaannya :
وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ. وَطُورِ سِينِينَ
Artinya : “Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun , dan demi bukit Sinai.”
Muqassam alaih ialah bentuk berita yang ingin
supaya dipercaya/diterima oleh orang yang mendengarnya sehingga diperkuat
dengan sumpah tersebut, atau disebut juga jawab qasam. Posisi muqassam alaih
terkadang bisa menjadi taukid, sebagai jawaban qasam. Karena yang dikehendaki
dengan qasam adalah untuk mentaukidi muqassam alaih.[8] Ada empat hal yang harus dipenuhi muqassam
alaih, yaitu :
1.
Muqassam alaih/ berita itu harus terdiri dari
hal-hal yang baik, terpuji, atau hal-hal yang penting.
2.
Muqassam alaih itu sebaiknya disebutkan dalam
setiap bentuk sumpah. Jika kalimat muqassam alaih tersebut terlalu panjang,
maka muqassam alaihnya boleh dibuang. Seperti yang terdapat dalam surah
al-qiyamah ayat 1- 2 :
لاَ أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ. وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
Artinya :“Aku bersumpah demi hari kiamat, dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).”
Muqassam alaih dari qasam tersebut dibuang, karena terlalu panjang. Yang menunjukkan adanya muqassam alaih adalah ayat setelahnya, yaitu ayat 3-4 :
أَيَحْسَبُ الْإِنسَانُ أَلَّن نَجْمَعَ عِظَامَهُ. بَلَى قَادِرِينَ عَلَى أَن نُّسَوِّيَ بَنَانَه ُ
Artinya : “Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya? Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna.”
Sedangkan takdir dari muqassam
alaihnya bila didatangkan ialah kalimat : “Pasti kalian akan dibangkitkan dari
kubur.
3.
Jika jawab qasamnya berupa fi’il madhi
mutaharrif yang positif (tidak dinegatifkan), maka muqassam alaihnya harus
dimasuki huruf “lam” dan “qod”. Contohnya :
لَا أُقْسِمُ بِهَذَا الْبَلَدِ.
وَأَنتَ حِلٌّ بِهَذَا الْبَلَدِ. وَوَالِدٍ وَمَا وَلَدَ. لَقَدْ خَلَقْنَا
الْإِنسَانَ فِي كَبَدٍ
Artinya : “Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Mekah), dan kamu (Muhammad) bertempat di kota Mekah ini, dan demi bapak dan anaknya. Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.”
Artinya : “Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Mekah), dan kamu (Muhammad) bertempat di kota Mekah ini, dan demi bapak dan anaknya. Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.”
4.
Materi
isi muqassam alaih itu bisa bermacam-macam, terdiri dari berbagai bidang
pembicaraan yang baik-baik dan penting. Seperti : Keterangan bahwa Rasulullah
saw adalah benar-benar utusan allah:
س.
وَالْقُرْآنِ الْحَكِيمِ. إِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ
Artinya : “Yaa siin. Demi. Al-Qur’an yang penuh hikmah. Sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul.”
Artinya : “Yaa siin. Demi. Al-Qur’an yang penuh hikmah. Sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul.”
Dilihat dari
segi fi’ilnya, qasam dalam Al-qur’an ada dua macam, yaitu;
Qasam dhahir
(Nampak/jelas), yaitu qasam yang fi’il qasamnya disebutkan bersama dengan
muqassam bihnya. Seperti ayat berikut :
وَأَقْسَمُواْ بِاللّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لاَ
يَبْعَثُ اللّهُ مَن يَمُوتُ
Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya
yang sungguh sungguh:Allah tidak akan akan membangkitkan orang yang mati.”
Dan diantaranya ada yang dihilangkan fi’il
qasamnya, dan dicukupkan dengan huruf “ba’”, “wawu”, dan ta’”. Seperti :
وَالضُّحَى.
وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى
“Demi waktu matahari sepenggalahan
naik. Dan demi malam apabila telah sunyi (gelap).”
Qasam Mudhmar
(tersimpan/samar) yaitu qasam yang didalamnya tidak dijelaskan atau disebutkan
fi’il qasam dan muqassam bihnya. Tetapi yang menunjukkan bahwa kalimat tersebut
adalah qasam adalah kata-kata setelahnya yang diberi lam taukid yang masuk
kedalam jawab qasamnya. Seperti :
لَتُبْلَوُنَّ
فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ...
Artinya : “Kamu
sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu.”
Bahasa arab mempunyai keistimewaan tersendiri
berupa kelembutan ungkapan dan beraneka
ragam uslubnya sesuai dengan berbagai tujuanya. Lawan bicara ( Mukhatab)
mempunyai beberapa keadaan yang dalam ilmu ma’ani disebut Adrubul Khabar
As-Salasah atau tiga pola pengunaan kalimat berita: Ibtida’I, Talabi dan
inkari. Mukhatab terkadang seorang
berhati kosong sama sekali tidak mempunyai persepsi akan pernyataan hukum yang
diterangkan kepadanya, maka, perkataan yang disampaikan kepadanya tidak perlu
memakai penguat “ ta’kid”. Pengunaan perkataan demikian dinamakan ibtida’i.
terkadang pula ia ragu-ragu terhadap kebenaran
pernyataan yang disampaikan kepadanya. Maka perkataan untuk orang semacam ini
sebaiknya diperkuat degan suatu penguat guna menhilangkan keraguanya. Perkataan
demikian disebut Talabi.
Sumpah (qasam) dalam ucapan sehari-hari
merupakan salah satu cara untuk menguatkan pembicaraan yang diselingi dengan
pembuktian untuk mendorong lawan bicara agar bisa enerima/mempercayainya. Apakah makna sumpah
dari Allah SWT? Abu Al-Qasim Al-Qusyairi menjawab bahwa sesuatu dapat dipastikan kebenarannya dengan dua cara,
yaitu persaksian dan sumpah. Kedua cara itu dipergunakan Allah dalam Al-Qur’an
sehingga mereka tidak memiliki hujjah lagi untuk membantahnya. Qur’an
diturunkan untuk seluruh manusia, dan manusia mempunyai sikap yang berbeda-beda
terhadapnya. Diantaranya ada yang meragukan, ada yang mengingkari dan ada pula
yang amat memusuhi. Karena itu dipakailah qasam dalam kalamullah, guna
menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalah fahaman, menguatkan berita, dan
menetapkan hukum dengan cara paling sempurna.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Amsal adalah bentuk
jamak dari masal. Kata masal, misl dan masil adalah
sama dengan syabah, syibh dan syabih, baik lafadz maupun
maknanya. Amsal dalam al-Qur’an, ada tiga macam: amsal mausarrahah,
amsal kaminah dan amsal mursalah.
Tamsil (membuat
permisalan, perumpamaan) merupakan kerangka yang dapat menampilkan makna-makna
dalam bentuk yang hidup dan mantap di dalam pikiran, dengan cara menyerupakan
sesuatu yang gaib dengan yang hadir, yang abstrak dengan yang konkrit, dan
dengan menganalogikan sesuatu dengan hal yang serupa. Betapa banyak makna yang
baik, di jadikan lebih indah, menarik dan mempesona oleh tamsil. Karena
itulah maka tamsil lebih dapat mendorong jiwa untuk menerima makna yang
dimaksudkan dan membuat akal merasa puas dengannya. Dan tamsil adalah
salah satu uslub Qur’an dalam mengungkapkan berbagai penjelasan dan segi-segi
kemukjizatannya.
Sedang Qasam
menurut istilah adalah mengaitkan jiwa untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan,
atau untuk mengerjakannya, yang diperkuat dengan sesuatu yang diagungkan bagi
orang yang bersumpah, baik secara nyata atau secara keyakinan saja.
unsur
yang harus dipenuhi dalam qasam yaitu Harus
ada fi’il qasam, Harus
terdapat muqsam bih , Harus ada muqsam ‘ alaih. Secara garis besar, Aqsamul Qur’an terbagi menjadi dua jenis
yaitu:Qasam Dzahir, yaitu qasam yang fi’il
qasamnya disebutkan bersama dengan muqsam
bihnya dan Qasam Mudhmar (qasam tersimpan) yaitu qasam yang fi’il qasam dan
muqsam bihnya tidak disebutkan.
Berikut ini
adalah Manfaat Qasam, Mempertegas dan memperkuat berita yang sampai kepada pendengar,
Memberikan nilai kepuasan kepada pembawa berita yang telah menggunakan Qasam, Mengagungkan
sifat dan kekuasaan Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Ali
Muhammad As-Shobuni, Pengantar Study al-Qur'an, Bandung: PT. al-Maarif,
1984
Anwar,
Rosihan, Ulumul Qur'an, Bandung: Pustaka Setia, 2000
Ash
Sholih. Subhi, Mabahis fi Ulumil Qur'an, Beirut: Dar al-Qolamli
al-Malayiin, 1988
Montgomery
Watt. W. Pengantar Study al-Qur'an, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1995
Sirojuddin
Mashuri Akbar, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung; Percetakan Angkasa, 1993
[1]
Manna Khalil Al-Qattan, Studi ilmu-ilmu al-Quran, hal 401.
[2]
Balagatul Qur’an, oleh Ustaz Muhammad al-Khidir, hal 26.
[3]
Ibid,. hal 402.
[4]
Al-qur’an terjemah depag RI,.
[5]
Balagatul Qur’an, hal 33.
[6]
Manna Khalil Al-Qattan, Studi ilmu-ilmu al-Quran, hal 411.
[7]
Ibid,. hal 413.
[8]
Ash Sholih.
Subhi, Mabahis fi Ulumil Qur'an, 216.