Translate

Kamis, 30 Mei 2013

Amsalul qur'an dan aqsamul qur'an



PEMBAHASAN

Amsal adalah bentuk jamak dari masal. Kata masal, misl dan masil adalah sama dengan syabah, syibh dan syabih, baik lafadz maupun maknanya.[1]
Dalam sastra, masal adalah suatu ungkapan perkataan yang dihikayatkan dan sudah populer dengan maksud menyerupakan keadaan yang terdapat dalam perkataan itu dengan keadaan sesuatu yang karenanya perkataan itu diucapkan. Maksudnya, menyerupakan sesuatu (seseorang, keadaan) dengan apa yang terkandung dalam perkataan itu. Misalnya, رب ؤمية غير زام        )betapa banyak lemparan panah yang mengena tanpa sengaja). Artinya, betapa banyak lemparan panah yang mengenai sasaran itu dilakukan seorang pelempar yang bisanya tidak tepat lemparannya. Orang pertama yang mengucapkan masal itu adalah al-Hakam bin Yaqus an-Nagri. Masal ini ia katakan kepada orang yang biasanya berbuat salah yang kadang-kadang ia berbuat benar. Atas dasar ini, masalah harus mempunyai maurid (sumber) yang kepadanya yang sesuatu yang lain diserupakan.
Kata masal, digunakan pula untuk menunjukkan arti “keadaan” dan kisah yang menakjubkan”. Dengan pengertian inilah ditafsirkan kata-kata “masal” dalam sejumlah besar ayat. Misalnya firman Allah:
مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ فِيهَا أَنْهَارٌ مِنْ مَاءٍ غَيْرِ ءَاسِنٍ وَأَنْهَارٌ
“(Apakah) masal surga yang didalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya…” (Muhammad [47]:15).[2] Maksudnya, kisah dan sifat surga yang sangat mengagumkan.
Zamakhsyari telah mengisyaratkan akan ketika arti ini dalam kitabnya, al-Kasysyaf. Ia berkata: masal menurut asal perkataan mereka berarti al-misl dan an-nazir (yang serupa, sebanding). Kemudian setiap perkataan yang berlaku, populer, yang menyerupakan sesuatu (orang, keadaan dan sebagainya) dengan “maurid” (atau apa yang terkandung dalam) perkataan itu disebut masal. Mereka tidak menjadikan sebagai masal dan tidak memandang pantas untuk dijadikan masal yang layak diterima dan dipopulerkan kecuali perkataan yang mengandung keanehan dari beberapa segi. Dan, katanya lebih lanjut, “masal” dipinjam (dipakai secara pinjaman) untuk menunjukkan keadaan, sifat atau kisah jika ketiganya dianggap penting dan mempunyai keanehan.
Masih terdapat makna lain, yakni makna keempat, dari masal menurut ulama Bayan. Menurut mereka, masal adalah majaz murakkab yang ‘alaqah-Nya musyabahah jika penggunanya telah populer. Majaz ini pada asalnya adalah isti’arah tamsiliyah, seperti kata-kata yang diucapkan terhadap orang yang ragu-ragu dalam melakukan suatu urusan مالي أراك رجلا وتؤخر أخرى  (mengapa aku lihat engkau melangkahkan satu kaki yang lain?)
amsal yang terkandung didalam al-Qur’an tidak dapat diartikan dengan arti etimologi, asy-syabih da an-nazir. Juga tidak dapat diartikan dengan pengertian yang disebutkan dalam kitab-kitab kebahasaan yang dipakai oleh para pengubah masal-masal, sebab amsal Qur’an bukanlah perkataan-perkataan yang dipergunakan untuk menyerupakan sesuatu dengan isi perkataan itu. Juga tidak dapat diartikan dengan arti masal menurut ilmu Bayan, karena di antara amsal Qur’an ada yang bukan isti’arah dan penggunaannya pun tidak begitu populer. Oleh karena itu maka definisi terakhir lebih cocok dengan pengertian amsal dalam Qur’an. Yaitu, menonjolkan makna dalam bentuk (perkataan) yang menarik dan padat serta mempunyai pengaruh mendalam terhadap jiwa, baik berupa tasybih ataupun perkataan bebas (lepas, bukan tasybih).
Ibnu Qayyim mendefinisikan amsal al-Qur’an dengan “menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lian dalam hal hukumnya, dan mendekatkan sesuatu yang abstrak (ma’qul) dengan yang indrawi (konkrit, mahsus), atau mendekatkan salah sati dari dua mahsus dengan yang lain dan menganggap salah satunya itu sebagai yang lain.”[3]
Lebih lanjut ia mengemukakan sejumlah contoh. Contoh-contoh tersebut sebagian besar berupa penggunaan tasybih sarih, seperti firman Allah:
إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ
“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit.” (Yunus [10]: 24). Sebagian lagi berupa penggunaan tasybih dimni (penyerupaan secara tidak tegas, tidak langsung), misalnya:
وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ
Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (al-Hujarat [49]: 12). Dikatakan dimni karena dalam ayat ini tidak terdapat tasybih sarih. Dan ada pula yang tidak mengandung tasybih maupun isti’arah, seperti firman-Nya:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَنْ يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِنْ يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لَا يَسْتَنْقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ(73)
Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.” (al-Hajj [22]:73). Firman-Nya, “Sesungguhnya segala apa yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun” oleh Allah disebut dengan masal padahal di dalamnya tidak terdapat isti’arah maupun tasybih.

Amsal dalam al-Qur’an, ada tiga macam: amsal mausarrahah, amsal kaminah dan amsal mursalah.
A.     Amsal musarrahah, ialah yang di dalamnya dijelaskan dengan lafadz masal atau sesuatu yang menunjukkan tasybih. Amsal seperti ini banyak ditemukan dalam Qur’an dan berikut ini beberapa di antaranya:
1.      Firman Allah mengenai orang munafik:
مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لَا يُبْصِرُونَ(17)صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ(18)أَوْ كَصَيِّبٍ مِنَ السَّمَاءِ فِيهِ ظُلُمَاتٌ وَرَعْدٌ وَبَرْقٌ يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي ءَاذَانِهِمْ مِنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِ وَاللَّهُ مُحِيطٌ بِالْكَافِرِينَ(19)يَكَادُ الْبَرْقُ يَخْطَفُ أَبْصَارَهُمْ كُلَّمَا أَضَاءَ لَهُمْ مَشَوْا فِيهِ وَإِذَا أَظْلَمَ عَلَيْهِمْ قَامُوا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(20)
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat…” sampai dengan “Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.” (al-Baqarah [2]: 17-20).
Di dalam ayat-ayat ini Allah membuat dua perumpamaan (masal) bagi orang munafik; masal yang berkenaan dengan api (nari) dalam firman-Nya, “adalah seperti orang yang menyelakan api...”, karena di dalam api terdapat unsur cahaya; dan masal yang berkenaan dengan air (ma’i), “atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit...”, karena di dalam air terdapat materi kehidupan. Dan wahyu yang turun dari langit pun bermaksud untuk memerangi hati dan menghidupkannya. Allah menyebutkan juga kedudukan dan fasilitas orang munafik dalam dua keadaan, di satu sisi mereka bagaikan orang yang menyalakan api untuk penerangan dan kemanfaatan mengingat mereka memperoleh kemanfaatan materi dengan sebab masuk Islam. Namun di sisi lain Islam tidak memberikan pengaruh “nur”-Nya terhadap hati mereka karena Allah menghilangkan cahaya (nur) yang ada di dalam api itum “Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka”, dan membiarkan unsur “membakar” yang ada padanya. Inilah perumpamaan mereka yang berkenaan dengan api.
Mengenai masal mereka yang berkenaan dengan air (ma’i), Allah menyerupakan mereka dengan keadaan orang yang ditimpa hujan lebat yang disertai gelap gulita, guruh dan kilat, sehingga terkoyaklah kekuatan orang itu dan ia meletakkan jari jemari untuk menyumbat telinga serta memejamkan mata karena takut petir menimpanya. Ini mengingat bahwa Qur’an dengan segala peringatan, perintah, larangan dan khitabnya bagi mereka tidak ubahnya dengan petir yang turun sambar-menyambar.
2.  Allah menyebutkan pula dua macam masal, ma’i dan nari, dalam surat ar-Ra’d, bagi yang hak dan batil:
أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَدًا رَابِيًا وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ زَبَدٌ مِثْلُهُ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ(17)
Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengeambang. Dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan, masal (bagi) orang yang benar dan yang batil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” (ar-Ra’d[13]:17).[4]
Wahyu yang diturunkan Allah dari langit untuk kehidupan hati diserupakan dengan air hujan yang diturunkan-Nya untuk kehidupan bumi dengan tumbuh-tumbuhan. Dari hasil diserupakan dengan lembah. Arus air yang mengalir di lembah, membawa buih dan sampah. Begitu pula hidayah dan ilmu bila mengalir di hati akan berpengaruh terhadap nafsu syahwat, dngan menghilangkannya. Inilah masal ma’i dalam firman-Nya, “Dia telah menurunkan air (hujan) dari langit…”. Demikianlah Allah membuat masal bagi yang berhak dan yang batil.
Mengenai masal nari, dikemukakan dalam firman-Nya, “Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api…” Logam, baik emas, perak, tembaga maupun besi, ketika dituangkan ke dalam api, maka api akan menghilangkan kotoran, karat, yang melekat padanya, dan memisahkannya dari substansi yang dapat dimanfaatkan, sehingga hilanglah karat itu dengan sia-sia. Begitu pula, syahwat akan dilemparkan dan dibuang dengan sia-sia oleh hati orang mukmin sebagaimana arus air  menghanyutkan sampah atau api melemparkan karat logam.
B.     Amsal Kaminah, yaitu yang di dalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafaz tamsil (pemisalan) tetapi ia menunjukkan makna-makna yang indah, menarik, dalam kepadatan redaksinya, dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada yang serupa dengannya. Untuk masal ini mereka mengajukan sejumlah contoh, di antaranya:
1.      Ayat-ayat yang senada dengan perkataan خَيْرٌ اْْلأُمُوْرِ اْلوُسْطَ (sebaik-baik urusan adalah pertengahannya), yaitu:
a)      Firman-Nya mengenai shalat:
وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا
Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu" (al-Isra’ [17]:110),
b)      firman-Nya mengenai infaq:
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya.” (al-Isra’ [17]: 29).
2.      Ayat yang senada dengan perkataan: لَيْسَ اْلخَيَرُ كَاْلمُعًايَنَةِ (Kabar itu tidak sama dengan menyaksikan sendiri). Misalnya firman Allah tentang Ibrahim:
قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي
Allah berfirman: “apakah kamu belum percaya? Ibrahim menjawab: saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya,” (al-Baqarah [2]: 260).
3.      Ayat yang senada dengan perkataan: كاَتَدِيْنُ تُدًانُ (sebagaimana kamu telah menghutangkan, maka kamu akan dibayar). Misalnya:
مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
Barang siapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu.” (an-Nisa’ [4]:123)
4.      Ayat yang senada dengan perkataan لايلدغ المؤمن من جحر مرّتين  (orang mukmin tidak akan disengat dua kali dari lubang yang sama). Misalnya firman melalui lisan Ya’kub:
قَالَ هَلْ ءَامَنُكُمْ عَلَيْهِ إِلَّا كَمَا أَمِنْتُكُمْ عَلَى أَخِيهِ مِنْ قَبْلُ
Bagaimana aku mempercayakannya (Benyamin) kepadamu, kecuali seperti aku telah mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepada dahulu.” (Yusuf [12]: 64)
C.     Amsal Mursalah, yaitu kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan lafaz tasybih secara jelas. Tetapi kalimat-kalimat itu berlaku sebagai masal.
Berikut ini contoh-contohnya:
1.      "Sekarang ini jelaslah kebenaran itu.” (Yusuf [12]:51).
قُلْنَ حَاشَ لِلَّهِ مَا عَلِمْنَا عَلَيْهِ مِنْ سُوءٍ
2.      “Kamu kira mereka tidak bersatu sedang hati mereka berpecah belah.” (al-Hasyr [59]:14)
تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى
Para ulama berbeda pendapat tentang ayat-ayat yang mereka namakan amsal mursalah ini, apa atau bagaimana hukum mempergunakannya sebagai masal?
Sebagian ahli ilmu memandang hal demikian sebagai telah keluar dari adab Qur’an. Berkata ar-Razi ketikan menafsirkan ayat, “Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.” (al-Kafirun [109]:6): “Sudah menjadi tradisi orang, menjadikan ayat ini sebagai masal (untuk membela, membenarkan perbuatannya – peny,) ketika ia meninggalkan agama, padahal ini demikian tidak benarkan. Sebab Allah menurunkan Qur’an bukan untuk dijadikan masal, tetapi untuk direnungkan dan kemudian diamalkan isi kandungannya.”
Golongan lain berpendapat, tak ada halangan bila seseorang mempergunakan Qur’an sebagai masal dalam keadaan sungguh-sungguh. Misalnya, ia sangat merasa sedih dan berduka karena tertimpa bencana, sedangkan sebab-sebab tersingkapnya bencana itu telah terputus dari manusia, lalu ia mengatakan, “Tidak ada yang menyingkapkannya selain dari Allah.” (an-Najm [53]:58). Atau ia diajak bicara oleh penganut ajaran sesat yang berusaha membujuknya agar mengikuti ajarannya itu, maka ia menjawab: “Untukmulah agamamu dan untukmulah agamaku.” (al-Kafirun [109]:6). Tetapi berdosa besarlah seseorang yang dengan sengaja berpura-pura pandai lalu ia menggunakan Qur’an sebagai masal, sampai-sampai ia terlihat bagai sedang senda-gurau.[5][5]
1.          Menonjolkan sesuatu ma’qul (yang hanya bisa dijangkau akal, abstrak) dalam bentuk konkrit yang dapat dirasakan indra manusia, sehingga akal mudah menerimanya; sebab pengertian-pengertian abstrak tidak akan tertanam dalam benak kecuali jika ia dituangkan dalam bentuk inderawi yang dekat dengan pemahaman. Misalnya Allah membuat masal bagi keadaan orang yang menafkahkan harta benda riya’, di mana ia tidak akan mendapatkan pahala sedikit pun dari perbuatannya itu,
فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadikan ia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan.” (al-Baqarah [2]:264).
2.          Menyingkapkan hakikat-hakikat dan mengemukakan sesuatu yang tidak tampak seakan-akan sesuatu yang tampak. Misalnya:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
Mereka yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (al-Baqarah [2]: 275)
3.          Mengumpulkan makna yang menarik lagi indah dalam ungkapan tang padat, seperti amsal kaminah dan amsal mursalah dalam ayat-ayat di atas.
4.          Mendorong orang yang diberi masal untuk berbuat sesuai dengan isi masal, jika ia merupakan sesuatu yang disenangi jiwa. Misalnya Allah membuat masal bagi keadaan orang yang menafkahkan harta di jalan Allah, di mana hal itu akan memberikan kepadanya kebaikan yang banyak. Allah berfirman:
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah [2]: 261)
5.          Menjauhkan (tanfir, kebalikan no 4), jika isi masal berupa sesuatu yang dibenci jiwa. Misalnya firman Allah tentang larangan bergunjing:
تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ
Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (al-Hujarat [49]:12)
6.          Untuk memuji orang yang diberi masal. Seperti firman-Nya tentang para sahabat:
ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ
Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu'min). (al-Fath [48]:29).
Demikianlah keadaan para sahabat. Pada mulanya mereka hanya golongan minoritas, kemudian tumbuh berkembang hingga keadaannya semakin kuat dan mengagumkan hati karena kebesaran mereka.
7.          Untuk menggambarkan (dengan masal itu) sesuatu yang mempunyai sifat yang dipandang buruk oleh orang banyak. Misalnya masal tentang keadaan orang yang dikaruniai Kitabullah tetapi ia tersesat jalan hingga tidak mengamalkannya, dalam ayat:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي ءَاتَيْنَاهُ ءَايَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ(175)وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri daripada ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (al-A’raf [7]: 175-176)
8.          Amsal lebih berpengaruh pada jiwa, lebih efektif dalam memberikan nasihat, lebih kuat dalam memberikan peringatan, dan lebih dapat memuaskan hati. Allah banyak menyebut amsal di dalam al-Qur’an untuk peringatan dan pelajaran. Ia berfirman:
وَلَقَدْ ضَرَبْنَا لِلنَّاسِ فِي هَذَا الْقُرْءَانِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Dan sungguh Kami buatkan bagi manusia dalam Al Qur'an ini setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran.” (az-Zumar [39]: 27),
وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (al-Ankabut [29]: 43)
Nabi juga membuat masal dalam haditsnya. Demikian juga pada da’i yang menyeru manusia kepada Allah mempergunakannya di setiap masa untuk menolong kebenaran dan menegakkan hujjah. Para pendidik pun mempergunakannya dan menjadikannya sebagai media untuk menjelaskan dan membangkitkan semangat, serta sebagai media untuk membujuk dan melarang, memuji dan mencaci.[6]
Telah menjadi tradisi para sastrawan, menggunakan amsal di tempat-tempat yang kondisinya serupa atau sesuai dengan isi amsal tersebut. Jika hal demikian dibenarkan dalam ucapan-ucapan manusia yang telah berlaku sebagai masal, maka para ulama tidak menyukai penggunaan ayat-ayat al-Qur’an sebagai masal. Mereka tidak memandang perlu bahwa orang harus membacakan sesuatu ayat amsal dalam Kitabullah ketika ia menghadapi suatu urusan duniawi. Hal ini demi menjaga keagungan Qur’an dan kedudukannya dalam jiwa orang-orang mukmin.
Abu ‘Ubaid berkata, “Demikianlah, seseorang yang ingin bertemu dengan sahabatnya atau ada kepentingan dengannya, tiba-tiba sahabat itu datang tanpa diminta, maka ia berkata kepadanya secara humor; “Kamu datang menurut waktu yang ditetapkan wahai Musa (Taha [20]: 40). Perbuatan demikian merupakan penghinaan terhadap Qur’an.” Ibn Syihab az-Zuhri berkata, “Janganlah kamu menyerupakan (sesuatu) dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.” Maksudnya, kata Abu ‘Ubaid, janganlah kamu menjadikan keduanya sesuatu perumpamaan, baik berua ucapan maupun perbuatan.

Aqsam adalah bentuk jamak dari “qasam” yang mengandung arti “sumpah” Dalam bahasa Arab, kata “sumpah” juga sering disebut dengan “al-hilf” (الحلف)  atau “al-yamin” (المين). Adapun shighat asli dari kata “qasam ialah fi’il atau kata kerja “aqsama” atau “ahlafa” yang di-muta’addi-kan dengan “ba” menjadi muqsam bih (sesuatu yang digunakan untuk bersumpah), kemudian muqsam alaih, yang dinamakan dengan jawab qasam.[7] Misalnya firman Allah SWT:
وَأَقْسَمُوْا بِاللهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لاَ يَبْعَثُ الله ُمَنْ يَمُوتُ
Mereka bersumpah dengan nama Allah, dengan sumpah yang sungguh-sungguh, bahwasanya Allah tidak membangkitkan orang yang mati.” (QS. An-Nahl: 38).
Dengan demikian, ada tiga ungsur dalam sighat qosam: fi’il yang ditranstifkan dengan ba muqsam bih dan muqsam ‘alaih. Oleh karena itu, qosam sering dipergunakan dalam percakapan maka ia ringkas, yaitu fi’il qosam dihilangkan dan dicukupkan dengan “ba”, kemudian “ba” pun diganti dengan wawu pada isim zhahir, seperti وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى ( الليل: ١ ) ( demi malam, bila menutupi cahaya siang. Dan diganti dengan ta pada lavad jalalah semisalnya. ( ٥٧: الأنبياء ) وَتَاللَّهِ لَأَكِيدَنَّ أَصْنَامَكُم demi allah sesunguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu.”  Namun qosam dengan Ta ini jarang digunakan, sedangkan  yang banyak ialah “wawu”
Qosam dan yamin adalah dua kata sinonim, mempunyai makna yang sama. Qosam didefinisikan sebagai mengikat jiwa ( hati) agar tidak melakukan sesuatu, dengan suatu makna’ yang dipandang besar, agung, baik secara hakiki maupun I’tiqodiyah, oleh orang yang bersumpah itu” bersumpah dinamakan juga dengan yamin ( tangan kanan), karena orang Arab ketika bersumpah memegang tangan kanan sahabatnnya.
Fi’il Qasam (Yang di Muta’addikan Dengan Huruf Ba’) Sighat qasam baik yang berbentuk uqsimu ataupun yang berbentuk akhlifu tidak akan berfungsi tanpa dita’adiyahkan dengan huruf ba’. Seperti yang terdapat dalam surat An-Nahl ayat 38 :
وَأَقْسَمُواْ ِاللّهِ
Artinya : “Mereka bersumpah dengan nama Allah”
Namun kadang kala dalam suatu ayat, sighat qasam langsung disebutkan dengan huruf wawu pada isim dzahir, kadang kala langsung disebutkan dengan huruf ta’ pada lafal jalalah. Hal ini terjadi mana kala fi’il qasam tidak disebutkan dalam ayat tersebut. Contoh, Dengan huruf wawu :
وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى
         Artinya : “Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala- berhalamu”
Muqassam bih ialah lafaz yang terletak setelah qasam yang dijadikan sebagai sandaran dalam bersumpah yang juga disebut sebagai syarat. Dalam al-qur’an, Allah bersumpah dengan zat-Nya sendiri yang Maha Agung atau dengan tanda-tanda kekuasaan-Nya yang Maha Besar. Allah bersumpah dengan zat-Nya sendiri:
قلْ بَلَى وَرَبِّي لَتَأْتِيَنَّكُمْ عَالِمِ الْغَيْب
Artinya : “Katakanlah: ‘Pasti datang, demi Tuhanku Yang Mengetahui yang ghaib’.”
Allah bersumpah dengan makhluk ciptaannya :
وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ. وَطُورِ سِينِينَ
Artinya : “Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun , dan demi bukit Sinai.”
Muqassam alaih ialah bentuk berita yang ingin supaya dipercaya/diterima oleh orang yang mendengarnya sehingga diperkuat dengan sumpah tersebut, atau disebut juga jawab qasam. Posisi muqassam alaih terkadang bisa menjadi taukid, sebagai jawaban qasam. Karena yang dikehendaki dengan qasam adalah untuk mentaukidi muqassam alaih.[8] Ada empat hal yang harus dipenuhi muqassam alaih, yaitu :
1.      Muqassam alaih/ berita itu harus terdiri dari hal-hal yang baik, terpuji, atau hal-hal yang penting.
2.      Muqassam alaih itu sebaiknya disebutkan dalam setiap bentuk sumpah. Jika kalimat muqassam alaih tersebut terlalu panjang, maka muqassam alaihnya boleh dibuang. Seperti yang terdapat dalam surah al-qiyamah ayat 1- 2 :

لاَ أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ. وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
          Artinya :“Aku bersumpah demi hari kiamat, dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).”

            Muqassam alaih dari qasam tersebut dibuang, karena terlalu panjang. Yang menunjukkan adanya muqassam alaih adalah ayat setelahnya, yaitu ayat 3-4 :
أَيَحْسَبُ الْإِنسَانُ أَلَّن نَجْمَعَ عِظَامَهُ. بَلَى قَادِرِينَ عَلَى أَن نُّسَوِّيَ بَنَانَه ُ
         Artinya : “Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya? Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna.”
            Sedangkan takdir dari muqassam alaihnya bila didatangkan ialah kalimat : “Pasti kalian akan dibangkitkan dari kubur.
3.      Jika jawab qasamnya berupa fi’il madhi mutaharrif yang positif (tidak dinegatifkan), maka muqassam alaihnya harus dimasuki huruf “lam” dan “qod”. Contohnya :
لَا أُقْسِمُ بِهَذَا الْبَلَدِ. وَأَنتَ حِلٌّ بِهَذَا الْبَلَدِ. وَوَالِدٍ وَمَا وَلَدَ. لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي كَبَدٍ
Artinya : “Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Mekah), dan kamu (Muhammad) bertempat di kota Mekah ini, dan demi bapak dan anaknya. Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.”
4.       Materi isi muqassam alaih itu bisa bermacam-macam, terdiri dari berbagai bidang pembicaraan yang baik-baik dan penting. Seperti : Keterangan bahwa Rasulullah saw adalah benar-benar utusan allah:
س. وَالْقُرْآنِ الْحَكِيمِ. إِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ
Artinya : “Yaa siin. Demi. Al-Qur’an yang penuh hikmah. Sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul.”

Dilihat dari segi fi’ilnya, qasam dalam Al-qur’an ada dua macam, yaitu;
Qasam dhahir (Nampak/jelas), yaitu qasam yang fi’il qasamnya disebutkan bersama dengan muqassam bihnya. Seperti ayat berikut :
وَأَقْسَمُواْ بِاللّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لاَ يَبْعَثُ اللّهُ مَن يَمُوتُ
Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh sungguh:Allah tidak akan akan membangkitkan orang yang mati.”
Dan diantaranya ada yang dihilangkan fi’il qasamnya, dan dicukupkan dengan huruf “ba’”, “wawu”, dan ta’”. Seperti :
وَالضُّحَى. وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى
            “Demi waktu matahari sepenggalahan naik. Dan demi malam apabila telah sunyi (gelap).”
Qasam Mudhmar (tersimpan/samar) yaitu qasam yang didalamnya tidak dijelaskan atau disebutkan fi’il qasam dan muqassam bihnya. Tetapi yang menunjukkan bahwa kalimat tersebut adalah qasam adalah kata-kata setelahnya yang diberi lam taukid yang masuk kedalam jawab qasamnya. Seperti :
لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ...
Artinya : “Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu.”
Bahasa arab mempunyai keistimewaan tersendiri berupa kelembutan  ungkapan dan beraneka ragam uslubnya sesuai dengan berbagai tujuanya. Lawan bicara ( Mukhatab) mempunyai beberapa keadaan yang dalam ilmu ma’ani disebut Adrubul Khabar As-Salasah atau tiga pola pengunaan kalimat berita: Ibtida’I, Talabi dan inkari.  Mukhatab terkadang seorang berhati kosong sama sekali tidak mempunyai persepsi akan pernyataan hukum yang diterangkan kepadanya, maka, perkataan yang disampaikan kepadanya tidak perlu memakai penguat “ ta’kid”. Pengunaan perkataan demikian dinamakan ibtida’i.
terkadang pula ia ragu-ragu terhadap kebenaran pernyataan yang disampaikan kepadanya. Maka perkataan untuk orang semacam ini sebaiknya diperkuat degan suatu penguat guna menhilangkan keraguanya. Perkataan demikian disebut Talabi.
Sumpah (qasam) dalam ucapan sehari-hari merupakan salah satu cara untuk menguatkan pembicaraan yang diselingi dengan pembuktian untuk mendorong lawan bicara agar bisa  enerima/mempercayainya. Apakah makna sumpah dari Allah SWT? Abu Al-Qasim Al-Qusyairi menjawab bahwa sesuatu dapat  dipastikan kebenarannya dengan dua cara, yaitu persaksian dan sumpah. Kedua cara itu dipergunakan Allah dalam Al-Qur’an sehingga mereka tidak memiliki hujjah lagi untuk membantahnya. Qur’an diturunkan untuk seluruh manusia, dan manusia mempunyai sikap yang berbeda-beda terhadapnya. Diantaranya ada yang meragukan, ada yang mengingkari dan ada pula yang amat memusuhi. Karena itu dipakailah qasam dalam kalamullah, guna menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalah fahaman, menguatkan berita, dan menetapkan hukum dengan cara paling sempurna.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Amsal adalah bentuk jamak dari masal. Kata masal, misl dan masil adalah sama dengan syabah, syibh dan syabih, baik lafadz maupun maknanya. Amsal dalam al-Qur’an, ada tiga macam: amsal mausarrahah, amsal kaminah dan amsal mursalah.
Tamsil (membuat permisalan, perumpamaan) merupakan kerangka yang dapat menampilkan makna-makna dalam bentuk yang hidup dan mantap di dalam pikiran, dengan cara menyerupakan sesuatu yang gaib dengan yang hadir, yang abstrak dengan yang konkrit, dan dengan menganalogikan sesuatu dengan hal yang serupa. Betapa banyak makna yang baik, di jadikan lebih indah, menarik dan mempesona oleh tamsil. Karena itulah maka tamsil lebih dapat mendorong jiwa untuk menerima makna yang dimaksudkan dan membuat akal merasa puas dengannya. Dan tamsil adalah salah satu uslub Qur’an dalam mengungkapkan berbagai penjelasan dan segi-segi kemukjizatannya.
Sedang Qasam menurut istilah adalah mengaitkan jiwa untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan, atau untuk mengerjakannya, yang diperkuat dengan sesuatu yang diagungkan bagi orang yang bersumpah, baik secara nyata atau secara keyakinan saja.
unsur yang harus dipenuhi dalam qasam yaitu Harus  ada fi’il qasam, Harus terdapat muqsam bih , Harus ada muqsam ‘ alaih. Secara garis besar, Aqsamul Qur’an terbagi menjadi dua jenis yaitu:Qasam Dzahir, yaitu qasam yang fi’il qasamnya disebutkan bersama dengan muqsam bihnya dan Qasam Mudhmar (qasam tersimpan) yaitu qasam yang fi’il qasam dan muqsam bihnya tidak disebutkan.
Berikut ini adalah Manfaat Qasam, Mempertegas dan memperkuat berita yang sampai kepada pendengar, Memberikan nilai kepuasan kepada pembawa berita yang telah menggunakan Qasam, Mengagungkan sifat dan kekuasaan Allah.

DAFTAR PUSTAKA


Ali Muhammad As-Shobuni, Pengantar Study al-Qur'an, Bandung: PT. al-Maarif, 1984
Anwar, Rosihan, Ulumul Qur'an, Bandung: Pustaka Setia, 2000
Ash Sholih. Subhi, Mabahis fi Ulumil Qur'an, Beirut: Dar al-Qolamli al-Malayiin, 1988
Montgomery Watt. W. Pengantar Study al-Qur'an, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995
Sirojuddin Mashuri Akbar, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung; Percetakan Angkasa, 1993


[1] Manna Khalil Al-Qattan, Studi ilmu-ilmu al-Quran, hal 401.
[2] Balagatul Qur’an, oleh Ustaz Muhammad al-Khidir, hal 26.
[3] Ibid,. hal 402.
[4] Al-qur’an terjemah depag RI,.
[5] Balagatul Qur’an, hal 33.
[6] Manna Khalil Al-Qattan, Studi ilmu-ilmu al-Quran, hal 411.
[7] Ibid,. hal 413.
[8] Ash Sholih. Subhi, Mabahis fi Ulumil Qur'an, 216.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar