Translate

Selasa, 09 Desember 2014

Muzara’ah, Mukhabarah dan Musaqah



BAB II

PEMBAHASAN

2.1  Muzara’ah

Muzâra’ah  secara bahasa berasal dari Bahasa Arab dari kata dasar az-zar’u. Kata az-zar’u sendiri memiliki dua makna, makna yang pertama ialah tharh az-zur’ah yang artinya melemparkan benih (dalam istilah lain dari az-zur’ah ialah al-budzr), yakni melemparkan benih ke tanah. Dan makna yang kedua dari az-zar’u ialah al-inbaat yang memiliki arti “menumbuhkan tanaman”. Makna yang pertama adalah makna yang sebenarnya (ma’na haqiqiy), dan makna yang kedua adalah makna konotasi (ma’na majaziy).Oleh karenanya Rasulullah SAW dalam sebuah hadis bersabda:
لا يقول أحدكم زرعت وليقل حرثت
Artinya: Janganlah seseorang diantara kalian mengatakan zara’tu, melainkan katakanlah harats-tu”.
Kedua kata ini memiliki arti keseharian yang mirip, namum kata haratsa lebih cenderung mendekati makna bercocok tanam. Maksud dari hadits ini adalah jangan menggunakan kata zara’a jika yang dimaksudkan adalah makna denotasi yang artinya menumbuhkan, karena hanya Allah-lah yang dapat menumbuhkan.[1] Oleh karena itu Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Waqi’ah ayat 63-64:
أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَحْرُثُونَ (٦٣) أَأَنْتُمْ تَزْرَعُونَهُ أَمْ نَحْنُ الزَّارِعُونَ )٦٤(
Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam, kamukah yang menumbuhkannya atau Kamikah yang menumbuhkannya?” (QS. Al-Waqi’ah: 63-64)
Menurut etimologi, muzara,ah adalah wazan “mufa’alatun” dari kata “az-zar’a” artinya menumbuhkan. Al-muzara’ah memiliki arti yaitu al-muzara’ah yang berarti tharhal-zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal.
Adapun secara terminologi para ulama mazhab berbeda pendapat dalam mendefinisikannya. Prof. Dr. Wahbah Zuhaily dalam kitabnya al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhu menuliskan bahwa ulama Mâlikiyyah mendefinisikannya dengan kerjasama dalam bercocok tanam. Ulama Hanâbilah mendefinisikannya dengan pemindahan pengelolaan tanah kepada orang yang akan menanaminya atau mengerjakannya, adapun hasilnya akan dibagi kedua pihak. Muzâra’ah disebut juga mukhâbarah atau muhâqalah. Orang-orang Iraq menyebutnya dengan qarâh. Ulama Syafiiyyah membedakan makna istilah muzâra’ah dan mukhâbarah. Mukhâbarah didefinisikan dengan pengerjaan lahan dari pemilik lahan kepada si penggarap dengan pembagian hasil panennya, sedangkan benih berasal dari pemilik tanah. Adapun Muzâra’ah adalah mukhâbarah itu sendiri akan tetapi benihnya berasal dari si penggarap.[2]
Sedangkan Syekh Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya Al-Fiqh ‘alal Madzahib al-Arba’ah memaparkan perbedaan pengertian muzâra’ah  di kalangan para ulama mazhab adalah sebagai berikut: “Menurut Hanafiah muzâra’ah  ialah akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi. Menurut Hanabilah muzâra’ah  adalah pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit. Menurut al-Syafi’i berpendapat bahwa muzâra’ah  adalah seorang pekerja menyewa tanah dengan apa yang dihasilkan dari tanah tersebut. Dan menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri bahwa muzâra’ah  adalah pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal dari pemilik tanah.”
Adapun menurut Sulaiman Rasyid penulis kitab Fiqih Islam, mukhabarah  ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah. Sementara muzaro’ah adalah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga, atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakanny.
Jadi, dari beberapa definisi di atas kita bisa ambil kesimpulan bahwa muzâra’ah  menurut bahasa berarti muamalah atas tanah dengan sebagian yang keluar sebagian darinya. Dan secara istilah muzâra’ah adalah  akad kerjasama dalam pengolahan tanah pertanian atau perkebunan antara pemilik tanah dan penggarap dengan pembagian hasil sesuai kesepakatan kedua pihak.
Kerjasama muzara'ah ini biasanya dilakukan dalam bidang tanaman yang benih dan biayanya relative murah dan terjangkau, seperti tanaman padi, jagung, gandum, kacang, dsb. Hokum muzara'ah pada dasarnya mubah (boleh), bahkan ada sebagian ulama yang menyebutkan sunnah. Sabda Rasulullah saw. :
عن ابن عباس ر.ع. قال : أن النبي صلعم لم يحرّم المزارعة ولكن امر ان يرفق بعضهم ببعض بقوله من كانت له ارض فليزرعها او ليمنحها اخاه فان لم فليمسك ارضه (رواه بخاري مسلم)
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata : Sesungguhnya nabi saw. Tidak mengharamkan muzara'ah, bahkan beliau menyuruh supaya yang sebagian menyayangi yang sebagian dengan katanya : Barang siapa yang punya tanah hendaklah ditanaminya, atau diberikan faedahnya kepada saudaranya dan jika ia tidak mau, maka biarkan saja tanah itu”. (H.R. Bukhari Muslim).

2.1.1  Dasar Hukum dan Pendapat Ulama

Muzâra’ah  atau yang dikenal di masyarakat sebagai bagi hasil dalam pengolahan pertanian, adalah perbuatan yang dilakukan Rasulullah SAW dan dilakukan para sahabat beliau sesudah itu.
Dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan melalui Imam Bukhari, Muhammad al Baqir bin Ali bin Al-Husain ra. Berkata: “Tidak ada seorang muhajirin pun yang ada di Madinah kecuali mereka menjadi petani dengan mendapatkan sepertiga atau seperempat. Dan Ali, Said bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul ‘Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali, dan Ibnu Sirrin, semua terjun ke dunia pertanian.”.  Di dalam kitab Al-Mughni  dikatakan : “Hal ini masyhur, Rasulullah SAW mengerjakan sampai beliau kembali kerahmatullah, kemudian dilakukan pula oleh para khalifahnya sampai mereka meninggal dunia, kemudian keluarga mereka sesudah mereka.”
Sampai-sampai ketika itu di Madinah tak ada seorang pun penghuni rumah yang tidak melakukan ini, termasuk istri-istri Nabi SAW yang terjun setelah beliau melakukan muzâra’ah  ini.[3]
Pendapat Yang Memperbolehkan Muzâra’ah
Pendapat Jumhur ulama diantaranya Imam Malik, para ulama Syafiiyyah, Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan (dua murid Imam Abu Hanifah), Imam Hanbali dan Dawud Ad-Dzâhiry. Mereka menyatakan bahwa akad muzâra’ah diperbolehkan dalam Islam.[4] Pendapat mereka didasarkan pada al-Quran, sunnah, Ijma’ dan dalil ‘aqli.
·         Dalil al-Quran
Surah al-Muzammil: 20
وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ ۙ
Artinya : “…dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah…”
Surat al-Zukhruf : 32
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Artinya : “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
Kedua ayat diatas menerangkan kepada kita bahwa Allah memberikan keluasan dan kebebasan kepada umat-Nya untuk bisa mencari rahmat-Nya dan karunia-Nya untuk bisa tetap bertahan hidup di muka bumi.
·         Hadits
Rasulullah SAW bersabda:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم (من كانت له أرض فليزرعها أو ليمنحها أخاه فإن أبى فليمسك أرضه
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. Berkata: Bersabda Rasulullah Saw (barangsiapa yang memiliki tanah maka hendaklah ditanami atau diberikan faedahnya kepada saudaranya jika ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu.” (Hadits Riwayat Muslim)
مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعُهَا فَإِنْ لَمْ يَزْرَعْهَا فَلْيَزْرَعْهَا أَخَاهُ
Artinya:“Barang siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah ia menyuruh saudaranya untuk menanaminya.” (Hadits Riwayat Bukhari)
عَنِ ابِن عُمَرُرَضِىَ اللهُ عَنهُ (أَنَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللُه عَلَيهِ وَ سَلَّمَ عَامَلَ أَهلَ خَيبَرَ بشَطرٍ ماَيَخرُجُ مِنهَا مِن ثَمَرٍ أَو زَرعٍ)  أَخرَجَهُ البُخَارِي
Artinya :” Diriwayatkan oleh Ibnu Umar R.A. sesungguhnya Rasulullah Saw. Melakukan bisnis atau perdagangan dengan penduduk Khaibar untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil berupa buah-buahan atau tanaman” (HR. Bukhari).

·         Ijma’
Banyak sekali riwayat yang menerangkan bahwa para sahabat telah melakukan praktek muzâra’ah dan tidak ada dari mereka yang mengingkari kebolehannya. Tidak adanya pengingkaran terhadap diperbolehkannya muzâra’ah dan praktek yang mereka lakukan dianggap sebagai ijma’.[5]
·         Dalil ‘Aqli
Muzâra’ah merupakan suatu bentuk akad kerjasama yang mensinergikan antara harta dan pekerjaan, maka hal ini diperbolehkan sebagaimana diperbolehkannya mudarabah untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sering kali kita temukan seseorang memiliki harta (lahan) tapi tidak memiliki keterampilan khusus dalam bercocok tanam ataupun sebaliknya. Di sini Islam memberikan solusi terbaik untuk kedua pihak agar bisa bersinergi dan bekerjasama sehingga keuntungannya pun bisa dirasakan oleh kedua pihak. Simbiosis mutualisme antara pemilik tanah dan penggarap ini akan menjadikan produktivitas di bidang pertanian dan perkebunan semakin meningkat.[6]
Pendapat Yang Melarang Muzâra’ah
Abu Hanifah, Zafar dan Imam Syafii berpendapat bahwa muzâra’ah tidak diperbolehkan. Abu Hanifah dan Zafar mengatakan bahwa muzâra’ah itu fâsidah (rusak) atau dengan kata lain muzâra’ah dengan pembagian 1/3, 1/4 atau semisalnya tidaklah dibenarkan.
Imam Syafi’i sendiri juga melarang prakterk muzâra’ah, tetapi ia diperbolehkan ketika didahului oleh musâqâh apabila memang dibutuhkan dengan syarat penggarap adalah orang yang sama. Pendapat yang Ashah menurut ulama Syafiiyyah juga mensyaratkan adanya kesinambungan kedua pihak dalam kedua akad (musâqâh dan Muzâra’ah) yang mereka langsungkan tanpa adanya jeda waktu. Akad muzâra’ah sendiri tidak diperbolehkan mendahului akad musâqâh karena akad muzâra’ah adalah tabi’, sebagaimana kaidah mengatakan bahwa tabi’ tidak boleh mandahului mathbu’nya. Adapun melangsungkan akad mukhâbarah setelah musâqâh tidak diperbolehkan menurut ulama Syafiiyyah karena tidak adanya dalil yang memperbolehkannya.
Para ulama yang melarang akad muzâra’ah menggunakan dalil dari hadis dan dalil aqli.

·         Hadist
 عَنْ ثَابِت ابْنَ ضَحَّاكَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ المُزَاَرعَةِ
( أخرجه مسلم)
“Dari Tsabit ibnu Dhahhak bahwasanya Rasulullah Saw. melarang muza’rah “ (H.R. Muslim)
 أَنَّ رَافِع ابنُ خَدِيج قَالَ: كُنّاَ نُخَابِرُ عَلَى عَهدِ رَسُولُ اللهِ, فَذَكَرَ أَنَّبَعضَ عُمُومَتُهُ أَتاَهُ وَ قاَلَ: نَهَى رَسُولُ الله عَن أَمرٍ كاَنَ لَناَ ناَفِعاً, وَ طَوَاعِيَةُ اللهِ وَ رَسُولِهِ أَنفَعُ لَناَ وَ أَنفَع قاَلَ: قُلناَ: وَ ماَ ذَالِكَ؟ قاَلَ: قاَلَ رَسُولُ لُلهِ ” مَن كاَنَت لَه أَرضٌ فَليَزرَعهاَ أَو فَليُزرِعهاَ أَخاَهُ, وَلاَ يُكاَرِيهاَ بِثُلُثٍ وَلَا بِرُبُعٍ وَلَا بِطَعاَمٍ مُسَمَّى” أَخرَجَهُ مُسلِم وَ أَبُو دَاوُد
 “Diriwayatkan oleh Râfi’ bin Khudaij R.A., ia berkata : Suatu ketika ketika kami sedang mengadakan pengolahan lahan dengan bagi hasil tertentu (mukhâbarah), kemudian datanglah kepadanya sebagian dari keluarga pamannya dan mengatakan : Sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang akan sesuatu perkara yang sebenarnya bermanfaat bagi kami, dan sungguh ketaatan atas Allah Swt. Dan Rasul-Nya adalah lebih bermanfaat bagi kami. Lalu kami mengatakan: dan apakah perkara itu? Ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda : Barang siapa yang memiliki lahan hendaklah ia menanaminya atau memberikannya kepada saudaranya untuk ditanami. Dan janganlah ia menyewakan sepertiganya, atau seperempatnya, dan tidak juga dengan makanan.” (H.R. Muslim dan Abu Dawud)
·         Dalil Aqli
Muzâra’ah dilarang karena upah penggarapan lahannya ma’dum (tidak ada wujudnya ketika proses akad berlangsung) dan majhul karena tidak adanya kepastian hasil yang akan dituai nanti, boleh jadi lahan yang digarap tidak menghasilkan sama sekali pada akhirnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa jahâlah dan ketiadaan mahallul ‘aqdi akan merusak akad ijarah.[7]
Adapun muamalah Nabi Saw. terhadap penduduk Khaibar bukan termasuk akad Muzâra’ah akan tetapi termasuk Kharaj Muqâsamah.[8]
Sanggahan Terhadap Pelarangan Muzâra’ah
Pendapat yang melarang muzâra’ah  ini  dibantah oleh para ulama sebagai berikut:
  1. Hadis yang dijadikan dalil untuk melarang akad muzâra’ah tidak bisa digunakan untuk menjeneralisir pelarangan akad muzâra’ah. Hadis tersebut menkhususkan pada suatu kondisi ketika pemilik tanah mengapling bagian lahan tertentu untuk ditanami sendiri sehingga bisa jadi akan menimbulkan kerugian di pihak penggarap pada saat panen nanti. Ada kemungkinan tanah bagian sang penggarap tidak menghasilkan sama sekali. Kalau demikian, dari mana si penggarap akan mendapatkan bagian dari hasil garapannya.
  2. Akad muzâra’ah bukanlah bagian dari akad Ijarah, akan tetapi bagian dari mudarabah. Dalam akad mudarabah, kesepakatan persentase pembagian hasil boleh ditentukan diawal dan hal ini tidaklah merusak akad tersebut. Hal yang sama bisa kita lihat juga dalam muzâra’ah. Ada karakteristik khusus yang dimiliki oleh muzâra’ah dibandingkan penyewaan tanah biasa. Dalam muzâra’ah ‘upah’ yang didapat adalah persentase sebenarnya dari hasil panen yang didapat dari tanah garapan baik itu seperempat, setengah atau sepertiganya. Sedangkan dalam penyewaan tanah biasa, upah yang didapat oleh pemilik tanah adalah jumlah tertentu  baik berupa uang atau barang (hasil bumi) yang bukan merupakan hasil dari tanah garapan, ataupun mungkin hasil dari tanah garapan akan tetapi jumlahnya sudah ditentukan terlebih dahulu tanpa dasar presentase dari awal, satu ton gandum misalnya atau 100 kg beras dan sebagainya.
  3. Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah juga menyebutkan sanggahan terhadap pelarangan muzâra’ah  yang dilandaskan pada hadist Rafi’ bin Khudaij. Hadits tersebut telah disanggah keumuman penerapan larangannya oleh Zaid bin Tsabit ra bahwa pelarangan itu untuk menyelesaikan/melerai perselisihan, ia berkata: “Semoga Allah mengampuni Rafi’ bin Khudaij. Demi Allah, aku ini lebih tahu tentang hadits daripadanya.” Pelarangan itu sebenarnya turun karena dua orang mendatangi Nabi SAW, mereka dari golongan Anshar yang nyaris saling membunuh karena perselisihan bagi hasil tanam, Rasulullah SAW mengatakan kepada mereka:
ان كــــــان هذا شأنكم فلا تكروا المزارع
   “Jika ini keadaan kalian, maka janganlah kalian ulangi lagi (bekerja sama) dalam bertani.”
Rafi’ hanya mendengar:
فلا تكروا المزارع
             “Maka janganlah kalian ulangi lagi bertani bagi hasil.”
(Riwayat Abu Daud dan An-Nasa’i)
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Urwah ibnu Zubair sebagai berikut:
عن عروة بن الزبير قال قال زيد بن ثابت : يغفر الله لرافع بن خديج أنا والله أعلم بالحديث منه إنما كانا رجلين اقتتلا فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم إن كان هذا شأنكم فلا تكروا المزارع فسمع قوله لا تكروا المزارع
Dari Urwah ibnu Zubair berkata, berkata Zaid bin Tsabit: “Semoga Allah mengampuni Rafi’ ibnu Khadij. Demi Allah, Aku lebih mengetahui hadits daripada ia. Rasulullah saw melarang menyewakan tanah, dikarenakan pada suatu hari ada dua orang yang bunuh membunuh sebab masalah penyewaan tanah, maka dari itu beliau bersabda: “Jika kamu bertengkar seperti ini, janganlah kamu menyewakan tanah” Rupanya ia hanya mendengar sabda beliau: “Janganlah kamu menyewakan tanah”.” (H.R. An Nasa’i)
Jadi munculnya hadis tentang muzâra’ah  dari Rafi’ bin Khudaij yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah melarang dilakukannya muzâra’ah  setelah sebelumnya ia memperbolehkannya, itu memang benar. Namun hal itu tidak bisa dijadikan hujah larangan menyewakan tanah (muzâra’ah ) karena hadits tersebut yang diriwayatkan Rafi’ ibnu Khadij tidak semata-mata dilihat dari apa yang disampaikan rasulullah saw saja, namun kita lihat dari latar belakng sehingga dikeluarkan hadits tersebut, dengan kata lain harus dilihat secara kontektual atau dilihat dari asbabul wurudnya dulu.
Dengan adanya bantahan dari Zaid ibnu Tsabit ini, maka telah jelas bahwa tidak terjadi nasakh dalam hukum diperbolehkannya muzâra’ah .
  1. Ibnu Abbas pun menyanggah Rafi’ bin Khudaij, beliau menjelaskan: “Sesunggunhnya pelarangan adalah dalam rangka membawa mereka kea rah yang lebih baik untuk mereka, beliau berkata:
“Sesunggunnya Rasulullah SAW bukan mengharamkan bertani bagi hasil, tetapi beliau memerintahkan agar sesame manusia saling tolong-menolong” dengan sabda beliau SAW : “Siapa yang memiliki tanah hendaknya ia menanaminya atau ia berikan (penggarapannya) kepada saudaranya. Jika ia enggan, maka ia sendiri harus menggarap tanahnya.”

2.1.2  Rukun dan Syarat-syatar Muzara’ah

a.    Rukun Muzara’ah
Menurut Hanafiah rukun muzara’ah  ialah “akad, yaitu ijab dan kabul antara pemilik dan pekerja, secara rinci rukun-rukunya yaitu tanah, perbuatan pekerja, modal dan alat-alat untuk menanam”.[9]
        Menurut jamhur ulama ada empat rukun dalam muzara’ah:[10]
  1. Pemilik tanah
  2. Petani penggarap
  3. Objek al-muzaraah
  4. Ijab dan qabul secara lisan maupun tulisan
Menurut Hanabilah, dalam akad muzara’ah tidak diperlukan qabul dengan perkataan, melainkan cukup dengan penggarapan tanah secara langsung. Dengan demikian, qabulnya dengan perbuatan (bil fi’li).

b. Syarat-syarat Muzara’ah
1.      Menurut Abu Yusuf dan Muhammad
Syarat-syarat muzara’ah ini meliputi syarat-syarat yang berkaitan dengan pelaku (‘Aqid), tanaman, hasil tanaman, tanah yang akan ditanami, objek akad, alat yang digunakan, serta masa muzara’ah.
2.      Menurut Malikiyah
Syarat muzara’ah ada 3, yaitu:
·         Akad tidak boleh mencakup penyewaan tanah dengan imbalan sesuatu yang dilarang, yaitu dengan menjadikan tanah sebagai imbalan bibit (benih).
·         Kedua belah pihak yang berserikat.
·         Bibit yang dikeluarkan kedua belah pihak harus sama jenisnya.
3.      Menurut Syafi’iyah
Ulama’ Syafi’iyah tidak mensyaratkan dalam muzara’ah persamaan hasil yang diperoleh antara pemilik tanah dengan pengelola (penggarap). Menurut mereka muzara’ah adalah penggarapan tanah dengan imbalan hasil yang keluar dari padanya, sedangkan bibit dari pemilik tanah.
4.      Menurut Hanabilah
Mereka mensyaratkan seperti halnya Syafi’iyah, yaitu sebagai berikut:
·         Benih harus dikeluarkan oleh pemilik tanah.
·         Bagian masing-masing pihak harus jelas.
·         Jenis benih yang akan ditanamkan harus diketahui.

Berakhirnya Akad Muzara’ah
Muzara’ah terkadang berakhir karena terwujudnya maksus dan tujuan akad, misalnya tanaman telah selesai dipanen. Akan tetapi, terkadang akad muzara’ah berakhir sebelum terwujudnya tujuan muzara’ah, karena sebab-sebab berikut:
a.       Masa perjanjian muzara’ah telah berakhir.
b.      Meninggalnya salah satu pihak, baik meninggalnya itu sebelum dimulainya penggarapan maupun sesudahnya, baik buahnya sudah bisa dipanen atau belum.
c.       Adanya uzdur atau alasan, baik dari pihak pemilik tanah maupun dari pihak penggarap.



Hikmah Muzara’ah
Bumi diciptakan untuk kepentingan manusia, maka manusialah yang harus mengolahnya, menanaminya dengan berbagai jenis tanaman untuk kepentingannya juga sebagai bentuk syukur kepada Allah swt. atas segala karunianya. Maka sangat penring bagi manusia umtuk menuntut ilmu tentang pertanian agar lebih maksimal mandapatkan manfaat dari bumi yang diolahnya dengan cara bertani.
Muzara’ah menjadikan pemilik tanah dan penggarap tanah bersinegi untuk bersama-sama mendapatkan bagian atas apa yang sudah disumbangkan kedua belah pihak dengan penuh keikhlasan dan rida atas dasar saling tolong-menolong dan percaya sehingga saling menguntungkan tidak saling merugikan.

2.2  Mukhabarah

Mukhabarah adalah akad yang sama dengan muzara’ah baik dalam dasar hukum, sarat, dan rukunnya. Keduanya masih sama-sama dalam perdebatan para ulama. Ada sebagian yang membolehkan dan ada sebagian yang tidak membolehkan. Namun, dilihat dari manfaat yang diambil dari kedua akad tersebut maka secara syarak boleh dilakukan sepanjang tidak ada maksud mencari keuntungan untuk diri sendiri dan mempekerjakan orang lain tanpa diberi upah sedikitpun dari hasil kerjanya.
Perbedaan antara mukhabarah dan muzara’ah terletak dalam hal benih yang akan ditanam apakah benih menjadi tanggungan pemilik tanah atau menjadi tanggungan penggarap. Dan akad muzara’ah, pihak penggarap adalah yang menyediakan benih, sedangkan pada akad mukhabarah, pemilik tanah adalah pihak yang menyediakan benih.
Dalam bahasa Indonesia arti dari muzara’ah dan mukhabarah adalah pertanian. Menurut Taqiyyudin yang mengungkap pendapat Al-Qadhi Abu Thayib, muzara’ah dan mukhabarah mempunyai satu pengertian. Walaupun mempunyai satu pengertian tetapi kedua istilah tersebut mempunyai dua arti yang pertama tharh al-zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal (al-hadzar ).
Muzara’ah dan mukhabarah memiliki makna yang berbeda, pendapat tersebut dikemukakan oleh al-Rafi dan al-Nawawi. Sedangkan menurut istilah definisi para ulama yang dikemukakan oleh Abd al-Rahman al-Zaziri pun berbeda Secara terminologi, terdapat beberapa definisi para ulama, menurut ulama Malikiyah berarti perserikatan dalam pertanian, ulama Hanabilah mengartikannya sebagai penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua (paroan).
Sedangkan Imam Syafi’I mendifinisikannya sebagai pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan pemilik tanah atau lebih dikenal dengan istilah al-Mukhabarah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa arti dari Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan. Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah .
Menurut  Syaikh Ibrahim al-Bajuri berpendapat bahwa mukhabarah ialah pemilik hanya menyerahkan tanah kepada pekerja dan modal dari pengelola. Seperti yang telah disebutkan bahwa munculnya pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda tersebut karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah, yaitu Imam Rafi’i berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi ketentuan: usaha mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi.
Mukhabarah ialah kerjasama antara pemilik sawah/ladang dengan penggarap (petani), dan benih tanamannya dari pihak penggarap. Pembagian hasilnya menurut kesepakatan kedua belah pihak secara adil. Perbedaan antara muzara’ah dengan mukhabarah hanya terletak pada benih tanaman. Jika mukhabarah benih tanaman berasal dari pemilik tanah, maka dalam muzara’ah  benih tanaman berasal dari penggarap (petani). Pada umumnya kerja sama mukhabarah ini dilakukan pada perkebunan yang benihnya relatif murah, separti padi, gandum, kacang, dll.
Namun tidak tertutup kemungkinan pada tanaman yang benihnya relatif murah pun dilakukan kerjasama muzara’ah. Setelah di ketahui definisi-definisi di atas, dapat  dipahami bahwa mukhabarah dan muzara’ah ada kesamaan dan ada pula perbedaan. Persamaannya ialah antara mukhabarah dan muzara’ah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk di kelola. Perbedaannya ialah pada modal, bila modal berasal dari pengelola, disebut muzara’ah , dan bila modal dikeluarkan dari pemilik  tanah, disebut mukhabarah.

2.2.1  Rukun dan Syarat Mukhabarah

Adapun Rukun Mukhabarah Menurut jumhur ulama ada empat, diantaranya adalah:
1.      Pemilik tanah
2.      Petani/Penggarap
3.      Obyek mukhabarah
4.      Ijab dan qabul, keduanya secara lisan.
Ada beberapa syarat dalam mukhabarah, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Pemilik kebun dan penggarap harus orang yang baligh dan berakal.
2.      Benih yang akan ditanam harus jelas dan menghasilkan.
3.      Lahan merupakan lahan yang menghasilkan, jelas batas batasnya,dan diserahkan sepenuhnya kepada penggarap.
4.      Pembagian untuk masing-masing harus jelas penentuannya.
5.      Jangka waktu harus jelas menurut kebiasaan.

2.2.2  Dasar Hukum Mukhabarah

Adapun dasar hukum dari Mukhabaroh adalah sebagai berikut:
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجِ قَالَ كُنَّااَكْثَرَاْلاَنْصَارِ حَقْلاً فَكُنَّا نُكْرِىاْلاَرْضَ عَلَى اَنَّ لَنَا هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَانَاعَنْ ذَلِكَ

Artinya: “Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian” (H.R. Bukhari).

عَنْ اِبْنِ عُمَرَاَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَرْطِ مَايَخْرُجُ مِنْهَا
(رواه مسلم) مِنْ ثَمَرٍ اَوْزَرْعٍ

Artinya: “Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim).

Pandangan Ulama terhadap Mukhabarah
Hadits di atas yang dijadikan pijakan ulama untuk menuaikan kebolehan dan katidakbolehan melakukan muzara’ah dan mukhabarah. Setengah ulama melarang paroan tanah ataupun ladang beralasan pada Hadits yang diriwayatkan oleh bukhari tersebut di atas Ulama yang lain berpendapat tidak ada larangan untuk melakukan muzara’ah ataupun mukhabarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Mundzir, dan Khatabbi, mereka mengambil alsan Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas
Adapun Hadits yang melarang tadi maksudnya hanya apabila ditentukan penghasilan dari sebagian tanah, mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka.
Karena memang kejadian di masa dahulu, mereka memarohkan tanah dengan syarat dia akan mengambil penghasilan dari sebagian tanah yang lebih subur keadaan inilah yang dilarang oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam Hadits yang melarang itu, karena pekerjaan demikian bukanlah dengan cara adil dan insaf. Juga pendapat ini dikuatkan orang banyak.

Hikmah Mukhabarah
Seseorang dengan orang lain dapat saling membantu dengan bekerja sama yang saling meringankan dan menguntungkan, contohnya; seseorang memiliki binatang ternak (sapi, kerbau dll) dia sanggup untuk berladang dan bertani akan tetapi dia tidak memiliki sawah. Sebaliknya ada seseorang yang memiliki tanah yang dapat digunakan sebagai sawah, ladang akan tetapi tidak memiliki hewan yang dapat digunakan untuk mengelola sawah dan ladangnya tersebut. Disini manfaat dari muzara’ah dan mukhabarah adalah dapat memanfaatkan sesuatu yang tidak dimiliki orang lain sehingga tanah dan binatang dapat digunakan dan dapat menghasilkan pemasukan yang dapat membiayai kebutuhan sehari-hari. Yang mana pembagian hasilnya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.[11]

2.3 Musaqoh

Secara etimologi, Musaqah berasal dari kata Saqa – Saqy yang berarti As-Saqy yang artinya penyiraman atau pengairan.[12] Diberi nama ini karena pepohonan penduduk Hijaz amat membutuhkan saqi (penyiraman) ini dari sumur-sumur. Karena itu diberi nama Musaqah (penyiraman = pengairan).
Musaqah menurut syara’ adalah penyerahan pohon kepada orang yang menyiramnya dan menjanjikannya, bila sampai buah pohon masak dia akan diberi imbalan buah dalam jumlah tertentu. la merupakan persekutuan perkebunan untuk mengembangkan pohon. Di mana pohon berada pada satu pihak dan penggarapan pohon pada pihak lain. Dengan perjanjian bahwa buah yang dihasilkan untuk kedua belah pihak, dengan persentase yang mereka sepakati. Misalnya: setengah, sepertiga atau lainnya.[13] Musaqah adalah salah satu bentuk penyiraman atau pengairan.

Secara terminologi Musaqah didefinisikan oleh para ulama fikih :[14]
Suatu akad dengan memberikan pohon kepada penggarap agar dikelola dan hasilnya dibagi antar keduanya”.
Menurut ulama Syafi’iyah :
Mempekerjakan orang lain untuk menggarap kurma atau pohon anggur, dengan perjanjian dia akan menyiram dan mengurusnya, kemudian buahnya untuk mereka berdua.”

Secara terminologi, Musaqah didefinisikan oleh para ulama:
1.      Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, Musaqah ialah : “aqad untuk pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian ) dan yang lainya dengan syarat-syarat tertentu”.[15]
2.      Ulama Malikiyah, bahwa Musaqah ialah : “sesuatu yang tumbuh”.[16] Menurut Ulama Malikiyah, tentang sesuatu yang tumbuh di tanah di bagi menjadi lima macam :
a.       Pohon-pohon tersebut berakar kuat (tetap) dan pohon tersebut berbuah, buah itu di petik serta pohon tersebut tetap ada dengan waktu yang lama, seperti pohon anggur dan zaitun;
b.      Pohon-pohon tersebut berakar tetap tetapi tidak berubah, seperti pohon kayu keras, karet dan jati;
c.       Pohon-pohon yang tidak berakar kuat tetapi berbuah dan dapat di petik, seperti padi;
d.      Pohon yang tidak berakar kuat dan tidak ada buahnya yang dapat di petik, tetapi memiliki kembang yang bermanfaat seperti bunga mawar;
e.       Pohon-pohon yang diambil hijau dan basahnya sebagai suatu manfaat, bukan buahnya, seperti tanaman hias yang ditanam dihalaman rumah dan di tempat lainya;
3.      Menurut Ulama Syafi’iyah yang dimaksud dengan Musaqah ialah :
“Memberikan pekerjaan orang yang memiliki pohon tamar dan anggur kepada orang lain untuk kesenangan keduanya dengan menyiram, memelihara dan menjaganya dan bagi pekerja memperoleh bagian tertentu dari buah yang di hasilkan pohon-pohon tersebut”.[17]
4.      Menurut Ulama Hanabilah bahwa Musaqah itu mencakup dua masalah :[18]
a.       Pemilik menyerahkan tanah yang sudah ditanami, seperti pohon anggur,  kurma dan yang lainnya, baginya ada buahnya yang dimakan sebagian tertentu dari buah pohon tersebut, sepertiganya atau setengahnya.
b.      Seseorang menyerahkan tanah dan pohon, pohon tersebut belum ditanamkan, maksudnya supaya pohon tersebut ditanamkan pada tanahnya, yang menanam akan memperoleh bagian tertentu dari buah pohon yang ditanamnya, yang kedua ini disebut dengan munashabah mugharasah, karena pemilik menyerahkan tanah dan pohon-pohon untuk ditanamkanya.
5.      Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa Musaqah, sama dengan muzara’ah, kecuali dalam empat perkara.[19] Yaitu:
a.       Jika salah seorang yang menyepakati akad tidak memenuhi akad, dalam Musaqah, ia harus dipaksa, tetapi dalam muzara’ah, ia tidak boleh dipaksa.
b.      Jika waktu Musaqah habis, akad diteruskan sampai berbuah tanpa pemberian upah, sedangkan dalam muzara’ah, jika waktu habis, pekerjaan diteruskan dengan pemberian upah.
c.       Waktu dalam Musaqah ditetapkan berdasarkan istihsan, sebab dapat diketahui dengan tepat, sedangkan waktu dalam muzara’ah terkadang tidak tertentu.
d.      Jika Musaqah diminta oleh pemilik tanah sebelum panen maka penggarap mendapatkan upah. Sedangkan dalam muzara’ah jika diminta sebelum menghasilkan sesuatu, penggarap tidak mendapatkan apa-apa.
e.       Menurut Hasbi ash-Shiddiqi yang dimaksud dengan Musaqah adalah “syarikat pertanian untuk memperoleh hasil dari pepohonan”.[20]

Dalam pengertian menurut pendapat yang lain disebutkan Musaqah adalah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik kebun dengan pengelola atau pemelihara, yang upah dari pemeliharaan itu adalah hasil dari kebun itu sendiri.[21] Sebagaimana juga pemaknaan Musaqah menurut Kamus Hukum Online menyatakan bahwa Musaqah adalah Suatu bentuk yang lebih sederhana dari Muzara’ah di mana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan dan sebagai imbalannya si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.[22]
Sejalan dengan pemaknaan dalam konteks kebahasaan tersebut, M. Ali Hasan, dalam bukunya yang berjudul Berbagai Macam Transaksi dalam Islam menyatakan bahwa Musaqah adalah Akad (transaksi) antara pemilik kebun/tanaman dan pengelola (penggarap) untuk memelihara dan merawat kebun/tanaman pada masa tertentu sampai tanaman itu berbuah.[23]
Dari beberapa definisi yang telah disampaikan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Musaqah adalah akad (transaksi) antara pemilik kebun dan pengelola (penggarap) dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga dapat memberikan hasil yang baik dan dari hasil itu akan di bagi menjadi dua sesuai dengan akad yang telah disepakati, yang di mana si pengelola (penggarap) hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan, dan upah dari penyiraman dan pemeliharaan itu adalah hasil dari kebun itu sendiri (dalam bentuk barang/hasil panen, belum dijual/diuangkan).[24]
Penggarap disebut Musaqi dan pihak yang lain disebut pemilik pohon. Yang dimaksud kata ‘pohon’ dalam masalah ini adalah semua yang ditanam agar dapat bertahan di tanah selama satu tahun ke atas, untuk waktu yang tidak ada ketentuannya dan akhirnya dalam pemotongan/penebangan. Baik pohon itu berbuah atau tidak. Untuk pohon yang tidak berbuah imbalan untuk Musaqi adalah berbentuk pelepah dan kayu serta semacamnya.[25]

2.3.1 Dasar Hukum Musaqah

Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum musaqah adalah:
a.       Dasar hukumnya yaitu Al-hadits yang di riwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Amr ra bahwa Rasulullah saw bersabda
اعطى خيبر بشطر ما يخر ج منها من ثمر ا و ز ر ع و فى رواية دفع ا لي ا ليهود خيبر و ارضها علي
ان يعملو ها من اموالهم وان رسوالله ص م شطره
Memberikan tanah khaibar dengan bagian separoh dari penghasilan, baik buah-buahan maupun pertanian . Pada riwayat lain dinyatakan bahwaRasul menyerahkan tanah khaibar itu kepada Yahudi, untuk diolah dan modal dari hartanya, penghasilan separohnya untuk nabi.”
b.      Dari Ibnu Umar:
عن ابن عمر ان النبي صلعم عامل اهل خيبر بشرط ما يخرج منها من ثمر او زرع (رواه مسلم)
 “Sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim).
c.       Dari Ibnu Umar: ” Bahwa Rasulullah SAW telah menyerahkan pohon kurma dan tanahnya kepada orang-orang yahudi Khaibar agar mereka mengerjakannya dari harta mereka, dan Rasulullah SAW mendapatkan setengah dari buahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) [26]

·    Hukum musaqah sahih
Menurut ulama Hanafiyah hukum musaqah sahih adalah:
a.         Segala pekerjaan yang berkenaan dengan pemeliharaan pohon diserahkan kepada penggarap, sedang biaya yang diperlukan dalam pemeliharaan dibagi dua.
b.      Hasil dari musaqah dibagi berdasarkan kesepakatan.
c.       Jika pohon tidak menghasilkan sesuatu, keduanya tidak mendapatkan apa-apa.
d.      Akad adalah lazim dari kedua belah pihak.
e.       Pemilik boleh memaksa penggarap untuk bekerja kecuali ada uzur.
f.       Boleh menambah hasil dari ketetapan yang telah disepakati.
g.      Penggarap tidak memberikan musaqah kepada penggarap lain kecuali jika di izinkan oleh pemilik.

Menurut ulama Malikiyah:
a.         Sesuatu yang tidak berhubungan dengan buahtidak wajib dikerjakandan tidak boleh disyaratkan.
b.      Sesuatu yang berkaitan dengan buah yang membekas di tanah tidak wajib dibenahi oleh penggarap.
c.       Sesuatu yang berkaitan dengan buah tetapi tidak tetap adalah kewajiban penggarap, seperti menyiram atau menyediakan alat garapan, dan lain-lain.

Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah sepakat dengan ulama Malikiyah akan tetapi menambahkan bahwa segala pekerjaan yang rutin setiap tahun adalah kewajiban penggarap, sedangkan pekerjaan yang tidak rutin adalah kewajiban pemilik tanah.

·    Hukum musaqah fasid
Musaqah fasid adalah akad yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan syara’.
Menurut ulama Hanafiyah, musaqah fasid meliputi:
a.                   Mensyaratkan hasil musaqah bagi salah seorang dari yang akad.
b.                  Mensyaratkan salah satu bagian tertentu bagi yang akad.
c.                   Mensyaratkan pemilik untuk ikut dalam penggarapan.
d.                  Mensyaratkan pemetikan dan kelebihan pada penggarap.
e.                   Mensyaratkan penjagaan pada penggarap setelah pembagian.
f.                   Mensyaratkan kepada penggarap untuk terus bekerja setelah habis wakt akad.
g.                  Bersepakat sampai batas waktu menurut kebiasaan.
h.                  Musaqah digarap oleh banyak orang sehingga penggarap membagi lagi kepada penggarap lainnya.

2.3.2 Habis waktu Musaqah

Menurut Ulama Syafi’iyah[28]
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa Musaqah tidak batal dengan adanya uzur, walaupun diketahui bahwa penggarap berkhianat. Akan tetapi, pekerjaan penggarap harus diawasi oleh seorang pengawas sampai penggarap menyelesaikan pekerjaannya. Jika pengawas tidak mampu mengawasinya, tanggung jawab penggarap dicabut kemudian diberikan kepada penggarap yang upahnya diambil dari harta penggarap.
Menurut ulama Syafi’iyah, Musaqah selesai jika habis waktu. Jika buah keluar setelah habis waktu, penggarap tidak berhak atas hasilnya. Akan tetapi, jika akhir waktu Musaqah buah belum matang, penggarap berhak atas bagiannya dan meneruskan pekerjaannya.
Musaqah dipandang batal jika penggarap meninggal, tetapi tidak dianggap batal jika pemilik meninggal. Penggarap meneruskan pekerjaannya sampai mendapatkan hasilnya. Akan tetapi, jika seorang ahli waris yang mewarisinya pun meninggal, akad menjadi batal.

Menurut Ulama Hanafiyah[29]
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa Musaqah sebagaimana dalam muzara’ah dianggap selesai dengan adanya tiga perkara, yaitu:
a.       Habis waktu yang telah disepakati kedua belah pihak yang akad.
Jika waktu telah habis, tetapi belum menghasilkan apa-apa, penggarap boleh berhenti. Akan tetapi, jika penggarap meneruskan bekerjanya di luar waktu yang telah disepakati, ia tidak akan mendapatkan upah.
b.      Meninggalnya salah seorang yang akad.
Jika penggarap meninggal, ahli warisnya berkewajiban meneruskan Musaqah, walaupun pemilik tanah tidak rela. Begitu pula jika pemilik meninggal, penggarap meneruskan pemeliharaannya walaupun ahli waris pemilik tidak menghendakinya. Apabila kedua orang yang akad meninggal, yang paling berhak meneruskan adalah ahli waris penggarap. Jika ahli waris menolak, Musaqah diserahkan kepada pemilik tanah.
c.       Membatalkan, baik ucapan secara jelas atau adanya uzur.
Di antara uzur yang dapat membatalkan Musaqah :
i.        Penggarap dikenal sebagai pencuri yang dikhawatirkan akan mencuri buah-buahan yang akan digarapnya.
j.        Penggarap sakit sehingga tidak dapat bekerja.

Menurut Ulama Malikiyah[30]
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa Musaqah akad yang dapat diwariskan. Dengan demikian, ahli waris penggarap berhak untuk meneruskan garapan. Akan tetapi, jika ahli warisnya menolak, pemilik harus menggarapnya.
Musaqah dianggap tidak batal jika penggarap diketahui seorang pencuri, tukang berbuat zalim atau tidak dapat bekerja. Penggarap boleh memburuhkan orang lain untuk bekerja. Jika tidak mempunyai modal, ia boleh mengambil bagiannya dari upah yang akan diperolehnya bila tanaman telah berbuah. Ulama Malikiyah beralasan bahwa Musaqah adalah akad yang lazim yang tidak dapat dibatalkan karena adanya uzur, juga tidak dapat dibatalkan dengan pembatalan sepihak sebab harus ada kerelaan di antara keduanya.

Menurut Ulama Hanabilah[31]
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa Musaqah sama dengan muzara’ah, yakni termasuk akad yang dibolehkan, tetapi tidak lazim. Dengan demikian, setiap sisi dari Musaqah dapat membatalkannya. Jika Musaqah rusak setelah tampak buah, buah tersebut dibagikan kepada pemilik dan penggarap sesuai dengan perjanjian waktu akad.
Penggarap memiliki hak bagian dari hasilnya jika tampak. Dengan demikian, penggarap berkewajiban menyempurnakan pekerjaannya meskipun Musaqah rusak.
Jika penggarap meninggal, Musaqah dipandang tidak rusak, tetapi dapat diteruskan oleh ahli warisnya. Jika ahli waris menolak, mereka tidak boleh dipaksa, tetapi hakim dapat menyuruh orang lain untuk mengelolanya dan upahnya diambil dari tirkah (peninggalannya). Akan tetapi, jika tidak memiliki tirkah, upah tersebut diambil dari bagian penggarap sebatas yang dibutuhkan sehingga Musaqah sempurna.
Jika penggarap kabur sebelum penggarapannya selesai, ia tidak mendapatkan apa-apa sebab ia dipandang telah rela untuk tidak mendapatkan apa-apa.
Jika pemilik membatalkan Musaqah sebelum tampak buah, pekerja berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya.
Apabila ada uzur yang tidak menyebabkan batalnya akad, misalnya penggarap lemah untuk mengelola amanat tersebut, pekerjaannya diberikan orang lain, tetapi tanggung-jawabnya tetap di tangan penggarap, sebagaimana pendapat ulama Syafi’iyah. Seandainya betul-betul lemah secara menyeluruh, pemilik mengambil alih dan mengambil upah untuknya.
Ulama Hanabilah pun berpendapat bahwa Musaqah dipandang selesai dengan habisnya waktu. Akan tetapi, jika keduanya menetapkan pada suatu tahun yang menurut kebiasaan akan ada buah, tetapi ternyata tidak, penggarap tidak mendapatkan apa-apa.

2.3.3 Keabsahan Musaqah

Keabsahan musaqah tergantung pada rukun-rukunnya, waktunya, serta syarat-syarat yang disyaratkan pada rukun-rukunnya.
a.      Syarat-syarat musaqah:
1.    Ahli dalam akad
2.    Menjelaskan bagian penggarap
3.    Membebaskan pemilik dari pohon, dengan artian bagian yang akan dimiliki dari hasil panen merupakan hasil bersama.
4.    Hasil dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad
5.    Sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir.


b. Rukun
Rukun musaqah adalah:
1.      Shigat
2.      Dua orang yang akad (al-aqidain)
3.      Objek musaqah (kebun dan semua pohon yang berbuah)
4.      Masa kerja, dan
5.      Buah



Macam-macam Musaqah ada 2 macam, yaitu :
1.      Musaqah yang bertitik tolak pada manfaatnya, yaitu pada hasilnya berarti pemilik tanah (tanaman) sudah menyerahkan kepada yang mengerjakan segala upaya agar tanah (tanaman) itu membawa hasil yang baik.
2.      Musaqah yang bertitik tolak pada asalnya (Cuma mengairi), yaitu mengairi saja, tanpa ada tanggung jawab untuk mencari air. Maka pemiliknyalah yang berkewajiban mencarikan jalan air, baik dengan menggali sumur, membuat parit, bendungan, ataupun usaha-usaha yang lain.

Hikmah:
1.        Menghilangkan bahaya kefaqiran dan kemiskinan dan dengan demikian terpenuhi segala kekurangan dan kebutuhan.
2.        Terciptanya saling memberi manfaat antara sesama manusia.
Bagi pemilik kebun sudah tentu pepohonannya akan terpelihara dari kerusakan dan akan tumbuh subur karena dirawat