PEMBAHASAN
2.1 Pengertian, Landasan dan Hal-Hal Tentang Ariyah
a. Pengertian Ariyah
Menurut etimologi, ariyah adalah ‘Aara’ berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat, ariyah berasal dari kata At-Ta’aawuru yang sama artinya dengan At-Tanaawulu au At-Tanaasubu (saling menukar dan mengganti), yakni dalam tradisi pinjam – meminjam.
Menurut terminologi syara’ ulama fiqh berbeda pendapat dalam mendefenisikannya, antara lain:
Menurut Syarkhasyi dan Ulama Maalikiyah:
تملك المنفعة بغير عوض
Artinya:
“Pemilikan atas manfaat (suatu benda) tanpa pengganti”
Menurut ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah:
اباحة المنفعة بلا عوض
Artinya:
“Pembolehan (untuk mengambil)manfaat tanpa pengganti”
Akad ini berbeda dengan hibah, karena ariyah dimaksudkan untuk mengambil manfaat dari suatu benda, sedangkan hibah mengambil zat benda tersebut. Pengertian pertama memberikan makna kepemilikan sehingga peminjam dibolehkan untuk meminjamkan kepada orang lain. Adapun pengertian kedua memberikan makna kebolehan , sehingga peminjam tidak boleh meminjamkan kembali barang pinjaman kepada orang lain.
b. Landasan Syara’
Ariyah dianjurkan (mandub) dalam islam, yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunah.
Al-Qur’an
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
(Q.S Al-Maidah: 2)
Artinya:
“orang-orang yang lalai terhadap sholatnya (5), yang berbuat ria (6) dan enggan (memberikan) bantuan.(7)”
(Q.S Al-Ma’un 5-7)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa : 58)
As-Sunah
Shafwan Ibnu Umayyah meriwayatkan :
أنّ النّبيّ صلى الله عميه وسلّم استعار منه أدراعا يوم حنين فقال: أغصبًا يا محمدُ؟ قال : بل عارية مضمو نةٌ
“Bahwasanya Rasulullah SAW pada hari Khaibar pernah meminjam perisai daripada Shafwan bin Umaiyah, lalu berkata Shafwan kepada beliau: Apakah perisai ini diambil terus dari padaku, wahai Muhammad!, Beliau menjawab: Tidak, tetapi hanya pinjaman yang dijamin.” (Riwayat Abu Dawud dan Ahmad)”.
Rasullah SAW bersabda:
والله فىي عون العبد ما كا ن العبد في عون أخيه
“Dan Allah selalu menolong hamba-Nya, selama ia menolong saudaranya” (shahih: Shahibul Jami’us Shaghir no: 6577)
والعا رية مؤداة
“Ariyah (barang pinjaman) adalah barang yang wajib dikembalikan.” (Riwayat Abu Dawud dan at-Turmudzi)
من أخذ اموال النّاس يريد اداءها ادّى الله عنه ومن اخذ ير يد إتلافها اتلفه الله
(رواه البخاري)
“Siapa yang meminjam harta seseorang dengan kemauan membayarnya, maka Allah akan membayarnya, dan barang siapa yang meminjam dengan kemauan melenyapkannya maka Allah akan melenyapkan hartanya”. (Hadits riwayat Al-Bukhari).
c. Macam-macam ‘Ariyah
Ditinjau dari kewenangannya, akad pinjaman meminjam (‘ariyah) pada umumnya dapat dibedakan menjadi dua macam :
1. ‘Ariyah muqayyadah, yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang bersifat terikat dengan batasan tertentu. Misalnya peminjaman barang yang dibatasi pada tempat dan jangaka waktu tertentu. Dengan demikian, jika pemilik barang mensyaratkan pembatasan tersebut, berarti tidak ada pilihan lain bagi pihak peminjam kecuali mentaatinya. ‘Ariyah ini biasanya berlaku pada objek yang berharta, sehingga untuk mengadakan pinjam-meminjam memerlukan adanya syarat tertentu.
Pembatasan bisa tidak berlaku apabila menyebabkan musta’ir tidak dapat mengambil manfaat karena adanya syarat keterbatasan tersebut. Dengan demikian dibolehkan untuk melanggar batasan tersebut apabila terdapat kesulitan untuk memanfaatkannya. Jika ada perbedaan pendapat antara mu’ir dan musta’ir tentang lamanya waktu meminjam, berat/nilai barang, tempat dan jenis barang maka pendapat yang harus dimenangkan adalah pendapat mu’ir karena dialah pemberi izin untuk mengambil manfaat barang pinjaman tersebut sesuai dengan keinginannya.
2. ’Ariyah mutlaqah, yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang bersifat tidak dibatasi. Melalui akad ‘ariyah ini, peminjam diberi kebebasan untuk memanfaatkan barang pinjaman, meskipun tanpa ada pembatasan tertentu dari pemiliknya. Biasanya ketika ada pihak yang membutuhkan pinjaman, pemilik barang sama sekali tidak memberikan syarat tertentu terkait obyek yang akan dipinjamkan.
Contohnya seorang meminjamkan kendaraan, namun dalam akad tidak disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan kendaraan tersebut, misalnya waktu dan tempat mengendarainya.
Namun demikian harus disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Tidak boleh menggunakan kendaraan tersebut siang malam tanpa henti. Jika penggunaannya tidak sesuai dengan kebiasaan dan barang pinjaman rusak maka mu’ir harus bertanggung jawab.
d. Rukun dan Syarat Ariyah
1. Rukun Ariyah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang meminjamkan barang, sedangkan qabul bukan merupakan rukun ariyah.
Menurut ulama Syafi’iyah, dalam ariyah disyaratkan adanya lafazh shigat akad, yakni ucapan ijab dan qabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin.
Secara umum, jumhur ulama fiqh menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat, yaitu:
Mu’ir (peminjam)
Musta’ir (yang meminjamkan)
Mu’ar (barang yang dipinjam)
Shigat, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan, baik ucapan maupun perbuatan.
2. Syarat Ariyah
Ulama mensyaratkan dalam akad ariyah sebagai berikut :
1. Mu’ir berakal sehat
Orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat meminjamkan barang. Ulama Hanafiah tidak mensyaratkan sudah baligh, sedangkan ulama lainnya menambahakan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang dpat berbuat kebaikan sekehendaknya tanpa dipaksa, bukan anak kecil dan bukan orang bodoh.
2. Pemegangan barang oleh peminjam
Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap sah memegang barang adalah peminjam, seperti halnya dalam hibah
3. Barang (musta’ar) dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya, jika musta’ar tidak dapat dimanfaatkan, akad tidak sah.
Para ulama telah menetapkan bahwa ariyah dibolehkan terhadap setiap barang yang dapat diambil manfaatnya dan tanpa merusak zatnya, seperti meminjamkan tanah, pakaian,binatang dan lain-lain.
e. Hukum (Ketetapan) Akad Ariyah
1. Dasar Hukum Ariyah
Menurut kebiasaan (urf), ariyah dapat diartikan dengan dua cara, yaitu dengan dua cara yaitu secara hakikat dan secara majaz.
a) Secara Hakikat
Ariyah adalah meminjamkan barang yang dapat diambil manfaatnya tanpa merusak zatnya. Menurut Malikiyah dan Hanafiyah, hukumnya adalah manfaat bagi peminjam tanpa ada pengganti apapun.
Al-Khurki, Ulama Syafi’iyah, dan Hambaliyah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ariyah adalah kebolehan untuk mengambil manfaat dari suatu benda.
Dari perbedaan pandangan di atas, dapat ditetapkan bahwa menurut golongan pertama, barang yang dipinjam (musta’ar) boleh dipinjamkan kepada orang lain, bahkan menurut imam Malik, sekalipun tidak diizinkan oleh pemiliknya asalkan digunakan sesuai fungsinya. Akan tetapi Malikiyah melarangnya jika peminjam tidak mengizinkannya.
Alasan Ulama Hanafiah anatar lain bahwa yang memberi pinjaman (mu’ir) telah memberikan hak penguasa barang kepada peminjam untuk mengambil manfaat barang. Kekuasaan seperti itu berarti kepemilikan. Dengan demikian, peminjam berkuasa penuh untuk mengambil manfaat barang tersebut, baik dirinya maupun orang lain. Menurut golongan kedua, pinjam-meminjam hanya sebatas pengambilan manfaat maka tidak boleh meminjamkan lagi kepada orang lain.
Golongan pertama dan kedua sepakat bahwa peminjam tidak memiliki hak kepemilikan.Menurut golongan kedua, peminjam hanya berhak memanfaatkannya saja dan ia tidak memiliki bendanya. Adapun menurut golongan pertama, gadai adalah akad yang lazim (resmi), sedangkan ariyah akad tabarru’ (derma) yang dibolehkan, tetapi tidak lazim. Dengan demikian peminjam tidak memiliki hak kepemilikan.
b) Secara Majazi
Ariyah secara majazi adalah pinjam – meminjam benda-benda yang berkaitan dengan timbangan, hitungan dll, seperti telur, uang, dan segala benda yang dapat diambil manfaatnya, tanpa merusak zatnya. Ariyah pada benda-benda tersebut harus diganti dengan benda serupa atau senilai. Dengan demikian, walaupun termasuk ariyah, tetapi merupakan ariyah secara majazi, sebab tidak mungkin dapat dimanfaatkan tanpa merusaknya. Oleh karena itu, sama saja antara memilki kemanfaatan dan kebolehan untuk memanfaatkannya.
2.2 Pengertian, Landasan dan Hal-Hal tentang Qiradh
Pengertian Qiradh
Dalam pengertian asal katanya Qiradh berarti Al-Qith’u (cabang) atau potongan. Sedangkan yang dimaksud Qiradh disini adalah harta yang diberikan seseorang pemberi Qiradh kepada orang yang diqiradhkan untuk kemudian dia memberikannya setelah mampu.
Menurut pengertian syar’i, yaitu akad yang mengharuskan seseorang yang memiliki harta memberikan hartanya kepada seorang pekerja untuk dia berusaha sedangkan keuntungan dibagi di antara keduanya.
Menurut istilah, ada beberapa definisi menurut para ulama, qiradh dikemukakan oleh ulama Hanafiah sebagai berikut :
Qiradh adalah harta yang diberikan kepada orang lain dari mal mitsli untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan ungkapan yang lain, qiradh adalah suatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta (mal mitsli) kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimanya.
Seperti yang dikutip oleh Ali Fikri, ulama Hanabilah mendefinisikan qardh sebagai berikut :
القَرْضٌ دَفْعُ مَا لٍ لِمَنْ يَنْتَفِعُ بِهِ وَيَرُدُّ بَدَلَه
Qirad adalah memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya dan kemudian mengembalikan penggantinya.
Qirad ialah memberikan modal dari seseorang kepada orang lain untuk modal usaha, sedangkan keuntungan untuk keduanya menurut perdamaian (perjanjian) antara keduanya sewaktu akad, dibagi dua atau dibagi tiga umpamanya.
Rasulullah SAW telah melakukannya, beliau mengambil modal dari Siti Khadijah sewaktu beliau berniaga ke Syam. Begitu pula Ijma’ sahabat. Qirad memang ada sejak zaman jahiliyyah kemudian ditetapkan oleh agama islam. Peraturan qirad ini diadakan karena benar-benar dibutuhkan oleh sebagian umat manusia. Betapa tidak, ada orang yang mempunyai modal tetapi tidak pandai berdagang atau tidak berkesempatan, sedangkan yang lain pandai dan cakap lagi mempunyai waktu yang cukup., tetapi tidak mempunyai modal. Qirad berarti juga untuk kemajuan bersama: perdagangan juga mengandung arti tolong-menolong.
Dasar Hukum Qiradh
Dasar hukum dibolehkannya Qiradh adalah ijma’ dan qiyas terhadap musaqah (bagi hasil ladang) dengan kesamaan bahwa setiap pekerjaan yang menghasilkan sesuatu ada bayarannya walaupun tidak diketahui berapa besarnya. Musaqah dan qiradh, keduanya diperbolehkan karena keperluan dimana orang yang mempunayi pohon kurma terkadang tidak bisa mengurus tanaman dan tidak ada waktu, dan orang yang bisa bekerja denga baik terkadang tidak mempunyai modal.
Landasan Syara’
Qiradh dibolehkan dalam Islam yang didasarkan pada As-Sunah dan Ijma’.
As-Sunnah
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص,م.قَالَ : مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ اِلاَّ كَا نَ كَصَدَقضةٍ مَرَّةً. (رواه ابن ماجه وابن حبا ن)
Artinya:
“dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah SAW. bersabda, tidak ada seorang muslim yang menukarkan kepada seorang muslim qaradh dua kali, maka seperti sedekah sekali.
Ijma’
Kaum muslimin sepakat bahwa qaradh dibolehkan dalam Islam. Hukum qaradh adalah dianjurkan (mandhub) bagi muqrid dan mubah bagi muqtaridh, berdasarkan hadis diatas, ada juga hadis lainnya:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةض ر.ع . قَالَ :قَالَ رَسُلُ الله ص .م : مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍيَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالْاَخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِى الدُّنْيَا وَالْاَخِرَةِ وَ اللهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فَى عَوْنِ اَخِيْهِ. (اخرجه مسلم)
Artinya:
“Abu Hurairah berkata, :Rasulullah SAW. telah bersabd, barang siapa melepaskan dari seorang muslim satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia, niscaya Allah melepaskan dia dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Barang siapa membari kelonggaran kepada seseorang yang kesusahan, niscaya Allah akan member kelonggaran baginya didunia dan akhirat, dan barang siapa menutupi (aib) seorang muslim, niscaya Allah menutupi (aib)nya di dunia dan akhirat. Dan Allah selamanya menolong hamba-Nya, selama hamba-Nya mau menolong saudaranya.
Seperti yang dijelaskan dalam firman Allah (Q.S. An-Nisa : 101), yang artinya sebagai berikut :
“dan apabila kamu berpergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang. (QS. An-Nisa: 101)
Serta dijelaskan juga dalam sabda Nabi Muhammad sebagai berikut:
ومن نفس عن اخيه كربة من كرب الدنيانفس الله عنه كربة من كرب يوم القيمة
Barang siapa yang memudahkan kesulitan dunia saudaranya, maka Allah akan memudahkan kesulitan yang dihadapinya pada hari kiamat. (HR. Muslim).
Dari Ibnu Mas'ud, bahwa nabi saw bersabda:
مامن مسلم يقرض مسلما قرضامرتين الا كا ن كصدقة مرة
Tidak seorang muslim yang mengQiradhkan hartanya kepada orang muslim sebanyak dua kali, kecuali perbuatannya seperti sedekah satu kali. (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
Dari Anas, bahwa nabi saw bersabda:
رايت ليلة اسري بي عل باب الخنة مكتوبا:الصدقة بعشرامثا لهاوالقؤض بثمانية عشر.فقلت:ياخبريل,ما بال القؤض افضل من الصدقة؟قال:لأ ن السائل يسأل وعنده., والمستقرض لايستقرض إلامن حخة
"Pada malam diisra'kan aku melihat tulisan di pintu surga, tertulis: 'sedekah mendapat balasan sepuluh kali lipat dan Qiradh mendapat balasan delapan balasan kali lipat'. Aku katakan: ' mengapa Qiradh itu dapat lebih afdhal daripada sedekah'? Jibril menjawab: 'karena (biasanya) orang yang meminta waktu ia (sedekah) ia sendiri punya, sedangkan orang yang minta diQiradhkan ia tidak akan minta diQiradhkan kecuali ia butuh.
Hukum Qiradh dibolehkan (Mubah) dalam Islam, tidak hanya itu Allah juga menawarkan bahwa barangsiapa yang berkehendak membantu meringankan beban orang lain dengan memberi pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat gandakan pengembaliannya. Jadi, pihak yang meminjami memiliki pahala sunnah sedangkan dilihat dari pihak yang peminjam maka hukumnya boleh (mubah).
Artinya: “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Allah akan melipat gandakan (balasan) pinjaman untuknya dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadiid: 11)
Hukum Ketetapan Qiradh
Hukum Qardh (hutang piutang) mengikuti hukum taklifi : terkadang boleh, terkadang makruh, terkadang wajib, dan terkadang haram. Semua itu tergantung dengan cara mempraktekannya karena hukum wasilah itu mengikuti hukum tujuan.
Wajib : Jika orang yang berhutang adaalah orang yang mempunyai kebutuhan sangat mendesak, sedangkan orang yang di hutangi orang yang kaya, maka orang yang kaya itu wajib memberinya hutang.
Haram / Makruh : Jika pemberi hutang mengetahui bahwa penghutang akan menggunakan uangnya untuk berbuat maksiat atau perbuatan yang makruh, maka hukum memberi hutang juga haram atau makruh sesuai dengan kondisinya.
Mubah : Jika seorang berhutang bukan karena adanya kebutuhan yang mendesak, tetapi untuk menambah modal perdangannya karena berambisi mendapat keuntungan yang besar, maka hukum memberi hutang kepadanya adalah mubah.
Seseorang boleh berhutang jika dirinya yakin dapat membayar, seperti jika ia mempunyai harta yang dapat di harapkan dan mempunyai niat menggunakannya untuk membayar hutangnya. Jika hal ini tidak ada pada diri penghutang, maka ia tidak boleh berhutang.
Seorang wajib berhutang jika dalam kondisi terpaksa dalam rangka mnghindarkan diri dari bahaya, seperti untuk membeli makanan agar dirinya tertolong dari kelaparan.
Rukun dan Syarat Qiradh
Rukun qiradh ialah shighat (ucapan) dua belah pihak yang berakad, pekerjaan, dan keuntungan.
1. Rukun pertama: shighat
Yaitu ijab dan qabul dengan ucapan apa saja yang membawa makna qiradh atau bagi hasil karena yang menjadi maksud adalah makna sehingga boleh dengan ucapan yang menunjukan akad seperti saya memberikan qiradh kepadamu atau saya angkat kamu menjadi pekerja saya atau dengan ucapan kata lampau, maka qabul (penerimaan) harus dengan ucapan, dengan mengatakan saya terima dan tidak cukup qabul hanya dengan perbuatan seperti mengambil uang setelah si pemilik modal mengatakan saya member kamu qiradh dengan pembagian keuntungan begini di antara kita, namun harus didahului oleh ucapan.
2. Rukun kedua: dua pihak yang berakad
Yaitu pemilik modal dan pekerja. Keduanya harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
Syarat pertama, bagi si pemodal sama dengan syarat yang memberi hak wakil dan si pekerja sama dengan syarat yang menjadi wakil sebab akad qiradh merupakan wakil dan perwakilan.
Syarat kedua, ada izin secara mutlak, tidak boleh bagi si pemodal mempersempit ruang gerak si pekerja.
Syarat ketiga, si pekerja bebas bekerja.
3. Rukun ketiga: Harta
Harta dalam akad qiradh meniscayakan syarat-syarat sebagai berikut .
Syarat pertama, berupa uang, yaitu yang sudah di cetak atau belum yang terbuat dari emas dan perak berupa uang dirham atau dinar yang murni.
Syarat kedua, hendaknya modal di ketahui jumlah, jenis, dan sifatnya untuk menghindari jahalah (ketidaktahuan) terhadap keuntungan.
Syarat ketiga, harta yang di qiradhkan diketahui oleh pemilik.
Syarat keempat, hendaknya harta diserahkan kepada pekerja, dan dia bebas berbuat dan bertindak.
4. Rukun keempat: pekerjaan
Pekerjaan ini disyaratkan harus pekerjaan dalam perdagangan dan bukan semua pekerjaan bisa untuk qiradh, yang boleh hanya pekerjaan yang bisa mendatangkan keuntungan didapat dengan cara menekuni satu keahlian seperti menumbuk, mengadon roti, atau menenun dan yang serupa itu.
5. Rukun kelima: keuntungan
Jika ada keuntungan maka keuntungan tersebut dibagi untuk sipemilik pemodal dan pekerja dan tidak dibolehkan ada syarat untuk pihak ketiga karena sipemilik modal mengambil keuntungan karena pekerjaanya, dan jika dia memberi qiradh dengan syarat istri, anaknya atau orang ketiga mendapat sepertiga keuntungan, maka qiradh menjadi batal sebab dia member orang lain sesuatu stanpa ada jerih payah tapi jika dia juga mensyaratkan kepada mereka harus bekerja ini artinya dia member qiradh kepada dua orang.
Dari pembahasan diatas ada beberapa masalah particular yang muncul:
Pertama, seandainya si pemodal memberi qiradh kepada si pekerja dengan syarat keuntungan hanya milik si pekerja, maka akad batal menurut pendapat yang lebih kuat, sesuai dengan lafal sebab qiradh mengharuskan ada kerja sama sehingga dia rusak.
Kedua, jika si pemilik modal mengatakan ambil dan lakukan apa saja dan semua keuntungan milik kamu, maka akad qiradh-nya sah atau semuanya untuk kamu, maka ini namanya ibdha’ (memberikan sebagian).
Ketiga, jika si pemilik modal mengatakan saya memberimu qiradh dengan syarat keuntungan milik kita bersama, maka menurut pendapat yang shahih akad sah dan dibagi dua sma dengan seandainya ia berkata rumah ini milik kamu dan si fulan, maka harta itu dibagi kedua untuk mereka berdua.
Keempat, seandainya dia berkata, saya memberimu qiradh dan tidak menyebutkan keuntungan, maka qiradh rusak sebab tidak sesuai dengan aturan main.
Syarat Qardh :
1. Orang yang melakukan akad (Muqridh dan muqtaridh) harus baligh, dan berakal.
2. Qardh (objek) berupa harta yang bisa dimanfaatkan
3. Dana yang digunakan ada manfaatnya.
4. Aqad hutang piutang tidak boleh dikaitkan dengan suatu persyaratan di luar hutang piutang itu sendiri yang menguntungkan pihak muqridh.
5. Ada kesepakatan diantara kedua belah pihak (ijab dan qabul).
Sedangkan syarat-syarat terlaksananya Qiradh, yaitu:
a. Kadar pinjaman itu harus diketahui dengan timbangan atau bilangan
b. Jika barang pinjaman itu berupa binatang, maka harus diketahui sifat dan umurnya
c. Pinjaman itu hendaknya dari orang yang memang sah memberikan pinjaman.
Lebih jelasnya dibawah ini akan menunjukkan table tentang rukun dan syarat Qiradh:
Rukun Syarat
a. orang yang meminjami dan peminjam Dewasa, sehat akal dan sama-sama rela. Pinjaman itu hendaknya dari orang yang memang sah memberikan pinjaman.
b. obyek pinjaman (barang/uang) Harus diketahui secara jelas (jumlahnya)/kadar ukuran baik oleh pemilik maupun penerima. Jika barang pinjaman itu berupa binatang, maka harus diketahui sifat dan umurnya.
Pe manfaatan/penggunaannya Pemberi pinjaman harus mengetahui penggunaan pinjaman dari peminjam tersebut, jika pinjaman tersebut dipergunakan sebagai modal kerja, maka Pemilik modal perlu mengetahui jenis pekerjaan tersebut.
d. Keuntungan Besar atau kecilnya bagian keuntungan hendaknya dibicarakan saat mengadakan perjanjian. misalnya, pemilik modal memperoleh 40%, sedangkan penerima modal 60%.
Macam-Macam Qiradh
Qiradh dapat dilakukan oleh perorangan, dapat pula dilakukan oleh organisasi atau lembaga lain dengan nasabahnya. Dalam kehidupan modern, qiradh dapat berupa kredit candak kulak, KPR, dan KMKP
a. Kredit Candak Kulak
Kredit candak kulak ialah pinjaman modal yang diberikan kepada para pedagang kecil dengan sistem pengembalian sekali dalam seminggu dan tanpa tanggungan atau jaminan. Biasanya kredit candak kulak dilakukan oleh KUD (koperasi unit daerah). Kredit jenis itu bertujuan untuk membantu masyarakat kecil agar dapat memiliki jenis usaha tertentu, misalnya berjualan makanan ringan, membuat tempe kedelai, atau usaha lain yang memerlukan biaya relatif ringan. Dengan cara seperti ini, diharapkan mereka pada saatnya nanti dapat terangkat dari masyarakat prasejahtera menjadi sejahtera dan tidak menggantungkan nasibnya kepada orang lain.
b. KPR
KPR (kredit pemilikan rumah) bertujuan membantu masyarakat yang belum memiliki rumah. Bank menydiakan fasilitas berupa perumahan, dari yang bertipe sederhana hingga mewah. Masyarakat yang berniat untuk memiliki rumah terssebut diwajibkan membayar uang muka yang besarnya bervariasi, sesuai dengan tipe rumah yang diinginkan. Selanjutnya, pada jangka waktu tertentu orang itu membayar angsuran sesuai dengan perjanjian yang dibuat kedua belah pihak. Dengan demikian, diharapkan masyarakat tidak terlalu berat untuk memiliki rumah.
c. KMKP
KMKP (kredit modal karya permanen) dilaksanakan baik oleh negara maupun bank swasta. Pada saat ini, kredit jenis ini sudah tidak ada, yang ada sekarang adalah KUK (kredit usaha kecil). Kredit ini hanya melayani masyarakat yang sudah mampu sehingga lebih bersifat pengembangan usaha yang sudah ada. Oleh karena, itu sasaran yang dibina juga terbatas.
Cara Pelaksanaan Qiradh
Dalam pinjaman, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
Pinjaman harus dimiliki melalui penerimaan (Ijab Qabul), sehingga ketika pihak peminjam menerima pinjamannya, maka ia menjadi penanggung jawab. Pinjaman boleh ditentukan batas waktunya dan pihak yang meminjami tidak berhak menagih sebelum habis masa perjanjian. Seperti di jelaskan dalam firman Allah di bawah ini:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. (al-Baqarah:282)
Jika barang pinjaman itu masih tetap seperti sewaktu dipinjamkan maka harus dikembalikan dalam keadaan itu. Sedangkan jika berubah pengembaliannya dengan barang yang serupa, kalau tidak ada cukup seharga barang yang dipinjam
HR Ahmad dan Muslim serta Ashhabus sunan dar Rafi', berkata: "rasulullah saw pernah meminjam unta muda kepada seseorang. Kemudian datanglah unta zakat. Kemudian beliau memrintahkanku agar membayar piutang orang tersebut yang diambil dari unta sedekah itu. Lalu katakanlah: aku tidak mendapatkan unta mudah didalamnya kecuali unta pilihan yang sudah berumur enam tahun masuk ketujuh'." Lalu nabi saw bersabda, yang artinya:
“Berikanlah kepadanya sesunggunya orang yang paling baik diantaramu adalah orang yang paling baik membayar hutang”.
c. Bila pengangkutan uang (barang) untuk pembayaran uang itu tidak terjamin keamanannya., maka pembayaran boleh dilaksanakkan diluar ketentuan semula, sesuai dengan kehendak yang meminjamkan.
d. Pihak yang meminjamkan diharamkan mengambil riba dalam pinjaman tersebut.
Hikmah Qirad
Antara lain:
a.Terwujudnya tolong menolong sebab tidak jarang orang yang punya modal Tetapi tidak punya keahlian berdagang atau sebaliknya punya keahlian berdagang tetapi tidak punya modal.
b.Salah satu perilaku ibadah yang lebih mendekatkan diri pada rahmat Allah karena dapat melepaskan kesulitan orang lain yang sangat membutuhkan pertolongan.
c.Bagi yang mengqiradkan akan diberikan pahala dan kemudahan oleh Allah baik urusan dunia maupunurusan akhirat.
d.Terciptanya kerjasama antara pemberi modal dan pelaksanaan yang pada akhirnya dapat menumbuhkan dan memperkembangkan perekonomian ummat.
e.Terbinanya pribadi-pribadi yang taaluf (rasa dekat) antara keduanya
f.Yang memberikan pinjaman modal akan mendapat unggulan pahala hingga delapan belas kali lipat bisa dibandingkan dengan sedekah hanya sepuluh kali.
2.3 Pengertian, Landasan dan Hal-Hal tentang Hiwalah
Pengertian Hiwalah
Secara bahasa pengalihan hutang dalam hukum islam disebut sebagai hiwalah yang mempunyai arti lain yaitu Al-intiqal dan Al-tahwil, artinya adalah memindahkan dan mengalihkan.
Penjelasan yang dimaksud adalah memindahkan hutang dari tanggungan muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal'alaih (orang yang melakukan pembayaran hutang).
لغة : النقل من محل إلى محل
Sedangkan pengertian Hiwalah secara istilah, para Ulama’ berbeda-beda dalam mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut:
Menurut Hanafi, yang dimaksud hiwalah
نقل المطا لبة من دمة المديون إلى دمة الملتزم
“Memidahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab pula”.
2. Al-jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:
نقل الدين من دمة إلى دمة
“Pemindahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain”.
3. Syihab al-din al-qalyubi bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:
عقد يقتضى انتقال دين من دمة إلى دمة
“Akad yang menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang kepada yang lain”.
4. Muhammad Syatha al-dimyati berpendapat bahwa yang dimaksud Hiwalah adalah:
عقد يقتضى تحويل دين من دمة إلى دمة
“Akad yang menetapkan pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”.
5. Ibrahim al-bajuri berpendapat bahwa Hiwalah adalah:
نقل الحق من دمة المحيل إلى دمة المحال عليه
“Pemindahan kewajiban dari beban yang memindahkan menjadi beban yang menerima pemindahan”.
6. Menurut Taqiyuddin, yang dimaksud Hiwalah adalah:
إنتقال الدين من دمة إلى دمة
“Pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”.
7. Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan hawalah ialah pemindahan dari tanggungan muhil menjadi tanggunggan muhal ‘alaih.
8. Idris Ahmad, Hiwalah adalah “Semacam akad (ijab qobul) pemindahan utang dari tanggungan seseorang yang berutang kepada orang lain, dimana orang lain itu mempunyai utang pula kepada yang memindahkan.
Dasar Hukum Hiwalah
Hiwalah dibolehkan berdasarkan Sunnah dan Ijma’:
Hadits
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairoh, bahwa Rasulullah saw, bersabda:
مطل ا لغني ظلم فادا أ تبع أ حدكم على ملي فليتبع
“Memperlambat pembayaran hukum yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah ia beralih(diterima pengalihan tersebut)”.(HR Jama’ah)
Pada hadits ini Rasulullah memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya dan berkemampuan, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut, dan hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada orang yang dihiwalahkannya (muhal'alaih), dengan demikian hakknya dapat terpenuhi (dibayar).
Kebanyakan pengikut mazhab Hambali, Ibnu Jarir, Abu Tsur dan Az Zahiriyah berpendapat : bahwa hukumnya wajib bagi yang menghutangkan (da'in) menerima hiwalah, dalam rangka mengamalkan perintah ini. Sedangkan jumhur ulama berpendapat : perintah itu bersifat sunnah.
Ijma’
Para ulama sepakat membolehkan hawalah. Hawalah dibolehkan pada hutang yang tidak berbentuk barang/ benda, karena hawalah adalah perpindahan utang, oleh sebab itu harus pada utang atau kewajiban finansial.
Rukun Hiwalah
Menurut mazhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan melakukan hiwalah) dari pihak pertama, dan qabul (penyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan pihak ketiga.
Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali rukun hiwalah ada enam yaitu:
1. Pihak pertama, muhil (المحيل):
Yakni orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang,
2. Pihak kedua, muhal atau muhtal (المحال او المحتال):
Yakni orang berpiutang kepada muhil.
3. Pihak ketiga muhal ‘alaih (المحال عليه):
Yakni orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal.
4. Ada hutang pihak pertama pada pihak kedua, muhal bih (المحال به):
Yakni hutang muhil kepada muhtal.
5. Ada hutang pihak ketiga kepada pihak pertama
Utang muhal ‘alaih kepada muhil.
6. Ada sighoh (pernyataan hiwalah).
Syarat-Syarat Hiwalah
Persyaratan hawalah ini berkaitan dengan Muhil, Muhal, Muhal Alaih dan Muhal Bih.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhil, ia disyaratkan harus, pertama, berkemampuan untuk melakukan akad (kontrak). Hal ini hanya dapat dimiliki jika ia berakal dan baligh. Hawalah tidak sah dilakukan oleh orang gila dan anak kecil karena tidak bisa atau belum dapat dipandang sebagai orang yang bertanggung secara hukum. Kedua, kerelaan Muhil. Ini disebabkan karena hawalah mengandung pengertian kepemilikan sehingga tidak sah jika ia dipaksakan. Di samping itu persyaratan ini diwajibkan para fukoha terutama untuk meredam rasa kekecewaan atau ketersinggungan yang mungkin dirasakan oleh Muhil ketika diadakan akad hawalah.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal. Pertama, Ia harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan kontrak. Ini sama dengan syarat yang harus dipenuhi oleh Muhil. Kedua, kerelaan dari Muhal karena tidak sah jika hal itu dipaksakan. Ketiga, ia bersedia menerima akad hawalah.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal Alaih. Pertama, sama dengan syarat pertama bagi Muhil dan Muhal yaitu berakal dan balig. Kedua, kerelaan dari hatinya karena tidak boleh dipaksakan. Ketiga, ia menerima akad hawalah dalam majlis atau di luar majlis.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal Bih. Pertama, ia harus berupa hutang dan hutang itu merupakan tanggungan dari Muhil kepada Muhal. Kedua, hutang tersebut harus berbentuk hutang lazim artinya bahwa hutang tersebut hanya bisa dihapuskan dengan pelunasan atau penghapusan.
Jenis-Jenis Hiwalah
Ada dua jenis hawalah yaitu hawalah muthlaqoh dan hawalah Muqoyyadah.
Hawalah Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada orang lain ( orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang pituang kepada B, maka hawalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syi’ah sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hawalah ini sebagai kafalah.
Hawalah Muqoyyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal. Inilah hawalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.
Ketiga madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya membolehkan hawalah muqayyadah dan menyariatkan pada hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahny, maka sahlah hawalahnya. Tetapi jika salah satunya berbeda, maka hawalah tidak sah.
Hawalah Haq
Hawalah ini adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada piutang yang lain dalam bentuk uang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai Muhil adalah pemberi utang dan ia mengalihkan haknya kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang tidak berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang. Ini terjadi jika piutang A mempunyai hutang kepada piutang B.
Hawalah Dayn
Hawalah ini adalah pemindahan hutang kepada orang lain yang mempunyai hutang kepadanya. Ini berbeda dari hawalah Haq. Pada hakekatnya hawalah dayn sama pengertiannya dengan hawalah yang telah diterangkan di depan.
Hakikat Hiwalah
Kalangan Hanafiah dan Malikiah berpendapat bahwa hawalah adalah pengecualian dalam transaksi jual beli, yakni menjual hutang dengan hutang. Hal ini karena manusia sangat membutuhkannya. Hal ini juga merupakan pendapat yang paling dianggap sahih di kalangan Syafi’iah dan juga menurut salah satu riwayat di kalangan Hanabilah. Dasarnya adalah Hadist yang artinya : jika salah seorang dari kamu sekalian dipindahkan hutangnya kepada orang kaya, maka terimalah (HR.Bukhari dan Muslim)
Yang sahih menurut Hanabilah bahwa hawalah adalah murni transaksi irfaq (memberi manfaat) bukan yang lainnya.
Ibnu al-Qayyim berkata, “Kaidah-kaidah syara’ mendukung dibolehkannya hawalah, dan ini sesuai dengan qiyas.
Unsur Kerelaan dalam Hiwalah
1. Kerelaan Muhal
Mayoritas ulama Hanafiah, Malikiah dan Syafi’iah berpendapat bahwa kerelaan muhal (orang yang menerima pindahan) adalah hal yang wajib dalam hawalah karena hutang yang dipindahkan adalah haknya, maka tidak dapat dipindahkan dari tanggungan satu orang kepada yang lainnya tanpa kerelaannya. Demikian ini karena penyelesaian tanggungan itu berbeda-beda, bisa mudah, sulit, cepat dan tertunda-tunda.
Hanabilah berpendapat bahwa jika muhal ‘alaih (orang yang berhutang kepada muhil) itu mampu membayar tanpa menunda-nunda dan tidak membangkang, muhal (orang yang menerima pindahan) wajib menerima pemindahan itu dan tidak diisyaratkan adanya kerelaan darinya. Mereka mendasarkan hal ini kepada hadist yang telah diseutkan di atas.
Alasan mayoritas ulama mengenai tidak adanya kewajibanmuhal (orang yang menerima pindahan) untuk menerima hawalah adalah karena muhal ‘alaih kondisinya berbeda-beda ada yang mudah membayar dan ada yang menunda-nunda pembayaran. Dengan demikian, jika muhal ‘alaih mudah dan cepat membayar hutangnya, dapat dikatakan bahwa muhal wajib menerima hawalah. Namun jika muhal ‘alaih termasuk orang yang sulit dan suka menunda-nunda memayar hutangnya, semua ulama berpendapat muhal tidak wajib menerima hawalah.
2. Kerelaan Muhal ‘Alaih
Mayoritas ulama Malikiah, Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak ada syarat kerelaan muhal ‘alaih, ini berdasarkan hadist yang artinya: jika alah seorang diantara kamu sekalian dipindahkan hutangnya kepada orang kaya, ikutilah (terimalah). (HR.Bukhari dan Muslim). Di samping itu, hak ada pada muhil dan ia boleh menerimanya sendiri atau mewakilkan kepada orang lain.
Hanafiah berpendapat bahwa diisyaratkan adanya kerelaan muhal ‘alaih karena setiap orang mempunyai sikap yang berbeda dalam menyelesaikan urusan hutang piutangnya, maka ia tidak wajib dengan sesuatu yang bukan menjadi kewajibannya.
Pendapat yang rajih (valid) adalah tidak disyaratkan adanya kerelaan muhal ‘alaih. Dan muhal ‘alaih akan membayar hutangnya dengan jumlah yang sama kepada siapa saja dari keduanya.
Beban Muhil setelah Hiwalah
Apabila hawalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andaikata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hawalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kemali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat ulama jumhur.
Menurut madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal ‘alaih orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil. Menurut imam Malik, orang yang menghawalahkan hutang kepada orang lain, kemudian muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil
Abu Hanifah, Syarih dan Ustman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang yang menghutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya
Kedudukan Hukum Hiwalah
Pertama, jika hawalah telah disetujui oleh semua pihak maka tanggungan Muhil menjadi gugur dan ia kini bebas dari penagihan utang. Demikian menurut jumhur ulama. Kedua, dengan ditandatanganinya akad hawalah, maka hak penagihan Muhal ini telah dipindahkan kepada Muhal alaih. Dengan demikian ia memiliki wilayah penagihan kepadanya.
Berakhirnya Akad Hiwalah
Akad hiwalah akan berakhir oleh hal-hal berikut ini.
Karena dibatalkan atau fasakh. Ini terjadi jika akad hawalah belum dilaksanakan sampai tahapan akhir lalu difasakh. Dalam keadaan ini hak penagihan dari Muhal akan kembali lagi kepada Muhil.
Hilangnya hak Muhal Alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia mengingkari adanya akad hawalah sementara Muhal tidak dapat menghadirkan bukti atau saksi.
Jika Muhal alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal. Ini berarti akad hawalah benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
Meninggalnya Muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta hawalah karena pewarisan merupakah salah satu sebab kepemilikan. Jika akad ini hawalah muqoyyadah, maka berakhirlah sudah akad hawalah itu menurut madzhab Hanafi.
Jika Muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hawalah kepada Muhal Alaih dan ia menerima hibah tersebut.
Jika Muhal menghapusbukukan kewajiban membayar hutang kepada Muhal Alaih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar