BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Muzara’ah
Muzâra’ah
secara bahasa berasal dari Bahasa Arab dari kata dasar az-zar’u.
Kata az-zar’u sendiri memiliki dua makna, makna yang pertama ialah tharh
az-zur’ah yang artinya melemparkan benih (dalam istilah lain dari az-zur’ah
ialah al-budzr), yakni melemparkan benih ke tanah. Dan makna yang kedua
dari az-zar’u ialah al-inbaat yang memiliki arti “menumbuhkan
tanaman”. Makna yang pertama adalah makna yang sebenarnya (ma’na haqiqiy),
dan makna yang kedua adalah makna konotasi (ma’na majaziy).Oleh
karenanya Rasulullah SAW dalam sebuah hadis bersabda:
لا يقول أحدكم زرعت وليقل حرثت
Artinya: “Janganlah seseorang diantara kalian mengatakan zara’tu, melainkan
katakanlah harats-tu”.
Kedua kata ini memiliki arti keseharian yang mirip, namum
kata haratsa lebih cenderung mendekati makna bercocok tanam. Maksud dari
hadits ini adalah jangan menggunakan kata zara’a jika yang dimaksudkan
adalah makna denotasi yang artinya menumbuhkan, karena hanya Allah-lah yang
dapat menumbuhkan.[1]
Oleh karena itu Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Waqi’ah ayat 63-64:
أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَحْرُثُونَ (٦٣) أَأَنْتُمْ تَزْرَعُونَهُ أَمْ نَحْنُ
الزَّارِعُونَ )٦٤(
“Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam,
kamukah yang menumbuhkannya atau Kamikah yang menumbuhkannya?” (QS. Al-Waqi’ah: 63-64)
Menurut etimologi, muzara,ah
adalah wazan “mufa’alatun” dari kata “az-zar’a” artinya menumbuhkan.
Al-muzara’ah memiliki arti yaitu al-muzara’ah yang berarti tharhal-zur’ah
(melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal.
Adapun secara terminologi para ulama mazhab berbeda
pendapat dalam mendefinisikannya. Prof. Dr. Wahbah Zuhaily dalam kitabnya al-Fiqh
al-Islâmy wa Adillatuhu menuliskan bahwa ulama Mâlikiyyah
mendefinisikannya dengan kerjasama dalam bercocok tanam. Ulama Hanâbilah
mendefinisikannya dengan pemindahan pengelolaan tanah kepada orang yang akan
menanaminya atau mengerjakannya, adapun hasilnya akan dibagi kedua pihak. Muzâra’ah
disebut juga mukhâbarah atau muhâqalah. Orang-orang Iraq
menyebutnya dengan qarâh. Ulama Syafiiyyah membedakan makna
istilah muzâra’ah dan mukhâbarah. Mukhâbarah didefinisikan
dengan pengerjaan lahan dari pemilik lahan kepada si penggarap dengan pembagian
hasil panennya, sedangkan benih berasal dari pemilik tanah. Adapun Muzâra’ah
adalah mukhâbarah itu sendiri akan tetapi benihnya berasal dari si penggarap.[2]
Sedangkan Syekh Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya Al-Fiqh
‘alal Madzahib al-Arba’ah memaparkan perbedaan pengertian muzâra’ah di
kalangan para ulama mazhab adalah sebagai berikut: “Menurut Hanafiah muzâra’ah
ialah akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari
bumi. Menurut Hanabilah muzâra’ah adalah pemilik tanah yang
sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit.
Menurut al-Syafi’i berpendapat bahwa muzâra’ah adalah seorang
pekerja menyewa tanah dengan apa yang dihasilkan dari tanah tersebut. Dan
menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri bahwa muzâra’ah adalah pekerja
mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal dari
pemilik tanah.”
Adapun
menurut Sulaiman Rasyid penulis kitab Fiqih Islam, mukhabarah
ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan
imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan
biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah. Sementara muzaro’ah
adalah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan
sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga, atau seperempat). Sedangkan biaya
pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakanny.
Jadi, dari beberapa definisi di atas kita bisa ambil kesimpulan
bahwa muzâra’ah menurut bahasa berarti muamalah atas tanah dengan
sebagian yang keluar sebagian darinya. Dan secara istilah muzâra’ah
adalah akad kerjasama dalam pengolahan tanah pertanian atau perkebunan
antara pemilik tanah dan penggarap dengan pembagian hasil sesuai kesepakatan
kedua pihak.
Kerjasama muzara'ah ini biasanya dilakukan dalam bidang
tanaman yang benih dan biayanya relative murah dan terjangkau, seperti tanaman
padi, jagung, gandum, kacang, dsb. Hokum muzara'ah pada dasarnya mubah (boleh),
bahkan ada sebagian ulama yang menyebutkan sunnah. Sabda Rasulullah saw. :
عن ابن عباس ر.ع. قال
: أن النبي صلعم لم يحرّم المزارعة ولكن امر ان يرفق بعضهم ببعض بقوله من كانت له
ارض فليزرعها او ليمنحها اخاه فان لم فليمسك ارضه (رواه بخاري مسلم)
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata : “Sesungguhnya nabi saw.
Tidak mengharamkan muzara'ah, bahkan beliau menyuruh supaya yang sebagian
menyayangi yang sebagian dengan katanya : Barang siapa yang punya tanah
hendaklah ditanaminya, atau diberikan faedahnya kepada saudaranya dan jika ia
tidak mau, maka biarkan saja tanah itu”. (H.R. Bukhari
Muslim).
2.1.1 Dasar Hukum dan Pendapat Ulama
Muzâra’ah atau yang dikenal di masyarakat sebagai bagi hasil dalam
pengolahan pertanian, adalah perbuatan yang dilakukan Rasulullah SAW dan
dilakukan para sahabat beliau sesudah itu.
Dalam sebuah hadis
shahih yang diriwayatkan melalui Imam Bukhari, Muhammad al Baqir bin Ali bin
Al-Husain ra. Berkata: “Tidak ada seorang muhajirin pun yang ada di Madinah
kecuali mereka menjadi petani dengan mendapatkan sepertiga atau seperempat. Dan
Ali, Said bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul ‘Aziz, Qasim, Urwah,
keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali, dan Ibnu Sirrin, semua terjun
ke dunia pertanian.”. Di dalam kitab Al-Mughni dikatakan
: “Hal ini masyhur, Rasulullah SAW mengerjakan sampai beliau kembali
kerahmatullah, kemudian dilakukan pula oleh para khalifahnya sampai mereka
meninggal dunia, kemudian keluarga mereka sesudah mereka.”
Sampai-sampai
ketika itu di Madinah tak ada seorang pun penghuni rumah yang tidak melakukan
ini, termasuk istri-istri Nabi SAW yang terjun setelah beliau melakukan muzâra’ah
ini.[3]
Pendapat Yang Memperbolehkan Muzâra’ah
Pendapat Jumhur
ulama diantaranya Imam Malik, para ulama Syafiiyyah, Abu Yusuf dan
Muhammad bin Hasan (dua murid Imam Abu Hanifah), Imam Hanbali dan Dawud
Ad-Dzâhiry. Mereka menyatakan bahwa akad muzâra’ah diperbolehkan dalam
Islam.[4] Pendapat mereka didasarkan pada al-Quran, sunnah, Ijma’ dan dalil
‘aqli.
·
Dalil al-Quran
Surah al-Muzammil:
20
وَآخَرُونَ
يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ ۙ
Artinya : “…dan
orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah…”
Surat al-Zukhruf :
32
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ
مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ
دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ
مِمَّا يَجْمَعُونَ
Artinya
: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan
antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah
meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar
sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu
lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
Kedua ayat diatas
menerangkan kepada kita bahwa Allah memberikan keluasan dan kebebasan kepada
umat-Nya untuk bisa mencari rahmat-Nya dan karunia-Nya untuk bisa tetap
bertahan hidup di muka bumi.
·
Hadits
Rasulullah SAW bersabda:
عن
أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم (من كانت له أرض
فليزرعها أو ليمنحها أخاه فإن أبى فليمسك أرضه
Artinya: “Dari
Abu Hurairah ra. Berkata: Bersabda Rasulullah Saw (barangsiapa yang memiliki
tanah maka hendaklah ditanami atau diberikan faedahnya kepada saudaranya jika
ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu.” (Hadits Riwayat Muslim)
مَنْ كَانَتْ
لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعُهَا فَإِنْ لَمْ يَزْرَعْهَا فَلْيَزْرَعْهَا أَخَاهُ
Artinya:“Barang
siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah ia menyuruh
saudaranya untuk menanaminya.” (Hadits Riwayat Bukhari)
عَنِ ابِن عُمَرُرَضِىَ اللهُ عَنهُ (أَنَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللُه
عَلَيهِ وَ سَلَّمَ عَامَلَ أَهلَ خَيبَرَ بشَطرٍ ماَيَخرُجُ مِنهَا مِن ثَمَرٍ
أَو زَرعٍ) أَخرَجَهُ البُخَارِي
Artinya :” Diriwayatkan
oleh Ibnu Umar R.A. sesungguhnya Rasulullah Saw. Melakukan bisnis atau
perdagangan dengan penduduk Khaibar untuk digarap dengan imbalan pembagian
hasil berupa buah-buahan atau tanaman” (HR. Bukhari).
·
Ijma’
Banyak sekali
riwayat yang menerangkan bahwa para sahabat telah melakukan praktek muzâra’ah
dan tidak ada dari mereka yang mengingkari kebolehannya. Tidak adanya
pengingkaran terhadap diperbolehkannya muzâra’ah dan praktek yang mereka
lakukan dianggap sebagai ijma’.[5]
·
Dalil ‘Aqli
Muzâra’ah merupakan suatu bentuk akad kerjasama yang mensinergikan antara harta
dan pekerjaan, maka hal ini diperbolehkan sebagaimana diperbolehkannya
mudarabah untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sering kali kita temukan seseorang
memiliki harta (lahan) tapi tidak memiliki keterampilan khusus dalam bercocok
tanam ataupun sebaliknya. Di sini Islam memberikan solusi terbaik untuk kedua
pihak agar bisa bersinergi dan bekerjasama sehingga keuntungannya pun bisa
dirasakan oleh kedua pihak. Simbiosis mutualisme antara pemilik tanah dan
penggarap ini akan menjadikan produktivitas di bidang pertanian dan perkebunan
semakin meningkat.[6]
Pendapat
Yang Melarang Muzâra’ah
Abu Hanifah, Zafar dan Imam Syafii berpendapat bahwa muzâra’ah
tidak diperbolehkan. Abu Hanifah dan Zafar mengatakan bahwa muzâra’ah
itu fâsidah (rusak) atau dengan kata lain muzâra’ah dengan
pembagian 1/3, 1/4 atau semisalnya tidaklah dibenarkan.
Imam Syafi’i sendiri juga melarang prakterk muzâra’ah,
tetapi ia diperbolehkan ketika didahului oleh musâqâh apabila memang
dibutuhkan dengan syarat penggarap adalah orang yang sama. Pendapat yang Ashah
menurut ulama Syafiiyyah juga mensyaratkan adanya kesinambungan kedua
pihak dalam kedua akad (musâqâh dan Muzâra’ah) yang mereka
langsungkan tanpa adanya jeda waktu. Akad muzâra’ah sendiri tidak
diperbolehkan mendahului akad musâqâh karena akad muzâra’ah
adalah tabi’, sebagaimana kaidah mengatakan bahwa tabi’ tidak
boleh mandahului mathbu’nya. Adapun melangsungkan akad mukhâbarah
setelah musâqâh tidak diperbolehkan menurut ulama Syafiiyyah
karena tidak adanya dalil yang memperbolehkannya.
Para ulama yang
melarang akad muzâra’ah menggunakan dalil dari hadis dan dalil aqli.
·
Hadist
عَنْ ثَابِت
ابْنَ ضَحَّاكَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ المُزَاَرعَةِ
( أخرجه مسلم)
“Dari Tsabit ibnu Dhahhak bahwasanya Rasulullah Saw. melarang
muza’rah “ (H.R. Muslim)
أَنَّ رَافِع
ابنُ خَدِيج قَالَ: كُنّاَ نُخَابِرُ عَلَى عَهدِ رَسُولُ اللهِ, فَذَكَرَ
أَنَّبَعضَ عُمُومَتُهُ أَتاَهُ وَ قاَلَ: نَهَى رَسُولُ الله عَن أَمرٍ كاَنَ
لَناَ ناَفِعاً, وَ طَوَاعِيَةُ اللهِ وَ رَسُولِهِ أَنفَعُ لَناَ وَ أَنفَع
قاَلَ: قُلناَ: وَ ماَ ذَالِكَ؟ قاَلَ: قاَلَ رَسُولُ لُلهِ ” مَن كاَنَت لَه
أَرضٌ فَليَزرَعهاَ أَو فَليُزرِعهاَ أَخاَهُ, وَلاَ يُكاَرِيهاَ بِثُلُثٍ وَلَا
بِرُبُعٍ وَلَا بِطَعاَمٍ مُسَمَّى” أَخرَجَهُ مُسلِم وَ أَبُو دَاوُد
“Diriwayatkan oleh Râfi’ bin Khudaij R.A., ia
berkata : Suatu ketika ketika kami sedang mengadakan pengolahan lahan dengan
bagi hasil tertentu (mukhâbarah), kemudian datanglah kepadanya sebagian dari
keluarga pamannya dan mengatakan : Sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang akan
sesuatu perkara yang sebenarnya bermanfaat bagi kami, dan sungguh ketaatan atas
Allah Swt. Dan Rasul-Nya adalah lebih bermanfaat bagi kami. Lalu kami
mengatakan: dan apakah perkara itu? Ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda :
Barang siapa yang memiliki lahan hendaklah ia menanaminya atau memberikannya
kepada saudaranya untuk ditanami. Dan janganlah ia menyewakan sepertiganya,
atau seperempatnya, dan tidak juga dengan makanan.” (H.R. Muslim dan Abu Dawud)
·
Dalil Aqli
Muzâra’ah dilarang karena upah penggarapan lahannya ma’dum (tidak ada
wujudnya ketika proses akad berlangsung) dan majhul karena tidak adanya
kepastian hasil yang akan dituai nanti, boleh jadi lahan yang digarap tidak
menghasilkan sama sekali pada akhirnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa jahâlah
dan ketiadaan mahallul ‘aqdi akan merusak akad ijarah.[7]
Adapun
muamalah Nabi Saw. terhadap penduduk Khaibar bukan termasuk akad Muzâra’ah
akan tetapi termasuk Kharaj Muqâsamah.[8]
Sanggahan Terhadap Pelarangan Muzâra’ah
Pendapat yang melarang muzâra’ah ini
dibantah oleh para ulama sebagai berikut:
- Hadis yang dijadikan dalil untuk melarang akad muzâra’ah tidak bisa digunakan untuk menjeneralisir pelarangan akad muzâra’ah. Hadis tersebut menkhususkan pada suatu kondisi ketika pemilik tanah mengapling bagian lahan tertentu untuk ditanami sendiri sehingga bisa jadi akan menimbulkan kerugian di pihak penggarap pada saat panen nanti. Ada kemungkinan tanah bagian sang penggarap tidak menghasilkan sama sekali. Kalau demikian, dari mana si penggarap akan mendapatkan bagian dari hasil garapannya.
- Akad muzâra’ah bukanlah bagian dari akad Ijarah, akan tetapi bagian dari mudarabah. Dalam akad mudarabah, kesepakatan persentase pembagian hasil boleh ditentukan diawal dan hal ini tidaklah merusak akad tersebut. Hal yang sama bisa kita lihat juga dalam muzâra’ah. Ada karakteristik khusus yang dimiliki oleh muzâra’ah dibandingkan penyewaan tanah biasa. Dalam muzâra’ah ‘upah’ yang didapat adalah persentase sebenarnya dari hasil panen yang didapat dari tanah garapan baik itu seperempat, setengah atau sepertiganya. Sedangkan dalam penyewaan tanah biasa, upah yang didapat oleh pemilik tanah adalah jumlah tertentu baik berupa uang atau barang (hasil bumi) yang bukan merupakan hasil dari tanah garapan, ataupun mungkin hasil dari tanah garapan akan tetapi jumlahnya sudah ditentukan terlebih dahulu tanpa dasar presentase dari awal, satu ton gandum misalnya atau 100 kg beras dan sebagainya.
- Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah juga menyebutkan sanggahan terhadap pelarangan muzâra’ah yang dilandaskan pada hadist Rafi’ bin Khudaij. Hadits tersebut telah disanggah keumuman penerapan larangannya oleh Zaid bin Tsabit ra bahwa pelarangan itu untuk menyelesaikan/melerai perselisihan, ia berkata: “Semoga Allah mengampuni Rafi’ bin Khudaij. Demi Allah, aku ini lebih tahu tentang hadits daripadanya.” Pelarangan itu sebenarnya turun karena dua orang mendatangi Nabi SAW, mereka dari golongan Anshar yang nyaris saling membunuh karena perselisihan bagi hasil tanam, Rasulullah SAW mengatakan kepada mereka:
ان كــــــان هذا شأنكم فلا تكروا المزارع
“Jika ini keadaan kalian, maka janganlah
kalian ulangi lagi (bekerja sama) dalam bertani.”
Rafi’ hanya mendengar:
فلا تكروا المزارع
“Maka janganlah kalian ulangi lagi bertani bagi hasil.”
(Riwayat Abu Daud dan An-Nasa’i)
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Urwah ibnu Zubair
sebagai berikut:
عن عروة بن الزبير قال قال زيد بن
ثابت : يغفر الله لرافع بن خديج أنا والله أعلم بالحديث منه إنما كانا رجلين
اقتتلا فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم إن كان هذا شأنكم فلا تكروا المزارع
فسمع قوله لا تكروا المزارع
Dari Urwah ibnu Zubair berkata, berkata Zaid bin
Tsabit: “Semoga Allah mengampuni Rafi’ ibnu Khadij. Demi Allah, Aku lebih
mengetahui hadits daripada ia. Rasulullah saw melarang menyewakan tanah,
dikarenakan pada suatu hari ada dua orang yang bunuh membunuh sebab masalah
penyewaan tanah, maka dari itu beliau bersabda: “Jika kamu bertengkar seperti
ini, janganlah kamu menyewakan tanah” Rupanya ia hanya mendengar sabda beliau:
“Janganlah kamu menyewakan tanah”.” (H.R. An Nasa’i)
Jadi munculnya hadis tentang muzâra’ah dari
Rafi’ bin Khudaij yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah melarang
dilakukannya muzâra’ah setelah sebelumnya ia memperbolehkannya,
itu memang benar. Namun hal itu tidak bisa dijadikan hujah larangan menyewakan
tanah (muzâra’ah ) karena hadits tersebut yang diriwayatkan Rafi’ ibnu
Khadij tidak semata-mata dilihat dari apa yang disampaikan rasulullah saw saja,
namun kita lihat dari latar belakng sehingga dikeluarkan hadits tersebut,
dengan kata lain harus dilihat secara kontektual atau dilihat dari asbabul
wurudnya dulu.
Dengan adanya bantahan dari Zaid ibnu Tsabit ini, maka
telah jelas bahwa tidak terjadi nasakh dalam hukum diperbolehkannya muzâra’ah
.
- Ibnu Abbas pun menyanggah Rafi’ bin Khudaij, beliau menjelaskan: “Sesunggunhnya pelarangan adalah dalam rangka membawa mereka kea rah yang lebih baik untuk mereka, beliau berkata:
“Sesunggunnya Rasulullah SAW bukan mengharamkan
bertani bagi hasil, tetapi beliau memerintahkan agar sesame manusia saling
tolong-menolong” dengan
sabda beliau SAW : “Siapa yang memiliki tanah hendaknya ia menanaminya atau
ia berikan (penggarapannya) kepada saudaranya. Jika ia enggan, maka ia sendiri
harus menggarap tanahnya.”
2.1.2 Rukun dan Syarat-syatar Muzara’ah
a.
Rukun
Muzara’ah
Menurut
Hanafiah rukun muzara’ah ialah “akad, yaitu ijab dan kabul antara pemilik dan
pekerja, secara rinci rukun-rukunya yaitu tanah, perbuatan pekerja, modal dan
alat-alat untuk menanam”.[9]
- Pemilik tanah
- Petani penggarap
- Objek al-muzaraah
- Ijab dan qabul secara lisan maupun tulisan
Menurut Hanabilah, dalam akad
muzara’ah tidak diperlukan qabul dengan perkataan, melainkan cukup dengan
penggarapan tanah secara langsung. Dengan demikian, qabulnya dengan perbuatan
(bil fi’li).
b. Syarat-syarat
Muzara’ah
1. Menurut Abu Yusuf dan Muhammad
Syarat-syarat muzara’ah ini meliputi
syarat-syarat yang berkaitan dengan pelaku (‘Aqid), tanaman, hasil tanaman,
tanah yang akan ditanami, objek akad, alat yang digunakan, serta masa
muzara’ah.
2. Menurut Malikiyah
Syarat
muzara’ah ada 3, yaitu:
·
Akad
tidak boleh mencakup penyewaan tanah dengan imbalan sesuatu yang dilarang,
yaitu dengan menjadikan tanah sebagai imbalan bibit (benih).
·
Kedua
belah pihak yang berserikat.
·
Bibit
yang dikeluarkan kedua belah pihak harus sama jenisnya.
3. Menurut Syafi’iyah
Ulama’ Syafi’iyah tidak mensyaratkan
dalam muzara’ah persamaan hasil yang diperoleh antara pemilik tanah dengan
pengelola (penggarap). Menurut mereka muzara’ah adalah penggarapan tanah dengan
imbalan hasil yang keluar dari padanya, sedangkan bibit dari pemilik tanah.
4.
Menurut
Hanabilah
Mereka
mensyaratkan seperti halnya Syafi’iyah, yaitu sebagai berikut:
·
Benih
harus dikeluarkan oleh pemilik tanah.
·
Bagian
masing-masing pihak harus jelas.
·
Jenis
benih yang akan ditanamkan harus diketahui.
Berakhirnya Akad Muzara’ah
Muzara’ah terkadang berakhir karena
terwujudnya maksus dan tujuan akad, misalnya tanaman telah selesai dipanen.
Akan tetapi, terkadang akad muzara’ah berakhir sebelum terwujudnya tujuan
muzara’ah, karena sebab-sebab berikut:
a.
Masa
perjanjian muzara’ah telah berakhir.
b. Meninggalnya salah satu pihak, baik
meninggalnya itu sebelum dimulainya penggarapan maupun sesudahnya, baik buahnya
sudah bisa dipanen atau belum.
c. Adanya uzdur atau alasan, baik dari
pihak pemilik tanah maupun dari pihak penggarap.
Hikmah
Muzara’ah
Bumi diciptakan untuk kepentingan
manusia, maka manusialah yang harus mengolahnya, menanaminya dengan berbagai
jenis tanaman untuk kepentingannya juga sebagai bentuk syukur kepada Allah swt.
atas segala karunianya. Maka sangat penring bagi manusia umtuk menuntut ilmu
tentang pertanian agar lebih maksimal mandapatkan manfaat dari bumi yang
diolahnya dengan cara bertani.
Muzara’ah menjadikan pemilik tanah
dan penggarap tanah bersinegi untuk bersama-sama mendapatkan bagian atas apa
yang sudah disumbangkan kedua belah pihak dengan penuh keikhlasan dan rida atas
dasar saling tolong-menolong dan percaya sehingga saling menguntungkan tidak
saling merugikan.
2.2 Mukhabarah
Mukhabarah adalah akad yang sama
dengan muzara’ah baik dalam dasar hukum, sarat, dan rukunnya. Keduanya masih
sama-sama dalam perdebatan para ulama. Ada sebagian yang membolehkan dan ada
sebagian yang tidak membolehkan. Namun, dilihat dari manfaat yang diambil dari
kedua akad tersebut maka secara syarak boleh dilakukan sepanjang tidak ada
maksud mencari keuntungan untuk diri sendiri dan mempekerjakan orang lain tanpa
diberi upah sedikitpun dari hasil kerjanya.
Perbedaan antara mukhabarah dan
muzara’ah terletak dalam hal benih yang akan ditanam apakah benih menjadi
tanggungan pemilik tanah atau menjadi tanggungan penggarap. Dan akad muzara’ah,
pihak penggarap adalah yang menyediakan benih, sedangkan pada akad mukhabarah,
pemilik tanah adalah pihak yang menyediakan benih.
Dalam bahasa
Indonesia
arti dari muzara’ah dan mukhabarah adalah pertanian. Menurut Taqiyyudin yang mengungkap pendapat Al-Qadhi Abu Thayib, muzara’ah dan
mukhabarah mempunyai satu pengertian. Walaupun mempunyai satu pengertian tetapi
kedua istilah tersebut mempunyai dua arti yang pertama tharh al-zur’ah (melemparkan
tanaman), maksudnya adalah modal (al-hadzar
).
Muzara’ah
dan mukhabarah memiliki makna yang berbeda, pendapat tersebut dikemukakan oleh al-Rafi dan al-Nawawi. Sedangkan menurut
istilah definisi para ulama yang dikemukakan oleh Abd al-Rahman al-Zaziri pun berbeda Secara terminologi, terdapat
beberapa definisi para ulama, menurut ulama Malikiyah
berarti perserikatan dalam pertanian, ulama Hanabilah
mengartikannya sebagai penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani
untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua (paroan).
Sedangkan Imam Syafi’I mendifinisikannya sebagai
pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit
pertanian disediakan pemilik tanah atau lebih dikenal dengan istilah al-Mukhabarah.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa arti dari Muzara’ah ialah mengerjakan tanah
(orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya
(seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya
ditanggung orang yang mengerjakan. Mukhabarah ialah mengerjakan
tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya
(seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya
ditanggung pemilik tanah .
Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri berpendapat bahwa
mukhabarah ialah pemilik hanya menyerahkan tanah kepada pekerja dan modal dari
pengelola. Seperti yang telah disebutkan bahwa munculnya pengertian muzara’ah
dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda tersebut karena adanya ulama yang
membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah, yaitu Imam Rafi’i berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan
mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji.
Mengartikan sama dengan memberi ketentuan: usaha mengerjakan tanah (orang lain)
yang hasilnya dibagi.
Mukhabarah
ialah kerjasama antara pemilik sawah/ladang dengan penggarap (petani), dan
benih tanamannya dari pihak penggarap. Pembagian hasilnya menurut kesepakatan
kedua belah pihak secara adil. Perbedaan antara muzara’ah dengan mukhabarah
hanya terletak pada benih tanaman. Jika mukhabarah benih tanaman berasal dari pemilik tanah, maka dalam muzara’ah
benih tanaman berasal dari penggarap (petani).
Pada umumnya kerja sama mukhabarah ini dilakukan pada perkebunan yang benihnya
relatif murah, separti padi, gandum, kacang, dll.
Namun tidak
tertutup kemungkinan pada tanaman yang benihnya relatif murah pun dilakukan
kerjasama muzara’ah. Setelah di ketahui definisi-definisi di atas, dapat dipahami bahwa mukhabarah dan muzara’ah ada
kesamaan dan ada pula perbedaan. Persamaannya ialah antara mukhabarah dan
muzara’ah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan
tanahnya kepada orang lain untuk di kelola. Perbedaannya ialah pada modal, bila
modal berasal dari pengelola, disebut muzara’ah , dan bila modal dikeluarkan
dari pemilik tanah, disebut mukhabarah.
2.2.1 Rukun dan Syarat Mukhabarah
Adapun Rukun Mukhabarah Menurut jumhur ulama ada
empat, diantaranya adalah:
1.
Pemilik tanah
2.
Petani/Penggarap
3.
Obyek mukhabarah
4.
Ijab dan qabul, keduanya secara lisan.
Ada beberapa
syarat dalam mukhabarah, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Pemilik kebun dan penggarap harus orang yang baligh
dan berakal.
2.
Benih yang akan ditanam harus
jelas dan
menghasilkan.
3.
Lahan merupakan lahan yang menghasilkan, jelas batas
batasnya,dan diserahkan sepenuhnya kepada penggarap.
4.
Pembagian untuk masing-masing harus jelas
penentuannya.
5.
Jangka waktu harus jelas menurut kebiasaan.
2.2.2 Dasar Hukum Mukhabarah
Adapun
dasar hukum dari Mukhabaroh adalah sebagai berikut:
عَنْ رَافِعِ
بْنِ خَدِيْجِ قَالَ كُنَّااَكْثَرَاْلاَنْصَارِ حَقْلاً فَكُنَّا
نُكْرِىاْلاَرْضَ عَلَى اَنَّ لَنَا هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ هَذِهِ وَلَمْ
تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَانَاعَنْ ذَلِكَ
Artinya: “Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar
yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian
tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang
sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya
Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian” (H.R. Bukhari).
عَنْ اِبْنِ عُمَرَاَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَرْطِ مَايَخْرُجُ مِنْهَا
(رواه مسلم) مِنْ ثَمَرٍ اَوْزَرْعٍ
Artinya: “Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW.
Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka
dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah
– buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim).
Pandangan
Ulama terhadap Mukhabarah
Hadits di
atas yang dijadikan pijakan ulama untuk menuaikan kebolehan dan katidakbolehan
melakukan muzara’ah dan mukhabarah. Setengah ulama melarang paroan tanah
ataupun ladang beralasan pada Hadits yang diriwayatkan oleh bukhari tersebut di
atas Ulama yang lain berpendapat tidak ada larangan untuk melakukan muzara’ah
ataupun mukhabarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Mundzir, dan
Khatabbi, mereka mengambil alsan Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim di atas
Adapun Hadits yang melarang tadi maksudnya hanya apabila ditentukan penghasilan dari sebagian tanah, mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka.
Adapun Hadits yang melarang tadi maksudnya hanya apabila ditentukan penghasilan dari sebagian tanah, mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka.
Karena
memang kejadian di masa dahulu, mereka memarohkan tanah dengan syarat dia akan
mengambil penghasilan dari sebagian tanah yang lebih subur keadaan inilah yang
dilarang oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam Hadits yang melarang itu, karena
pekerjaan demikian bukanlah dengan cara adil dan insaf. Juga pendapat ini
dikuatkan orang banyak.
Hikmah
Mukhabarah
Seseorang
dengan orang lain dapat saling membantu dengan bekerja sama yang saling meringankan
dan menguntungkan, contohnya; seseorang memiliki binatang ternak (sapi, kerbau
dll) dia sanggup untuk berladang dan bertani akan tetapi dia tidak memiliki
sawah. Sebaliknya ada seseorang yang memiliki tanah yang dapat digunakan
sebagai sawah, ladang akan tetapi tidak memiliki hewan yang dapat digunakan
untuk mengelola sawah dan ladangnya tersebut. Disini manfaat dari muzara’ah dan
mukhabarah adalah dapat memanfaatkan sesuatu yang tidak dimiliki orang lain
sehingga tanah dan binatang dapat digunakan dan dapat menghasilkan pemasukan
yang dapat membiayai kebutuhan sehari-hari. Yang mana pembagian hasilnya sesuai
dengan perjanjian yang telah disepakati.[11]
2.3 Musaqoh
Secara
etimologi, Musaqah berasal dari kata Saqa – Saqy yang berarti As-Saqy
yang artinya penyiraman atau pengairan.[12]
Diberi nama ini karena pepohonan penduduk Hijaz amat membutuhkan saqi
(penyiraman) ini dari sumur-sumur. Karena itu diberi nama Musaqah
(penyiraman = pengairan).
Musaqah menurut syara’ adalah penyerahan
pohon kepada orang yang menyiramnya dan menjanjikannya, bila sampai buah pohon
masak dia akan diberi imbalan buah dalam jumlah tertentu. la merupakan
persekutuan perkebunan untuk mengembangkan pohon. Di mana pohon berada pada
satu pihak dan penggarapan pohon pada pihak lain. Dengan perjanjian bahwa buah
yang dihasilkan untuk kedua belah pihak, dengan persentase yang mereka
sepakati. Misalnya: setengah, sepertiga atau lainnya.[13] Musaqah adalah salah satu bentuk penyiraman
atau pengairan.
“Suatu akad dengan memberikan pohon kepada penggarap agar
dikelola dan hasilnya dibagi antar keduanya”.
Menurut ulama Syafi’iyah :
“Mempekerjakan orang lain untuk menggarap kurma atau
pohon anggur, dengan perjanjian dia akan menyiram dan mengurusnya, kemudian
buahnya untuk mereka berdua.”
Secara
terminologi, Musaqah didefinisikan oleh para ulama:
1. Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, Musaqah
ialah : “aqad untuk pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian ) dan yang
lainya dengan syarat-syarat tertentu”.[15]
2.
Ulama
Malikiyah, bahwa Musaqah ialah : “sesuatu yang tumbuh”.[16]
Menurut Ulama Malikiyah, tentang sesuatu yang tumbuh di tanah di bagi
menjadi lima macam :
a.
Pohon-pohon
tersebut berakar kuat (tetap) dan pohon tersebut berbuah, buah itu di petik
serta pohon tersebut tetap ada dengan waktu yang lama, seperti pohon anggur dan
zaitun;
b.
Pohon-pohon
tersebut berakar tetap tetapi tidak berubah, seperti pohon kayu keras, karet
dan jati;
c.
Pohon-pohon
yang tidak berakar kuat tetapi berbuah dan dapat di petik, seperti padi;
d.
Pohon
yang tidak berakar kuat dan tidak ada buahnya yang dapat di petik, tetapi
memiliki kembang yang bermanfaat seperti bunga mawar;
e.
Pohon-pohon
yang diambil hijau dan basahnya sebagai suatu manfaat, bukan buahnya, seperti
tanaman hias yang ditanam dihalaman rumah dan di tempat lainya;
3.
Menurut
Ulama Syafi’iyah yang dimaksud dengan Musaqah ialah :
“Memberikan pekerjaan orang yang
memiliki pohon tamar dan anggur kepada orang lain untuk kesenangan keduanya
dengan menyiram, memelihara dan menjaganya dan bagi pekerja memperoleh bagian
tertentu dari buah yang di hasilkan pohon-pohon tersebut”.[17]
4. Menurut Ulama Hanabilah bahwa Musaqah
itu mencakup dua masalah :[18]
a. Pemilik menyerahkan tanah yang sudah
ditanami, seperti pohon anggur, kurma dan yang lainnya, baginya ada
buahnya yang dimakan sebagian tertentu dari buah pohon tersebut, sepertiganya
atau setengahnya.
b. Seseorang menyerahkan tanah dan
pohon, pohon tersebut belum ditanamkan, maksudnya supaya pohon tersebut
ditanamkan pada tanahnya, yang menanam akan memperoleh bagian tertentu dari
buah pohon yang ditanamnya, yang kedua ini disebut dengan munashabah
mugharasah, karena pemilik menyerahkan tanah dan pohon-pohon untuk
ditanamkanya.
5.
Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa Musaqah, sama dengan muzara’ah, kecuali
dalam empat perkara.[19]
Yaitu:
a.
Jika
salah seorang yang menyepakati akad tidak memenuhi akad, dalam Musaqah,
ia harus dipaksa, tetapi dalam muzara’ah, ia tidak boleh dipaksa.
b.
Jika
waktu Musaqah habis, akad diteruskan sampai berbuah tanpa pemberian
upah, sedangkan dalam muzara’ah, jika waktu habis, pekerjaan diteruskan
dengan pemberian upah.
c.
Waktu
dalam Musaqah ditetapkan berdasarkan istihsan, sebab dapat diketahui
dengan tepat, sedangkan waktu dalam muzara’ah terkadang tidak tertentu.
d.
Jika
Musaqah diminta oleh pemilik tanah sebelum panen maka penggarap
mendapatkan upah. Sedangkan dalam muzara’ah jika diminta sebelum
menghasilkan sesuatu, penggarap tidak mendapatkan apa-apa.
e.
Menurut
Hasbi ash-Shiddiqi yang dimaksud dengan Musaqah adalah “syarikat
pertanian untuk memperoleh hasil dari pepohonan”.[20]
Dalam
pengertian menurut pendapat yang lain disebutkan Musaqah adalah kerja
sama dalam bidang pertanian antara pemilik kebun dengan pengelola atau
pemelihara, yang upah dari pemeliharaan itu adalah hasil dari kebun itu sendiri.[21]
Sebagaimana juga pemaknaan Musaqah
menurut Kamus Hukum Online menyatakan bahwa Musaqah adalah Suatu bentuk
yang lebih sederhana dari Muzara’ah di mana si penggarap hanya
bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan dan sebagai imbalannya si
penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.[22]
Sejalan
dengan pemaknaan dalam konteks kebahasaan tersebut, M. Ali Hasan, dalam bukunya
yang berjudul Berbagai Macam Transaksi dalam Islam menyatakan bahwa Musaqah
adalah Akad (transaksi) antara pemilik kebun/tanaman dan pengelola (penggarap)
untuk memelihara dan merawat kebun/tanaman pada masa tertentu sampai tanaman
itu berbuah.[23]
Dari
beberapa definisi yang telah disampaikan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
Musaqah adalah akad (transaksi) antara pemilik kebun dan pengelola
(penggarap) dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga dapat
memberikan hasil yang baik dan dari hasil itu akan di bagi menjadi dua sesuai
dengan akad yang telah disepakati, yang di mana si pengelola (penggarap) hanya
bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan, dan upah dari penyiraman
dan pemeliharaan itu adalah hasil dari kebun itu sendiri (dalam bentuk
barang/hasil panen, belum dijual/diuangkan).[24]
Penggarap
disebut Musaqi dan pihak yang lain disebut pemilik pohon. Yang dimaksud
kata ‘pohon’ dalam masalah ini adalah semua yang ditanam agar dapat bertahan di
tanah selama satu tahun ke atas, untuk waktu yang tidak ada ketentuannya dan
akhirnya dalam pemotongan/penebangan. Baik pohon itu berbuah atau tidak. Untuk
pohon yang tidak berbuah imbalan untuk Musaqi adalah berbentuk pelepah
dan kayu serta semacamnya.[25]
2.3.1 Dasar Hukum Musaqah
Dasar hukum
yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum musaqah adalah:
a.
Dasar hukumnya yaitu Al-hadits yang di riwayatkan oleh
Imam Muslim dari Ibnu Amr ra bahwa Rasulullah saw bersabda
اعطى خيبر
بشطر ما يخر ج منها من ثمر ا و ز ر ع و فى رواية دفع ا لي ا ليهود خيبر و ارضها
علي
ان يعملو ها من اموالهم وان رسوالله ص م شطره
ان يعملو ها من اموالهم وان رسوالله ص م شطره
“Memberikan tanah khaibar dengan bagian separoh dari
penghasilan, baik buah-buahan maupun pertanian . Pada riwayat lain dinyatakan
bahwaRasul menyerahkan tanah khaibar itu kepada Yahudi, untuk diolah dan modal
dari hartanya, penghasilan separohnya untuk nabi.”
b. Dari Ibnu Umar:
عن ابن عمر ان النبي صلعم عامل اهل خيبر بشرط ما يخرج
منها من ثمر او زرع (رواه مسلم)
“Sesungguhnya Nabi SAW. Telah
memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan
perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah –
buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim).
c.
Dari Ibnu Umar: ” Bahwa Rasulullah
SAW telah menyerahkan pohon kurma dan tanahnya kepada orang-orang yahudi
Khaibar agar mereka mengerjakannya dari harta mereka, dan Rasulullah SAW
mendapatkan setengah dari buahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) [26]
·
Hukum musaqah sahih
Menurut ulama
Hanafiyah hukum musaqah sahih adalah:
a.
Segala pekerjaan yang berkenaan
dengan pemeliharaan pohon diserahkan kepada penggarap, sedang biaya yang
diperlukan dalam pemeliharaan dibagi dua.
b.
Hasil dari musaqah dibagi berdasarkan
kesepakatan.
c.
Jika pohon tidak menghasilkan
sesuatu, keduanya tidak mendapatkan apa-apa.
d.
Akad adalah lazim dari kedua
belah pihak.
e.
Pemilik boleh memaksa penggarap
untuk bekerja kecuali ada uzur.
f.
Boleh menambah hasil dari ketetapan
yang telah disepakati.
g.
Penggarap tidak memberikan musaqah
kepada penggarap lain kecuali jika di izinkan oleh pemilik.
Menurut ulama Malikiyah:
a.
Sesuatu yang tidak berhubungan
dengan buahtidak wajib dikerjakandan tidak boleh disyaratkan.
b.
Sesuatu yang berkaitan dengan
buah yang membekas di tanah tidak wajib dibenahi oleh penggarap.
c.
Sesuatu yang berkaitan dengan
buah tetapi tidak tetap adalah kewajiban penggarap, seperti menyiram atau
menyediakan alat garapan, dan lain-lain.
Menurut ulama Syafi’iyah dan
Hanabilah sepakat dengan ulama Malikiyah akan tetapi menambahkan bahwa segala
pekerjaan yang rutin setiap tahun adalah kewajiban penggarap, sedangkan
pekerjaan yang tidak rutin adalah kewajiban pemilik tanah.
·
Hukum musaqah fasid
Musaqah fasid adalah akad yang tidak memenuhi persyaratan yang telah
ditetapkan syara’.
Menurut ulama
Hanafiyah, musaqah fasid meliputi:
a.
Mensyaratkan hasil musaqah bagi
salah seorang dari yang akad.
b.
Mensyaratkan salah satu bagian
tertentu bagi yang akad.
c.
Mensyaratkan pemilik untuk ikut
dalam penggarapan.
d.
Mensyaratkan pemetikan dan kelebihan
pada penggarap.
e.
Mensyaratkan penjagaan pada
penggarap setelah pembagian.
f.
Mensyaratkan kepada penggarap
untuk terus bekerja setelah habis wakt akad.
g.
Bersepakat sampai batas waktu
menurut kebiasaan.
2.3.2 Habis waktu Musaqah
Menurut
Ulama Syafi’iyah[28]
Ulama
Syafi’iyah berpendapat bahwa Musaqah tidak batal dengan adanya uzur,
walaupun diketahui bahwa penggarap berkhianat. Akan tetapi, pekerjaan penggarap
harus diawasi oleh seorang pengawas sampai penggarap menyelesaikan
pekerjaannya. Jika pengawas tidak mampu mengawasinya, tanggung jawab penggarap
dicabut kemudian diberikan kepada penggarap yang upahnya diambil dari harta
penggarap.
Menurut
ulama Syafi’iyah, Musaqah selesai jika habis waktu. Jika buah keluar
setelah habis waktu, penggarap tidak berhak atas hasilnya. Akan tetapi, jika
akhir waktu Musaqah buah belum matang, penggarap berhak atas bagiannya
dan meneruskan pekerjaannya.
Musaqah
dipandang batal
jika penggarap meninggal, tetapi tidak dianggap batal jika pemilik meninggal.
Penggarap meneruskan pekerjaannya sampai mendapatkan hasilnya. Akan tetapi,
jika seorang ahli waris yang mewarisinya pun meninggal, akad menjadi batal.
Menurut Ulama Hanafiyah[29]
Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa Musaqah sebagaimana dalam muzara’ah dianggap
selesai dengan adanya tiga perkara, yaitu:
a.
Habis
waktu yang telah disepakati kedua belah pihak yang akad.
Jika
waktu telah habis, tetapi belum menghasilkan apa-apa, penggarap boleh berhenti.
Akan tetapi, jika penggarap meneruskan bekerjanya di luar waktu yang telah
disepakati, ia tidak akan mendapatkan upah.
b.
Meninggalnya
salah seorang yang akad.
Jika
penggarap meninggal, ahli warisnya berkewajiban meneruskan Musaqah, walaupun
pemilik tanah tidak rela. Begitu pula jika pemilik meninggal, penggarap
meneruskan pemeliharaannya walaupun ahli waris pemilik tidak menghendakinya.
Apabila kedua orang yang akad meninggal, yang paling berhak meneruskan adalah
ahli waris penggarap. Jika ahli waris menolak, Musaqah diserahkan kepada
pemilik tanah.
c.
Membatalkan,
baik ucapan secara jelas atau adanya uzur.
Di antara uzur yang dapat membatalkan Musaqah :
i.
Penggarap
dikenal sebagai pencuri yang dikhawatirkan akan mencuri buah-buahan yang akan
digarapnya.
j.
Penggarap
sakit sehingga tidak dapat bekerja.
Menurut Ulama Malikiyah[30]
Ulama
Malikiyah berpendapat bahwa Musaqah akad yang dapat diwariskan. Dengan
demikian, ahli waris penggarap berhak untuk meneruskan garapan. Akan tetapi,
jika ahli warisnya menolak, pemilik harus menggarapnya.
Musaqah
dianggap tidak
batal jika penggarap diketahui seorang pencuri, tukang berbuat zalim atau tidak
dapat bekerja. Penggarap boleh memburuhkan orang lain untuk bekerja. Jika tidak
mempunyai modal, ia boleh mengambil bagiannya dari upah yang akan diperolehnya
bila tanaman telah berbuah. Ulama Malikiyah beralasan bahwa Musaqah adalah
akad yang lazim yang tidak dapat dibatalkan karena adanya uzur, juga tidak
dapat dibatalkan dengan pembatalan sepihak sebab harus ada kerelaan di antara
keduanya.
Menurut Ulama Hanabilah[31]
Ulama
Hanabilah berpendapat bahwa Musaqah sama dengan muzara’ah, yakni
termasuk akad yang dibolehkan, tetapi tidak lazim. Dengan demikian, setiap sisi
dari Musaqah dapat membatalkannya. Jika Musaqah rusak setelah
tampak buah, buah tersebut dibagikan kepada pemilik dan penggarap sesuai dengan
perjanjian waktu akad.
Penggarap
memiliki hak bagian dari hasilnya jika tampak. Dengan demikian, penggarap
berkewajiban menyempurnakan pekerjaannya meskipun Musaqah rusak.
Jika
penggarap meninggal, Musaqah dipandang tidak rusak, tetapi dapat
diteruskan oleh ahli warisnya. Jika ahli waris menolak, mereka tidak boleh
dipaksa, tetapi hakim dapat menyuruh orang lain untuk mengelolanya dan upahnya
diambil dari tirkah (peninggalannya). Akan tetapi, jika tidak memiliki tirkah,
upah tersebut diambil dari bagian penggarap sebatas yang dibutuhkan
sehingga Musaqah sempurna.
Jika
penggarap kabur sebelum penggarapannya selesai, ia tidak mendapatkan apa-apa
sebab ia dipandang telah rela untuk tidak mendapatkan apa-apa.
Jika
pemilik membatalkan Musaqah sebelum tampak buah, pekerja berhak
mendapatkan upah atas pekerjaannya.
Apabila
ada uzur yang tidak menyebabkan batalnya akad, misalnya penggarap lemah untuk
mengelola amanat tersebut, pekerjaannya diberikan orang lain, tetapi
tanggung-jawabnya tetap di tangan penggarap, sebagaimana pendapat ulama
Syafi’iyah. Seandainya betul-betul lemah secara menyeluruh, pemilik mengambil
alih dan mengambil upah untuknya.
Ulama
Hanabilah pun berpendapat bahwa Musaqah dipandang selesai dengan
habisnya waktu. Akan tetapi, jika keduanya menetapkan pada suatu tahun yang
menurut kebiasaan akan ada buah, tetapi ternyata tidak, penggarap tidak
mendapatkan apa-apa.
2.3.3 Keabsahan Musaqah
Keabsahan musaqah tergantung pada
rukun-rukunnya, waktunya, serta syarat-syarat yang disyaratkan pada
rukun-rukunnya.
a.
Syarat-syarat musaqah:
1.
Ahli
dalam akad
2.
Menjelaskan bagian penggarap
3.
Membebaskan pemilik dari
pohon, dengan artian bagian yang akan dimiliki dari hasil panen merupakan hasil
bersama.
4.
Hasil dari pohon dibagi antara
dua orang yang melangsungkan akad
5.
Sampai batas akhir, yakni
menyeluruh sampai akhir.
b. Rukun
Rukun musaqah adalah:
1. Shigat
2. Dua orang yang akad (al-aqidain)
3. Objek musaqah (kebun dan semua pohon yang berbuah)
4. Masa kerja, dan
5. Buah
Macam-macam Musaqah ada 2 macam, yaitu :
1.
Musaqah yang bertitik tolak pada manfaatnya, yaitu
pada hasilnya berarti pemilik tanah (tanaman) sudah menyerahkan kepada yang
mengerjakan segala upaya agar tanah (tanaman) itu membawa hasil yang baik.
2.
Musaqah yang bertitik tolak
pada asalnya (Cuma mengairi), yaitu mengairi saja, tanpa ada tanggung jawab
untuk mencari air. Maka pemiliknyalah yang berkewajiban mencarikan jalan air,
baik dengan menggali sumur, membuat parit, bendungan, ataupun usaha-usaha yang
lain.
Hikmah:
1.
Menghilangkan bahaya kefaqiran
dan kemiskinan dan dengan demikian terpenuhi segala kekurangan dan kebutuhan.
2.
Terciptanya saling memberi manfaat antara sesama
manusia.
Bagi pemilik kebun sudah tentu pepohonannya akan
terpelihara dari kerusakan dan akan tumbuh subur karena dirawat
Maaf kaka,, referensi nya berasal dari mana ya,, mungkin boleh skalian dicantumkan 🙏🏻
BalasHapus