Translate

Jumat, 20 Desember 2013

amm dan qass dalam al-quran



BAB II
PEMBAHASAN
A.    ‘AM DAN KHAS
1.      Pengertian ‘am
      ‘Am menurut bahasa artinya merata, atau yang umum. Sedangkan menurut istilah ialah lafadz yang meliputi pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadh itu.
Contoh lafaz Am seperti lafaz "laki-laki"( الرِّجاَلُ )  dalam lafaz tersebut mencakup semua laki-laki. Atau lafaz "manusia" itu mencakaup semua manusia. Sementara golongan Hanafiah memberi definiai lain sebagai berikut:
“Lafaz Am ialah suatu lafaz yang mencakup arti secara keseluruhan”.
Dengan pengertian lain, ‘am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.Misalnya Al- Insan yang berarti manusia. Perkataan ini mempunyai  pengertian umum, jadi semua manusia termasuk dalam tujuan perkataan ini,sekali mengucapkan lafadz Al- Insan berarti meliputi jenis manusia seluruhnya. Jadi, dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwasanya keumuman merupakan bagian dari sifat – sifat lafadz. Karena keumuman adalah dalalah lafadz terhadap penghabisan seluruh satuan – satuannya.Sesungguhnya lafadz apabila menunjukkan pada satu individu atau dua individu, atau jumlah terbatas daripada individu – individu maka ia tidaklah termasuk lafadz umum.[1]
2.      Macam- macam ‘Am
Melalui pengkajian terhadap nash-nash, al-‘am dibagi menjadi tiga macam;
a.       ‘Am yang tetap dalam keumumannya (al- ‘amm al- baqi ‘ala ‘umumih). Qadi jalaluddin al-baqini mengatakan, ‘amm seperti ini jarang ditemukan, sebab tidak ada satu pun lafadz ‘amm kecuali didalamnya terdapat takhsis (pengkhususan). Tetapi Zarkasyi dalam al-burhan mengemukakan, ‘amm demikian banyak terdpat dalam al-qur’an. Ia mengajukan beberapa contoh, antara lain: QS. An-Nisa’: 176 (والله بكل شئ عليم) ‘Amm dalam ayat-ayat ini tidak mengandung kekhususan.
b.      ‘Am yang dimaksud khusus (al-‘am al-murad bihi al-khusus). Seperti Firman Allah SWT:
وَلله على الناس حِجُّ البَيتِ
Artinya: “Menunaikan haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah”.  (QS. Al- Imron: 98).
c.       ‘Am yang dikhususkan (al-‘amm al-maksus), yaitu al-‘am al-muthlaq yang tidak disertai qorinah yang meniadakan kemungkinan pengkhususannya atau ditiadakan dalalahnya, seperti nash yang di dalamnya terdapat lafadz-lafadz ‘am dan tidak ada qorinah lafadz, akal atau kebiasaan yang bias menentukan kekhususan ataupun keumumannya sehingga keumumannya menjadi khusus sampai ada dalil yang mengkhususkannya,
Contoh:
والمطلقات يتربّصن بأتفسهنّ ثلا ثة قروء
“Perempuan-perempuan yang dithalaq itu menunggu”.
Menurut imam al-Syaukani, al-‘am yang dimaksudkan sebagai kekhususan adalah al-‘am yang ketika diucapkan disertai qorinah yang dapat menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan al-‘am itu ialah khusus bukan umum.
3.      Macam-macam lafadz ‘am
Lafadz yang menunjukkan arti umum ada 3 macam, di antaranya adalah:
a.       Lafadz ‘am yang yang tidak mungkin bisa  ditakhsis.
Misalnya:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا      
Artinya: Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya. .( QS. Hud:6).
Yang dimaksud adalah seluruh jenis hewan melata, tanpa kecuali.
b.      Lafadz ;am yang bisa ditakhsis, karena ada dalil dan bukti yang menunjukkan kekhususannya.
Contohnya:
مَا كَانَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ وَلَا يَرْغَبُوا بِأَنْفُسِهِمْ عَنْ نَفْسِهِ
Artinya: Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. (At-Taubah: 120).
Yang dimaksud ayat tersebut bukan seluruh penduduk Mekah, tapi hanya orang-orang yang mampu.
c.       Lafadz ‘am yang memang di pakai untuk hal – hal yang khusus, seperti lafadz umum yang tidak ditemukan adanya tanda yang menunjukkan ditakhsis.
Contoh:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوء    
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.( Al-Baqarah: 228).
Lafadz ‘am dalam ayat tersebut adalah al-muthallaqat (wanita-wanita yang ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umum atau sebagian cakupannya.[2]
4.      Lafadz-lafadz yang menunjukkan ‘Am
a.       Lafadz-lafadz, seperti;
كلّ  : كل راع مسئول عن رعىتة
Artinya : setiap pemimpin dimintakan pertanggung jawaban tentang yang dipimpinnya
جميع : خلق لكم ما فى الأرض جميعا
Artinya : Alloh menjadikan segala sesuatu yang ada dibumi untuk kamu.
Penjelasan : siapa saja yang menjadi poemimpin akan dimintai pertanggung jawaban oleh Alloh dan apa saja semua yang ada di bumi dijadikan alloh untuk kepentingan manusia.
b.      Lafadz mufrad yang dima’rifatkan dengan Al-Jinsiyyah atau idhafah, berikut masing-masing contohnya :
والسارق والسارقة فاقطعواأيد يهما
Artinya : laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya. (surat Al maidah)
Penjelasan : semua nyang berzina baik laki-laki atau perempuan maupun lelaki wajib didera dan semua yang mencuri baik laki-laki maupun perempuan wajib dipotong tangannya
c.       Isim nakirah sesudah  لا  انافية   (la menidakkan) contoh:
ولاخناح عليكم فيماعرضتم به من خطبة النساء
Artinya: dan tidak ada dosa bagimu meminang wanita-wanita dengan sindiran yang baik. (surat Al baqoroh 235)
Penjelasan : ahwasanya tidak berdosa eseorang meminang wanita dengan sindiran yang baik
d.      Isim istifham seperti ما,.من,اين,متى Firman Alloh:
متى نصرالله الاان نصرا لله قريب
Artinya: bilakah datangnya pertolongan Alloh ingatlah sesungguhnya pertolongan Alloh itu amatlah dekat. (surat Al Baqoroh 214)
Penjelasan : bahwasanya pertolongan Alloh itu bersifat umum kapan saja dapat diberikan. [3]

5.      Pengertian Khas
Khas adalah “Isim Fail” yang berasal dari kata kerja :
حَصَصَ, يُخْصِّصُ, يُخَصِيصاً, خاَصِّ
Artinya : “yang mengkususkan atau menentukan”
Dalam istilah ushul fiqh, yang dimaksud dengan khas adalah :
مَالاَ يَتَناَوَلُ دَفْعَةً سَيْئَيْنِ فَصاَعَداً مِنْ غَيْرِ خَصٍ
Artinya : "sesuatu yang tidak mencapai sekaligus dua/lebih tanpa batas.
Contoh
a.       رَجُل  Artinya seorang laki- laki, dalam hal ini terbatas pada seorang saja.
b.      رُجُلاَن  Artinya dua orang laki- laki dalam hal ini terbatas pada dua orang saja.
c.       Dan seterusnya
Adapun yang dimaksudkan dengan Takhsis dalam iatilah ushul fiqh adalah :
Artinya :
إِحْراَجُ بَعْضِ كاَنَ داَخِلاً تَحْتَ الْعُمُوْمِ عَلىَ تَقْدِيْرِ عَدَمِ المُخَصَّصِ.
“Mengeluarkan sebagian apa-apa yang termasuk dalam yang umum itu menurut ukuran ketika tidak terdapat mukhasis”
6.      Pembagian Mukhassis
Mukhasis ada dua macam yaitu:
a.       Mukhasis Mutasil ( الغاية)
Mukhasis yang bersambung adalah apabila makna satu dalil yang mengkhususkan, berhubungan erat/bergantung pada kalimat umum sebelumnya.
Adapun beberapa macam Mukhasis muttasil antara lain :
1)      Pengecualian (AI- Istisna’)
Contoh firman Allah Surat Al-Ashar ayat 2-3 :

Artinya :
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
Jadi yang dikhususkan pada ayat tersebut adalah orang-orang yang beriman dan yang beramal Soleh. Pengkususan pada ayat tersebut adalah dengan jalan mengecualian, yakni dengan memakai huruf istisna’.
2)      Syarat (الشرط)
Yang Artinya :
“………dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. “ (Qs Al- Baqarah: 228)
Dalam ayat tersebut dikatakan, lebih berhak kembali pada istrinya. Maksudnya adalah dalam masa iddah, tetapi dengan syarat bila kembalinya itu dengan maksud ialah lafaz yang menujukakan pada ayat tersebut adalah “Jika”    ( ان )
3)      Sifat   ( الصِّفَةُ )
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَاءً فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةً مُؤْمِنَةٍ
(Qs. An- nisa’ : 42)
Sifat yang mengkhususkan dalam ayat tersebut adalah sifat muknim yakni yang diremehkan itu harus/dikhususkan pada hamba yang muknim.
4)      Kesudahan/ batas sesuatu (الغاية)
Contoh firman Allah :
Artinya :
"....dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci ... (Q.S Al- baqqrah 222)
5)      Sebagai yang menggantikan Keseluruhan ( بَدَلُ البَعْضِ مِنْ الكُلِّ)
Contoh firman Allah :
Artinya :
“…Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah…”(Ali-Imiran: 97)
Lafazh    (مِنْ) dan sesudahnya pada ayat tersebut , menghususkan keumuman sebelumnya, arti sebagian orang yang "mampu' Mengganti, keumuman wajib nya manusia untuk haji.
b.      Mukhasis Munfasil [4]
Mukhasis munfasil adalah dalil umum / makna dalil yang sama dengan dalil atau makna dalil yang mengkhususkannya, masing- masing berdiri sendiri. Yakni tidak berkumpul tetapi terisah , Mukhasis munfasil ada beberapa macam :
1)      Kitab di- taksis dengan kitab
Contohnya firman Allah :
Artinya :
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' (Q.S.A1-Baqarah : 228)
Ayat tersebut, umum : tercakup juga orang hamil makea datang ayat, lain yang mengkhususkan bagi wanita hamil yang berbunyi:
Artinya :
“ ……. dan begitu perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (Q.S Al- Talaq: 4)
2)      Kitab di- Takhsis dengan Sunnah Contoh firman Allah :
Artinya :
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan (Q.S :An- Nisaa: 11)
Ayat tersebut bersifat umum, yakni mencakup anak yang kafir, kemudian dataing hadist yang mengkususkannya berbunyi:
لاَ يُرِثُ المُسْلِمُ الكاَفِرِ وَلاَ الكاَفِرِ المُسْلِمِ
Artinya :
“Tidak boleh mewarisi seseorang musulim puda seorang kafir, dan tidak boleh (juga) kafir pada muslim (HR. Bukhari)
3)      Sunnah di-Takhsis dengan Kitab
Sebagai contoh adalah Hadits Nabi yang berbunyi :
لاتقبل الله صلا ة احدكم اذا احدث حتى يقوضأ
Artinya
“Allah tidak menerima shalat seorang diantara kamu bila masih berhadas hingga berwudhu " (HR. Bukhari, Muslim)
Hadits tersebut adalah Umum, yakni termasuk dalam keadaan tidak dapat memperoleh air, kemudian dikhususkan oleh ayat yang berbunyi :
وا كنتم مرض او على سفر او جا ء احد منكم من الغا ئط او لمستم النساء فلم تجدوا ماء فيتمموا صعيدا طيبا
Artinya :
“Dan jika kamu sakit/sedang dalam musafir/datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air maka bertayamumlah kamu dengan tanah bersih .... "
4)      Sunnah di-Takhsis dengan Sunnah
Sebagai contoh adalah Hadits Nabi yang berbunyi :
فيا سقت السماء العشر (رواه بخارى و مسلم)
Artinya:
“Tanaman yang dengan siraman hujan, (zakatnya) adalah seper sepuluh" (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits tersebut di-Takhsis dengan hadits yang berbunyi :
ليس فيا دون خمسة اوسق صدقة
Artinya :
“Tidak wajib zakat (tanaman) yang kurang lima wasaq” (HR. Bukhari dan Muslim)
5)      Men- Takhis dengan Qiyas
لي الوجد يحل عرضه وعقوبته
Artinya :
“Menunda-nunda pembayaran bagi orang yang mampu, halal dilanggar kehormatannya dan boleh dihukum" (HR. Ahmad)
Hadist tersebut ialah umum, yakni siapa saja yang menunda-nunda pembayaran hutang, padahal ia mampu untuk membayar, termasuk ibu atau bapak. Kemudian dikhususkan, yakni bukan termasuk ibid dan bapak dengan jalan meng-Qiyas firman Allah yang berbunyi :
Artinya :
Janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" (Qs Al-Isra:23)
Tidak boleh memukul melanggar kehormatan kedua orang tua adalah hasil Qiyas dari larangan mencakup "ah" terhadap-Nya. Karena memukul atau melanggar kehormatan, lebih tinggi kadar menyakitkannya dari pada mengucap "ah". Qiyas yang demikian dinamakan Qiyas Qulawi. Sebagian ulama berpandangan bahwa yang demkian bukan dinamakan Qiyas Qulawi, tetapi diaebut Mafhum Muwafaqah.
7.      Tahsis sunnah dengan Al-Qur’an [5]
Terkadang ayat al-qur’an mentakhsis, membatasi keumuman sunnah. Para ulama’ mengemukakan contoh dengan hadits riwayat waqid al-laisi. Ia menjelaskan bahwa nabi saw berkata:
ماقطع من البهيمة وهي حية فهو ميت
“ bagian apa saja yang dipotong dari hewan ternak hidup, maka ia adalah bangkai”
Hadits ini di takhsis oleh QS. An-Nahl: 80
ومن اصوافها واوبارها واشعارها ومتعا الى حين
“dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu unta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu tertentu.”

B.     MUTLAQ  MUQOYYAD
1.    Definisi Muthlaq dan Muqoyyad
a.      Muthlaq
Muth-laq artinya yang terlepas, yang dilepaskan, yang tidak terikat oleh ilmu ushul, ditujukan kepada: satu perkataan yang menunjukkan kepada dzat sesuatu dengan tidak ada syarat, sifat atau sesuatu ketentuan.[6]
Sedangkan menurut ushul fiqih, muthlaq adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya. Misalnya: kata “meja”, “rumah”, “jalan” , kata-kata ini memiliki makna mutlak karena 1) secara makna kata-kata tersebut telah menunjuk pada pengertian makna tertentu yang telah kita pahami, 2) tidak dibatasi oleh kata-kata lain.
Menurut istilah ada beberapa pengertian yang dihimpun oleh Amir Syarifuddin dalam bukunya “Ushul Fiqh”, yang diambil dari berbagai sumber, yaitu :
1)      Menurut Khudhari Beik, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafdzi.
2)      Menurut Abu Zahrah, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap maudhu’nya tanpa memandang kepada satu, banyak, atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat  sesuatu menurut apa adanya.
3)      Ibnu Subki memberikan definisi bahwa mutlaq adalah lafadz yang memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ikatan apa-apa.
Dari ketiga pengertian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa mutlaq adalah lafadz yang mencakup pada jenisnya tetapi tidak mencakup seluruh afrad di dalamnya.[7]
Syarat-syarat dalam muthlaq:
1)      Dapatnya lafadl itu ditetapkan sebagai lafadl muthlaq atau dapat dikenai qayyid
2)      Tidak terdapatnyabqarinah yang menunjkkan bahwa lafadl itu mempunyai qayyid baik muttashil maupun munfasil
3)      Penetapan terhadap lafadl mutlaq itu nyata bukan sekedar dapat di artikan demekian.[8]
Perbedaan ‘aam dan muthlaq. Sebenarnya tidak ada perbedaan di antara ‘aam dan muthlaq drai segi hasilnya, hanya sedikit ada perbedaan pada daya cukupnya. Petunjuk ‘aam mencakup seluruh arti yang masuk pada pengertian lafadl itu. Sedangkan muthlaq benarnya mencakup pada yang tidak di batasi oleh pengertian yang masuk pada taqyid.
Seperti riwayat ini:
Ada seorang bersetubuh dengan istrinya pada siang hari bulan ramadhan, lalu ia dating kepada Nabi Saw menanyakan hukum atas kejadian itu. Maka Rasulullah saw bertanya kepadanya: “Adakah engkau mempuyai sesuatu untuk memerdekakan seorang hamba?”Maka ia menjawab: “tidak” ( muslim )
Keterangan:
Kata-kata hamba ini, disebut muth-laq, karena ia menjukkan kepada dzat hamba dan tidak terikat dengan salah satu sifat, syarat atau ketentuan, yakni tidak terikat dengan perkataan “mukmin” atau “kafir” atau lainnya. Maka menurut ini: kata-kata hamba mukmin boleh kepada hamba kafir dan  boleh juga kepada yang lainnya, asal bernama hamba.
Di fasal ‘am sudah ada pembicaraan bahwa
1)      Keumuman kata-kata yang teranggap
2)      Umum menjadi tertentu
3)      Tidak boleh berpegang kepada umum
Maka begitu juga fashal muth-laq, yakni:
1)       Kemuth-laqan kata-katalah yang terangap
2)       Muth-laq jadi terikat (tertentu)
3)       Tidak boleh langsung berpegang kepada muth-laq
Boleh pembaca qiaskan 3 macam muth-laq ini dengan 3 macam umum itu, yang berbeda antara ‘am nama dan muth-laq adalah tentang tujuan lafazhnya dan nama. Adapun kedudukannya sama.[9]
b.      Muqoyyad
Muqayyad secara bahasa artinya sesuatu yang terikat atau yang diikatkan kepada sesuatu. Pengertian secara istilah ialah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang terikat dengan suatu seperti sifat. Contohnya ialah lafadz “raqabah mukminah” (hamba sahaya yang beriman) yang terdapat dalam firman Allah:
“Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”.
Kata “raqabah” (hamba sahaya) dalam ayat ini memakai qayid atau ikatan yaitu mukminah. Maka ketentuan hukum dari ayat ini ialah siapa pun yang melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa seseorang tanpa sengaja, maka dikenai denda atau diyat, yaitu harus memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Oleh karena itu, setiap ayat yang  datang dalam bentuk muqayyad, maka harus diamalkan berdasarkan qayid yang menyertainya, seperti ayat raqabah di atas.[10]
2.    Bentuk-Bentuk Muthlaq dan Muqoyyad
Kaidah lafazh mutlaq dan Muqayyad dapat dibagi dalam lima bentuk:
a.    Suatu lafazh dipakai dengan mutlaq pada sauatu nash, sedangkan pada nash lain digunakan dengan muqayyad; keadaan ithlaq dan taqyid-nya bergantung pada sebab hukum.
b.    Lafazh mutlaq dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya.
c.    Lafazh mutlaq dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam hukumnya ataupun sebab hukumnya.
d.   Mutlaq muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya salam.
e.    Mutlaq dan muqayyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.
3.    Hukum Lafadz Muthlaq dan Muqoyyad
Kalau di suatu tempat disebut dengan lafadz mutlak, dan ditenpat lain dengan lafadz muqayyad, maka ada empat kemungkinan:
a.       Tidak berbeda (sama) hukum dan sebabnya.
Mutlak itu dibawa ke muqayyad jika sebab dan hukumnya sama.
Dalam hal ini mutlak harus dibawa kepada muqayyad. Artinya, muqayyad menjadi penjelasan terhadap mutlak.
Contoh Mutlak:
Artinya:
Diharamkan atasmu bangkai, darah dan daging babi. (QS. al-Maidah: 3)
Contoh Muqayyad:
Artinya:
“Katakanlah: tidaklah aku peroleh didalam wahyu yang diturunkan kepadaku, akan sesuatu makanan yang haram atas orang yang hendak memakannya, kecuali bangkai, darah yang mengalir atau daging babi”. (QS. Al-An’am: 145).
Kedua ayat tersebut berisi sebab yang sama, yaitu hendak makan, dan berisi hukum yang sama, yaitu: haramnya darah.
b.      Berbeda hukum dan sebabnya
Mutlak tidak dibawa ke muqayyad jika sebab dan hukumnya berbeda.
Dalam hal ini masing-masing mutlak dan muqayyad tetap pada tempatnya sendiri. Muqayyad tidak menjadi penjelasan mutlak.
Contoh Mutlak:
Artinya:
Pencuri lelaki dan perempuan potonglah tangannya (QS. Al-Maidah: 38)
Contoh Muqayyad:
Artinya:
Wahai orang Mukmin, apabila kamu hendak shalat, hendaklah basuh mukamu dan tanganmu sampai siku. (QS. Al-Maidah: 6)
Dalam hal tersebut ada hadist Nabi yang menjelaskan bahwa pemotongan tangan pencuri sampai pergelangan. Ayat 6 al-Maidah yang muqayyad tidak bisa menjadi penjelasan ayat 38 al-Maidah 38 yang mutlak, karena berlainan sebab, yaitu hendak shalat dan pencurian, dan berlainan pula dalam hukum, yaitu wudhuk dan pemotongan tangan.
c.       Berbeda hukum, tetapi sebabnya sama
Mutlak itu tidak dibawa ke muqayyad jika yang berbeda hanya hukumnya.
Dalam hal ini masing-masing mutlak dan muqayyad tetap pada tempatnya sendiri.
Contoh Mutlak:
Artinya:
Tayamum ialah sekali mengusap debu untuk muka dan kedua tangan. (HR. Ammar)
Contoh Muqayyad:
Artinya:
Basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku. (QS. Al-Maidah: 6)
d.      Berisi hukum yang sama, tetapi berlainan sebabnya
Mutlak itu dibawa ke muqayyad jika sebabnya berbeda.[11]
Dalam hali ini ada dua pendapat.
1)      Menurut golongan Syafi’i, mutlak dibawa kepada muqayyad.
2)      Menurut golongan Hanafiyah dan Makkiyah, mutlak tetap pada tempatnya sendiri, tidak dibawa kepada muqayyad.
Contoh mutlak:
Artinya:
Orang-orang yang menzihar istrinya kemudian mereka hendak menarik apa yang merekaucapkan maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang hamba sahaya sebelum keduanya bercampur. (al-Mujadalah: 3)
Contoh Muqayyad:
Artinya:
Barangsiapa yang membunuh orang Mukmin dengan tidak disengaja (karena kekeliruan) maka hendaklah membebaskan seorang hamba yang Mukmin. (QS. An-Nisa’: 92)
Kedua ayat diatas berisi hukum yang sama, yaitu pembebasan budak, sedang sebabnya berlainan. Yang satu karena zhihar yang lain karena pembunuhan yang sengaja.[12]
4.    Hal-hal yang diperselisihkan dalam mutlaq dan muqayyad
a.       Kemutlakannya dan kemuqayyadannya terdapat pada sebab hokum.
Namun, masalah (maudu’) dan hukumnya sama. Menurut jumhur ulama dari kalangan Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanafiyah, dalam masalah ini wajib membawa mutlaq kepada muqayyad.
Oleh sebab itu, mereka tidak mewajibkan zakat fitrah kepada hamba sahaya. Sedangkan ulama hanafiyah tidak mewajibkan  membawa lafazh mutlaq dan muqayyad. Oleh sebab itu, ulama Hanafiyah mewajibkan zakat fitrah atas hamba sahaya secara mutlaq.
b.      Mutlaq dan muqayyad terdapat pada nash yang sama hukumnya, namun sebabnya berbeda. Masalah ini juga diperselisihkan. Menurut ulamahanafiyah tidak boleh membawa mutlaq pada muqayyad, melainkan masing-masingnya berlaku sesuai dengan sifatnya. Oleh karena itu, ulama hanafiyah, pada kafarat zihar tidak mensyaratkan hamba mukmin. Sebaliknya, menurut jumhur ulama harus membawa mutlaq kepada muqayyad secara mutlaq. Namun menurut sebagian ulama Syafi’iyah, mutlaq dibawa pada muqayyad apabila ada illat hokum yang sama, yakni dengan jalan qiyas.[13]

C.    MANTUQ MAFHUM
a.        



























KESIMPULAN
Ketetapan hukum Sar’iy yang sudah digariskan oleh Al Qur’an dan As Sunnah harus dipahami dengan sungguh-sungguh, untuk melangkah kesana diperlukan kemampuan mempuni bagi calon-calon Mujtahid agar tidak terjadi produk hukum yang ngawur dan tidak bisa di pertanggung jawabkan dan diatas diterangkan cara-cara  yang digunakan adalah dengam memahami ayat yang ada dalam alqur’an dan haditst.
Bahwasanya kita ketahui dalam penjelasan diatas ada beberapa macam lafaddan dimana dari macam- macam lafadz tadi dapat diartikan menurut macam kriteria lafadz  itu, lafadz itu yakni amm, khas, mutlak, dan muqoyyad. Mempelajari ilmu ushul fiqh, mendalami dan sekaligus menguasainya pemahaman lafadz diatas adalah salah satu batu loncatan untuk menjadi pencetus hukum yang handal dan diperhitungkan.
Sampai di sini semoga tulisan yang sangat sederhana dan penuh kekurangan ini bisa dimanfa’atkan dan bila terdapat kekeliruan mohon dibetulkan


[1] Khoirul Umam, Achyar Aminudin, Ushul Fiqih 11, CV Pustaka Setia, (Bandung:2001), hlm 61
[2] Syafi’I Karim, Fiqih Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia, (Bandung: 1997), hlm.153
[3] Zainal Abidan, Studi Al-Qur’an, CV Setia Usaha. 1975. Hlm. 70
[4] Ahmad Adhlan , Ushul Fiqh. Jakarta.2010 hlm. 89
[5] Manna’ khalil al-qattan, studi ilmu-ilmu qur’an. Jakarta: 1992. Hlm.319
[6] Abdul khodir hasan. Ushul fiqih.hlm. 50
[8] Asymuni abdurrachman. Ushul fiqh syi’ah imamiyah. ( Yogyakarta: CV. Bina Usaha, 1985) hlm.50-51
[9] Abdul khodir hasan. Ushul fiqih.hlm. 50
[11]Razali Amin, Qawaed Ushuliyah, (Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry Press, 2004), hlm. 59
[12] Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, cet. II, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm 172-176
[13] Rachmat syafe’i.ilmu ushul fiqih.(Bandung: Pustaka Setia, 2010) Hlm. 212-214

Tidak ada komentar:

Posting Komentar