BAB II
PEMBAHASAN
A.
‘AM
DAN KHAS
1.
Pengertian
‘am
‘Am menurut bahasa artinya merata, atau yang umum. Sedangkan menurut istilah ialah lafadz yang meliputi pengertian
umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadh itu.
Contoh lafaz Am seperti lafaz "laki-laki"(
الرِّجاَلُ ) dalam lafaz tersebut mencakup semua laki-laki.
Atau lafaz "manusia" itu mencakaup semua manusia. Sementara
golongan Hanafiah memberi definiai lain sebagai berikut:
“Lafaz Am ialah suatu
lafaz yang mencakup arti secara keseluruhan”.
Dengan pengertian lain, ‘am adalah kata yang memberi pengertian umum,
meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.Misalnya
Al- Insan yang berarti manusia. Perkataan ini mempunyai pengertian umum, jadi semua manusia termasuk
dalam tujuan perkataan ini,sekali mengucapkan lafadz Al- Insan berarti meliputi jenis manusia seluruhnya. Jadi, dari
uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwasanya keumuman merupakan bagian
dari sifat – sifat lafadz. Karena keumuman adalah dalalah lafadz terhadap penghabisan seluruh satuan –
satuannya.Sesungguhnya lafadz apabila menunjukkan pada satu individu atau dua
individu, atau jumlah terbatas daripada individu – individu maka ia tidaklah
termasuk lafadz umum.[1]
2.
Macam-
macam ‘Am
Melalui pengkajian
terhadap nash-nash, al-‘am dibagi menjadi tiga macam;
a.
‘Am yang tetap dalam
keumumannya (al- ‘amm al- baqi ‘ala ‘umumih). Qadi jalaluddin al-baqini mengatakan,
‘amm seperti ini jarang ditemukan, sebab tidak ada satu pun lafadz ‘amm kecuali
didalamnya terdapat takhsis (pengkhususan). Tetapi Zarkasyi dalam al-burhan
mengemukakan, ‘amm demikian banyak terdpat dalam al-qur’an. Ia mengajukan
beberapa contoh, antara lain: QS. An-Nisa’: 176 (والله بكل شئ عليم) ‘Amm dalam ayat-ayat ini tidak mengandung
kekhususan.
b.
‘Am yang dimaksud
khusus (al-‘am al-murad bihi al-khusus). Seperti Firman Allah SWT:
وَلله على الناس حِجُّ البَيتِ
Artinya: “Menunaikan haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap
Allah”. (QS. Al- Imron: 98).
c.
‘Am yang dikhususkan
(al-‘amm al-maksus), yaitu al-‘am al-muthlaq yang tidak disertai qorinah yang
meniadakan kemungkinan pengkhususannya atau ditiadakan dalalahnya, seperti nash
yang di dalamnya terdapat lafadz-lafadz ‘am dan tidak ada qorinah lafadz, akal
atau kebiasaan yang bias menentukan kekhususan ataupun keumumannya sehingga
keumumannya menjadi khusus sampai ada dalil yang mengkhususkannya,
Contoh:
والمطلقات يتربّصن بأتفسهنّ ثلا ثة قروء
“Perempuan-perempuan yang dithalaq itu menunggu”.
Menurut imam al-Syaukani, al-‘am yang dimaksudkan sebagai kekhususan adalah
al-‘am yang ketika diucapkan disertai qorinah yang dapat menunjukkan bahwa yang
dimaksud dengan al-‘am itu ialah khusus bukan umum.
3.
Macam-macam
lafadz ‘am
Lafadz yang menunjukkan
arti umum ada 3 macam, di antaranya adalah:
a.
Lafadz ‘am yang yang
tidak mungkin bisa ditakhsis.
Misalnya:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
Artinya: Dan tidak ada
suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.
.( QS. Hud:6).
Yang dimaksud adalah seluruh jenis hewan melata, tanpa kecuali.
b. Lafadz ;am yang bisa ditakhsis, karena ada dalil dan bukti yang menunjukkan
kekhususannya.
Contohnya:
مَا كَانَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ أَنْ
يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ وَلَا يَرْغَبُوا بِأَنْفُسِهِمْ عَنْ نَفْسِهِ
Artinya: Tidaklah
sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di
sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak
patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri
Rasul. (At-Taubah: 120).
Yang dimaksud ayat tersebut bukan seluruh penduduk Mekah, tapi hanya
orang-orang yang mampu.
c. Lafadz ‘am yang memang di pakai untuk hal – hal yang khusus, seperti lafadz
umum yang tidak ditemukan adanya tanda yang menunjukkan
ditakhsis.
Contoh:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ
ثَلَاثَةَ قُرُوء
Artinya: Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.( Al-Baqarah:
228).
Lafadz ‘am dalam ayat tersebut adalah al-muthallaqat (wanita-wanita yang
ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah
makna umum atau sebagian cakupannya.[2]
4.
Lafadz-lafadz
yang menunjukkan ‘Am
a. Lafadz-lafadz, seperti;
كلّ : كل راع مسئول عن رعىتة
Artinya : setiap pemimpin dimintakan pertanggung jawaban tentang yang
dipimpinnya
جميع :
خلق لكم ما فى الأرض جميعا
Artinya : Alloh menjadikan segala sesuatu yang ada dibumi untuk kamu.
Penjelasan : siapa saja yang menjadi poemimpin akan dimintai pertanggung
jawaban oleh Alloh dan apa saja semua yang ada di bumi dijadikan alloh untuk
kepentingan manusia.
b. Lafadz mufrad yang dima’rifatkan dengan Al-Jinsiyyah atau idhafah, berikut
masing-masing contohnya :
والسارق والسارقة فاقطعواأيد يهما
Artinya : laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya. (surat Al maidah)
Penjelasan : semua nyang berzina baik laki-laki atau perempuan maupun
lelaki wajib didera dan semua yang mencuri baik laki-laki maupun perempuan
wajib dipotong tangannya
c. Isim nakirah sesudah لا انافية (la menidakkan) contoh:
ولاخناح عليكم فيماعرضتم به من خطبة النساء
Artinya: dan tidak ada dosa bagimu meminang wanita-wanita dengan sindiran
yang baik. (surat Al baqoroh 235)
Penjelasan : ahwasanya tidak berdosa eseorang meminang wanita dengan
sindiran yang baik
d. Isim istifham seperti ما,.من,اين,متى Firman Alloh:
متى نصرالله الاان نصرا لله قريب
Artinya: bilakah datangnya pertolongan Alloh ingatlah sesungguhnya
pertolongan Alloh itu amatlah dekat. (surat Al Baqoroh 214)
Penjelasan : bahwasanya pertolongan Alloh itu bersifat umum kapan saja
dapat diberikan. [3]
5.
Pengertian
Khas
Khas adalah “Isim Fail”
yang berasal dari kata kerja :
حَصَصَ, يُخْصِّصُ, يُخَصِيصاً, خاَصِّ
Artinya : “yang
mengkususkan atau menentukan”
Dalam istilah ushul
fiqh, yang dimaksud dengan khas adalah :
مَالاَ يَتَناَوَلُ دَفْعَةً سَيْئَيْنِ فَصاَعَداً مِنْ غَيْرِ خَصٍ
Artinya : "sesuatu
yang tidak mencapai sekaligus dua/lebih tanpa batas.
Contoh
a. رَجُل Artinya seorang laki-
laki, dalam hal ini terbatas pada seorang saja.
b. رُجُلاَن Artinya dua orang laki-
laki dalam hal ini terbatas pada dua orang saja.
c. Dan seterusnya
Adapun yang dimaksudkan dengan Takhsis dalam iatilah ushul fiqh adalah :
Artinya :
إِحْراَجُ بَعْضِ كاَنَ داَخِلاً تَحْتَ الْعُمُوْمِ عَلىَ تَقْدِيْرِ عَدَمِ
المُخَصَّصِ.
“Mengeluarkan sebagian
apa-apa yang termasuk dalam yang umum itu menurut ukuran ketika tidak terdapat
mukhasis”
6.
Pembagian
Mukhassis
Mukhasis ada dua macam yaitu:
a. Mukhasis Mutasil ( الغاية)
Mukhasis yang
bersambung adalah apabila makna satu dalil yang mengkhususkan, berhubungan
erat/bergantung pada kalimat umum sebelumnya.
Adapun beberapa macam
Mukhasis muttasil antara lain :
1) Pengecualian (AI- Istisna’)
Contoh firman Allah
Surat Al-Ashar ayat 2-3 :
Artinya :
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat
menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi
kesabaran.
Jadi yang dikhususkan
pada ayat tersebut adalah orang-orang yang beriman dan yang beramal Soleh.
Pengkususan pada ayat tersebut adalah dengan jalan mengecualian, yakni dengan
memakai huruf istisna’.
2) Syarat (الشرط)
Yang Artinya :
“………dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. “ (Qs Al- Baqarah: 228)
Dalam ayat tersebut dikatakan, lebih berhak kembali pada istrinya.
Maksudnya adalah dalam masa iddah, tetapi dengan syarat bila kembalinya itu
dengan maksud ialah lafaz yang menujukakan pada ayat tersebut adalah
“Jika” ( ان )
3) Sifat ( الصِّفَةُ )
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَاءً فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةً مُؤْمِنَةٍ
(Qs. An- nisa’ : 42)
Sifat yang
mengkhususkan dalam ayat tersebut adalah sifat muknim yakni yang diremehkan itu
harus/dikhususkan pada hamba yang muknim.
4) Kesudahan/ batas sesuatu (الغاية)
Contoh firman Allah :
Artinya :
"....dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum
mereka suci ... (Q.S Al- baqqrah 222)
5) Sebagai yang menggantikan Keseluruhan ( بَدَلُ البَعْضِ مِنْ الكُلِّ)
Contoh firman Allah :
Artinya :
“…Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap
Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah…”(Ali-Imiran: 97)
Lafazh (مِنْ)
dan sesudahnya pada ayat tersebut , menghususkan keumuman sebelumnya, arti
sebagian orang yang "mampu' Mengganti, keumuman wajib nya manusia untuk
haji.
b. Mukhasis Munfasil [4]
Mukhasis munfasil
adalah dalil umum / makna dalil yang sama dengan dalil atau makna dalil yang
mengkhususkannya, masing- masing berdiri sendiri. Yakni tidak berkumpul tetapi
terisah , Mukhasis munfasil ada beberapa macam :
1) Kitab di- taksis dengan kitab
Contohnya firman Allah
:
Artinya :
Wanita-wanita yang
ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' (Q.S.A1-Baqarah :
228)
Ayat tersebut, umum :
tercakup juga orang hamil makea datang ayat, lain yang mengkhususkan bagi
wanita hamil yang berbunyi:
Artinya :
“ ……. dan begitu perempuan-perempuan yang tidak haid.
dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya. (Q.S Al- Talaq: 4)
2) Kitab di- Takhsis dengan Sunnah Contoh firman Allah :
Artinya :
Allah mensyari'atkan
bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang
anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan (Q.S :An- Nisaa: 11)
Ayat tersebut bersifat
umum, yakni mencakup anak yang kafir, kemudian dataing hadist yang
mengkususkannya berbunyi:
لاَ يُرِثُ المُسْلِمُ الكاَفِرِ وَلاَ الكاَفِرِ المُسْلِمِ
Artinya :
“Tidak boleh mewarisi seseorang musulim puda seorang
kafir, dan tidak boleh (juga) kafir pada muslim (HR. Bukhari)
3) Sunnah di-Takhsis dengan Kitab
Sebagai contoh adalah
Hadits Nabi yang berbunyi :
لاتقبل الله صلا ة احدكم اذا احدث حتى يقوضأ
Artinya
“Allah tidak menerima shalat seorang diantara kamu
bila masih berhadas hingga berwudhu " (HR. Bukhari, Muslim)
Hadits tersebut adalah
Umum, yakni termasuk dalam keadaan tidak dapat memperoleh air, kemudian
dikhususkan oleh ayat yang berbunyi :
وا كنتم مرض او على سفر او جا ء احد منكم من الغا ئط او لمستم النساء فلم
تجدوا ماء فيتمموا صعيدا طيبا
Artinya :
“Dan jika kamu sakit/sedang dalam musafir/datang dari
tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air maka bertayamumlah kamu dengan tanah bersih .... "
4) Sunnah di-Takhsis dengan Sunnah
Sebagai contoh adalah
Hadits Nabi yang berbunyi :
فيا سقت السماء العشر (رواه بخارى و مسلم)
Artinya:
“Tanaman yang dengan siraman hujan, (zakatnya) adalah
seper sepuluh" (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits tersebut
di-Takhsis dengan hadits yang berbunyi :
ليس فيا دون خمسة اوسق صدقة
Artinya :
“Tidak wajib zakat (tanaman) yang kurang lima wasaq”
(HR. Bukhari dan Muslim)
5) Men- Takhis dengan Qiyas
لي الوجد يحل عرضه وعقوبته
Artinya :
“Menunda-nunda pembayaran bagi orang yang mampu, halal
dilanggar kehormatannya dan boleh dihukum" (HR. Ahmad)
Hadist tersebut ialah
umum, yakni siapa saja yang menunda-nunda pembayaran hutang, padahal ia mampu
untuk membayar, termasuk ibu atau bapak. Kemudian dikhususkan, yakni bukan
termasuk ibid dan bapak dengan jalan meng-Qiyas firman Allah yang berbunyi :
Artinya :
Janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" (Qs Al-Isra:23)
Tidak boleh memukul
melanggar kehormatan kedua orang tua adalah hasil Qiyas dari larangan mencakup
"ah" terhadap-Nya. Karena memukul atau melanggar kehormatan, lebih
tinggi kadar menyakitkannya dari pada mengucap "ah". Qiyas yang
demikian dinamakan Qiyas Qulawi. Sebagian ulama berpandangan bahwa yang demkian
bukan dinamakan Qiyas Qulawi, tetapi diaebut Mafhum Muwafaqah.
7.
Tahsis
sunnah dengan Al-Qur’an [5]
Terkadang ayat al-qur’an mentakhsis, membatasi keumuman sunnah.
Para ulama’ mengemukakan contoh dengan hadits riwayat waqid al-laisi. Ia
menjelaskan bahwa nabi saw berkata:
ماقطع من البهيمة وهي حية فهو ميت
“ bagian apa saja yang dipotong dari hewan
ternak hidup, maka ia adalah bangkai”
Hadits ini di takhsis oleh QS. An-Nahl: 80
ومن اصوافها واوبارها واشعارها ومتعا الى حين
“dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba,
bulu unta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu
pakai) sampai waktu tertentu.”
B.
MUTLAQ MUQOYYAD
1.
Definisi
Muthlaq dan Muqoyyad
a.
Muthlaq
Muth-laq artinya yang terlepas, yang dilepaskan, yang tidak terikat oleh
ilmu ushul, ditujukan kepada: satu perkataan yang menunjukkan kepada dzat
sesuatu dengan tidak ada syarat, sifat atau sesuatu ketentuan.[6]
Sedangkan menurut ushul fiqih, muthlaq adalah suatu lafadz yang menunjukan
pada makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya. Misalnya:
kata “meja”, “rumah”, “jalan” , kata-kata ini memiliki makna mutlak karena 1)
secara makna kata-kata tersebut telah menunjuk pada pengertian makna tertentu
yang telah kita pahami, 2) tidak dibatasi oleh kata-kata lain.
Menurut istilah ada beberapa pengertian yang dihimpun oleh Amir Syarifuddin
dalam bukunya “Ushul Fiqh”, yang diambil dari berbagai sumber, yaitu :
1) Menurut Khudhari Beik, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk
terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah
secara lafdzi.
2) Menurut Abu Zahrah, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk
terhadap maudhu’nya tanpa memandang kepada satu, banyak, atau sifatnya,
tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya.
3) Ibnu Subki memberikan definisi bahwa mutlaq adalah lafadz yang
memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ikatan apa-apa.
Dari ketiga pengertian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa mutlaq
adalah lafadz yang mencakup pada jenisnya tetapi tidak mencakup seluruh afrad
di dalamnya.[7]
Syarat-syarat dalam muthlaq:
1) Dapatnya lafadl itu ditetapkan sebagai lafadl muthlaq atau dapat dikenai qayyid
2) Tidak terdapatnyabqarinah yang menunjkkan bahwa lafadl itu mempunyai qayyid
baik muttashil maupun munfasil
3) Penetapan terhadap lafadl mutlaq itu nyata bukan sekedar dapat di artikan
demekian.[8]
Perbedaan ‘aam dan muthlaq. Sebenarnya tidak ada perbedaan di antara ‘aam
dan muthlaq drai segi hasilnya, hanya sedikit ada perbedaan pada daya cukupnya.
Petunjuk ‘aam mencakup seluruh arti yang masuk pada pengertian lafadl itu.
Sedangkan muthlaq benarnya mencakup pada yang tidak di batasi oleh pengertian
yang masuk pada taqyid.
Seperti riwayat ini:
Ada seorang bersetubuh dengan istrinya pada siang hari bulan ramadhan, lalu
ia dating kepada Nabi Saw menanyakan hukum atas kejadian itu. Maka Rasulullah
saw bertanya kepadanya: “Adakah engkau mempuyai sesuatu untuk memerdekakan
seorang hamba?”Maka ia menjawab: “tidak” ( muslim )
Keterangan:
Kata-kata hamba ini, disebut muth-laq, karena ia menjukkan kepada dzat
hamba dan tidak terikat dengan salah satu sifat, syarat atau ketentuan, yakni
tidak terikat dengan perkataan “mukmin” atau “kafir” atau lainnya. Maka menurut
ini: kata-kata hamba mukmin boleh kepada hamba kafir dan boleh juga
kepada yang lainnya, asal bernama hamba.
Di fasal ‘am sudah ada pembicaraan bahwa
1) Keumuman kata-kata yang teranggap
2) Umum menjadi tertentu
3) Tidak boleh berpegang kepada umum
Maka begitu juga fashal muth-laq, yakni:
1) Kemuth-laqan kata-katalah yang terangap
2) Muth-laq jadi terikat (tertentu)
3) Tidak boleh langsung berpegang kepada muth-laq
Boleh pembaca qiaskan 3 macam muth-laq ini dengan 3 macam umum itu, yang
berbeda antara ‘am nama dan muth-laq adalah tentang tujuan lafazhnya dan nama.
Adapun kedudukannya sama.[9]
b.
Muqoyyad
Muqayyad secara bahasa artinya
sesuatu yang terikat atau yang diikatkan kepada sesuatu. Pengertian secara
istilah ialah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang terikat dengan
suatu seperti sifat. Contohnya ialah lafadz “raqabah mukminah” (hamba
sahaya yang beriman) yang terdapat dalam firman Allah:
“Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”.
Kata “raqabah” (hamba sahaya) dalam ayat ini memakai qayid
atau ikatan yaitu mukminah. Maka ketentuan hukum dari ayat ini ialah
siapa pun yang melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa seseorang tanpa
sengaja, maka dikenai denda atau diyat, yaitu harus memerdekakan hamba
sahaya yang beriman.
Oleh karena itu, setiap ayat yang datang dalam bentuk muqayyad, maka
harus diamalkan berdasarkan qayid yang menyertainya, seperti ayat raqabah
di atas.[10]
2.
Bentuk-Bentuk
Muthlaq dan Muqoyyad
Kaidah lafazh mutlaq
dan Muqayyad dapat dibagi dalam lima bentuk:
a. Suatu lafazh dipakai dengan mutlaq pada sauatu nash, sedangkan pada nash
lain digunakan dengan muqayyad; keadaan ithlaq dan taqyid-nya bergantung pada
sebab hukum.
b. Lafazh mutlaq dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya.
c. Lafazh mutlaq dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam hukumnya
ataupun sebab hukumnya.
d. Mutlaq muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya salam.
e. Mutlaq dan muqayyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.
3.
Hukum
Lafadz Muthlaq dan Muqoyyad
Kalau
di suatu tempat disebut dengan lafadz mutlak, dan ditenpat lain dengan lafadz
muqayyad, maka ada empat kemungkinan:
a. Tidak berbeda (sama) hukum dan sebabnya.
Mutlak itu dibawa ke muqayyad jika sebab dan hukumnya
sama.
Dalam
hal ini mutlak harus dibawa kepada muqayyad. Artinya, muqayyad menjadi penjelasan
terhadap mutlak.
Contoh
Mutlak:
Artinya:
“Diharamkan atasmu bangkai, darah dan daging babi”.
(QS. al-Maidah: 3)
Contoh Muqayyad:
Artinya:
“Katakanlah: tidaklah
aku peroleh didalam wahyu yang diturunkan kepadaku, akan sesuatu makanan yang
haram atas orang yang hendak memakannya, kecuali bangkai, darah yang mengalir
atau daging babi”. (QS. Al-An’am: 145).
Kedua ayat tersebut berisi sebab yang sama, yaitu
hendak makan, dan berisi hukum yang sama, yaitu: haramnya darah.
b. Berbeda hukum dan sebabnya
Mutlak
tidak dibawa ke muqayyad jika
sebab dan hukumnya berbeda.
Dalam
hal ini masing-masing mutlak dan muqayyad tetap pada tempatnya sendiri.
Muqayyad tidak menjadi penjelasan mutlak.
Contoh
Mutlak:
Artinya:
“Pencuri
lelaki dan perempuan potonglah tangannya”
(QS. Al-Maidah: 38)
Contoh
Muqayyad:
Artinya:
“Wahai orang Mukmin, apabila kamu hendak shalat,
hendaklah basuh mukamu dan tanganmu sampai siku”.
(QS. Al-Maidah: 6)
Dalam hal tersebut ada hadist Nabi yang menjelaskan
bahwa pemotongan tangan pencuri sampai pergelangan. Ayat 6 al-Maidah yang muqayyad
tidak bisa menjadi penjelasan ayat 38 al-Maidah 38 yang mutlak, karena
berlainan sebab, yaitu hendak shalat dan pencurian, dan berlainan pula dalam
hukum, yaitu wudhuk dan pemotongan tangan.
c. Berbeda hukum, tetapi sebabnya sama
Mutlak
itu tidak dibawa ke muqayyad jika yang berbeda hanya hukumnya.
Dalam
hal ini masing-masing mutlak dan muqayyad tetap pada tempatnya sendiri.
Contoh
Mutlak:
Artinya:
“Tayamum ialah sekali mengusap debu untuk muka dan kedua
tangan”.
(HR. Ammar)
Contoh
Muqayyad:
Artinya:
“Basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku”. (QS. Al-Maidah: 6)
d. Berisi hukum yang sama, tetapi berlainan sebabnya
Dalam
hali ini ada dua pendapat.
1) Menurut golongan Syafi’i, mutlak dibawa kepada
muqayyad.
2) Menurut golongan Hanafiyah dan Makkiyah, mutlak
tetap pada tempatnya sendiri, tidak dibawa kepada muqayyad.
Contoh
mutlak:
Artinya:
“Orang-orang yang menzihar istrinya kemudian mereka
hendak menarik apa yang merekaucapkan maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang
hamba sahaya sebelum keduanya bercampur”. (al-Mujadalah: 3)
Contoh
Muqayyad:
Artinya:
“Barangsiapa
yang membunuh orang Mukmin dengan tidak disengaja (karena kekeliruan) maka
hendaklah membebaskan seorang hamba yang Mukmin”.
(QS. An-Nisa’: 92)
Kedua ayat diatas berisi hukum yang sama, yaitu
pembebasan budak, sedang sebabnya berlainan. Yang satu karena zhihar yang lain
karena pembunuhan yang sengaja.[12]
4. Hal-hal yang
diperselisihkan dalam
mutlaq dan muqayyad
a.
Kemutlakannya dan kemuqayyadannya
terdapat pada sebab hokum.
Namun, masalah (maudu’) dan hukumnya
sama. Menurut jumhur ulama dari kalangan Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanafiyah,
dalam masalah ini wajib membawa mutlaq kepada muqayyad.
Oleh sebab itu, mereka tidak
mewajibkan zakat fitrah kepada hamba sahaya. Sedangkan ulama hanafiyah tidak
mewajibkan membawa lafazh mutlaq dan muqayyad. Oleh sebab itu, ulama
Hanafiyah mewajibkan zakat fitrah atas hamba sahaya secara mutlaq.
b.
Mutlaq dan muqayyad terdapat pada
nash yang sama hukumnya, namun sebabnya berbeda. Masalah ini juga
diperselisihkan. Menurut ulamahanafiyah tidak boleh membawa mutlaq pada
muqayyad, melainkan masing-masingnya berlaku sesuai dengan sifatnya. Oleh
karena itu, ulama hanafiyah, pada kafarat zihar tidak mensyaratkan hamba
mukmin. Sebaliknya, menurut jumhur ulama harus membawa mutlaq kepada muqayyad
secara mutlaq. Namun menurut sebagian ulama Syafi’iyah, mutlaq dibawa pada
muqayyad apabila ada illat hokum yang sama, yakni dengan jalan qiyas.[13]
C.
MANTUQ
MAFHUM
a.
KESIMPULAN
Ketetapan
hukum Sar’iy yang sudah digariskan oleh Al Qur’an dan As Sunnah harus dipahami
dengan sungguh-sungguh, untuk melangkah kesana diperlukan kemampuan mempuni
bagi calon-calon Mujtahid agar tidak terjadi produk hukum yang ngawur dan tidak
bisa di pertanggung jawabkan dan diatas diterangkan cara-cara yang
digunakan adalah dengam memahami ayat yang ada dalam alqur’an dan haditst.
Bahwasanya
kita ketahui dalam penjelasan diatas ada beberapa macam lafaddan dimana dari
macam- macam lafadz tadi dapat diartikan menurut macam kriteria lafadz
itu, lafadz itu yakni amm, khas, mutlak, dan muqoyyad. Mempelajari ilmu
ushul fiqh, mendalami dan sekaligus menguasainya pemahaman lafadz diatas adalah
salah satu batu loncatan untuk menjadi pencetus hukum yang handal dan
diperhitungkan.
Sampai di
sini semoga tulisan yang sangat sederhana dan penuh kekurangan ini bisa
dimanfa’atkan dan bila terdapat kekeliruan mohon dibetulkan
[1] Khoirul Umam,
Achyar Aminudin, Ushul Fiqih 11, CV
Pustaka Setia, (Bandung:2001), hlm 61
[3] Zainal Abidan,
Studi Al-Qur’an, CV Setia Usaha. 1975. Hlm. 70
[5] Manna’ khalil
al-qattan, studi ilmu-ilmu qur’an. Jakarta: 1992. Hlm.319
[11]Razali Amin, Qawaed Ushuliyah, (Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry
Press, 2004), hlm. 59
Tidak ada komentar:
Posting Komentar