Translate

Jumat, 20 Desember 2013

filsafat ILMU PENGETAHUAN



BAB II

PEMBAHASAN

Pengetahuan (knowledge) dalam Webster’s New Collegiate Dictionary diartikan (1) the fact or condition of knowing something with familiarity gained through experience or association, (2) the fact or condition of being aware of something, (3) the fact or condition of having information or being learned, (4) the sun of what is know: the body of truth, information, and principles acquired by mankind.[1]
Dapat ditarik suatu pengertian dari Webster’s New Collegiate Dictionary mengenai arti dari knowledge yakni pengetahuan dapat diartikan sesuatu hal yang diperoleh sehari-hari, melalui pengalaman, kesadaran, informasi, dan sebagainya. Knowledge dapat dipahami sebagai pengetahuan yang mempunyai cakupan lebih luas dan umum (universal).
Sedangkan science (bahasa latin ‘scire’) berarti (1) possession of knowledge as distinguished from ignorance or misunderstanding, knowledge attain through study or practice, (2) a department of systematized knowledge as an object of study (the science of theology), (3) knowledge covering general truths or the operation of general laws esp. as obtained and tested through scientific method; such knowledge concerned with the physical world and its phenomena (natural Science); (4) a system or method based or purporting to be based on scientific principles.[2]
Science itu didalamnya terkandung adanya pengetahuan yang pasti, lebih praktis, sistematik, metodik, ilmiah dan mencakup kebenaran umum mengenai objek studi yang lebih bersifat fisis (natural). Ilmu mempunyai cakupan lebih sempit dan khusus dalam arti metodis, sistematis, dan ilmiah.
Manakah nama yang lebih tepat apakah ilmu atau pengetahuan?
Jika dipilih ‘ilmu’ maka dikhawatirkan bisa terpatri pada kandungan dalam ilmu yang cakupannya sempit dan pengetahuannya hanya pada sekitar yang fisis, praktis, pragmatis dan positivis. Padahal kita harus mengetahui pegetahuan dalam hal lain yang bersifat non-fisis, kualitatif, dan spekulatif. Maka nama yang paling tepat yaitu Ilmu Pengetahuan, mengingat ilmu dan pengetahuan itu merupakan hal yang sama-sama pentingnya bagi kehidupan manusia. Perbedaan ilmu dan pengetahuan itu seperti diagram di bawah ini :
 

Ada beberapa pemikiran filosof yang dapat dijadikan referensi tentang dipilihnya nama ‘ilmu pengetahuan’, salah satunya adalah :
·       Filosof yunani kuno (greek philosopher) Gorgias of Leontinoi mengemukakan tiga proporsi penting: pertama,there is nothing; kedua, if there were something, we wouldn’t be able to know it; ketiga, assumed that there were something and it were knowable(dalam Bochenksi, philosophiy an Instrustion: 1972). Melalui tiga proporsinya itu, Gorgias memberitahukan kepada kita bahwa ia telah memperoleh beberapa pengetahuan yang pasti mengenai ketidakadaan sesuatu, mengenai ketidakmampuan mengetahui sesuatu meskipun ada, dan diduga secara pasti bahwa ada sesuatu dan dapat diketahui. Jadi pengetahuan yang pasti menurut Gorgias adalahkeragu-raguan semata-mata terhadap suatu hal.[3]
Dipilihnya nama ilmu pengetahuan ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi manusia, yakni dapat membuka wawasan dan pemikiran ini menjadi tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat empiric, kenyataan objektif, atau hal ayng bersifat positif saja. Ilmu pengetahuan antara lain disebutkan sebagai pengetahuan yang benar dan pasti mengenai suatu objek tertentu yang kongkret, dan yang diperoleh secara metodikdan sistematik. Jadi ada beberapa poin yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi adanya ilmu pengetahuan yaitu, objek, metode, system, dan kebenaran.

Menurut Webster’s New Collegiate Dictionary objek adalah 1) something that is or is capable of being seen, touched, or otherwise sensed; something physical or mental of which a subject is cognitively aware, 2) an end toward which effort or action or emotion is directed (GOAL); 3) a thing that forms an element of or constitutes the subject matter of an investigation or since.
Dapat ditarik pelajaran dari Webster’s New Collegiate Dictionary bahwa objek adalah sesuatu yang dapat dilihat, disentuh, dan diindra; sesuatu yang dapat disadari secara fisis atau mental; suatu tujuan akhir dari kegiatan atau usaha; dan suatu hal yang menjadi masalah pokok suatu penyelidikan.[4]
Dapat dipahami bahwa objek adalah sasaran pokok atau tujuan penyelidikan keilmuan. Objek sendiri dibagi menjadi dua yaitu objek materi dan objek forma.

a.                   Objek Materi
Objek materi adalah sasaran pokok penyelidikan berupa materi atau materi yang dihadirkan dalam suatu pemikiran dan penelitian. Objek materi baik yang material maupun yang non-material merupakn suatu subtansi yang tidak mudah diketahui. Di dalamnya terkandung segi-segi yang secara kuantitatif berganda, secara kualitatif bertingkat-tingkat dari yang kongkret sampai ke tingkat abstrak.
Kita ambil contoh manusia sebagai objek materi, secara kuantitatif objek materi manusia meliputi ras, suku, bangsa, kelamin, dan sebagainya. Secara kualitatif meliputi kepribadian, dan individualitasnya yang selanjutnya menjadi kompleks dalam sikap dan perillaku hidupnya.
Karena objek materi itu memiliki jumlah yang banyak dan tak terbatas sedangkan kemampuan akal fikiran manusia itu terbatas hal ini menjadikan adanya pembatasan-penbatasan terhadap hal ini. Langkah pertama yang dilakukan dalam pembatasan ini adalah pada jenis objek (manusia, benda, dan sebagainya), selanjutnya adalah sudut pandang (menurut segi mana materi itu diselidiki). Penentuan akan jenis objek itulah yang lalu menjadi objek materi tertentu dan penentuan titik pandang itu kemudian menjadi objek forma.

b.                  Objek Forma
Objek forma ini menjelaskan tentang pentingnya arti, posisi dan fungsi objek di dalam ilmu pengetahuan. Dengan menentukan objek forma maka objek kajian ilmu pengetahuan mengenai objek materinya menjadi berjenis, bersifat, dan berbentuk khusus, jelas dan real. Tadi telah diberikan manusia sebagai objek materi, yaitu meliputi banyak hal dalam diri manusia. Secara keseluruhan manusia memiliki aspek-aspek kejiwaan, keragaman, keindividuan, kesosialan serta ketuhanan. Masing-masing dari aspek itu memiliki kemungkinan memunculkan pluralitas jenis, sifat dan bentuk ilmu pengetahuan tentang manusia yang berbeda-beda. Dari sinilah kemudian muncul berbagai macam ilmu pengetahuan khusus manusia, seperti psikologi, antropologi, sosiologi, teologi, das sebagainya. Pengetahuan manusia yang tadinya bersifat umum universal menjadi khusus, rinci, jelas, pasti, real dan kongkret. Dapat dipahami bahwa menurut objek forma ilmu pengetahuan itu justru cenderung berbeda-beda dan berjenis-jenis bentuk dan sifatnya.
*      Berdasarkan kajian materi yang berupa hal-hal fisis kebendaan dan ditinjau dari segi pandang yang kuantitatif, maka tergolong ke ilmu pengetahuan fisika atau sering disebut Ilmu Pengetahuan Alam.
*      Berdasarkan kajian materi yang berupa hal-hal non-fisis, seperti manusi dan masyarakatnya yang ditinjau dari segi kualitatif maka tergolong dalam Ilmu Pengetahuan Sosial.
*      Ada juga yang secara khusus mengangkat objek materi agama (hal-ihwal tentang ketuhanan) sehingga tergolong ke dalam Ilmu Pengetahuan Keagamaan atau Teologia.
Perlu diingat bahwa terhadap suatu objek materi yang sama, dalam setiap ilmu pengetahuan, terkandung tanggung jawab etis, yaitu konsekwensi dan konsistensi terhadap tujuan pokok.

Metode berasal dari bahasa yunani ‘methodos’ yang berarti jalan. Sedangkan bahasa latin ‘methodus’ berarti cara. Dalam bahasa inggris ‘method’ yang berarti: (1) procedure or process for attaining an object; a systematic procedure, technique, or made of inquiry by or proper to a particular discipline or art. (2) a discipline that deals with the principles and techniques of scientific inquiry(Webster’s: 1979).
Kadang kala sering pengertian antara metode di campuradukkan dengan metodologi. Padahal keduanya cukup berberbeda. Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa metode adalah suatu proses atau prosedur yang sistematik berdasarkan prisip-prisip dan tekhnik-tekhnik ilmiah yang dipakai oleh suatu disiplin (bidang studi) untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan metodologi adalah pengkajian mengenai model atau bentuk metode-metode, aturan-aturan yang harus dipakai dalam kegiatan ilmu pengetahuan. Jika dilihat dari sifat keduanya cukup berbeda, yakni sifat dari metode adalah khusus sedangkan metodologi bersifat umum.
Menurut Peter R. Seen, metode adalah “suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis”. Sedangkan metodologi adalah “suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut”.[5]
Sudah dijelaskan didalam pembahasan objek jika ilmu pengetahuan itu bertujuan untuk memperoleh kebenaran ilmiah, yaitu suatu  kebenaran yang pasti mengenai suatu objek penyelidikan. Metode ilmiah yang digunakan tidak boleh bertentangan karena metode yang digunakan harus sesuai dengan ruang lingkup dan tujuan (objek forma). Jiika diantara keduanya tidak sesuai sudah dapat dipastikan jika tujuannya tidak akan tercapai. Apabila ruang lingkup dan tujuan suatu objek studi itu jenis, bentuk dan sifatnya kuantitatif maka metode yang digunakan juga harus kuantitatif, bagitu juga sebaliknya.
Titus dkk. (dalam Persoalan-Persoalan Filsafat:1984) menunjukkan beberapa indikasi antara lain : ada yang bersifat obserfativ(menurut pengamatan ilmiah dengan menggunakan pengindraan untuk mengambil kesimpulan tentang hubungan, sebab dan akibat, serta arti situasi); ada yang secara trial and eror (melakukan percobaan-percobaan untuk memperoleh keberhasilan); ada pula yang eksperimental(penelitian menggunakan teknik mengontrol keadaan); dan ada yang dengan cara statistic dan sampling (dengan menentukan sampel, peneliti mengumpulkan data-data untuk dianalisis dan diklasifikasikan untuk kepentingan induksi).[6]
Dari beberapa jenis metode diatas yang paling sering digunakan adalah metode Observasi. Perlu diketahui bahwa observasi itu berbeda dengan pengamatan biasa.seperti yang diungkapkan oleh Van Peursen bahwa di dalam observasi subjektifitas diri perlu dikesampingkan, sedangkan di dalam pengamatan sehari-hari amat bersifat emosional (hal-hal seperti prasangka, pilih kasih,dan sebagainya). Sehingga pengamat perlu membersihkan diri, melupakan apa yang diketahui, dan seolah-olah melakukan pengamatan dengan mata baru.[7]

Metode ini memiliki cara kerja yang amat sederhana, yakni belajar sambil mengerjakan (learning by doing). Tetapi metode ini jarang digunakan oleh para ilmuan dalam kegiatan penelitian. Biasanya metode ini digunakan sebagai dasar penyusunan hipotesis (disusun secara coba-coba). Bagi ahli filsafat metode ini  digunakan untuk menguji ide-idke atau system pemikiran sejauh mana tingkat koherensi dan konsistensi baik secara factual maupun logika.

Metode ini berperan penting dalam memjamin akan kebutuhan objektifitas dan agar pengamatan menjadi semakin teliti. Metode ini banyak digunakan dalam sains. Contohnya untuk meningkatkan produksi daging, mengganti factor makanan jenis lain sementara faktor-faktor lain dibiarkan tetap.Cara kerja dari metode ini adalah: pengamat mengontrol keadaan atau kondisi, mengganti suatu faktor pada suatu waktu, dan membiarkan faktor-faktor lain tetap tanpa perubahan, agar dapat mdencatat hasilnya, apakah ada perbedaan dalam hasil eksperimen.

Statistik, dalam bahsa inggris statistic berarti ‘a single term or datum in a collection of statistic’. Metode ini merupakan syarat bagi ilmu pengetahuan karena metode ini merupakan salah satu cara mengumpulkan data dan berhubungan erat dengan pengetahuan analisis dan cara-cara klasifikasi. Metode ini memiliki tugas yaitu melakukan perhitungan-perhitungan secara generalisasi, yang membuahkan suatu informasi lebih tepat dan rinci. Metode ini dapat memperkuat daya prediksi, bisa menjelaskan sebab-akibat terjadinya sesuatu, dapat menggambarkan suatu contoh fenomena, dan sebagainya.

Hal yang terpenting didalam metode ini adalah bagaimana menentukan suatu contoh yang tepat sehingga dapat mewakili keseluruhan. Persoalannya adalah pada objek yang sifatnya homogen, rupanya sampel yang dipilih secara acak pun cukup memberikan akurasi hasil. Tetapi pada objek yang hetrogen peneliti harus berhati-hati karena banyak factor yang harus diperhatikan.

Bersesuaian dengan Jujun S.S (1987), Titus dkk. kembali menjelaskan cara kerja ilmiah dengan mengemukakan enam langkah metode untuk memperoleh pengetahuan, yaitu (1)keinsafan tentang adanya problema, (2) data yang relevan dan yang tersedia dikumpulkan, (3)data ditertibkan, (4) hipotesis dibentuk (diformulasikan), (5) deeduksi dapat ditarik dari hipotesis, dan (6) verifikasi analisis secara deduktif untuk smapai pada suatu kesimpulan. Langkah-langkah ini dapat dipakai dalam bidang apa saja tetapi hanya terbatas pada pengalaman manusia. Jadi metode ilmiah juga memiliki keterbatasan, yaknipada hal-hal yang empirik (dapat dialami secara indrawi), karena itu hanya terbatas pada bidang-bidang yang fisis dan kuantitatif saja.
Satu hal lagi yang penting dalam cara kerja metode ilmiah yang pasti menggunakan analisis dan sintetis dengan peralatan pemikiran induktif atau deduktif. Analisis dalan bahasa inggris adalah ‘analysis’ yang berarti memisahkan dari suatu keseluruhan kedalam bagian-bagiankomponennya (to separate of a whole into its component parts). Sedangkan ‘synthesis’, berarti mengombinasikan bagian-bagian atau komponen-konponen sehingga membentuk keseluruhan (the combination of parts or elements so as to from a whole). Adapun induksi adalah suatu proses kegiatan penalaran yang bertolak dari suatu bagian, kekhususan, dan yang individual menuju ke suatu keseluruhan, umum dan universal (a process of reasoning from a parts, particulars, and individual to a whole, generals, and universal). Sedangkan deduksi adalah suatu proses kegiatan penalaran yang bertolak dari keseluruhan , umum dan universal menuju ke suatu bagian, kekhususan, dan individual (a process of reasoning from a whole, generals, and universal to the parts, particulars and individuals).[8]

Soejono Soemargono berpendapat bahwa yang dinamakan system ialah suatu keadaan atau sesuatu tertentu yang bagian-bagiannya saling berhubungan secara fungsional dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Pendapat ini sesuai dengan arti epistimologis dalam bahasa inggris yaitu, “a regulary interacting or interdependent group of items forming a unified whole”.
Fungsi sistem bagi ilmu pengetahuan adalah bersifat mutlak karena sistem berfungsi aktif dalam hal ini, yaitu menggerakkan dan mengarahkan langkah-langkah yang telah ditentukan didalam metode agar daya kerja metode itu kontinnu dan konsisten sehingga pencapaian tujuan kebenaran imiah lebih dapat terjamin.
Ada enam jenis system yang dipakai di dalam ilmu pengetahuan antara lain dapat dijelaskan sebagai berikut :
Sistem ini sesuai dengan namanya karena sistem ini tidak memungkinkan bagi masuknya unsur-unsur baru kedalamnya. Sistem ini banyak membantu langkah-langkah penyelidikan dalam hal penyusunan hipotesis sampai penyusunan kesimpulan dan sistem ini banyak berhubungan dengan objek yang bersifat kuantitatif dan metode penyelidikan deduktif. Misalnya, susunan alam semesta yang merupakan satu kesatuan ini terdiri atas unsur-unsur yang jumlah an jenisnya tetap tidak mengalami perubahan berupa pengurangan dan penambahan sejak dari mulanya sampai masa berakhirnya.

Sistem ini dimaksudkan untuk memberikan peluang bagi masuknya unsur-unsur baru, agar memungkinkan bagi kelangsungan keberadaan adanya sesuatu. Dengan sistem terbuka, penyelidikan akan lebih verifikatif, sehingga lebih memungkinkan untuk mencapai tujuan yaitu kebenaran ilmiah. Sistem terbuka lebih banyak digunakan bagi objek penyelidikan kualitatif dan metode penyelidikan induktif.

Sistem ini memang sudah sejak semula merupakan suatu kesatuan yang utuh, dalam rangka tujuan yang telah pula ditentukan sejak semula. Misalnya, susunan alam semesta ini baik secara keseluruhan maupun secara bagian-bagian merupakan satu keutuhan. Secara kesseluruhan telah dikemukakan di dalam contoh sisitem tertutup di atas. Sedangkan secara bagian-bagian, lihatlah pada diri manusia. Misalnya, sejak semula ia memiliki sistem alami secara unik sehingga tidak sama dengan binatang. Dengan sistem alami, penyelidikan mendapatkan landasan objektif berupa sifat-sifat keras objek penyelidikan. Sistem ini sangat berguna bagi pencapaian kebenaran objektif.


Sistem ini jelas merupakan hasil karya manusia. Hal ini diciptakan secara sengaja untuk memenuhi segala macam kebutuhan sehari-hari yang semakin kompleks, yang disebabkan oleh perkembangan kuantitas itu sendiri. Yang demikian ini mungkin, karena ia memiliki potensi cipta, rasa, dan karsa itu. salah satu contoh sistem buatan dapat dilihat perkembangan pengetahuan menjadi suatu sistem filsafat, lalu menjadi berbagai macam sistem ilmu pengetahuan, dan akhirnya menjadi sistem tekhnologi yang amat berfungsi sebagai alat-alat pelengkapan bagi pemenuhan kebutuhan hidup sehati-hari.

Sistem ini sebagai perkembangan dari sistem buatan tadi. Hal ini dibuat agar lebih dapat memudahkan bagi tercapainya salah satu tujuan hidup. Di dalam sistem ini, masalah centralnya sengaja diletakkan pada titik central suatu lingkaran. Dari sini, orang mulai menjelaskan sejauh mana masalah itu dapat memengaruhi bidang-bidang lain. Semakin jauh dari titik central, suatu bidang akan mendapatkan pengaruh yang semakin lemah. Sistem ini dapat di asosiasikan dengan suatu berkas sinar yang semakin jauh, semakin berkurang kekuatan sinarnya. Dengan sistem daur , maka habitat (sifat-sifat mapan) objek penyelidikan dapat menjadi jelas, sehingga jalannya penyelidikan menjadi tetap konsisten.

Sistem garis lurus juga merupakan perkembangan dari sistem buatan. Agar dapat mencapai tujuan yang lebih mudah, maka dengan sistem ini isusunlah perjenjangan mulai dari yang paling rendah. Susunan ini memperlihatkan suatu tatanan bahwa jenjang yang lebih rendah mendasarkan diri kepada jenjang yang lebih tinggi, dan begitu seterusnya. Dengan sistem linier maka proses kausalitas keberadaan objek dapat diketahui, sehingga sangat membantu penyelidikan untuk mendapatkan kebenaran.

Kebenaran ilmiah adalah suatu pengetahuan yang jelas dan pasti kebenarannya menurut norma-norma keilmuan. Kebenaran ilmiah ini bersifat objektif, didalamnya terkandung sejumlah pengetahuan dengan sudut pandang yang berbeda-beda tetapi saling bersesuaian. Dalam epistemologi kebenaran dibahas secara khusus. Adanya kebenaran itu selalu dihubungkan dengan pengetahuan manusia (subjek yang mengetahui) mengenai objek. Sedangkan pengetahuan berasal mula dari banyak sumber. Sumber-sumber itu, kemudian sekaligus berfungsi sebagai ukuran kebenaran.
            Rasio dan pengalaman indrawi, merupakan sumber utama sekaligus sebagai ukuran kebenaran dalam ilmu pengetahuan. Kedua sumber itu didalam filsafat dikenal dengan rasionalisme dan empirisme. Sumber rasio lebih bersangkutan dengan objek-objek umum, abstrak dan non-fisis sedangkan sumber pengalaman lebih bersangkutan dengan objek-objek yang khusus, konkret dan fisis.
            Rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650) filosof dari Perancis. Dengan sifat keraguan-raguannya terhadap segala sesuatu, termasuk dirinya sendiri, ia mencoba mencari kebenaran yang jelas, tegas dan pasti, dan kebenaran itu ada pada ide yang disebut idea innate (ide bawaan, terang benderang), yang hanya dapat ditangkap dengan akal pikiran. Pada prinsip dasar yang dimilikinya, dia berfikir bahwa semua kebenaran dapat dikenal karena adanya kejelasan dan kepastian yang dihasilkan oleh kemampuan berfikir itu sendiri. Karena itu, ia berpendapat bahwa segala sesuatu yang disaksikan oleh pengalaman indrawi mengandung kesesatan.
            Empirisme dipelopori oleh John Locke (1632-1704), salah seorang pengagum deskartes dari Inggris. Menurut Locke, pada mulanya rasio manusia itu bagaikan tabularasa, seperti kertas atau lilin putih bersih dan licin. Dikatakan selanjutnya bahwa ada dua macam jenis pengalaman, yaitu pengalaman lahir atau sensation dan pengalaman batin atau refleksion. Kedua sumber pengalaman ini, menghasilkan ide-ide tunggal atau simple ideas.
            Ada tiga teori yang popular dipakai sebagai landasan dasar pengukuran kebenaran ilmiah. Yaitu :
Teori koheren ini dikembangkan oleh kaum idealis, dan sering disebut sebagai teori saling hubungan atau teori konsistensi. Pada dasarnya, teori ini menyatakan bahwa ‘suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman. Kaum idealis mengembangkan teori koheren dengan menekankan pada adanya hubungan antara proposisi yang satu dengan yang lain secara menyeluruh. Teori ini masih mengandung kelemahan yaitu belum menunjuk adanya korespondensi dengan fakta. Sebab, suatu pendapat tidak ada artinya meskipun pendapat itu logis dan sistematis jika tidak ada hubungannya dengan fakta. Teori koheren hampir tidak memecahkan persoalan sehari-hari.

Teori koresponden ini, diterima oleh kaum realis dan bahkan mungkin oleh kebanyakan orang. Teori ini menyatakan bahwa ‘suatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan itu benar. Jika tidak, maka pertimbangan itu salah. Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri’.

Kebenaran melalui teori pragmatisme bermula dari keyakinan, yaitu suatu sikap yang pasti berdasarkan pengetahuannya mengenai suatu objek. Selanjutnya sikap itu harus dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten, yaitu berupa langkah-langkah yang berhubung-hubungan dalam satu sistem, di mana langkah yang pertama berguna dan dapat dikerjakan bagi langkah-langkah selanjutnya. Dengan perinsip-perinsip yang demikian itu dapat terwujud dan menghasilkan sesuatu yang memuaskan.

Ketiga teori kebenaran itu dapat diberlakukan pada ilmu pengetahuan yang memiliki objek materi dan ruang lingkup berbeda-beda. Teori koheren kiranya lebih tepat diberlakkukan pada ilmu pengetahuan kefilsafatan, karena teori ini bersifat umum dan universal. Sedangkan teori koresponden karena sifatnya yang konkret maka lebih tepat diperlakukan bagi ilmu pengetahuan teoritik empirik (sciences). Karena sifat praktisnya, teori pragmatis ini lebih tepat diberlakukan pada ilmu terapan atau ilmu pengetahuan  siap pakai (applied sciences/discipline).









PENUTUP

KESIMPULAN

Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang benar dan pasti mengenai suatu objek tertentu dan kongkret, dan yang diperoleh secara metodik dan sistematik. Jadi dengan demikian, secara otomatis ada poin-poin yang mengiringi proses terbentuknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. Poin-poin yang mengikutinya yaitu objek, metode, system, dan yang terakhir adalah kebenaran ilmiah.
Ke-empat poin tersebut harus ada dalam ilmu pengetahuan karena poin tersebut saling terkait. Ilmu pengetahuan memerlukan objek kajian dalam ilmunya. Objek kajian ini ada dua macam, yakni material dan formal. Penentuan akan jenis objek itu lalu menjadi objek materi tertentu dan penentuan titik pandang itu kemudian menjadi objek forma.
Setelah mengetahui objek kajiannya perlu diketahui bahwa ilmu pengetahuan juga memiliki metode untuk mengkaji objek yang dimiliki sehingga menghasilkan kebenaran objektif dan dapat dibuktikan. Metode yang ada juga bermacam-macam tetapi yang umum digunakan adalah metode observasi.
Telah diuraikan diatas bahwa dalam usahanya memperoleh pengetahuan yang benar dan objektif mengenai suatu objek materi ilmu pengetahuan menentukan objek forma dan metode ilmiah. Di samping itu ilmu pengetahuan harus ada dalam sistem tertentu. Sistem yang ada pada kajian ini ada 6 macam, diantaranya adalah Sistem berbentuk garis lurus, Sistem berbentuk lingkaran, Sistem buatan, Sistem alami, Sistem terbuka, Sistem tertutup.
Dan tujuan dari ilmu pengetahuan adalah mencapai tujuan kebenaran ilmiah, kebenaran yang bersifat objektif. Dan di dalamnya terkandung sejumlah pengetahuan menurut sudut pandang yang berbeda-beda, tetapi saling bersesuaian.


[1] Suparlan Suhartono, Filsafat ilmu pengetahuan, Jogjakarta, 2008, p. 63.
[2] Ibid,. p. 64.
[3] Ibid,.p. 65.
[4] Ibid,.p. 68.
[5] Jujun S.S, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, 1987.
[6] Suparlan Suhartono, Filsafat ilmu pengetahuan, Jogjakarta, 2008, p. 73.
[7] Van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan,1985.
[8] Suparlan Suhartono, Filsafat ilmu pengetahuan, Jogjakarta, 2008, p. 78.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar