Translate

Jumat, 20 Desember 2013

muhkam dan mutasyabih



BAB II

PEMBAHASAN


Secara etimologi kata “muhkam” berasal dari kata “ ihkam” yang berarti kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan. Semua pengertian ini rapada dasarnya kembali kepada satu makna pencegahan.[1]“ Muhkam” dapat berarti sesuatu yang dikukuhkan, jelas, fasih, dan bermaksud membedakan antara dua pihak yang bersengketa, serta memisahkan urusan yang lurus dari yang sesat.[2]
Mutasyabih secara lugawi berasal dari kata syabaha, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Syubhah  ialah keadaan di mana satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan di antara keduanya secara konkrit atau abstrak.[3]Mutasyabih berasal dari kata tasyabuh,  yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan lainnya, yang biasanya dapat membawa kepada kesamaran antara kedua hal itu. Syubhah ialah keadaan di mana salah satu dari dua hal tidak dapat di bedakan karena adanya kemiripan baik secara konkrit maupun abstrak. Mutasyabih juga kadang-kadang dipadankan dengan mutamatsil dalam perkataan dan keindahan.[4]
Banyak sekali pendapat para ulama tentang pengertian Muhkam dan Mutasyabih, salah satunya al-Zarqani. Di antara definisi yang diberikan Zarqani adalah sebagai berikut:
1.      Muhkam ialah ayat-ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabih ialah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak diketahui maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus-putus di awal surat (fawatih al-suwar). Pendapat ini dibangsakan al-Lusi kepada pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi.
2.      Muhkam ialah ayat-ayat yang diketahui maksudnya, baik secara nyata maupun melalui takwil. Mutasyabih ialah ayat-ayat yang hanya Allah yang mengetahui maksudnya, seperti datang hari kiamat, keluarnya dajjal, huruf-huruf yang terputus-putus di awal-awal surat (fawatih al-suwar) pendapat ini dibangsakan kepada ahli sunah sebagai pendapat yang terpilih di kalangan mereka.
3.      Muhkam ialah ayat-ayat yang tidak mengandung kecuali satu kemungkinan makna takwil. Mutasyabih ialah ayat-ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna takwil. Pendapat ini dibangsakan kepada Ibnu Abbas dan kebanyakan ahli ushul fikih mengikutinya.
4.      Muhkam ialah ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan. Mutasyabih ialah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan tertentu dan kali yang lain diterangkan dengan ayat atau keterangan yang lain pula karena terjadinya perbedaan dalam menakwilnya. Pendapat ini diceritakan dari Imam Ahmad. r.a.
5.      Muhkam  ialah ayat yang seksama susunan dan urutannya yang membawa kepada kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan. Mutasyabih ialah ayat yang makna seharusnya tidak terjangkau dari segi bahasa kecuali bila ada bersamanya indikasi atau melalui konteksnya. Lafal musytarak masuk ke dalam Mutasyabih menurut pengertian ini. Pendapat ini dibangsakan kepada Imam Al-Haramain.
6.      Muhkam ialah ayat yang jelas maknanya dan tidak masuk kepadanya isykal (kepelikan). Mutasyabih  ialah lawannya Muhkam atas ism-ism (kata-kata benda) musytarak dan lafal-lafalnya mubhamah (samar-samar). Ini adalah pendapat al-Thibi.
7.      Muhkam ialah ayat yang ditunjukkan makna kuat, yaitu lafal nash dan lafal zahir. Mutasyabih ialah ayat yang ditunjukkan maknanya tidak kuat, yaitu lafal mujmal, muawwal, dan musykil. Pendapat ini dibangsakan kepada Imam al-Razi dan banyak peneliti yang memilihnya.
Subhi ash-Shalih merangkum pendapat ulama dan menyimpulkan bahwa Muhkam adalah ayat-ayat yang bermakna jelas. Sedangkan Mutasyabih adalah ayat yang maknanya tidak jelas, dan untuk memastikan pengertiannya tidak ditemukan dalil yang kuat.[5]

Perbedaan pengertian Muhkam dan Mutasyabih yang telah disampaikan para ulama di atas, nampak tidak ada kesepakatan yang jelas antara pendapat mereka tentang Muhkam dan Mutasyabih, sehingga hal ini terasa menyulitkan untuk membuat sebuah  kriteria ayat yang termasuk Muhkam dan Mutasyabih.
J.M.S Baljon, mengutip pendapat Zamakhsari yang berpendapat bahwa termasuk kriteria ayat-ayat Muhkamat adalah apabila ayat-ayat tersebut berhubungan dengan hakikat (kenyataan), sedangkan ayat-ayat Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang menuntut penelitian (tahqiqat).[6]
Ali Ibnu Abi Thalhah memberikan kriteria ayat-ayat Muhkamat sebagai berikut, yakni ayat-ayat yang membatalkan ayat-ayat lain, ayat-ayat yang menghalalkan, ayat-ayat yang mengharamkan, ayat-ayat yang mengandung kewajiban, ayat-ayat yang harus diimani dan diamalkan. Sedangkan ayat-ayat Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang telah dibatalkan, ayat-ayat yang dipertukarkan antara yang dahulu dan yang kemudian, ayat-ayat yang berisi beberapa variabel, ayat-ayat yang mengandung sumpah, ayat-ayat yang boleh diimani dan tidak boleh diamalkan.
Ar-Raghib al-Ashfihani memberikan kreteria ayat-ayat Mutasyabihat sebagai ayat atau lafal yang tidak diketahui hakikat maknanya, seperti tibanya hari kiamat, ayat-ayat Al-Qur’an yang hanya bisa diketahui maknanya dengan sarana bantu, baik dengan ayat-ayat Muhkamat, hadis-hadis sahih maupun ilmu penegtahuan, seperti ayat-ayat yang lafalnya terlihat aneh dan hukum-hukumnya tertutup, ayat-ayat yang maknanya hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang dalam ilmunya. Sebagaimana diisyaratkan dalam doa Rasulullah untuk Ibnu Abbas, Ya Allah, karuniailah ia ilmu yang mendalam mengenai agama dan limpahankanlah pengetahuan tentang ta’wil kepadanya.
Muhkam menyangkut soal hukum-hukum (faraid), janji, dan ancaman, sedangkan Mutasyabih mengenai kisah-kisah dan perumpamaan.[7]

Secara tegas dapat dikatakan, bahwa adanya ayat muhkam dan mutasyabih itu karena Allah SWT. yang menjadikannya demikian itu. Allah Memisahkan / membedakan antara ayat – ayat yang muhkam dari yang mutasyabih, dan menjadikannya ayat yang muhkamat sebagai bandingan ayat yang mutasyabihat.
Artinya: “Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”. (Q.S. Al-Imran : 7 ).
Sebagian ulama berpendapat, bahwa ayat ayat mutasyabbihat tidak dapat diketahui takwilnya oleh siapapun kecuali Allah sendiri. Mereka mewajibkan agar orang tidak mencari-cari takwilnya dan menyerahkan persoalan itu hanya kepada Allah SWT. Sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya hanya berucap” kami mengimaninya, semuanya datang dari Tuhan kami”.[8]
Sebab-sebab terjadinya tasyabuh menurut pendapat para ulama’ ialah disebabkan oleh ketersembunyian maksud Allah dari kalam-Nya itu sendiri.
Adapun pendapat para ulama’ mengatakan bahwa penyebab adanya tasyabuh karena tiga hal yaitu, kesamaran pada lafal ayat, kesamaran pada makna ayat, dan kesamaran pada lafal sekaligus makna ayat itu sendiri.


1.      Kesamaran pada lafal ayat
Adanya sebagian ayat-ayat mutasyabihat didalam Al-Qur’an disebabkan oleh kesamaran pada lafal, baik lafal mufrad maupun lafal murakkab.
a.       Kesamaran pada lafal mufrod
Adapun yang dimaksud dengan kesamaran pada lafal mufrad  ini adalah adaya lafal tunggal yang maknanya tidak jelas, baik disebabkan oleh gharib ataupun musytarak (bermakna ganda). Kesamaran makna yang kembali kepada lafal mufrod yang gharib, misalnya firman Allah dalam surat ‘Abasa (80: 31-32), yaitu :
b.      Kesamaran pada lafal murakkab
Kesamaran pada lafal murakkab kadang-kadang disebabkan karena lafal-lafal semacam itu terlalu ringkas, panjang atau luas, atau karena”susunan kalimatnya terkesan tidak runtut”. Namun maksud ayat ini akan dapat diketahui melalui penelitian dan pengkajian. Contoh lafal ayat mutasyabih murakkab  yang terlalu ringkas, dapat dijumpai antara lain dalam firman-Nya surah An-Nisa ayat 3:
وَإِنْ خِفْتُمْ اَلَّاتُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَاطَلَبَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعِ .......الخ
Artinya:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat........
2.      Kesamaan pada makna ayat
Kesamaran atau ketersembunyian yang terjadi pada makna ayat, umumya adalah berupa ayat-ayat mutasyabihat yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah. Ayat-ayat yang demikian antara lain dapat disimak dalam firman-Nya:
إِنَّ الَّذِيْنَ يُبَايِعُوْنَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُوْنَ اللهَ يَدُاللهَ يَدُاللهِ فَوْقَ أَيْدِيْهِمْ ج .......... الخ

 Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. tangan Allah di atas tangan mereka......... (Q.S. Al-fath:10).
3.      Kesamaran pada lafal dan makna ayat sekaligus
Dalam hubungannya dengan kesamaran pada lafal dan makna ayat tersebut, terdapat lima aspek yang terkait dengannya, yaitu:
a.       Aspek kuantitas (al-kammiyah), baik yang berkaitan dengan masalah-masalah yang umum maupun yang khusus. Mengenai hal ini dapat disimak dalam firman Allah:
"Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, Maka Bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka."
Dalam hal ini batas kuantitas yang harus dibunuh masih belum jelas atau samar-samar.
b.      Aspek cara (al-kaifiyah). Yang termasuk ke dalam kategori ini adalah mengenai cara melaksanakan kewajiban yang diperintahkan agama atau kesunahannya, misalnya dalam firman Allah:
"Sesungguhnya Aku Ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain aku, Maka sembahlah Aku dan Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku."
Dalam ayat  tersebut terdapat kesamaran dalam hal bagaimana cara agar selalu dapat mengingat Allah SWT.
c.       Aspek waktu (al-wakt, al-zaman) dalam hal yang berkaitan dengan aspek waktu ini, kesamaran atau ketersembunyiannya terletak pada keumuman dari petunjuk yang dibawakan oleh ayat Al-Qur’an itu sendiri. Misalnya dalam firman-Nya surah al-Imron ayat 102:
يَاأَيُّهَاالّذِيْنَ آمَنُوااتَّقُواللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَتَمُوْتُنَّ إِلَّاوَأَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ
 Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.


Ayat tersebut memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk selalu bertakwa dalam waktu yang tidak terbatas. Waktu yang tidak terbatas tesebut mengandung unsur kesamaran. Samapi kapan batas waktunya bertakwa itu, tidak dijelaskan.
d.      Aspek tempat (al-makn).  Aspek tempat memang terkait erat dengan ketersembunyian atau kesamaran lafal dan makna yang terdapat pada ayat mutasyabbihaat  itu. Sebagaiman firman Allah dalam surat al- Baqarah ayat 189:
“dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu adalah kebajikan orang yang bertakwa.”
e.       Aspek syarat (syarath-masyruth). Yang dimaksudkan disini adalah syarat-syarat dalam melaksanakan suatu kewajiban, baik mengenai ibdah maupun mu’amalah todak dirinci dalam ayat-ayat tersebut. Misalnya dalam hal shalat, puasa, haji, nikah dan sebagainya.[9]

Al-Zarqani membagi ayat-ayat Mutasyabihat menjadi tiga macam.[10]
1.    Ayat-ayat yang seluruh manusia tidak dapat sampai kepada maksudnya, seperti pengetahuan tentang zat Allah dan hakikat sifat-sifat-Nya, pengetahuan tentang waktu kiamat dan hal-hal gaib lainnya. Allah berfirman Q.S. al-An’am: 59
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلَّأ هُوَ,,,,,,,,,, الخ
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali diri sendiri,………”           
2.    Ayat-ayat yang setiap orang bisa mengetahui maksudnya melalui penelitian dan pengkajian, seperti ayat-ayat Mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang, urutan, dan seumpamanya. Allah berfirman Q.S. an-Nisa’: 3
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوْافِي الْيَتَامَى فَانْ كِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ ,,,,, الخ
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim, Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi...."
Maksud ayat ini tidak jelas dan ketidak jelasanya timbul karena lafalnya yang ringkas. Kalimat asal berbunyi :
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim sekiranya kamu kawini mereka, maka kawinilah wanita-wanita selain mereka.
3.    Ayat-ayat Mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tertentu dan bukan semua ulama.Inilah yang diisyaratkan Nabi dengan doanya bagi Ibnu Abbas:
Ya Tuhanku, jadikanlah dia seorang yang paham dalam Agama, dan ajarkanlah kepadanya takwil.
Sedang menurut para ulama berbeda – beda dalam memberikan pengertian al-muhkan dan al-mutasyabih diantaranya sebagai berikut :
1.      Ulama Ahlus sunnah wal jama’ah mengatakan lafadz muhkam adalah lafadz yang diketahui ma’na maksudnya, baik karena memang sudah jelas artinya maupun karena dengan di ta’wilkan. Sedang lafadz mutasyabih adalah lafadz yang pengetahuan artinya hanya dimonopoli Allah SWT. Manusia tidak ada yang bisa mengetahuinya. Contohnya, terjadinya hari kiamat, keluarnya Dajjal, artti dari huruf – huruf muqatha’ah.
2.      Ulama golongan Hanafiyah mengatakan, lafadz muhkam ialah lafadz yang jelas petunjuknya, dan tidak mungkin telah dinaskh (dihapus hukumnya). Sedang lafadz mutasyabih adalah lafadz yang sama maksud petunjuknya sehingga tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia ataupun tidak tercantum dalam dalil-dalil naskh. Sebab lafadz mutasyabih itu termasuk hal-hal yang diketahui Allah saja artinya. Contohnya seperti hal-hal yang ghaib.


3.      Mayoritas ulama golongan ahlu fiqh yang berasal dari pendapat sahabat Ibnu Abbas mengatakan, lafadz muhkam ialah lafadz yang tidak bisa dita’wil kecuali satu arah / segi saja. Sedangkan lafadz mutasyabih adalah artinya dapat dita’wilkan dalam beberapa arah / segi, karena masih sama. Seperti masalah surga, neraka, dan sebagainya.[11]

Para Ulama dalam mamahami ayat – ayat mutasyabihat yang terdapat dalam al-Qur'an khususnya ayat – ayat mengenai sifat – sifat Allah terbagi dalam dua aliran.
1.      Madzhab salaf, yaitu para ulama dari generasi sahabat. Mereka ketika menghadapi ayat mutasyabihat berusaha untuk mengimaninya dan menyerahkan makna serta pengertiannya hanya kepada Allah SWT.
Bagi kaum salaf, ayat – ayat mutasyabihat tidak perlu dita'wilkan. Sebab yang mengetahui hakikatnya hanyalah Allah SWT, mereka hanya berusaha mengimaninya.
2.      Madzhab khalaf, yaitu para ulama berikutnya generasi berikutnya, seperti Imam Huramain. Mereka berpendapat bahwa ayat – ayat mutasyabihat yang secara lahir mustahil bagi Allah SWT. harus ditetapkan maknanya dengan pengertian yang sesuai dan sedekat mungkin dengan dzat-Nya.
Mereka menta'wil lafdz istiwa' (besemayam) dengan maha berkuasa menciptakan sesuatu tanpa susah payah. Kalimat ja'a rabbuka (kedatangan Allah) dalam Qs. Al-Fajr : 22, dita'wilkan dengan kedatangan perintah-Nya. Kata fauqa (diatas) didalam Qs. Al-An'am : 61, dengan ketinggian yang bukan arah atau urusan dan lain sebagainya.[12]
Adanya ayat-ayat muhkamat dalam al-Quran jelas banyak hikmahnya bagi umat manusia, diantaranya sebagai berikut :
1.      Menjadi rahmat bagi manusia, khususnya orang yang kemampuan bahasa Arabnya lemah. Dengan adanya ayat-ayat muhkam yang sudah jelas arti maksudnya, sangat besar arti dan faedahnya bagi mereka.
2.      Memudahkan manusia mengetahui arti dan maksudnya. Juga memudahkan mereka dalam mengahayati makna maksudnya agar mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya.
3.      Mendorong umat agar giat memahami, menghayati, dan mengamalkan isi kandungan al-Quran.
4.      Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam mempelajari isi ajarannya, karena lafal ayat-ayat dengan sendirinya sudah dapat menjelaskan arti maksudnya.
5.      Memperlancar usaha penafsiran atau penjelasan maksud kandungan ayat-ayat al-Quran.
6.      Membantu para guru, dosen, muballigh, dan juru dakwah dalam usaha menerangkan isi ajaran kitab al-Quran dan tafsiran ayat-ayatnya kepada masyarakat.
7.      Mempercepat usaha tahfidzul Qur’an (penghafalan al-Quran)











BAB III

PENUTUP


Muhkam berasal dari kata ihkam yang berarti kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan. Mutasyabih berasal dari kata tasyabuh yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaran antara dua hal. Muhkam ialah ayat yang diketahui maksudnya, baik secara nyata maupun melalui takwil. Mutasyabih ialah ayat yang hanya Allah yang mengetahui maksudnya baik secara nyata maupun melalui takwil. Seperti datangnya hari kiamat, keluarnya dajjal, huruf yang terputus-putus diawal surat. Pendapat ini dibangsakan kepada Ahli sunnah sebagai pendapat yang terpilih dikalangan mereka. Ayat-ayat mutasyabihat dapat dibagi keada tiga macam, diantaranya adalah 1). Ayat-ayat yang seluruh manusia tidak sampai kepada maksudnya.2) Ayat-ayat yang setiap orang bisa mengetahui maksudnya melalui penelitian dan pengkajian, seperti ayat-ayat mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang, urutan,dan seumpamanya.3) Ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tertentu dan bukan semua ulama.
Mengenai sifat-sifat Allah yang mutasyabih (tidak jelas hakikatnya) terdapat dua madzhab di kalangan para ulama :  pertama, Madzhab Salaf, (para ulama di kalangan generasi sahabat Nabi) yang mengimani sifat-sifat yang mutasyabihat dan menyerahkan makna serta pengertiannya kepada Allah Swt. Kedua, Madzhab Khalaf,  (para ulama di kalangan generasi-generasi berikutnya) yang menetapkan makna bagi lafadz-lafadz yang menurut lahirnya mustahil bagi Allah, dengan pengertian yang layak bagi dzat Allah. Madzhab ini berasal dari Imam-Haramain dan jama’ah zaman berikutnya. Al-Qur’an tidak hanya berisikan ayat-ayat muhkam saja, tapi juga berisi ayat-ayat mutasyabih yang akan senantiasa menjadi pendorong kaum mu’minin untuk terus-menerus menggali berbagai ilmu menurut batas kesanggupannya dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat. Dengan demikian terhindar dari kegelapan taklid dan membaca al-Qur’an dengan khusyu’ sambil berfikir dan berenung.


[1] Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Teras, 2009), Hal: 220.
[2] Ibid, hal: 220.
[3] Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2003), hal: 70
[4] Usman, Op.cit, Hal: 220-221
[5] Muhammad Chirzin, Opcit, Hal: 71.
[6] Muhammad Chirzin, Opcit,  Hal: 73.
[7] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’I, Ulumul Qur’an I, (Bandung: CV. Pustaka setia, 2000), hal: 201.
[8] Usman, Log.cit, Hal: 228.
[9] Usman, Log.cit, Hal: 273-239
[10] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i. op.cit. hal: 206
[11] Miftah Faridl, Agus Syihabudin, Al-Qur’an Sumber Hukum Islam Yang Pertama, (Bandung, Pustaka, 1989), hlm: 241
[12] Moh. Chotib, Buku Ajar Ulumul Qur’an,(Stain Pemekasan Press, 2006), hlm: 265.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar