BAB II
PEMBAHASAN
Secara etimologi kata
“muhkam” berasal dari kata “ ihkam” yang berarti kekukuhan, kesempurnaan,
keseksamaan, dan pencegahan. Semua pengertian ini rapada dasarnya kembali kepada
satu makna pencegahan.[1]“ Muhkam” dapat berarti sesuatu yang dikukuhkan,
jelas, fasih, dan bermaksud membedakan antara dua pihak yang bersengketa, serta
memisahkan urusan yang lurus dari yang sesat.[2]
Mutasyabih secara
lugawi berasal dari kata syabaha, yakni bila salah satu dari dua hal serupa
dengan yang lain. Syubhah ialah keadaan
di mana satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena
adanya kemiripan di antara keduanya secara konkrit atau abstrak.[3]Mutasyabih berasal dari kata tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa
dengan lainnya, yang biasanya dapat membawa kepada kesamaran antara kedua hal
itu. Syubhah ialah keadaan di mana salah satu dari dua hal tidak dapat di
bedakan karena adanya kemiripan baik secara konkrit maupun abstrak. Mutasyabih
juga kadang-kadang dipadankan dengan mutamatsil dalam perkataan dan keindahan.[4]
Banyak sekali pendapat
para ulama tentang pengertian Muhkam dan Mutasyabih, salah satunya al-Zarqani.
Di antara definisi yang diberikan Zarqani adalah sebagai berikut:
1. Muhkam ialah ayat-ayat yang jelas maksudnya lagi
nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabih ialah ayat yang
tersembunyi (maknanya), tidak diketahui maknanya baik secara aqli maupun naqli,
dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah mengetahuinya, seperti datangnya hari
kiamat, huruf-huruf yang terputus-putus di awal surat (fawatih al-suwar).
Pendapat ini dibangsakan al-Lusi kepada pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi.
2. Muhkam ialah ayat-ayat yang diketahui maksudnya,
baik secara nyata maupun melalui takwil. Mutasyabih ialah ayat-ayat yang hanya
Allah yang mengetahui maksudnya, seperti datang hari kiamat, keluarnya dajjal,
huruf-huruf yang terputus-putus di awal-awal surat (fawatih al-suwar) pendapat
ini dibangsakan kepada ahli sunah sebagai pendapat yang terpilih di kalangan
mereka.
3. Muhkam ialah ayat-ayat yang tidak mengandung kecuali
satu kemungkinan makna takwil. Mutasyabih ialah ayat-ayat yang mengandung
banyak kemungkinan makna takwil. Pendapat ini dibangsakan kepada Ibnu Abbas dan
kebanyakan ahli ushul fikih mengikutinya.
4. Muhkam ialah ayat yang berdiri sendiri dan tidak
memerlukan keterangan. Mutasyabih ialah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi
memerlukan keterangan tertentu dan kali yang lain diterangkan dengan ayat atau
keterangan yang lain pula karena terjadinya perbedaan dalam menakwilnya.
Pendapat ini diceritakan dari Imam Ahmad. r.a.
5. Muhkam ialah
ayat yang seksama susunan dan urutannya yang membawa kepada kebangkitan makna
yang tepat tanpa pertentangan. Mutasyabih ialah ayat yang makna seharusnya
tidak terjangkau dari segi bahasa kecuali bila ada bersamanya indikasi atau
melalui konteksnya. Lafal musytarak masuk ke dalam Mutasyabih menurut
pengertian ini. Pendapat ini dibangsakan kepada Imam Al-Haramain.
6. Muhkam ialah ayat yang jelas maknanya dan tidak
masuk kepadanya isykal (kepelikan). Mutasyabih
ialah lawannya Muhkam atas ism-ism (kata-kata benda) musytarak dan
lafal-lafalnya mubhamah (samar-samar). Ini adalah pendapat al-Thibi.
7. Muhkam ialah ayat yang ditunjukkan makna kuat, yaitu
lafal nash dan lafal zahir. Mutasyabih ialah ayat yang ditunjukkan maknanya tidak
kuat, yaitu lafal mujmal, muawwal, dan musykil. Pendapat ini dibangsakan kepada
Imam al-Razi dan banyak peneliti yang memilihnya.
Subhi ash-Shalih
merangkum pendapat ulama dan menyimpulkan bahwa Muhkam adalah ayat-ayat yang
bermakna jelas. Sedangkan Mutasyabih adalah ayat yang maknanya tidak jelas, dan
untuk memastikan pengertiannya tidak ditemukan dalil yang kuat.[5]
Perbedaan pengertian
Muhkam dan Mutasyabih yang telah disampaikan para ulama di atas, nampak tidak
ada kesepakatan yang jelas antara pendapat mereka tentang Muhkam dan
Mutasyabih, sehingga hal ini terasa menyulitkan untuk membuat sebuah kriteria ayat yang termasuk Muhkam dan
Mutasyabih.
J.M.S Baljon, mengutip
pendapat Zamakhsari yang berpendapat bahwa termasuk kriteria ayat-ayat Muhkamat
adalah apabila ayat-ayat tersebut berhubungan dengan hakikat (kenyataan),
sedangkan ayat-ayat Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang menuntut penelitian (tahqiqat).[6]
Ali Ibnu Abi Thalhah
memberikan kriteria ayat-ayat Muhkamat sebagai berikut, yakni ayat-ayat yang
membatalkan ayat-ayat lain, ayat-ayat yang menghalalkan, ayat-ayat yang
mengharamkan, ayat-ayat yang mengandung kewajiban, ayat-ayat yang harus diimani
dan diamalkan. Sedangkan ayat-ayat Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang telah
dibatalkan, ayat-ayat yang dipertukarkan antara yang dahulu dan yang kemudian,
ayat-ayat yang berisi beberapa variabel, ayat-ayat yang mengandung sumpah,
ayat-ayat yang boleh diimani dan tidak boleh diamalkan.
Ar-Raghib al-Ashfihani
memberikan kreteria ayat-ayat Mutasyabihat sebagai ayat atau lafal yang tidak
diketahui hakikat maknanya, seperti tibanya hari kiamat, ayat-ayat Al-Qur’an
yang hanya bisa diketahui maknanya dengan sarana bantu, baik dengan ayat-ayat
Muhkamat, hadis-hadis sahih maupun ilmu penegtahuan, seperti ayat-ayat yang
lafalnya terlihat aneh dan hukum-hukumnya tertutup, ayat-ayat yang maknanya
hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang dalam ilmunya. Sebagaimana
diisyaratkan dalam doa Rasulullah untuk Ibnu Abbas, Ya Allah, karuniailah ia
ilmu yang mendalam mengenai agama dan limpahankanlah pengetahuan tentang ta’wil
kepadanya.
Muhkam menyangkut soal
hukum-hukum (faraid), janji, dan ancaman, sedangkan Mutasyabih mengenai
kisah-kisah dan perumpamaan.[7]
Secara tegas dapat
dikatakan, bahwa adanya ayat muhkam dan mutasyabih itu karena Allah SWT. yang
menjadikannya demikian itu. Allah Memisahkan / membedakan antara ayat – ayat
yang muhkam dari yang mutasyabih, dan menjadikannya ayat yang muhkamat sebagai
bandingan ayat yang mutasyabihat.
Artinya: “Dia-lah yang menurunkan Al
Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat,
Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun
orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti
sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah
untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya
melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami
beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan
kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan
orang-orang yang berakal”. (Q.S. Al-Imran : 7 ).
Sebagian ulama berpendapat, bahwa ayat ayat mutasyabbihat tidak dapat
diketahui takwilnya oleh siapapun kecuali Allah sendiri. Mereka mewajibkan agar orang tidak mencari-cari
takwilnya dan menyerahkan persoalan itu hanya kepada Allah SWT. Sedangkan
orang-orang yang mendalam ilmunya hanya berucap” kami mengimaninya, semuanya
datang dari Tuhan kami”.[8]
Sebab-sebab terjadinya
tasyabuh menurut pendapat para ulama’ ialah disebabkan oleh ketersembunyian
maksud Allah dari kalam-Nya itu sendiri.
Adapun pendapat para
ulama’ mengatakan bahwa penyebab adanya tasyabuh karena tiga hal yaitu,
kesamaran pada lafal ayat, kesamaran pada makna ayat, dan kesamaran pada lafal
sekaligus makna ayat itu sendiri.
1. Kesamaran pada lafal ayat
Adanya sebagian
ayat-ayat mutasyabihat didalam Al-Qur’an disebabkan oleh kesamaran pada lafal,
baik lafal mufrad maupun lafal murakkab.
a. Kesamaran pada lafal mufrod
Adapun yang dimaksud
dengan kesamaran pada lafal mufrad ini
adalah adaya lafal tunggal yang maknanya tidak jelas, baik disebabkan oleh
gharib ataupun musytarak (bermakna ganda). Kesamaran makna yang kembali kepada
lafal mufrod yang gharib, misalnya firman Allah dalam surat ‘Abasa (80: 31-32),
yaitu
:
b. Kesamaran pada lafal murakkab
Kesamaran pada lafal
murakkab kadang-kadang disebabkan karena lafal-lafal semacam itu terlalu
ringkas, panjang atau luas, atau karena”susunan kalimatnya terkesan tidak
runtut”. Namun maksud ayat ini akan dapat diketahui melalui penelitian dan
pengkajian. Contoh lafal ayat mutasyabih murakkab yang terlalu ringkas, dapat dijumpai antara
lain dalam firman-Nya surah An-Nisa ayat 3:
وَإِنْ خِفْتُمْ اَلَّاتُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى
فَانْكِحُوا مَاطَلَبَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعِ
.......الخ
Artinya:
“Dan jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat........”
2. Kesamaan pada makna ayat
Kesamaran atau
ketersembunyian yang terjadi pada makna ayat, umumya adalah berupa ayat-ayat
mutasyabihat yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah. Ayat-ayat yang demikian
antara lain dapat disimak dalam firman-Nya:
إِنَّ الَّذِيْنَ يُبَايِعُوْنَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُوْنَ اللهَ يَدُاللهَ
يَدُاللهِ فَوْقَ أَيْدِيْهِمْ ج .......... الخ
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada
kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. tangan Allah di atas
tangan mereka......... (Q.S.
Al-fath:10).
3. Kesamaran pada lafal dan makna ayat sekaligus
Dalam hubungannya
dengan kesamaran pada lafal dan makna ayat tersebut, terdapat lima aspek yang
terkait dengannya, yaitu:
a. Aspek kuantitas (al-kammiyah), baik yang berkaitan
dengan masalah-masalah yang umum maupun yang khusus. Mengenai hal ini dapat
disimak dalam firman Allah:
"Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, Maka
Bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan
tangkaplah mereka."
Dalam
hal ini batas kuantitas yang harus dibunuh masih belum jelas atau samar-samar.
b. Aspek cara (al-kaifiyah). Yang termasuk ke dalam
kategori ini adalah mengenai cara melaksanakan kewajiban yang diperintahkan
agama atau kesunahannya, misalnya dalam firman Allah:
"Sesungguhnya Aku Ini adalah Allah, tidak ada Tuhan
(yang hak) selain aku, Maka sembahlah Aku dan Dirikanlah shalat untuk mengingat
Aku."
Dalam ayat
tersebut terdapat kesamaran dalam hal bagaimana cara agar selalu dapat
mengingat Allah SWT.
c.
Aspek waktu
(al-wakt, al-zaman) dalam hal yang berkaitan dengan aspek waktu ini, kesamaran
atau ketersembunyiannya terletak pada keumuman dari petunjuk yang dibawakan
oleh ayat Al-Qur’an itu sendiri. Misalnya dalam firman-Nya surah al-Imron ayat
102:
يَاأَيُّهَاالّذِيْنَ
آمَنُوااتَّقُواللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَتَمُوْتُنَّ إِلَّاوَأَنْتُمْ
مُّسْلِمُوْنَ
Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan
janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.
Ayat tersebut memerintahkan kepada orang-orang yang
beriman untuk selalu bertakwa dalam waktu yang tidak terbatas. Waktu yang tidak
terbatas tesebut mengandung unsur kesamaran. Samapi kapan batas waktunya
bertakwa itu, tidak dijelaskan.
d. Aspek tempat (al-makn). Aspek tempat memang terkait erat dengan
ketersembunyian atau kesamaran lafal dan makna yang terdapat pada ayat
mutasyabbihaat itu. Sebagaiman firman
Allah dalam surat al- Baqarah ayat 189:
“dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari
belakangnya, akan tetapi kebajikan itu adalah kebajikan orang yang bertakwa.”
e. Aspek syarat
(syarath-masyruth). Yang dimaksudkan disini adalah syarat-syarat dalam melaksanakan
suatu kewajiban, baik mengenai ibdah maupun mu’amalah todak dirinci dalam
ayat-ayat tersebut. Misalnya dalam
hal shalat, puasa, haji,
nikah dan sebagainya.[9]
Al-Zarqani membagi
ayat-ayat Mutasyabihat menjadi tiga macam.[10]
1. Ayat-ayat yang seluruh manusia tidak dapat sampai
kepada maksudnya, seperti pengetahuan tentang zat Allah dan hakikat
sifat-sifat-Nya, pengetahuan tentang waktu kiamat dan hal-hal gaib lainnya.
Allah berfirman Q.S. al-An’am: 59
وَعِنْدَهُ
مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلَّأ هُوَ,,,,,,,,,, الخ
“Dan
pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya
kecuali diri sendiri,………”
2. Ayat-ayat yang setiap orang bisa mengetahui
maksudnya melalui penelitian dan pengkajian, seperti ayat-ayat Mutasyabihat
yang kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang, urutan, dan seumpamanya.
Allah berfirman Q.S. an-Nisa’: 3
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوْافِي الْيَتَامَى فَانْ كِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ ,,,,,
الخ
"Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim,
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi...."
Maksud ayat ini tidak jelas dan ketidak
jelasanya timbul karena lafalnya yang ringkas. Kalimat asal berbunyi :
Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim sekiranya kamu kawini mereka, maka kawinilah wanita-wanita selain mereka.
3. Ayat-ayat Mutasyabihat yang maksudnya dapat
diketahui oleh para ulama tertentu dan bukan semua ulama.Inilah yang
diisyaratkan Nabi dengan doanya bagi Ibnu Abbas:
Ya
Tuhanku, jadikanlah dia seorang yang paham dalam Agama, dan ajarkanlah
kepadanya takwil.
Sedang menurut para ulama berbeda – beda
dalam memberikan pengertian al-muhkan dan al-mutasyabih diantaranya sebagai
berikut :
1.
Ulama Ahlus sunnah wal jama’ah mengatakan
lafadz muhkam adalah lafadz yang diketahui ma’na maksudnya, baik karena memang
sudah jelas artinya maupun karena dengan di ta’wilkan. Sedang lafadz mutasyabih
adalah lafadz yang pengetahuan artinya hanya dimonopoli Allah SWT. Manusia
tidak ada yang bisa mengetahuinya. Contohnya, terjadinya hari kiamat, keluarnya
Dajjal, artti dari huruf – huruf muqatha’ah.
2.
Ulama golongan Hanafiyah mengatakan,
lafadz muhkam ialah lafadz yang jelas petunjuknya, dan tidak mungkin telah
dinaskh (dihapus hukumnya). Sedang lafadz mutasyabih adalah lafadz yang sama
maksud petunjuknya sehingga tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia ataupun
tidak tercantum dalam dalil-dalil naskh. Sebab lafadz mutasyabih itu termasuk
hal-hal yang diketahui Allah saja artinya. Contohnya seperti hal-hal yang
ghaib.
3.
Mayoritas
ulama golongan ahlu fiqh yang berasal dari pendapat sahabat Ibnu Abbas
mengatakan, lafadz muhkam ialah lafadz yang tidak bisa dita’wil kecuali satu
arah / segi saja. Sedangkan lafadz mutasyabih adalah
artinya dapat dita’wilkan dalam beberapa arah / segi, karena masih sama.
Seperti masalah surga, neraka, dan sebagainya.[11]
Para Ulama dalam mamahami ayat – ayat
mutasyabihat yang terdapat dalam al-Qur'an khususnya ayat – ayat mengenai sifat
– sifat Allah terbagi dalam dua aliran.
1.
Madzhab salaf, yaitu para ulama dari
generasi sahabat. Mereka ketika menghadapi ayat mutasyabihat berusaha untuk
mengimaninya dan menyerahkan makna serta pengertiannya hanya kepada Allah SWT.
Bagi
kaum salaf, ayat – ayat mutasyabihat tidak perlu dita'wilkan. Sebab yang
mengetahui hakikatnya hanyalah Allah SWT, mereka hanya berusaha mengimaninya.
2.
Madzhab khalaf, yaitu para ulama
berikutnya generasi berikutnya, seperti Imam Huramain. Mereka berpendapat bahwa
ayat – ayat mutasyabihat yang secara lahir mustahil bagi Allah SWT. harus
ditetapkan maknanya dengan pengertian yang sesuai dan sedekat mungkin dengan
dzat-Nya.
Mereka menta'wil lafdz istiwa'
(besemayam) dengan maha berkuasa menciptakan sesuatu tanpa susah payah. Kalimat
ja'a rabbuka (kedatangan Allah) dalam Qs. Al-Fajr : 22, dita'wilkan dengan
kedatangan perintah-Nya. Kata fauqa (diatas) didalam Qs. Al-An'am : 61, dengan
ketinggian yang bukan arah atau urusan dan lain sebagainya.[12]
Adanya ayat-ayat
muhkamat dalam al-Quran jelas banyak hikmahnya bagi umat manusia, diantaranya
sebagai berikut :
1. Menjadi rahmat bagi manusia, khususnya orang yang
kemampuan bahasa Arabnya lemah. Dengan adanya ayat-ayat muhkam yang sudah jelas
arti maksudnya, sangat besar arti dan faedahnya bagi mereka.
2. Memudahkan manusia mengetahui arti dan maksudnya.
Juga memudahkan mereka dalam mengahayati makna maksudnya agar mudah mengamalkan
pelaksanaan ajaran-ajarannya.
3. Mendorong umat agar giat memahami, menghayati, dan
mengamalkan isi kandungan al-Quran.
4. Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam
mempelajari isi ajarannya, karena lafal ayat-ayat dengan sendirinya sudah dapat
menjelaskan arti maksudnya.
5. Memperlancar usaha penafsiran atau penjelasan maksud
kandungan ayat-ayat al-Quran.
6. Membantu para guru, dosen, muballigh, dan juru
dakwah dalam usaha menerangkan isi ajaran kitab al-Quran dan tafsiran
ayat-ayatnya kepada masyarakat.
7. Mempercepat usaha tahfidzul Qur’an (penghafalan
al-Quran)
BAB III
PENUTUP
Muhkam berasal
dari kata ihkam yang berarti kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan.
Mutasyabih berasal dari kata tasyabuh yang secara bahasa berarti keserupaan dan
kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaran antara dua hal. Muhkam ialah
ayat yang diketahui maksudnya, baik secara nyata maupun melalui takwil.
Mutasyabih ialah ayat yang hanya Allah yang mengetahui maksudnya baik secara
nyata maupun melalui takwil. Seperti datangnya hari kiamat, keluarnya dajjal,
huruf yang terputus-putus diawal surat. Pendapat ini dibangsakan kepada Ahli
sunnah sebagai pendapat yang terpilih dikalangan mereka. Ayat-ayat mutasyabihat
dapat dibagi keada tiga macam, diantaranya adalah 1). Ayat-ayat yang seluruh
manusia tidak sampai kepada maksudnya.2) Ayat-ayat yang setiap orang bisa
mengetahui maksudnya melalui penelitian dan pengkajian, seperti ayat-ayat
mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang, urutan,dan
seumpamanya.3) Ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para
ulama tertentu dan bukan semua ulama.
Mengenai
sifat-sifat Allah yang mutasyabih (tidak jelas hakikatnya) terdapat dua madzhab
di kalangan para ulama : pertama, Madzhab
Salaf, (para ulama di
kalangan generasi sahabat Nabi) yang mengimani sifat-sifat yang mutasyabihat
dan menyerahkan makna serta pengertiannya kepada Allah Swt. Kedua, Madzhab
Khalaf, (para ulama di kalangan
generasi-generasi berikutnya) yang menetapkan makna bagi lafadz-lafadz yang
menurut lahirnya mustahil bagi Allah, dengan pengertian yang layak bagi dzat
Allah. Madzhab ini berasal dari Imam-Haramain dan jama’ah zaman berikutnya. Al-Qur’an
tidak hanya berisikan ayat-ayat muhkam saja, tapi juga berisi ayat-ayat
mutasyabih yang akan senantiasa menjadi pendorong kaum mu’minin untuk
terus-menerus menggali berbagai ilmu menurut batas kesanggupannya dalam
memahami ayat-ayat mutasyabihat. Dengan demikian terhindar dari kegelapan
taklid dan membaca al-Qur’an dengan khusyu’ sambil berfikir dan berenung.
[1] Usman, Ulumul
Qur’an, (Yogyakarta: Teras, 2009), Hal: 220.
[2] Ibid, hal: 220.
[3] Muhammad Chirzin, Al-Qur’an
dan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2003), hal: 70
[4] Usman, Op.cit,
Hal: 220-221
[5] Muhammad Chirzin, Opcit,
Hal: 71.
[6] Muhammad Chirzin, Opcit, Hal: 73.
[7] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’I, Ulumul Qur’an I, (Bandung: CV. Pustaka setia, 2000), hal: 201.
[8] Usman, Log.cit,
Hal: 228.
[9] Usman, Log.cit,
Hal: 273-239
[10] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i. op.cit. hal: 206
[11] Miftah Faridl, Agus Syihabudin, Al-Qur’an Sumber Hukum Islam Yang Pertama, (Bandung, Pustaka, 1989),
hlm: 241
[12] Moh. Chotib, Buku
Ajar Ulumul Qur’an,(Stain Pemekasan Press, 2006), hlm: 265.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar