BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengumpulan Al-Quran
Yang dimaksud dengan pengumpulan Qur’an ( Jam’ul Qur’an )
oleh para ulama adalah salah satu dari dua pengertian berikut:
a . pengumpulan dalam arti Hifdzuhu (
menghafalkannya dalam hati). Jumma’ul Quran artinya huffazuhu (
penghafal-penghafalnya, orang yang menghafalkannya didalam hati). Inilah makna
yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada Nabi-Nabi senantiasa
menggerak-gerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Qur’an ketika itu
turun kepadanya sebelum jibril selesai membacakannya, karena ingin
menghafalkannya: “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk Al Qur’an karena hendak
cepat-cepat nya.
Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah
mengumpulkannya dan membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka
ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.”
(al-Qiyamah:16-19 ). Ibn Abbas mengatakan: “Rasulullah SAW sangat ingin segera
menguasai Qur’an yang diturunkan, ia menggerakkan lidah dan kedua bibirnya
karena tajut apa yang turun itu akan terlewatkan. Ia ingin segera menghafalnya.
Maka Allah menurunkan: Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Qur’an
karena hendak cepat-cepat untuk menguasainya.
Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah
mengumpulkannya dan membacanya, maksudnya Kami yang mengumpulknnya didadamu,
kemudian kami memebacakannya. Apa bila Kami telah selesai memebacakannya,
maksudnya’apabila Kami telah menurunkannya kepadamu maka ikitilah bacaan itu,
maksudnya‘ dengarkan dan perhatikanlah ia’, kemudian atas tanggungan Kamilah
penjelasannya, yakni menjelaskannya dengan lidahmu.’ Dalam lafal yang lain ia
katakan : ‘atas tanggungan Kamilah membacakannya’ maka setelah ayat ini turun
bila jibril datang, Rasulullah SAW diam. Dalam lafal lain: ‘ ia
mendengarkan’.dan bila jibril telah pergi, barulah ia membacanya sebagaimana
diperintahkan Allah.”[1]
b. pengumpulan dalam arti kitabuhu kullihi ( penulisan
Qur’an semuanya) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya,
atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah ditulis dalam satu lembaran
secara terpisah, atau menertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya dalam
lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surah, sebagiannya ditulis
sesudah bagian yang lain. Pengumpulan Qur’an dalam Arti Menghafalnya pada Masa
Nabi
Rasulullah SAW amat menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya.
Rasulullah SAW amat menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya.
Persis seperti yang dijanjikan
Allah: Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya ( didadamu) dan (
membuatmu pandai) membacanya ( al-Qiyamah: 17 ). Oleh sebab itu ia adalah hafiz
( penghafal ) Qur’an pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat
dalam menghafalnya, sebagai realisasi kecintaan mereka kepada pokok agama dan
sumber risalah.quran diturunkan selama dua puluh tahun lebih. Proses
penurunanya terkadang hanya turun satu ayat dan terkadangturun sampai sepuluh
ayat. Setiap kali sebuah ayat turun,dihafal dalam dada dan ditempatkan dalam
hati, sebab bangsa arab secara kodrati memang mempunyai daya hafal yang kuat.Hal
itu umumnya karena mereka buta huruf, sehingga dalam penulisan berita-berita,
syair dan silsilah mereka dilakukan dengan catatan dihati mereka.
Dalam kitab sahihnya Bukhari telah
mengemukakan adanya tujuh hafiz, melalui tiga riwayat. Mereka adalah: Abdullah
bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal bekas budak Abu Huzaifah, Muaz bin Jabal, Ubai bin
Kaab, Zaid bin Sabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Darda’.
A.Pengumpulan
Qur’an dalam arti penulisannya pada masa Nabi
Rasullullah telah mengangkat para
penulis wahyu Qur’an dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali, Muawiyah,
‘Ubai bin K’ab dan Zaid bin Sabit, bila ayat turun ia memerintahkan mereka
menulisnya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan
pada lembar itu membantu penghafalan didalam hati. Disamping itu sebagian
sahabat pun menuliskan Qur’an yang turun itu atas kemauan mereka sendiri, tanpa
diperintah oleh nabi,mereka menuliskannya pada pelepah kurma,lempengan
batu,daun lontar,kulit atau daun kayu,pelana,potongan tulang belulang
binatang.Zaid bin Sabit:”Kami menyusun Qur’an dihadapan Rasulullah pada kulit
binatang’’.[2]
Ini menunjukkan betapa besar
kesulitan yang dipikul para sahabat dalam menulis Qur’an. Alat-alat tulis tidak
cukup tersedia bagi mereka, selain sarana-sarana tersebut. Dan dengan demikian,
penulisan Qur’an ini semakin menambah hafalan mereka. Para sahabat senantiasa
menyodorkan Qur’an kepada Rasulullah baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan.Tulisan-tulisan
Qur’an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf, yang ada pada
seseorang belum tentu dimiliki orang lain. Para ulama telah menyampaikan bahwa
segolongan dari mereka, diantaranya Ali bin Abi Thalib, Muaz bin Jabal, Ubai
bin Ka’ab, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Mas’ud telah menghafalkan seluruh
isi Qur’an dimasa Rasulullah. Dan mereka menyebutkan pula bahwa Zaid bin Sabit
adalah orang yang terakhir kali membacakan Qur’an dihadapan Nabi, diantara
mereka yang disebutkan diatas.
Az-zarkasyi berkata: “Qur’an tidak
dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi agar ia tidak berubah pada setiap
waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan kemudian sesudah Qur’an turun
semua, yaitu dengan wafatnya Rasulullah’’.Dengan pengertian inilah ditafsirkan
apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Sabit yang mengatakan: “Rasulullah telah
wafat sedang Qur’an belum dikumpulkan sama sekali.” Maksudnya ayat-ayat dalam
surah-surahnya belum dikumpulkan secara tertib dalam satu mushaf.
Al-Katabi berkata: “Rasulullah tidak
mengumpulkan Qur’an dalam satu mushaf itu karena ia senantiasa menunggu ayat
nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya. Sesudah berakhir masa
turunnya dengan wafatnya Rasululah, maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf
secara lengkap kepada para Khulafaurrasyidin sesuai dengan janjinya yang benar
kepada umat ini tentang jaminan pemeliharaannya.[3]Dan
hal ini terjadi pertama kalinya pada masa Abu Bakar atas pertimbangan usulan
Umar.[4]
B.Pengumpulan Qur’an pada Masa Abu
Bakar
Pada perang Yamamah yang terjadi pada
tahun 12 H melibatkan sejumlah besar sahabat yang hafal Qur’an. Dalam
peperangan ini tujuh puluh qari dari para sahabat gugur. Umar bin Khatab merasa
sangat kuatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu Bakar dan mengajukan
usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan Qur’an karena dikhawatirkan akan
musnah, sebab pada peperangan Yamamah telah banyak membunuh para qarri’.Disegi
lain Umar merasa khawatir juga kalau-kalau peperangan ditempat-tempat lain akan
membunuh banyak qari’ pula sehingga Qur’an akan hilang dan musnah, Abu Bakar
menolak usulan itu dan berkeberatan melakukan apa yang tidak pernah dilakukan
oleh Rasulullah. Tetapi Umar tetap membujuknya, sehingga Allah membukakan hati
Abu Bakar untuk menerima usulan Umar tersebut, kemudian Abu Bakar memerintahkan
Zaid bin Sabit, mengingat kedudukannya dalam qiraat, penulisan pemahaman dan
kecerdasannya, serta kehadirannya pada pembacaan yang terakhir kali. Abu Bakar
menceritakan kepadanya kekhawatiran dan usulan Umar. Pada mulanya Zaid menolak
seperti halnya Abu Bakar sebelum itu. Keduanya lalu bertukar pendapat, sampai
akhirnya Zaid dapat menerima dengan lapang dada perintah penulisan Qur’an itu.
Zaid bin Sabit melalui tugasnya yang berat ini dengan bersadar pada hafalan
yang ada dalam hati para qurra dan catatan yang ada pada para penulis. Kemudian
lembaran-lembaran ( kumpulan) itu disimpan ditangan Abu Bakar. Setelah ia wafat
pada tahun 13 H, lembaran-lembaran itu berpindah ke tangan Umar dan tetap
berada ditangannya hingga ia wafat. Kemudian mushaf itu berpindah ketangan
Hafsah putri Umar. Pada permulaan kekalifahan Usman, Usman memintanya dari tangan
Hafsah. masih hidup, dan selanjutnya berada ditangan Hafsah binti Umar.”[5]
Zaid bin Sabit bertindak sangat
teliti, hati-hati. Ia tidak mencukupkan pada hafalan semata tanpa disertai
dengan tulisan. Kata-kata Zaid dalam keterangan diatas: “Dan aku dapatkan akhir
surah at-Taubah pada Abu Khuzaimah al-Anshari,yang tidak aku dapatkan pada
orang lain.” Tidak menghilangkan arti keberhati-hatian tersebut dan tidak pula
berari bahwa akhir surah Taubah itu tidak mutawatir. Tetapi yang dimaksud ialah
bahwa ia tidak mendapat akhir surah Taubah tersebut dalam keadaan tertulis
selain pada Abu Khuzaimah. Zaid sendiri hafal dan demikian pula banyak diantara
para sahabat yang menghafalnya. Perkataan itu lahir karena Zaid berpegang pada
hafalan dan tulisan, jadi akhir surah Taubah itu telah dihafal oleh banyak
sahabat. Dan mereka menyaksikan ayat tersebut dicatat. Tetapi catatannya hanya
terdapat pada Abu Khuzaimah al-Ansari. As-Sakhawi menyebutkan dalam Jamalul
qurra, yang dimaksdukan ialah kedua saksi itu menyaksikan bahwa catatan itu
ditulis dihadapan Rasulullah; atau dua orang saksi iti menyaksikan bahwa
catatan tadi sesuai dengan salah satu cara yang dengan itu Qur’an diturunkan.
Abu Syamah berkata: “Maksud mereka adalah agar Zaid tidak menuliskan Qur’an
kecuali diambil dari sumber asli yang dicatat dihadapan Nabi, bukan semata-mata
dari hafalan.
Oleh sebab itu Zaid berkata tentang
akhir surah Taubah,‘‘aku tidak mendapatkannya pada orang lain,sebab ia tidak
menganggap cukup hanya didasarkan pada hafalan tanpa adanya catatan.” Kita
sudah mengetahui bahwa Qur’an sudah tercatat sebelum masa itu, yaitu pada masa
Nabi. Tetapi masih berserakan pada kulit-kulit, tulang dan pelepah kurma.
Kemudian Abu Bakar memerintahkan agar catatan-catatan tersebut dikumpulkan
dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surah yang tersusun serta
dituliskan dengan sangat berhati-hati dan mencakup tujuh huruf yang dengan itu
Qur’an diturunkan. Keistimewaan-keistimewaan ini hanya ada pada himpunan Qur’an
yang dikerjakan Abu Bakar. Para ulama berpendapat bahwa penamaan Qur’an dengan
“mushaf” itu baru muncul sejak saat itu, disaat Abu Bakar mengumpulkan Qur’an.
Ali berkata: “Orang yang paling besar pahalanya dalam hal mushaf ialah Abu
Bakar. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu Bakar. Dialah orang yang
pertama mengumpulkan kitab Allah.”
C. Pengumpulan
Qur’an pada Masa Usman
Penyebaran islam bertambah dan para
Qurra pun tersebar di berbagai wilayah, dan penduduk disetiap wilayah itu
mempelajari qira’at (bacaan) dari qari yang dikirim kepada mereka. Cara-cara
pembacaan (qiraat) Qur’an yang mereka bawakan berbeda-beda sejalan dengan
perbedaan ‘huruf ‘ yang dengannya Qur’an diturunkan. Apa bila mereka berkumpul
disuatu pertemuan atau disuatu medan peperangan, sebagian mereka merasa heran
dengan adanya perbedaan qiraat ini.terkadang sebagian mereka merasa puas,
karena mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu semuanya disandarkan kepada
Rasulullah. Tetapi keadaan demikian bukan berarti tidak akan menyusupkan
keraguan kepada generasi baru yang tidak melihat Rasulullah sehingga terjadi
pembicaraan bacaan mana yang baku dan mana yang lebih baku. Dan pada gilirannya
akan menimbulkan saling bertentangan bila
terus tersiar. Bahkan akan menimbulkan permusuhan dan perbuatan dosa. Fitnah
yang demikian ini harus segera diselesaikan. Ketika terjadi perang Armenia dan
Azarbaijan dengan penduduk Iraq, diantara orang yang ikut menyerbu kedua tempat
itu ialah Huzaifah bin al-Yaman. Ia banyak melihat perbedaan dalam cara-cara
membaca Qur’an.
Usman juga memberitahukan kepada
Huzaifah bahwa sebagian perbedaan itu pun akan terjadi pada orang-orang yang
mengajarkan Qiraat pada anak-anak. Anak-anak itu akan tumbuh, sedang diantara
mereka terdapat perbedaan dalam qiraat. Para sahabat amat memprihatinkan
kenyataan ini karena takut kalau-kalau perbedaan itu akan menimbulkan
penyimpangan dan perubahan. Mereka bersepakat untuk menyalin lembaran-lembaran
yang pertama yang ada pada Abu Bakar dan menyatukan umat islam pada
lembaran-lembaran itu dengan bacaan tetap pada satu huruf. Usman kemudian
mengirimkan utusan kepada Hafsah (untuk meminjamkan mushaf Abu Bakar yang ada
padanya) dan Hafsah pun mengirimkan lembaran-lembaran itu kepadanya. Kemudian
Usman memanggil Zaid bin Sabit al-Ansari, Abdullah bin Zubair, Said bin ‘As, dan
Abdurrahman bin Haris bin Hisyam. Ketiga orang terkahir ini adalah orang
quraisy, lalu memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, serta
memerintahkan pula agar apa yang diperselisihkan Zaid dengan ketiga orang
quraisy itu ditulis dalam bahasa quraisy, karena Qur’an turun dengan logat
mereka.Lalu ia berkata kepada Usman “selamatkanlah umat ini sebelum mereka
terlibat dalam perselisihan (dalam masalah kitab) sebagaimana peerselisihan
orang-orang yahudi dan nasrani.’ Usman kemudian mengirim surat kepada Hafsah
yang isinya; “sudilah kiranya anda kirimkan lemgbaran-lembaran yang berisi
Qur’an itu, kami akan menyalinnya menjadi beberapa mushaf, setelah itu kami
akan mengembalikannya.’ Hafsah mengirimkannya kepada Usman, dan Usman
memerintahkan Zaid bin Sabit , Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin ‘As dan
Abdurrahman bin Haris bin Hisyam untuk menyalinnya.mereka pun menyalinnya
menjadi beberapa mushaf. Usman berkata kepada ketiga orang quraisy itu: “bila
kamu berselisih pendapat dengan Zaid bin Sabit tentang sesuatu dari qur’an,
maka tulislah dengan logat quraisy karena qur’an diturunkan dengan bahsa
quraisy’’.
Setelah mereka selesai menyalinnya
menjadi beberapa mushaf, Usman mengembalikan lembaran-lembaran asli itu kepada
Hafsah. Kemudian Usman mengirimkan kesetiap wilayah mushaf baru tersebut dan
memerintahkan agar semua Qur’an atau mushaf lainnya dibakar. Zaid berkata,’’Ketika
kami menyalin mushaf, saya teringat akan satu ayat dari surah al-Ahzab yang
pernah aku dengar dibacakan oleh Rasulullah;maka kami mencarinya, dan aku
dapatkan pada Khuzaimah bin Sabital-Ansari,ayat itu ialah”“Di antara
orang-orang mu’min itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka
janjikan kepada Allah.”(al-Ahzab:23) lalu kami tempatkan ayat ini pada syarah
tersebut dalam mushaf.’’
Berbagai ‘Asar atau keterangan para
sahabat menunjukkan bahwa perbedaan cara membaca itu tidak saja mengejutkan
Huzaifah, tetapi juga mengejutkan para sahabat yang lain. Dikatakan oleh Ibn
Jarir :‘Ya’kub bin Ibrahim berkata kepadaku:Ibn ‘Ulyah menceritakan kepadaku:
Ayyub mengatakan kepadaku:bahwa Abu Qalabah berkata: pada masa kekahlifahan
Usman telah terjadi seorang guru qiraat mengajarkan qiraat seseorang, dan guru
qiraat lain mengajarkan qiraat pada orang lain. Dua kelompok anak-anak yang
belajar qiraat itu suatu ketika bertemu dan mereka berselisih, dan hal demikian
ini menjalar juga kepada guru-guru tersebut.’ Kata Ayyub:aku tidak mengetahui
kecuali ia berkata: ‘sehingga mereka saling mengkafirkan satu sama lain karena
perbedaan qiraat itu,’ dan hal itu akhirnya sampai pada khalifah Usman. Maka ia
berpidato: ‘Kalian yang ada dihadapanku telah berselisih paham dan salah dalam
membaca Qur’an. Penduduk yang jauh dari kami tentu lebih besar lagi
perselisihan dan kesalahannya. Bersatulah wahai sahabat-sahabat Muhammad,
tulislah untuk semua orang satu imam (mushaf Qur’an pedoman) saj !’ Abu Qalabah
berkata: Anas bin Malik bercerita kepadaku, katanya : ‘aku adalah salah seorang
diantara mereka yang disuruh menuliskan ,’kata Abu Qalanbah:Terkadang mereka
berselisih tentang satu ayat, maka mereka menanyakan kepada seseorang yang telah
menerimnya dari Rasulullah.Akan tetapi orang tadi mungkin tengah berada diluar
kota,sehingga mereka hanya menuliskan apa yang sebelum dan yang sesudah serta
memniarkan tempat letaknya, sampai orang itu datang atau dipanggil.Ketika penulisan
mushaf telah selesai,Kahlifah Usman menulis surat keapada semua penduduk daerah
yang sisinya:’’Aku telah melakukan yang demikian dan demikian.Aku telah
menghapuskan apa yang ada padaku, maka hapuskanlah apa yang ada padamu.’’[6]
Ibn Asytah[7]
meriwayatkan melalui Ayyub dari Abu Qalabah ,keterangan yang sama. Dan Ibn
Hajar menyebutkan dalam al-Fath bahwa Ibn Abu Daud telah meriwayatkannya pula
melalui Abu Qalabah dalam al-Masahif. Suwaid bin Gaflah berkata:‘‘Ali
mengatakan:‘Katakanlah segala yang baik tentang Usman. Demi Allah apa yang
telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Qur’an sudah atas persetujuan
kami.Usman berkata :‘bagaimana pendapatmu tentang qiraat in ? saya mendapat
berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qiraatnya lebih baik dari q iraat
orang lain.Ini telah mendekati kekafiran. Kami berkata :‘bagaimana penadapatmu
? ia menjawab : Aku berpendapat agar manusia bersatu pada satu mushaf, sehingga
tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan, kami berkata: baik sekali
pendapatmu itu’’.
Keterangan ini menunjukkan bahwa apa
yang dilakukan Usman itu telah disepakati oleh para sahabat. Mushaf-mushaf itu
ditulis dengan satu huruf (dialek) dari tujuh huruf Qur’an seperti yang diturunkan
agar orang bersatu dalam satu qiraat. Dan Usman telah mengembalikan
lembaran-lembaran yang asli kepada Hafsah, lalu dikirimkannya pula pada setiap
wilayah yaitu masing-masing satu mushaf.Dan ditahannya satu mushaf untuk
dimadinah, yaitu mushafnya sendiri yang dikenal dengan nama “mushaf Imam”.Penamaan
mushaf itu sesuai dengan apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat dimana ia
mengatakan:” Bersatulah wahai umat-umat Muhammad, dan tulislah untuk semua
orang satu imam (mushaf Qur’an pedoman).” Kemudian ia memerintahkan untuk
membakar mushaf yang selain itu. Umat pun menerima perintah dengan patuh,
sedang qiraat dengan enam huruf lainnya ditingalkan.Keputusan ini tidak salah,
sebab qiraat dengan tujuh huruf itu tidak wajib.Seandainya Rasulullah mewajibkan
qiraat dengan tujuh huruf itu semua, tentu setiap huruf harus disampaikan
secara mutawatir sehingga menjadi hujjah. Tetapi mereka tidak melakukannya.Ini
menunjukkan bahwa qiraat dengan tujuh huruf itu termasuk dalam katergori
keringanan.Dan bahwa yang wajib ialah menyampaikan sebagian dari ketujuh huruf
tersebut secara mutawatir dan inilah yang terjadi.
Ibn Jarir mengatakan berkenaan
dengan apa yang telah dilakukan oleh Usman: ‘Ia menyatukan umat islam dengan
satu mushaf dan satu huruf, sedang mushaf yang lain disobek. Ia memerintahkan
dengan tegas agar setiap orang yang mempunyai mushaf ” berlainan “dengan mushaf
yang disepakati itu membakar mushaf tersebut, umatpun mendukungnya dengan taat
dan mereka melihat bahwa dengan bagitu Usman telah bertindak sesuai dengan
petunjuk dan sangat bijaksana.Meka umat meninggalkan qiraat dengan enam huruf
lainnya.sesuai dengn permintaan pemimpinnya yang adil itu;sebagai bukti
ketaatan umat kepadanya dan karena pertimbangan demi kebaikan mereka dan
generasi sesudahnya.Dengan demikian segala qiraat yang lain sudah dimusnahkan
dan bekas-bekasnya juga sudah tidak ada.Sekarang sudah tidak ada jalan bagi
orang yang ingin membaca dengan ketujuh huruf itu dan kaum muslimin juga telah
menolak qiraat dengan huruf-huruf yang lain tanpa mengingkari kebenarannya atau
sebagian dari padanya.tetapi hal itu bagi kebaikan kaum muslimin itu sendiri.Dan
sekarang tidak ada lagi qiraat bagi kaum muslimin selain qiraat dengan satu
huruf yang telah dipilih olah imam mereka yang bijaksana dan tulus hati itu.
Tidak ada lagi qiraat dengan enam huruf lainya.
Apa bila sebagian orang lemah pengetahuan berkata : Bagaimana mereka boleh meninggalkan qiraat yang telah dibacakan oleh Rasulullah dan diperintahkan pula membaca dengan cara itu ? maka jawabnya ialah : ‘Sesungguhnya perintah Rasulullah kepada mereka untuk membacanya itu bukanlah perintah yang menunjukkan wajib dan fardu, tetapi menunjukkan kebolehan dan keringanan (rukshah). Sebab andaikata qiraat dengan tujuh huruf itu diwajibkan kepada mereka, tentulah pengetahuan tentang setiap huruf dari ketujuh huruf itu wajib pula bagi orang yang mempunyai hujjah untuk menyampaikannya,beritanya harus pasti dan keraguan harus dihilangkan dari para qari. Dan karena mereka tidak menyampaikan hal tersebut, maka ini merupakan bukti bahwa dalam masalah qiraat mereka boleh memilih, sesudah adanya orang yang menyampaikan Qur’an dikalangan umat yang penyampaiannya menjadi hujjah bagi sebagian ketujuh huruf itu.[8]
Apa bila sebagian orang lemah pengetahuan berkata : Bagaimana mereka boleh meninggalkan qiraat yang telah dibacakan oleh Rasulullah dan diperintahkan pula membaca dengan cara itu ? maka jawabnya ialah : ‘Sesungguhnya perintah Rasulullah kepada mereka untuk membacanya itu bukanlah perintah yang menunjukkan wajib dan fardu, tetapi menunjukkan kebolehan dan keringanan (rukshah). Sebab andaikata qiraat dengan tujuh huruf itu diwajibkan kepada mereka, tentulah pengetahuan tentang setiap huruf dari ketujuh huruf itu wajib pula bagi orang yang mempunyai hujjah untuk menyampaikannya,beritanya harus pasti dan keraguan harus dihilangkan dari para qari. Dan karena mereka tidak menyampaikan hal tersebut, maka ini merupakan bukti bahwa dalam masalah qiraat mereka boleh memilih, sesudah adanya orang yang menyampaikan Qur’an dikalangan umat yang penyampaiannya menjadi hujjah bagi sebagian ketujuh huruf itu.[8]
Jika memang demikian halnya maka
mereka tidak dipandang telah meninggalkan tugas menyampaikan semua qiraat yang
tujuh tersebut, yang menjadi kewajiban bagi mereka untuk menyampaikannya.Kewajiban
mereka ialah apa yang sudah mereka kerjakan itu.Karena apa yang telah mereka
lakukan tersebut ternyata sangat berguna bagi islam dan kaum muslimin. Oleh
karena itu menjalankan apa yang menjadi kewajiban mereka sendiri lebih utama
dari pada melakukan sesuatu yang malah akan lebih merupakan bencana terhadap
islam dan pemeluknya dari pada menyelamatkannya.
Perbedaan antara Pengumpulan Abu
Bakar dengan Usman Dari teks-teks diatas jelaslah bahwa pengumpulan (mushaf
oleh) Abu Bakar berbeda dengan pengumpulam yang dilakukan Usman dalam motif dan
caranya.Motif Abu Bakar adalah kekhawatiran beliau akan hilangnya Qur’an karena
banyaknya para huffaz yang gugur dalam peperangan yang banyak menelan korban
dari para qari.Sedang motif Usman dalam mengumpulkan Qur’an ialah karena
banyaknya perbedaan dalam cara-cara membaca Qur’an yang disaksikannnya sendiri
didaerah-daerah dan mereka saling menyalahkan antara satu dengan yang lain. Pengumpulan
Qur’an yang dilakukan Abu Bakar ialah memindahkan satu tulisan atau catatan
Qur’an yang semula bertebaran dikulit-kulit binatang, tulang,dan pelepah kurma,kemudian
dikumpulkan dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surahnya yang
tersusun serta terbatas dalam satu mushaf,dengan ayat-ayat dan surah-surahnya
serta terbatas dengan bacaan yang tidak dimansukh dan tidak mencakup ketujuh
huruf sebagaimana ketika Qur’an itu diturunkan.
Sedangkan pengumpulan yang dilakukan
Usman adalah menyalinnya menjadi satu huruf diantar ketujuh huruf itu, untuk
mempersatukan kaum muslimin dalam satu mushaf dan satu huruf yang mereka baca
tanpa keenam huruf lainnya.Ibnut Tin dan yang lain mengatakan: “Perbedaan
antara pengumpulan Abu Bakar dan Usman ialah bahwa pengumpulan yang dilakukan
Abu Bakar disebabkan oleh kekawatiran akan hilangnya sebagian Qur’an karena
kematian para penghafalnya, sebab ketika itu Qur’an belum terkumpul disatu
tempat.Lalu Abu Bakar mengumpulkannya dalam lembaran-lembaran dengan
menertibkan ayat-ayat dan surahnya. Sesuatu dengan petunjuk Rasulullah kepada
mereka. Sedang pengumpulam Usman sebabnya banyaknya perbedaan dalam hal qiraat,
sehingga mereka membacanya menurut logat mereka masing-masing dengan bebas dan
ini menyebabkan timbulnya sikap saling menyalahkan, karena kawatir akan timbul
bencana,Usman segera memerintahkan menyalin lembaran-lembaran itu dalam satu
mushaf dengan menertibkan surah-surahnya dan membatasinya hanya pada bahasa
quraisy saja dengan alasan bahwa qur’an diturunkan dengan bahasa mereka
(quraisy). Sekalipun pada mulanya memang diizinkan membacanya dengan bahasa
selain quraisy guna menghindari kesulitan.Dan menurutnya keperluan demikian ini
sudah berakhir, karena itulah ia membatasinya hanya pada satu logat saja. Al-Haris
al-Muhasibi mengatakan:“Yang masyhur dikalangan orang banyak ialah bahwa
pengumpul Qur’an itu Usman. Pada hal sebenarnya tidak demikian,Usman hanyalah
berusaha menyatukan umat pada satu macam (wajah) qiraat, itupun atas dasar
kesepakatan antara dia dengan kaum muhajirin dan anshar yang hadir
dihadapannya.serta setelah ada kekhawatiran timbulnya kemelut karena perbedaan
yang terjadi karena penduduk Iraq dengan Syam dalam cara qiraat.Sebelum itu
mushaf-mushaf itu dibaca dengan berbagai macam qiraat yang didasarkan pada
tujuh huruf dengan mana Qur’an diturunkan.Sedang yang lebih dahulu mengumpulkan
Qur’an secara keseluruhan (lengkap) adalah Abu Bakar as-Sidiq.”Dengan usahanya
itu Usman telah berhasil menghindarkan timbulnya fitnah dan mengikis sumber
perselisihan serta menjaga isi Qur’an dari penambahan dan penyimpangan
sepanjang zaman.
Para ulama berbeda pendapat tentang
jumlah mushaf yang dikirimkan kepada Usman ke berbagai daerah :
a.Ada yang mengatakan bahwa jumlahnya tujuh
buah mushaf yang dikirimkan ke Mekkah, Syam,Basyrah,Kuffah,Yaman,Bahrain,danMadinah.Ibn
Abu Daud mengatakan:“Aku mendengar Abu Hatim as-Sijistani berkata: ‘telah
ditulis tujuh buah mushaf, lalu dikirimkan ke Mekkah, Syam, Basyrah, Kuffah, Bahrain,Yaman dan sebuah
ditahan di Madinah.”
b.Dikatakan pula bahwa jumlahnya ada empat buah masing-masing dikirimkan ke Iraq, Syam,Mesir dan Mushaf Imam, atau dikirimkan ke Kuffah, Basyrah, Syam dan mushaf Imam berkata Abu ‘Amr ad-Dani dalam al-Muqni. “sebagian besar ulama berpendapat bahwa ketika Usman menulis Mushaf, ia membuatnya sebanyak empat buah salinan dan ia kirimkan kesetiap daerah masing-masing satu buah: ke Kufah , Basyrah, Syam dan ditinggalkan satu buah untuk dirinya sendiri.”
b.Dikatakan pula bahwa jumlahnya ada empat buah masing-masing dikirimkan ke Iraq, Syam,Mesir dan Mushaf Imam, atau dikirimkan ke Kuffah, Basyrah, Syam dan mushaf Imam berkata Abu ‘Amr ad-Dani dalam al-Muqni. “sebagian besar ulama berpendapat bahwa ketika Usman menulis Mushaf, ia membuatnya sebanyak empat buah salinan dan ia kirimkan kesetiap daerah masing-masing satu buah: ke Kufah , Basyrah, Syam dan ditinggalkan satu buah untuk dirinya sendiri.”
c.Ada juga yang mengatakan bahwa jumlahnya ada
lima. As-Suyuti berkata bahwa pendapat inilah yang masyhur. Adapun
lembaran-lembaran yang dikembalikan kepada Hafsah, tetap berada ditangannya
hingga ia wafat, setelah itu lembaran-lembaran tersebut dimusnahkan, dan dikatakan
pula bahwa lembaran-lembaran tersebut diambil oleh Marwan bin Hakam lalu
dibakar.
Mushaf-mushaf yang ditulis oleh Usman itu sekarang hampir tidak ditemukan sebuah pun juga. Keteranagn yang diriwayatkan oleh Ibn Katsir dalam kitabnya Fadhailul Qur’an menyatakan bahwa ia menemukan satu buah diantaranya di masjid Damsyik di Syam. Mushaf itu ditulis pada lembaran yang -menurutnya terbuat dari kulit unta. Dan diriwayatkannya pula mushaf Syam ini dibawa ke Inggris setalah beberapa lama berada ditangan kaisar rusia di perpustakaan Leningrad. Juga dikatakn pula bahwa mushaf itu terbakar dalam masjid Damsyik pada tahun 1310 H.
Pengumpulan Qur’an oleh Usman ini disebut dengan pengumpulan ketiga yang dilaksanakan pada 25 H.
Mushaf-mushaf yang ditulis oleh Usman itu sekarang hampir tidak ditemukan sebuah pun juga. Keteranagn yang diriwayatkan oleh Ibn Katsir dalam kitabnya Fadhailul Qur’an menyatakan bahwa ia menemukan satu buah diantaranya di masjid Damsyik di Syam. Mushaf itu ditulis pada lembaran yang -menurutnya terbuat dari kulit unta. Dan diriwayatkannya pula mushaf Syam ini dibawa ke Inggris setalah beberapa lama berada ditangan kaisar rusia di perpustakaan Leningrad. Juga dikatakn pula bahwa mushaf itu terbakar dalam masjid Damsyik pada tahun 1310 H.
Pengumpulan Qur’an oleh Usman ini disebut dengan pengumpulan ketiga yang dilaksanakan pada 25 H.
Keraguan yang Harus Ditolak :
Ada beberapa keraguan yang ditiupkan
oleh para pengumbar hawa nafsu untuk melemahkan kepercayaan terhadap Qur’an dan
kecermatan pengumpulannya. Disini kami akan kemukakan beberapa hal yang penting
diantaranya dan kemudian menjawabnya:
1. Mereka berkata, sumber-sumber
lama (asar) menunjukkan bahwa ada beberapa bagian Qur’an yang tidak dituliskan
dalam mushaf-mushaf yang ada ditangan kita ini. Sebagai bukti (dalil)
dikemukakannya:
A.Aisyah berkata:“Rasulullah pernah
mendengar seseorang membaca Qur’an dimasjid , lalu katanya ‘semoga Allah
mengkasihinya. Ia telah mengingatkan aku akan ayat anu dan ayat anu dari surah
anu.’ Dalam riwayat lain dikatakan ‘Aku telah menggugurkannya dari ayat ini dan
ini.’ Dan ada lagi riwayat yang mengatakan ‘ Aku telah dibuat lupa terhadapnya.’
Arguman ini dapat dijawab bahwa teringatnya Rasulullah akan satu atau beberapa
ayat yang ia lupa atau ia gugurkan karena lupa itu hendaknya tidak menimbulkan
keraguan dalam hal pengumpulan Qur’an karena riwayat yang mengandung ungkapan
“menggugurkan” itu telah ditafsirkan oleh riwayat lain, “Aku telah dibuat lupa
terhadapnya” (kuntu unsituha) ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan
“menggugurkannya” adalah “lupa” sebagaimana ditunjukkan pula oleh kata-kata
“telah mengingatkan aku”. Kelupaan atau lupa bisa saja terjadi pada Rasulullah
dalam hal yang tidak merusak tablig.Disamping itu ayat-ayat tersebut telah
dihafal oleh para sahabat. Hafalan dan pencatatannya pun telah mencapai tingkat
mutawatir.Dengan demikian lupa yang dialami Rasulullah sesudah itu tidak
mempengaruhi kecermatan dalam pengumpulan Qur’an. Inilah maksud hadis diatas.Oleh
sebab itu bacaan orang ini- yang hanya merupakan salah seorang diantara para
penghafal yang jumlahnya mencapai tingkat mutawatir-mengingatkan Rasulullah.“ia
telah mengingatkan aku akan ayat anu dan ayat anu”.
B.Allah berfirman dalam surah A’la:“Kami
akan membacakan (Qur’an) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa, kecuali
kalau Allah menghendaki.”(al-A’la:8-7). Pengecualian dalam ayat ini menunjukkan
bahwa ada beberapa ayat yang terlupakan oleh Rasulullah.Mengenai hal ini
dapatlah dijawab bahwa Allah telah berjanji kepada Rasul-Nya untuk membacakan
Qur’an dan memeliharanya serta mengamankannya dari kelupaan, sebagaimana
ditegaskan dalam firman-Nya: “Kami akan membacakan (Qur’an) kepadamu
(Muhammad), maka kamu tidak akan lupa.” Namun karena ayat ini mengesankan
seakan hal itu merupakan suatu keharusan, pada hal Allah berbuat menurut
kehendak-Nya secara bebas. “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan
merekalah yang akan ditanyai” (al-Anbiya: 23), maka ayat itu segera disusul
dengan pengecualian ” Kecuali kalau Allah menghendaki”, untuk menunjukkan bahwa
pemberitahuan mengenai pembacaan Qur’an kepada Rasul dan pengamanannya dari
kelupaan itu tidak keluar dari kehendak-Nya pula. Sebab bagi Allah tak ada yang
tak dapat dilakukan. Syaikh Muhammad Abduh mengemukakan dalam menafsirkan ayat
tersebut sebagai berikut: “Oleh karena janji itu dituangkan dalam ungkapan yang
menunjukkan keharusan dan kekal, sehingga terkadang memberi kesan bahwa
kekuasaan Allah tidak meliputi yang selain itu, dan bahwa yang demikian
dipandang telah keluar dari kehendak-Nya, kecuali kalau Allah menghendaki.
Sebab, jika Ia berkehendak tak ada atupun yang dapat mengalahkan kehendak-Nya.
Dan bila Ia berkehendak untuk
mencabutnya, maka tidak ada seorangpun dapat menghalangi. Mengenai riwayat,bahwa
Nabi telah melupakan sesuatu sehingga perlu diingatkan, maka seandainya hal itu
benar, tetapi ini tidaklah menyangkut kitab dan hukum-hukum Allah yang
diturunka kepada Nabi agar disampaikan kepada umat. Dengan demikian segala
pendapat yang dilontarkan orang selain dari yang telah kami kemukakan ini
merupakan penyusupan dari orang-orang atheis yang merasuki pikiran orang-orang
yang lalai. Untuk menodai apa yang telah disucikan oleh Allah. Karena tidak
pantas bagi orang yang mengenal kedudukan Rasulullah dan beriman kepada
kitabullah berpegangan pada pendapat semacam itu sedikitpun juga,”
Mereka mengatakan, dalam Qur’an
terdapat sesuatu yang bukan Qur’an, untuk pendapatnya ini mereka berdalil
dengan riwayat yang menyatakan bahwa Ibn Masud mengingkari surah an-Nas dan
al-Falaq termasuk bagian dari Qur’an. Terhadap pendapat ini dapat diajukan
jawaban sebagai barikut. Yaitu bahwa riwayat yang diterima dari Ibn Mas’ud itu
tidak benar karena bertentangan dengan kesepakatan umat. An-Nawawi mengatakan
dalam syarh al-Muhazzab ” Kaum muslimin sepakat bahwa kedua surah (an-Nas dan
al- Falaq) itu dan surah Fatihah juga termasuk Qur’an. Dan Sedangkan riwayat yang
diterima dari Ibn Masud adalah batil, tidak sahih.” Ibn Hazm berpendapat,
riwayat tersebut merupakan pendustaan dan pemalsuan atas nama (terhadap) Ibn
Masud.Seandainya riwayat itu benar, maka yang dapat dipahami ialah bahwa Ibn
Masud tidak pernah mendengar kedua surah mu’awizatain, yakni surah al-Falaq dan
an-Nas itu secara langsung dari Nabi., sehingga ia berhenti, tidak memberikan
komentar mengenainya. Selain itu pengingkaran Ibn Masud tersebut tidak dapat
membatalkan konsensus (ijma’) kaum muslimin bahwa kedua surah itu merupakan
bagian Qur’an yang mutawatir. Argumentasi ini dapat pula dipergunakan untuk
menjawab isyu yang menyatakan bahwa mushaf Ibn Masud tidak memuat surah
Fatihah, sebab Fatihah adalah Ummul Qur’an, induk Qur’an yang status qur’aniahnya
tak seorang pun meragukannya.
Segolongan Syi’ah extrim menuduh
bahwa Abu Bakat , Umar dan Usman telah mengubah Qur’an serta menggugurkannya
beberapa ayat dan surahnya. Mereka ( Abu Bakar cs.)telah mengganti dengan lafal
Ummatun hiya arba min ummatin-”Satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari
golongan lain” (an-Nahl:92) yang asalnya adalah ‘A’immatun hiya azka min
a’immatikum’. “Imam-imam yang lebih suci dari pada Imam-imam kamu” mereka juga
menggugurkan dari surah Ahzab ayat-ayat mengenai keutamaan “ahlul bait” yang
panjangnya sama dengan surah al-an’am. Dan menggugurkan pula surah mengenai
kekuasaan (al-Wilayah) secara total dari Qur’an. Terhadap golongan ini dapat
dikemukakan bahwa tuduhan tersebut adalah batil, omong kosong yang tanpa dasar
dan tuduhan yang tanpa bukti. Bahkan membicarakannya merupakan suatu kebodohan.
Selain itu, sebagian kaum Syi’ah sendiri cuci tangan dari anggapan bodoh
semacam ini. Dan apa yang diterima dari Ali, orang yang mereka jadikan tumpuan
(tasyayyu’) bertentangan dengan hal tersebut dan bahkan menunjukkan terjadinya
kesepakatan (ijma’) mengenai kemutawatiran Qur’an yang tertulis dalam mushaf,
diriwayatkan bahwa Ali mengatakan mengenai pengumpulan Qur’an oleh Abu Bakar;
‘Manusia yang paling berjasa bagi mushaf-mushaf Qur’an adalah Abu Bakar, semoga
Allah melimpahkan rahmat kepadanya, karena dialah orang pertama yang
mengumpulkan kitab Allah.” Ali juga mengatakan berkenaan dengan pengumpulan
Qur’an oleh Usman : “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah. Jauhilah
sikap berlebihan (bermusuhan) terhadap Usman dan perkataanmu bahwa dialah yang
membakar msuhaf. Demi Allah dia membakarnya berdasarkan persetujuan kami,
sahabat-sahabat Rasulullah.” Lebih lanjut ia mengatakan : ” Seandainya yang
menjadi penguasa pada masa Usman adalah aku, tentu akupun akan berbuat terhadap
mushaf-mushaf itu seperti yang dilakukan Usman.”
B.
Tertib Ayat Qur’an
Terdiri atas surah-surah dan ayat-ayat, baik
yang pendek maupun yang panjang. Ayat adalah sejumlah kalam Allah yang terdapat
dalam sebuah surah dari Qur’an. Surah ialah sejumlah ayat Qur’an yang mempunyai
permulaan dan kesudahan, tertib atau urutan ayat-ayat Qur’an ini adalah
tauqifi, ketentuan dariRasulullah, sebagian ulama meriwayatkan bahwa pendapat
ini adalah ijma’ diantaranya: az-Zarkasyi dalam al-Burhan dan Abu Ja’far Ibnuz
Zubeir dlam munasabahnya ia mengatakan” Tertib ayat-ayat di dalam surah-surah
itu berdasarkan tauqifi dari Rasulullah dan atas perintahnya, tanpa
diperselisihkan kaum muslimin.” As-Syuti telah memutuskan hal itu, ia berkata :
” Ijma’ dan nas-nas yang serupa menegaskan, tertib ayat-ayat itu dalah taufiqi,
tanpa diragukan lagi.” Jibril menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah dan
menunjukkan kepadanya tempat dimana ayat-ayat itu harus diletakkan dalam surah
atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah memerintahkan kepada para
penulis wahyu untuk menuliskannya ditempat tersebut. Ia mengatakan kepada
mereka : “Letakkanlah ayat ini pada surah yang didalamnya disebutkan begini dan
begini.” Atau ” Letakkanlah ayat ini ditempat anu.” Susunan dan penempatan ayat
tersebut sebagaiman yang disampaikan para sahabat kepada kita.
”Terdapat sejumlah hadis yang
menunjukkan keutamaan beberapa ayat dari surah-surah tertentu. Ini menunjukkan
bahwa tertib ayat-ayat bersifat tauqifi. Sebab jika tertibnya dapat diubah,
tentulah ayat-ayat itu tidak akan didukung oleh hadis-hadis tersebut. Diriwayatkan
dari Abu Darda’ dalam hadis marfu’ : “Barang siapa hafal sepuluh ayat dari awal
surah kahfi, Allah akan melindunginya dari Dajjal.” Dan dalam redaksi lain
dikatakan: “Barang siapa membaca sepuluh ayat terakhir dari surah kahfi” juga
terdapat hadis-hadis lain yang menunjukkan letak ayat tertentu pada tempatnya.
Umar berkata: ” Aku tidak menanyakan pada Nabi tentang kalalah, sampai-sampai
Nabi menekankan jarinya ke dadaku, dan mengatakan : ‘Tidak cukup bagimu ayat
yang diturunkan pada musim panas, yang terdapat pada akhir surah an-Nisa’?
Disamping itu terima pula bahwa Rasulullah telah membaca sejumlah surah dengan tertib ayat-ayatnya dalam salat atau dalam khutbah jumat, seperti surah Baqarah, Ali imran dan Annisa’. Juga hadis sahih mengatakan bahwa Rasulullah membaca surah A’raf dalam salat maghrib dan dalam salat subuh hari jum’at membaca surah Alif Lam Mim, Tanzilul Kitabi La Raibafihi” (as-Sajdah) dan Hal Ata Alal Insani (ad-Dahr) juga membaca surah Qaf pada waktu Kutbah. Surah Jumu’ah dan surah Munafiqun dalam salat jum’at.
Disamping itu terima pula bahwa Rasulullah telah membaca sejumlah surah dengan tertib ayat-ayatnya dalam salat atau dalam khutbah jumat, seperti surah Baqarah, Ali imran dan Annisa’. Juga hadis sahih mengatakan bahwa Rasulullah membaca surah A’raf dalam salat maghrib dan dalam salat subuh hari jum’at membaca surah Alif Lam Mim, Tanzilul Kitabi La Raibafihi” (as-Sajdah) dan Hal Ata Alal Insani (ad-Dahr) juga membaca surah Qaf pada waktu Kutbah. Surah Jumu’ah dan surah Munafiqun dalam salat jum’at.
Jibril selalu mengulangi dan
memeriksa Qur’an yang telah disampaikannya kepada Rasulullah sekali setiap tahun,
pada bulan ramadhan dan pada tahun terakhir kehidupannya sebanyak dua kali. Dan
pengulangan Jibril terakhir ini seperti tertib yang dikenal sekarang ini. Dengan
demikan tertib ayat-ayat Qur’an seperti yang ada dalam mushaf yang beredar
diantara kita adalah tauqifi. Tanpa diragukan lagi. As-Suyuti setelah
menyebutkan hadis-hadis berkenaan dengan surah-surah tertentu mengemukakan :
‘Pembacaan surah-surah yang dilakukan Nabi dihadapan para sahabat itu
menunjukkan bahwa tertib atau susunan ayat-ayatnya adalah tauqifi. Sebab, para
sahabat tidak akan menyusunnya dengan tertib yang berbeda dengan yang mereka
dengar dari bacaan Nabi. Maka sampailah
tertib ayat seperti demikian kepada tingkat mutawatir.”
C.
Tertib Surah
Para ulama berbeda pendapat tentang
tertib surah-surah Qur’an.
A. Dikatakan bahwa
tertib surah itu tauqifi dan ditangani langsung oleh Nabi sebagaimana
diberitahukan jibril kepadanya atas perintah Tuhan. Dengan demikian, Qur’an
pada masa Nabi telah tersusun surah-surahnya secara tertib sebagaimana tertib
ayat-ayatnya. Seperti yang ada ditangan kita sekarang ini. Yaitu tertib mushaf
Usman yang tak ada seorang sahabatpun menentangnya. Ini menunjukkan telah
terjadi kesepakatan (ijma’) atas tertib surah, tanpa suatu perselisihan apa
pun. Yang mendukung pendapat ini ialah, bahwa Rasulullah telah membaca beberapa
surah secara tertib didalam salatnya. Ibn Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Nabi
pernah membaca beberapa surah aufassal (surah-surah pendek) dalam satu rakaat.
Bukhari meriwayatkan dari Ibn Mas’ud, bahwa ia mengatakan tentang surah Bani
Isra’il, Kahfi, Maryam, Taha dan Anbiya’: “surah-surah itu termasuk yang
diturunkan dimekkah dan yang pertama-tama aku pelajari.” Kemudian ia
menyebutkan surah-surah itu secara berurutan sebagaimana tertib susunan seperti
sekarang ini.
Telah diriwayatkan melalui Ibn
wahhab, dari Sulaiman bin Bilal, ia berkata : “Aku mendengar Rabbi’ah ditanya
orang, ‘ Mengapa surah baqarah dan Ali Imran di dahulukan, pada hal sebelum
kedua surah itu telah diturunkan delapan puluh sekian surah makki, sedang
keduanya diturunkan di madinah?’ dia menjawab : ‘ Kedua surah itu memang
didahulukan dan Qur’an dikumpulkan menurut pengetahuan dari orang yang mengumpulkannya.’
Kemudian katanya: ‘Ini adalah sesuatu yang mesti terjadi dan tidak perlu
dipertanyakan.”Ibn Hisyar mengatakan : ‘tertib surah dan letak ayat-ayat pada
tempat-tampatnya itu berdasarkan wahyu. Rasulullah mengatakan: ‘Letakkanlah
ayat ini ditempat ini.’ Hal tersebut telah diperkuat oleh nukilan atau riwayat
yang mutawatir dengan tertib seperti ini, dari bacaan Rasulullah dan ijma’ para
sahabat untuk meletakkan atau menyusunnya seperti ini didalam mushaf.”
B. Dikatakan bahwa
tertib surah itu berdasarkan ijtihad para sahabat, mengingat adanya perbedaan
tertib didalam mushaf-mushaf mereka. Misalnaya mushaf Ali disusun menurut tertb
nuzul, yakni dimulai dengan Iqra’, kemudian Muddassir, lalu Nun, Qalam,
kemudian Muzammil, dst hingga akhir surah Makki dan madani. Dalam mushaf Ibn
Masu’d yang pertama ditulis adaslah surah Baqarah, Nisa’ dan Ali-’Imran. Dalam
mushaf Ubai yang pertama ditulis ialah Fatihah, Baqarah, Niasa’ dan Ali-Imran. Diriwayatkan
Ibn Abbas berkata: “Aku bertanya kepada Usman :Apakah yang mendorongmu
mengambil Anfal yang termasuk katergori masani dan bar’ah yang termasuk Mi’in
untuk kamu gabungkan keduanya menjadi satu tanpa kamu tuliskan diantara
keduanya Bismillahirrahmanirrahim, dan kamu pun meletakkannnya pada as-Sab’ut
Tiwal (tujuh surah panjang) ? Usman menjawa: ‘Telah turun kepada Rasulullah
surah-surah yang mempunyai bilangan ayat. Apa bila ada ayat turun kepadnya, ia
panggil beberapa orang penulis wahyu dan mengatakan: ‘ Letakkanlah ayat ini
pada surah yang didalamnya terdapat ayat anu dan anu.” Surah Anfal termasuk
surah pertama yang turun di madinah. Sedang surah Bara’ah termasuk yang
terakhir diturunkan. Surah Anfal serupa dengan surah yang turun dalam surah
Bara’ah, sehingga aku mengira bahwa surah adalah bagian dari surah Anfal. Dan
sampai wafatnya Rasulullah tidak menjelaskan kepada kami bahwa surah Bara’ah
adalah sebagian dari surah Anfal. Oleh karena itu, kedua surah tersebut aku
gabungkan dan diantara keduanya tidak aku tuliskan Bismillahirrahmanirrahim
serta aku meletakkannya pula pada as Sab’ut Tiwal.”
C. Dikatakan bahwa
sebagian surah itu tertibnya tauqifi dan sebagian lainnya berdasarkan ijtihad
para sahabat, hal ini karena terdapat dalil yang menunjukkan tertib sebagian
surah pada masa Nabi. Misalnya keterangan yang menunjukkan tertib as-’abut
Tiwal, al hawamin dan al mufassal pada masa hidup Rasulullah. Diriwayatkan,
“Bahwa Rasulullah berkata: bacalah olehmu dua surah yang bercahaya, baqarah dan
ali Imran.” Diriwayatkan pula, ” Bahwa jika hendak pergi ketempat tidur,
Rasululah mengumpulkan kedua telapak tangannya kemudian meniupnya lalu membaca
Qul huwallahu ahad dan mu’awwizatain.” Ibn Hajar mengatakan: “Tertib sebagain
surah-surah atau sebagian besarnya itu tidak dapat ditolak sebagai bersifat
Tauqifi.” Untuk mendukung pendapatnya ia kemukakan hadis Huzaifah as Saqafi
yang didalamnya antara lain termuat: “Rasulullah berkata kepada kami, ‘telah
datang kepadaku waktu untuk membaca hizb(bagian) dari Qur’an, maka aku tidak
ingin keluar sebelum selesai.’ Lalu kami tanyakan kepada sahabat-sahabat
Rasulullah: bagaimana kalian membuat pembagian Qur’an ? mereka menjawab: kami
membaginya menjadi tiga surah , lima surah, tujuh surah, sembilan, sebelas ,
tiga belas surah dan bagian al Mufassal dari Qaf samapi kami khatam.” Kata Ibn
Hajaar : ” Ini menunjukkan bahwa tertib surah-surah seperti terdapat dalam
mushaf sekarang adalah tertib surah pada masa Rasulullah.” Dan katanya: “Namun
mungkin juga bahwa yang telah tertib pada waktu itu hanyalah bagian mufassal,
bukan yang lain.” Apa bila membicarakan ketiga pendapat ini, jelaslah bagi kita
bahwa pendapat kedua, yang menyatakan tertib surah-surah itu berdasarkan
ijtihad para sahabat, tidak bersandar dan berdasar pada suatu dalil. Sebab,
ijtihad sebagian sahabat mengenai terib mushaf mereka yang khusus, merupakan
ihtiyar mereka sebelum Qur’an dikumpulkan secara terib. Ketika pada masa Usman
Qur’an dikumpulkan , ditertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya pada suatu huruf
( logat) dan umat pun menyepakatinya, maka mushaf-mushaf yang ada pada mereka
ditnggalkan. Seandainya tertib itu merupakan hasil ijtihad , tentu mereka tetap
berpegang pada mushafnya masing-masing.
Mengenai hadis tentang surah
al-Anfal dan Taubah yang diriwayatkan dari Ibn Abbas diatas, isnadnya dalam
setiap riwayat berkisar pada Yazid al Farsi yang oleh Bukhari dikategorikan
dalam kelompok du’afa’. Disamping itu dalam hadis ini pun tedapat kerancuan
mengenai penempatan basmalah pada permulaan surah, yang mengesankan seakan-akan
Usman menetapkannya menurut pendapatnya sendiri dan meniadakannya juga menurut
pendapatnya sendiri. Oleh karena itu dalam komentarnya terdapat hadis tersebut
dalam musnad Imam Ahmad. Syaikh Ahmad Syakir, menyebutkan: “Hadis itu tak ada
asal mulanya” paling jauh hadis itu hanya menunjukan ketidak tertiban kedua
surah tersebut.
Sementara itu, pendapat ketiga yang
menyatakan sebagian surah itu tertibnya tauqifi dan sebagian lainnya bersifat
ijtihadi, dalil-dalilnya hanya berpusat pada nas-nas yang menunjukkan tertib
tauqifi. Adapun bagian yang ijtihadi tidak bersandar pada dalil yang
menunjukkan tertin ijtihadi. Sebab, ketetapan yang tauqifi dengan
dalil-dalilnya tidak berarti bahwa selain itu adalah hasil ijtihad. Disamping
itu pula yang bersifat demikian hanya sedikit sekali. Dengan demikian bahwa
tertib surah itu bersifat tauqifi seperti halnya tertib ayat-ayat. Abu Bakar
Ibnul Anbari menyebutkan: “Alah telah menurunkan Qur’an seluruhnya kelangit
dunia. Kemudian ia menurunkannya secara berangsur-angsur selama dua puluh
sekian tahun. Sebuah surah turun karena suatu urusan yang terjadi dan ayat pun
turun sebagai jawaban bagi orang yang bertanya, sedangkan jibril senantiasa
memberitahukan kepada Nabi dimana surah dan ayat tersebut harus ditempatkan.
Dengan demikian susunan surah-surah , seperti halnya susunan ayat-ayat dan
logat-logat Qur’an , seluruhnya berasal dari Nabi.
Oleh karena itu, barang siapa
mendahulukan sesuatu surah atau mengakhirinya, ia telah merusak tatanan
Qur’an.”Al- kirmani dalam al Burhan mengatakan : “Tertib surah seperti kita
kenal sekarang ini adalah menurut Allah pada lauh mahfuz, Qur’an sudah menurut
tertib ini. Dan menurut tertib ini pula Nabi membacakan dihadapan Jibril setiap
tahun apa yang dikumpulkannya dari Jibril itu. Nabi membacakan dihadapan Jibril
menurut tertib ini pada tahun kewafatannya sebanyak dua kali. Dan ayat yang
terakhir kali turun ialah : Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi
pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah (albaqarah
: 28). Lalu jibril memerintahkan kepadanya untuk meletakkan ayat ini diantara
ayat riba dan ayat tentang utang piutang. As Suyuti cenderung pada pendapat
Baihaqi yang mengatakan: “Qur’an pada masa Nabi surah dan ayat-ayatnya telah
tersusun menurut tertib ini kecuali anfal dan bara’ah, karena hadis Usman.”
Surah-surah dan Ayat-ayat Qur’an
Surah-surah Qur’an itu ada empat
bagian: 1) at-Tiwal, 2) al-Mi’un, 3) al-Masani, 4) al-Mufassal. Berikut ini
kita kemukakan secara singkat pendapat terkuat mengenai keempat bagian itu:
1).at-Tiwal ada tujuh surah yaitu : Baqarah, ali Imran,
Nisa’, Ma’idah, an’Am, A’raf, dan yang ketujuh- ada yang mengatakan Anfal dan
Bara’ah sekaligus karena tidak dipisah dengan basmalah diantara keduanya. Dan
dikatakan pula bahwa yang ketujuh ialah surah Yunus.
2).al-Mi’un, yaitu surah-surah yang ayat-ayatnya lebih dari
seratus atau sekitar itu.
3).al-Masani, yaitu surah-surah yang jumlah ayatnya dibawah
al-Mi’un. Dinamakan masani karena surah itu dibaca berulang-ulang lebih banyak
dari at-Tiwal dan al-Mi’un.
4).al-Mufassal, dikatakan bahwa surah-surah ini dimulai dari
surah Qaf, ada pula yang mengatakan dimulai dari surah Hujurat, juga ada yang
mengatakan dimulai dari surah yang lain.
Mufassal dibafau menjadi tiga:
Tiwal, Ausat, dan qisar. Mufassal Tiwal dimulai dari surah Qaf atau Hujurat
sampai dengan ‘Amma atau Buruj. Mufassal ausat dimulai dari surah ‘Amma atau
Buruj sampai dengan Duha atau Lam yakun, dan mufassal qisar dimulai dari Duha
atau Lam Yakun sampai dengan Qur’an surah terakhir. Dinamakan mufassal karena
banyaknya fasl (pemisahan) diantara surah-surah tersebut dengan basmalah. Jumlah
surah Qur’an ada seratus empat belas surah, dan dikatakan pula ada seratus tiga
belas surah. Karena surah Bara’ah dan Anfal dianggap satu surah. Adapun ayatnya
sebanyak 6.200 lebih namun kelebihan ini masih diperselisihkan. Ayat terpanjang
adalah ayat tentang utang piutang. Sedang surah terpanjang adalah Baqarah.
Pembagian seperti ini dapat mempermudah orang unutuk menghafalnya, mendorong
mereka untuk mengkaji dan mengingatkan pembaca surah bahwa ia telah mengambil
bagian yang cukup dan jumlah yang memadai dari pokok-pokok agama dan
hukum-hukum syariat.
BAB III
KESIMPULAN
Al Qur’an di kumpulkan secara bertahap,dengan melalui banyak
proses dan ketelitian.Mulai dari masa Nabi kemudian pada masa Abu Bakar dan
dilanjutkan pada masa Usman bin Affan.Dan cara pengumpulan antara Abu Bakar dan
Usman juga berbeda,pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar ialah memindahkan semua
tulisan atau catatan Qur’an yang semula bertabaran dikulit-kulit
binatang,tulang-belulang,pelepah kurma,kemudian dikumpulkan dalam satu
mushaf,dengan ayat-ayat dan surah-surahnya yang tersusun serta terbatas pada bacaan yang tdak dimanskh dan
mencakup ketuju huruf sebagaimana ketika Qur’an itu diturunkan.
Sedangkan pengumpulan yang dilakukan Usman adalah
menyalinnya dalam satu huruf diantara ketujuh huruf itu,untuk mempersatukan
kaum muslimin dalam satu mushaf dan
huruf yang mereka baca tanpa keenam huruf lainnya.
[1] Hadis Bukhari, Muslim dan yang lain, dari Ibn Abbas
[2] Hadis riwayat al Hakim dalam al mustadrak dengan sanad yang memenuhi
persyaratan Bukhari dan Muslim
[3] Ini suatu isyarat kepada firman Allah,’’sesungguhnya kamilah yang
menurunkan Al Quran dam kami pula yang akan menjaganya.’’(al Hijr(15):9).
[4] Al Itqan,jilid 1,halaman 57.
[5] Manna’ Khalil al Qattan,hlm 190.
[6] Lihat jilid pertama Tafsir at Tabari,yang disunting dan dikeluarkan
oleh dua orang bersaudara Muhammad Muhammad syakir dan Ahmad Muhammad
Syakir,cetakan Darul Ma’arif,halaman 61 dan 62.
[7] Yakni Muhammad bin Abdullah bin Muhammad binAsyth;seorang peneliti
terpercaya yang mengkhususkan diri dengan ilmu-ilmu Qur’an.Wafat 360 H.
[8] Manna’ Khalil al Qattan,halaman 197.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar