Translate

Jumat, 20 Desember 2013

Analisis Wewenang Dan Fungsi Pendidikan Islam



BAB II

KAJIAN PUSTAKA
Sebagaimana teori barat, pendidik dalam Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif, potensi kognitif, maupun potensi psikomotorik. Dalam ungkapan Moh. Fadhil al-Jamali, pendidik adalah orang yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik, sehingga terangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar yang dimiliki manusia. Sedangkan dalam bahasa Marimba, pendidik adalah orang yang memikul pertanggungjawaban sebagai pendidik, yaitu manusia dewasa yang karena hak dan kewajibannya bertanggung jawab tentang pendidikan peserta didik.
Pendidik berarti pula orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan pada peserta didiknya dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat kedewasaannya, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah, dan mampu melakukan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individu yang mandiri.
Pendidikan Islam menggunakan tujuan sebagai dasar untuk menentukan pengertian pendidik, disebabkan karena pendidikan merupakan kewajiban agama, dan kewajiban hanya dipikulkan kepada orang yang telah dewasa. Kewajiban itu pertama-tama bersifat personal, dalam arti bahwa setiap orang bertanggung jawab atas pendidikan dirinya sendiri. Kemudian meningkat pada dataran sosial yang berarti bahwa setiap orang bertanggung jawab atas pendidikan orang lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah QS. Al-Tahrim: 6: yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka …” (At-Tahrim (66) : 6).
Dari ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pendidik pertama dan yang utama adalah orang orang tua dan keluarga, yang bertanggung jawab penuh atas kemajuan perkembangan anak-anaknya, karena sukses tidaknya anak akan sangat bergantung pengasuhan, perhatian dan pendidikan orang tuanya.
Pendidik dalam pendidikan Islam adalah setiap orang dewasa yang karena kewajiban agamanya bertanggung jawab atas pendidikan dirinya dan orang lain. Sedangkan yang menyerahkan tanggung jawab dan amanat pendidikan adalah agama, dan wewenang pendidik dilegitimasi oleh agama, sementara yang menerima tanggung jawab dan amanat adalah setiap orang dewasa. Ini berarti bahwa pendidik merupakan sifat yang lekat pada setiap orang karena tanggung jawabnya atas pendidikan.
Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pendidik dalam pendidikan Islam adalah setiap orang yang memikul pertanggungjawaban untuk mendidik peserta didik menuju pada kedewasaan dan mempunyai kepribadian yang sesuai dan selaras dengan ajaran Islam.
Karena tuntutan orang tua itu semakin banyak, anaknya diserahkan kepada lembaga sekolah sehingga definisi pendidik di sini adalah mereka yang memberikan pelajaran peserta didik, yang memegang suatu mata pelajaran tertetnu di sekolah. Penyerahan peserta didik ke lembaga sekolah bukan berarti orang tua lepas tanggung jawabnya sebagai pendidik yang pertama dan utama, tetapi orang tua masih mempunyai saham dalam membina dan mendidik anak kandungnya.
Seorang pendidik harus dapat mengembangkan kepribadian seorang anak atau peserta didik dan meyiapkannya untuk menjadi anggota masyarakat. Profil seorang pendidik berarti gambaran perilaku kependidikan yang dimiliki dan ditampilkan oleh seorang pendidik. Oleh karena itu tidak semua orang dewasa dapat dikategorikan sebagai pendidik. Seorang pendidik harus memperlihatkan bahwa ia mampu mandiri, tidak tergantung kepada orang lain. Ia dituntut tidak hanya bertanggung jawab terhadap peserta didik tetapi juga pada dirinya sendiri.
Tanggung jawab pendidik cukup berat, tanggung jawab ini didasarkan atas kebebasan yang ada pada dirinya untuk memilih perbuatan yang terbaik menurutnya. Apa yang dilakukannya menjadi teladan bagi masyarakat. Dengan demikian seorang pendidik diharapkan mampu mendidik orang lain, maksudnya memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas mendidik dengan baik. Untuk itu seorang pendidik harus memiliki karakteristik yang melekat pada seorang pendidik dalam melaksanakan tugasnya dalam mendidik.
Karakteristik yang harus dimiliki itu adalah sebagai berikut:
  1. Kematangan diri yang stabil; memahami diri sendiri, mencintai diri secara wajar dan memiliki nilai-nilai kemanusiaan serta bertindak sesuai dengan nilai-nilai itu, sehingga ia bertanggung jawab sendiri atas hidupnya, tidak menggantungkan diri atau menjadi beban orang lain.
  2. Kematangan sosial yang stabil; dalam hal ini seorang pendidik dituntut mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masyarakatnya, dan mempunyai kecakapan membina kerja sama dengan orang lain.
  3. Kematangan profesional (kemampuan mendidik); yakni menaruh perhatian dan sikap cinta terhadap peserta didik serta mempunyai pengetahuan yang cukup tentang latar belakang peserta didik dan perkembangannya, memiliki kecakapan dalam menggunakan cara-cara mendidik.
Pendidik adalah merupakan salah satu dari faktor-faktor pendidikan yang mempunyai peranan sangat penting dalam keberhasilan suatu pendidikan. Dalam Islam, seorang pendidik sangatlah dihargai dan dihormati kedudukannya.
Pendidik adalah bapak rohani bagi peserta didik, yang memberikan ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan memperbaiki akhlak yang kurang baik. Oleh karena itu, pendidik mempunyai kedudukan yang tinggi sebagaimana yang dilukiskan dalam hadits Nabi Muhammad saw. bahwa: “Tinta seorang ilmuan (ulama’) lebih berharga ketimbang darah para syuhada’ “. Bahkan Islam menempatkan pendidik setingkat dengan derajat seorang Rasul. Dalam hal ini Syaukari bersyair:
قم للمعلم وفه التبجيل Z كادالمعلم ان يكون رسولا
“Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaan seorang guru itu hampir saja merupakan seorang Rasul”.
Al-Ghazali menukil beberapa teks hadits yang berkenaan dengan keutamaan seorang pendidik, dan berkesimpulan bahwa pendidik merupakan orang-orang besar yang aktivitasnya lebih baik dari pada ibadah setahun. Selanjutnya; Al-Ghazali berasumsi bahwa pendidik merupakan pancaran cahaya keilmuan dan keilmihannya. Apabila dunia tanpa ada pendidik, niscaya manusia seperti binatang, sebab: pendidikan adalah upaya mengeluarkan manusia dari sifat kebinatangan (baik binatang buas maupun binatang jinak) kepada sifat insaniyah dan ilahiyah”.
Keutamaan seorang pendidik disebabkan oleh tugas mulia yang diembannya, karena tugas mulia dan berat yang dipikul hampir sama dan sejajar dengan tugas seorang Rasul. Dari pandangan ini, dapat dipahami bahwa tugas pendidik adalah mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah, guna memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Menurut Al-Ghazali, tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, mensucikan, serta membawakan hati nurani untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepaba Allah swt.
Dalam paradigma “Jawa”, pendidik diidentikkan dengan guru yang artinya digugu dan ditiru. Namun dalam paradigma baru, pendidik tidak hanya bertugas sebagai pengajar, tetapi juga sebagai motivator dan fasilitator proses belajar mengajar yaitu relasi dan aktualisasi sifat-sifat Ilahi manusia dengan cara aktualisasi potensi-potensi manusia untuk mengimbangi kelemahan-kelemahan yang dimiliki.
Berkaitan dengan tanggung jawab; guru harus mengetahui dan memahami nilai, norma moral dan sosial, serta berusaha berperilaku den berbuat sesuai dengan nilai dan norma tersebut. Guru juga harus bertanggung jawab terhadap segala tindakan-tindakannya dalam pembelajaran di sekolah, dan dalam kehidupan bermasyarakat.
Seorang pendidik dituntut mampu memainkan peranan dan fungsinya dalam menjalankan tugas keguruannya. Hal ini menghindari adanya benturan fungsi dan peranannya, sehingga pendidik bisa menempatkan kepentingannya sebagai individu, anggota masyarakat, warga negara, dan pendidik sendiri. Antara tugas keguruan atau kependidikannya dan tugas lainnya harus ditempatkan menurut proporsional dan prioritasnya. Beberapa tugas dan fungsi pendidik, diantaranya:
1.                   Sebagai pengajar (instruksional) yang bertugas merencanakan program pengajaran dan program yang telah disusun serta mengakhiri dengan pelaksanaan penilaian setelah program dilaksanakan.
2.                   Sebagai pendidik (educator) yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan yang berkepribadian kamil seiring dengan tujuan Allah  menciptakannya.
3.                   Sebagai pemimpin (managerial) yang memimpin, mengendalikan kepada diri sendiri, peserta didik, dan masyarakat yang terkait, terhadap berbagai masalah yang menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan dan partisipasi atas program yang dilakukan.
Kode etik pendidik adalah norma-norma yang mengatur hubungan kemanusiaan antara pendidik dan peserta didik, orang tua peserta didik, koleganya, serta dengan atasannya. Bentuk kode etik suatu lembaga pendidikan tidak harus sama, namun secara intrinsic mempunyai kesamaan yang berlaku secara umum. Pelanggaran terhadap kode etik akan mengurangi nilai dan kewibawaan identitas pendidik.
Di antara kode etik tersebut adalah seorang pendidik harus bersikap penyantun dan penyayang, menerima segala problem peserta didik dengan hati dan sikap terbuka dan tabah, bersifat merendah ketika menyatu dengan sekelompok masyarakat, meninggalkan sifat yang menakutkan pada peserta didik, dan lain-lain.
Sedangkan untuk syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang pendidik banyak ahli yang mengemukakan pendapatnya masing-masing.
Al-Kanani mengemukakan syarat seorang pendidik atas tiga macam, yaitu: 1) yang berkenaan dengan dirinya sendiri; 2) yang berkenaan dengan pelajaran atau materi; 3) yang berkenaan dengan murid atau peserta didiknya.
Muhammad Athiyah al-Abrasyi mengemukakan pendapatnya tentang syarat-syarat bagi pendidik, yaitu: 1) pendidik harus zuhud, yakni ikhlas dan bukan semata-mata bersifat materialistik; 2) bersih jasmani dan rohani, dalam berpakaian rapi dan bersih, dalam akhlaqnya juga baik; 3) bersifat pemaaf, sabar dan pandai menahan diri; 4) seorang pendidik harus menjadi seorang bapak sebelum menjadi pendidik (mencintai peserta didik seperti anak sendiri); 5) mengetahui tabiat dan tingkat berfikir anak; 6) menguasai bahan pelajaran yang diberikan (guru).
Dalam literatur yang lain seperti dalam ilmu pendidikan Islam Prof. Ramayulis, disebutkan beberapa syarat pendidik, yaitu: 1) beriman; 2) bertaqwa; 3) ikhlas; 4) berakhlaq; 5) berkepribadian yang integral (terpadu); 6) bertanggung jawab; 7) cakap; 8) keteladanan; 9) memiliki kompetensi kependidikan yang mencakup: kompetensi kepribadian, kompetensi penguasaan atas bahan pengajaran, dan kompetensi dalam metode dan pendekatan dalam pendidikan.
Syarat dan kode etik ini merupakan suatu hal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik mengingat tanggung jawab seorang pendidik sangat besar dalam pendewasaan dan pembentukan kepribadian peserta didik yang sesuai dengan ajaran Islam.
Definisi wewenang, menurut para ahli, yaitu :
1.      George R.Terry, menjelaskan bahwa wewenang merupaka hak jabatan yang sah untuk memerintahkan orang lain bertindak dan untuk memaksa pelaksanaannya. Dengan wewenang, seseorang dapat mempengaruhi aktifitas atau tingkah laku perorangan dan grup.
2.      Mac Iver R.M, wewenang merupakan suatu hak yang didasarkan pada suatu pengaturan social, yang berfungsi untuk menetapkan kebijakan, keputusan, dan permasalahan penting dalam masyarakat.
3.      Soerjono Soekanto, bila orang-orang membicarakan tentang wewenang, maka yang dimaksud adalah hak yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang.
4.      Max weber, wewenang adalah sebagai kekuasaan yang sah.

2.2.1.1      Wewenang kharismatis, tradisional, dan rasional (legal)
Wewenang karismatik merupakan wewenang yang didasarkan pada kharisma, yaitu suatu kemampuan khusus (wahyu, pulung) yang ada pada diri seseorang. Dasar  wewenang kharismatis bukanlah terletak pada suatu pelaturan (hukum), akan tetapi bersumber padadiri pribadi individu bersangkutan. Wewenang kharismatis tidak diatur oleh kaidah-kaidah, baik yang rasional maupun tradisional. Sifatnya cendrung irasional. Adakalanya charisma dapat hilang, karena masyarakat sendiri yang berubah dan mempunyai paham yang berbeda.
Wewenang tradisional dapat dimiliki oleh seseorang maupun sekelompok orang. Wewenang ini dimiliki oleh orang-orang yang menjadi anggota kelompok. Cirri-ciri utama wewenang tradisional yaitu :
1.      Adanya ketentuan-ketentuan tradisional yang mengikat penguasa yang mempunyai wewenang, serta orang lain yang ada dalam masyarakat.
2.      Adanya wewenang yang lebih tinggi ketimbang kedudukan seseorang yang hadir secara pribadi.
3.      Dapat bertindak secara bebas selama tidak ada pertentangan dengan ketentuan tradisional.
Wewenang rasional atau legal adalah wewenang yang disandarkan pada sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat. sistem hukum ini dipahamkan sebagai kaidah yang telah diakui, ditaati masyarakat, dan telah diperkuat oleh Negara.
                                                                   (Soekanto, 1990:281)



2.2.1.2      Wewenang resmi dan tidak resmi
Wewenang yang berlaku dalam kelompok-kelompok kecil disebut wewenang tidak resmi karena bersifat spontan, situasional, dan factor saling kenal. Contohnya pada cirri seorang ayah dalam fungsinya sebagai kepala rumah tangga atau pada diri seorang yang sedang mengajar di kelas.
Wewenang resmi sifatnya sistematis, diperhitungkan dan rasional. Biasanya wewenang ini dapat dijumpai pada kelompok-kelompok besar yang memerlukan aturan-aturan tata tertib yang tegas dan bersifat tetap.
                                                                                                (Soekanto, 1990:285)
2.2.1.3      Wewenang pribadi dan territorial
Wewenang pribadi sangat tergantung pada solidaritas antara anggota-anggota kelompok, dan unsur kebersamaannya sangat berperan penting. Para individu dianggap lebih banyak memiliki kewajiban ketimbang hak. Struktur wewenang bersifat konsentris, yaitu dari satu titik pusat lalu meluas melalui lingkaran-lingkaran wewenang.
Wewenang territorial, yang berperan penting yaitu tempat tinggal. Pada kelompok teroterial unsure kebersamaan cendrung berkurang, karena desakan factor-faktor individualisme. Wewenang pribadi dan territorial sangat berbeda namun dalam kenyataan keduanya berdampingan.  
2.2.1.4      Wewenang terbatas dan menyeluruh
Wewenang terbatas merupakan wewenang yang tidak mencangkup semua sector dalam bidang kehidupan, namun terbatas pada salah satu sector bidang. Contohnya, seorang mentri dalam negri tidak mempunyai wewenang untuk mencampuri urusan yang yang menjadi urusan wewenang mentri luar negri.
Wewenang meenyeluruh berarti suatu wewenang yang tidak dibatasi oleh bidang-bidang kehidupan tertentu. Contohnya, bahwa setiap Negara mempunyai wewenang yang menyeluruh atau mutlak untuk mempertahankan kedaulatan wilayahnya.
Seperti diketahui bahwa pembinaan mental anak didik tidaklah dimulai dari sekolah, akan tetapi dimulai dari rumah (keluarga), sejak si anak dilahirkan ke titik maksimal yang dapat sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan dunia, mulailah ia menerima didikan-didikan dan perlakuan-perlakuan. Mula-mula ibu bapaknya, kemudian dari anggota keluarga yang lain (saudara) dan kemudian dari lingkungan masyarakatnya.
Hal demikian memberikan warna dan mempengaruhi dasar-dasar pembentukan kepribadiannya. Pembinaan, pertumbuhan mental dan kepribadiannya itu kemudian akan ditambah dan disempurnakan oleh sekolah. Orang tua seharusnya memberikan pendidikan agama pada anak-anaknya sejak kecil, bahkan sejak masih dalam kandungan, sebab disadari atau tidak, hal ini akan mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan anak setelah lahir terutama pada perkembangan dan pertumbuhan aspek kejiwaannya.
DR. Zakiah Daradjat dalam bukunya “Kesehatan Mental” mengemukakan tentang pentingnya fungsi pendidikan Islam baik di rumah, di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Beliau mengatakan bahwa: Pendidikan agama Islam mempunyai fungsi yang sangat penting untuk pembinaan dan penyempurnaan kepribadian dan mental anak, karena pendidikan agama Islam mempunyai dua aspek terpenting, yaitu aspek pertama yang ditujukan kepada jiwa atau pembentukan kepribadian anak, dan kedua, yang ditujukan kepada pikiran yakni pengajaran agama Islam itu sendiri.
Aspek pertama dari pendidikan Islam adalah yang ditujukan pada jiwa atau pembentukan kepribadian. Artinya bahwa melalui pendidikan agama Islam ini anak didik diberikan keyakinan tentang adanya Allah swt. Aspek kedua dari pendidikan Agama Islam adalah yang ditujukan kepada aspek pikiran (intelektualitas), yaitu pengajaran Agama Islam itu sendiri. Artinya, bahwa kepercayaan kepada Allah swt, beserta seluruh ciptaan-Nya tidak akan sempurna manakala isi, makna yang dikandung oleh setiap firman-Nya (ajaran-ajaran-Nya) tidak dimengerti dan dipahami secara benar.
Di sini anak didik tidak hanya sekedar diinformasikan tentang perintah dan larangan, akan tetapi justru pada pertanyaan apa, mengapa dan bagaimana beserta argumentasinya yang dapat diyakini dan diterima oleh akal. Fungsi pendidikan Agama Islam di sini dapat menjadi inspirasi dan pemberi kekuatan mental yang akan menjadi bentuk moral yang mengawasi segala tingkah laku dan petunjuk jalan hidupnya serta menjadi obat anti penyakit gangguan jiwa.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa fungsi pendidikan Agama Islam adalah:
1) Sebagai pengembangan potensi, 2) Sebagai pewarisan budaya, 3) Sebagai wahana interaksi antara potensi dan budaya, 4) Untuk melihara, memperluas dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide masyarakat lokal,  nasional, dan internasional, 5) Untuk mengadakan perubahan, inovasi, dan per-kembangan kehidupan manusia.

BAB III

IMPLIKASI DAN PEMBAHASAN
Globalisasi (mendunia) merupakan suatu proses atau tatanan yang menyebabkan seseorang, atau suatu Negara saling dihubungkan dengan masyarakat atau Negara lain akibat kemajuan teknologi komunikasi diseluruh penjuru dunia. Oleh sebab itu, dalam era globalisasi, peristiwa-peristiwa yang terjadi disuatu Negara dapat diketahui dengan cepat oleh bangsa atau Negara lain. Hubungan yang lebih bersih efektif ini menyebabkan unsur-unsur budaya asing menjadi mudah masuk kesuatu Negara.
Unsur-unsur budaya luar itu tentu tidak semuanya baik dan cocok bagi suatu masyarakat atau negara. Unsur-unsur positif diantaranya adalah ilmu pengetahuan, cara berfikir kritis, rasional, menghargai waktu dan lain-lain.Masuknya teknologi asing ke Indonesia melahirkan berbagai kegiatan industri, baik yang padat karya maupun yang padat modal. Pertukaran unsur positif antarnegara ini dapat memperkaya dan melengkapi suatu bangsa. Sedangkandampak negatif dari globalisasi diantaranya adalah bergesernya norma dan nilaimoral sehingga menjadi lebih lunak (bisa ditawar).Remaja adalah generasi yang sangat potensial bagi perkembangan Islamsaat ini, karena pada saat ini remaja-remaja lebih cenderung kepada hal-hal yang bisa menjerusmuskan diri mereka kepada perbuatan-perbuatan yang tidak jelas
Oleh karena itu, bagi para penggerak remaja Islam khususnya di Indonesia hendaknya bisa menangkap perkembangan arus globalisasi sekarang ini, agar bisa mengarahkan remaja-remajanya kepada hal-hal yang positif. Mungkin dengan mengadakan sebuah kajian yang sedang hangat/ngetren di dunia remaja saat ini dengan melakukan lewat pendekatan pendidikan Islam. Dengan melalui pendidikan agama Islam ini, para remaja bisa terarahkank epada hal-hal yang positif dan siap bersaing menghadapi arus globalisasi yang serba canggih ini. Karena pada masa sekarang ini jika para remaja Islam tidak dibekali oleh pendidikan agama islam maka lambat-laun generasi-generasi Islam akan meninggalkanya.
Manusia adalah merupakan suatu makhluk yang mempunyai beberapa kebutuhan baik itu kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani untuk melangsungkan hidup dan kehidupannya. Kebutuan-kebutuhan itu ada yang sifatnya apabila tidak dipenuhi bisa berpengaruh pada kehiduan. Berkenaan dengan kebutuhan jasmani dan rohani itu ada suatu kebutuhan yang yang bersifat universal atau setiap manusia mempunyai kebutuhan tersebut atau dengan kata lain suatu kebutuhan yang sudah merupakan kodrat. Kebutuhan itu adalah kebutuhan akan agama. Karena dengan adanya kebutuhan ini manusia akan mengetahui siapa dirinya sesungguhnya, dan untuk apa dia diciptakan.
Jaman sekarang agama telah menjadi nomer kesekian untuk para remaja. Ini dibuktikan dengan para remaja kini melalaikan kewajibannya pada Allah, mereka mementingapa yang mereka inginkan saja. misalkan ketika adzan telah dikumandangkan seharusnya sebagai orang islam harus menyegerakan untuk sholat, ini disebabkan karena remaja jaman sekarang kurang memahami akan pentingnya pendidikan agama. Bagaimana bisa remaja sekarang memahami lebih tentang agama, di sekolah umum sekarang saja pelajaran agama hanya dua jam dalam seminggu, apalagi dalam kuliah saja jarang mendapatkan mata kuliah agama.
Agama sangatlah penting untuk pedoman hidup kita, karena pendidikan agama bisa membuat kita lebih bisa menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, karena dalam pendidikan agama berisi tentang aturan-aturan kehidupan dan pengendali dari dari perbuatan keji dan mungkar. Sutarno (2006:1.40) memberikan penjelasan bahwa “nilai-nilai keagamaan akan merupakan landasan bagi anak untuk kelak menjadi orang yang dapat mengendalikan diri terhadap hal-hal yang bersifat negative”.
Jadi, kebutuhan agama perlu ditanamkan pada usia tertentu, agar kelak manusia itu mempunyai suatu pemahaman tentang agama yang baik nantinya. Usia yang baik atau perkembangan jiwa beragama ini agar lebih jelasnya pemakalah akan mencoba menguraikannya dalam makalah yang sederhana ini.
Dan hendaknya pula bagi orang tua khususnya dan juga bagi kita semua untuk menegur sang anak apabila dia membaca sesuatu yang tidak bermanfaat baginya, terlebih lagi apabila dia membaca hal-hal yang tidak pantas untuk dia baca. Dan juga hendaklah kita selalu berusaha untuk menghadirkan atau memberikan buku-buku bacaan yang bermanfaat bagi sang anak, karena hal itu bisa menambah keilmuan sang anak dan juga bisa menghindarkan sang anak dari membaca bacaan-bacaan yang tidak bermanfaat.
Kemudian tidak kalah pentingnya juga adalah mengajari sang anak untuk menegakkan sholat karena sholat merupakan tiang agama ini. Dan sholat ini merupakan pembeda antara seorang yang muslim dan yang kafir. Rosulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): perintahkanlah anak-anak kalian untuk sholat ketika sudah berumur tujuh tahun, dan pukullah (jika mereka enggan) ketika sudah berumur sepuluh tahun. (HR. Ahmad dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya)
Dalam hadits ini walaupun disebutkan tujuh tahun baru diperintah untuk sholat, namun bukan berarti kita membiarkan anak-anak yang belum tujuh tahun untuk meninggalkan sholat. Namun kita tetap berusaha melatih mereka walaupun belum mencapai tujuh tahun untuk mengerjakannya agar mereka terlatih semenjak kecilnya. Dan diantara bentuk mengajari sang anak sholat adalah kita mengajaknya untuk mengerjakan sholat, walaupun mungkin sang anak baru bisa mengikuti gerakan-gerakannya saja, tapi minimalnya ini sudah menggambarkan baginya tentang sholat dan dikemudian hari dia melakukannya dengan yang lebih sempurna.
Dan kita lihat sekarang ini, banyak diantara anak-anak kaum muslimin yang mereka meninggalkan sholat. Mereka sibuk bermain kesana kemari atau dengan hal – hal yang lainnya. Ini adalah diantara akibat sang anak tidak dididik semenjak kecilnya untuk mengerjakan sholat sehingga tatkala telah besar mereka pun dengan mudah meninggalkan sholat.
Oleh karena itu, sudah sepantasnya bagi kita semua untuk memperhatikan pendidikan agama bagi anak-anak kita. Dan disana masih banyak lagi hal-hal penting yang sudah sepantasnya diajarkan kepada sang anak semenjak dia kecil.

BAB IV

PENUTUP

KESIMPULAN

Pada dasarnya  pendidikan islam memiliki beberapa fungsi, yakni : 1) Sebagai pengembangan potensi, 2) Sebagai pewarisan budaya, 3) Sebagai wahana interaksi antara potensi dan budaya, 4) Untuk melihara, memperluas dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide masyarakat lokal,  nasional, dan internasional, 5) Untuk mengadakan perubahan, inovasi, dan per-kembangan kehidupan manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar