Translate

Jumat, 20 Desember 2013

Makki dan Madani



              BAB II

PEMBAHASAN

MAKKI DAN MADANI


2.1. Pengertian  Makki dan Madani

Pengertian Makkiyah adalah ayat atau surah yang turun di Makkah atau sekitarnya, baik waktu turunya sebelum Nabi saw melalukan hijrah maupun sesudahnya. Dan pengertian Madaniyah adalah ayat atau surah yang turun di Madinahatau sekitarnya, baik waktu turunya sebelum Nabi saw berhijrah maupun sesudahnya.[1]
Maka termasuk kategori ayat atau surah Makkiyah, bila ayat atau surah turun di Mina, Arafah, Hudaibiyah dan lain sebagainya. Dan ayat atau surah Madaniyah adalah ayat atau surah yang turun di Badar, Sal’, Uhud dan lain sebagainya[2].
Dalil yang dipakai dalam teori ini adalah riwayat Abu Amr dan Uthman bin Sa’id ad-Darimi[3];
ما نزل بمكة ومانزل في طريق المدينة قبل أن يبلغ النبي صلى الله عليه وسلم المدينة فهو من المكي.ومانزل على النبي صلى الله عليه وسلم في أسفاره بعد ماقدم المدينة فهو من المدني
Ayat yang diturunkan di Makkah dan ayat yang di turunkan dalam perjalanan menuju Madinah sebelum Nabi saw tiba di Madinah, maka ia masuk kategori ayat Makki. Dan ayat yang diturunkan kepada Nabi saw dalam perjalanannya setelah beliau tiba di Madinah, maka ia masuk kategori ayat Madani
2.1.1 Dasar Penetapan Makkiyah dan Madaniyah
 Al-Ja’far berpendapat, bahwa ada dua cara untuk mengenali ayat dan surat yang masuk kategori Makkiyah dan Madaniyah; yaitu cara sima’iy dan qiyasiy. Pengenalan cara sima’iy adalah pengetahuan ayat dan surah Madaniyah dan Madaniyah yang diperoleh berdasarkan riwayat. Sedang Pengenalan cara qiyasiy adalah pengetahuan ayat dan surah Makkiyah dan Madaniyah berdasarkan kriterianya yang menonjol tersebut; antara lain: melalui ciri khitab-nya, kandungannya, redaksi dan uslubnya, dan lain sebagainya[4].
 Dasar yang dapat menentukan suatu surah masuk dalam kategori Makkiyah dan  Madaniyah menurut cara qiyasiy antara lain[5];
1.      Dasar Aghlabiyah (mayoritas)
Suatu surah bila mayoritas ayat-ayatnya adalah Makkiyah. Maka surah tersebut disebut Makkiyah. Demikian juga sebaliknya, bila mayoritas ayat-ayatnya adalah Madaniyah. Maka surah tersebut Madaniyah.
2.      Dasar Tabi’iyah (Kontinuitas)
     Suatu surah bila didahului dengan ayat-ayat yang turun di Makkah (sebelum Hijrah), maka surah tersebut berstatus sebagai surah Makkiyah. Begitu juga sebaliknya, bila didahului dengan ayat-ayat yang turun dari Madinah (sesudah Hijrah), maka Surah tersebut berstatus sebagai surah Madaniyah.
                                                                                                     
       Dasar penetapan kedua ini berpegang pada hadith riwayat Ibn Abbas                          r.a.,;[6]
كانت إذا نزلت فاتحة سورة بمكة كتبت بمكة ثم يزيد الله فيها ما شاء.
“Jika awal surah diturunkan di Makkah, maka di catat sebagai surah Makkiyah, lalu Allah menambah dalam surah itu ayat-ayat yang dikehendaki-Nya"
2.1.2Macam Makiyyah dan Madaniyah
Pengenalan ayat dan surah yang masuk kategori Makkiyah dan Madaniyah      melalui kedua cara; sima’iy dan qiyasiy , melahirkan perbedaan pendapat di kalangan para pakar atau ulama ulum al-Qur’an dalam membangun macam ayat dan surah al-Qur’an. Sebagian ulama’ berpendapat, bahwan jumlah surah Makiyyah berjumlah 94 (Sembilan puluh empat) surah, dan surah Madaniyah berjumlah 20 (Dua puluh) surah. Sebagian lagi ada yang berpendapat, bahwa surah Makkiyah berjumlah 84 (Delapan puluh empat) surah, dan surah Madaniyah berjumlah 30 (Tiga puluh) surah.
          Shahatah dalam karya al-Qur’an wa at-Tafsir menjelaskan, bahwa surah yang disepakati sebagai Makkiyah berjumlah 82 (Delapan puluh dua) surah, dan yang disepakati sebagai Madaniyah berjumlah 20 (Dua puluh) surah. Sedang 12 (Dua belas) surah yang lain statusnya masih diperselisihkan. Karena itu Abdul Djalal[7] memberikan jalan tengah dengan membangun empat macam kategori surah dalam al-Qur’an dalam perspektif Makkiyah dan Madaniyah, sebagai berikut;[8]
1.      Surah Makkiyah murni
          Yang termasuk kategori surah Makkiyah murni adalah surah yang berisi ayat-ayat yang seluruhnya berstatus Makkiyah secara ijma’, tidak ada perbedaan tentang status tersebut. Surah yang berstatus Makkiyah murni berjumlah 58 (Lima puluh delapan) surah, yang memuat 2.074 (Dua ribu tujuh puluh empat) ayat.
2.      Surah Madaniyah Murni
           Yang termasuk kategori surah Madaniyah murni adalah surah yang berisi ayat-ayat yang seluruhnya berstatus Madaniyah secara ijma’, tidak ada perbedaan tentang status tersebut. Surah yang berstatus Madaniyah murni berjumlah 18 (Delapan belas) yang memuat 737 (Tujuh ratus tiga puluh tujuh) ayat.
3.      Surat Makkiyah yang berisi Ayat Madaniyah
          Yang termasuk kategori surah Makkiyah yang berisi Ayat Madaniyah adalah surah yang memuat ayat-ayat yang kebanyakan berstatus Makkiyah, tetapi didalamnya juga memuat ayat-ayat Madaniyah, atau ada perbedaan tentang status tersebut. Surah yang berstatus Makkiyah yang tidak murni ini di dalam al-Qur’an berjumlah 32 (Tiga puluh dua) surah, yang memuat 2699 (Dua ribu enam ratus sembilan puluh sembilan) ayat.
4.      Surah Madaniyah yang berisi Ayat Makiyah
          Yang termasuk kategori surah Madaniyah yang berisi Ayat Makkiyah adalah surah yang memuat ayat-ayat yang kebanyakan berstatus Madaniyah, tetapi didalamnya juga memuat ayat-ayat Makiyah, atau ada perbedaan tentang status tersebut. Surah yang berstatus Madaniyah yang tidak murni ini di dalam al-Qur’an berjumlah 6 (Enam) surah, yang memuat 726 (Tujuh ratus dua puluh enam) ayat.

2.2. Faedah Mengetahui  Makki dan Madani

Pengetahuan tentang Makki dan Madani banyak faedahnya, di antaranya:

v  Untuk dijadikan alat bantu dalam menafsirkan Qur’an, sebab pengetahuan mengenai tempat turun ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan menafsirkannya dengan tafsiran yang benar, sekali pun yang menjadi pegangan adalah pengertian umum lafaz, bukan sebab yang khusus. Berdasarkan hal itu seorang penafsir dapat membedakan antara ayat yang nasikh dengan yang mansukh bila di antara kedua ayat terdapat makna yang kontradiktif. Yang datang kemudian tentu merupakan nasikh atas yang terdahulu.
v  Meresapi gaya bahasa Qur’an dan memanfaatkannya dalam metode berdakwah menuju jalan Allah, sebab setiap situasi mempunyai bahasa tersendiri. Memperhatikan apa yang di kehendaki oleh situasi, merupakan arti paling khusus dalam ilmu retorika. Karakteristik  gaya bahasa Makki dan Madani dalam Qur’an pun memberikan kepada orang yang mempelajarinya sebuah metode dalam penyampaian dakwah ke jalan Allah yang sesuai dengan kejiwaan lawan berbicara dan menguasai pikiran dan perasaannya serta mengatasi apa yang ada dalam dirinya dengan penuh kebijaksanaan. Setiap tahapan dakwah dakwah mempunyai topik dan pola penyampaian tersendiri. Pola penyampaian itu berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan tata cara, keyakinan dan kondisi lingkungan. Hal yang demikian nampak jelas dalam berbagai cara Qur’an menyeru berbagai golongan: orang yang beriman, yang musyrik, yang munafik dan Ahli Kitab.
v  Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat Qur’an, sebab turunnya wahyu kepada Rasulullah sejalan dengan sejarah dakwah dengan segala peristiwanya, baik pada periode Mekah maupun  periode Medinah, sejak permulaan turun wahyu hingga ayat terakhir diturunkan. Qur’an adalah sumber pokok bagi peri hidup  Rasulullah. Peri hidup beliau yang diriwayatkan ahli sejarah harus sesuai dengan Qur’an; dan Qur’an pun memberikan kata putus terhadap perbedaan riwayat yang mereka riwayatkan.

2.2.1 Pengetahuan Tentang Makki Dan Madani Serta Perbedaannya
Untuk mengetahui dan menentukan Makki dan Madani para ulama bersandar pada dua cara utama: sima’i naqli (pendengaran seperti apa adanya) dan qiyasi ijtihadi (kias hasil ihtihad). Cara pertama didasarkan pada riwayat sahih dari para sahabat yang hidup pada saat dan menyaksikan turunya wahyu; atau dari para tabi’in yang menerima dan mendengar dari para sahabat bagaimana, di mana dan peristiwa apa yang berkaitan dengan turunya wahyu itu. Sebagian besar penentuan Makki dan Madani  itu didasarkan pada cara pertama ini. Dan contoh-contoh di atas merupakan bukti paling baik baginya. Penjelasan tentang penentuan tersebut telah memenuhi kitab-kitab tafsir bil-ma’sur, kitab-kitab asbabun nuzul dan pembahasan-pembahasan mengenai ilmu-ilmu Qur’an. Namun demikian, tentang hal tersebut tidak terdapat sedikitpun keterangan dari Rasulullah, karena ia tidak termasuk suatu kewajiban, kecuali dalam batas yang dapat membedakan mana yang nasikh dan mana yang mansukh. Qadi Abu Bakar Ibnu Tayyib al-Baqalani dalam al-Intisar menegaskan: “Pengetahuan tentang Makki dan Madani itu mengacupada hafalan para sahabat dan tabi’in. Tidak ada suatu keterangan pun yang datang dari Rasulullah mengenai hal itu, sebab ia tidak diperintahkan untuk itu, dan Allah tidak menjadikan ilmu pengatahuan mengenai hal itu sebagai kewajiban umat. Bahkan sekalipun sebagian pengetahuannya dan pengetahuan mengenai sejarah nasikh dan mansukh itu wajib bagi ahli ilmu, tetapi pengetahuan tersebut tidak harus diperoleh melalui nas dari Rasulullah.”[9]

        Cara qiyasi ijtihadi didasarkan pada ciri-ciri Makki dan Madani. Apabila dalam surah Makki terdapat suatu ayat yang mengandung sifat Madani atau mengandung peristiwa Madani, maka dikatakan bahwa ayat itu Madani. Dan apabila dalam surah Madani terdapat suatu ayat yang mengandung sifat Makki atau mengandung peristiwa Makki, maka ayat tadi dikatakan sebagai ayat Makki. Bila dalam satu surah terdapat ciri-ciri Makki, maka surah itu dinamakan Surah Makki. Demikian pula bila dalam satu surah terdapat ciri-ciri Madani, maka surah itu dinamakan Surah Madani. Inilah yang disebut qiyas ijtihadi. Oleh karena itu, para ahli mengatakan: “Setiap surah yang di dalamnya mengandung kisah para nabi dan umat-umat terdahulu, maka surah itu adalah Makki. Dan setiap surah yang di dalamnya mengandung kewajiban  atau ketentuan, surah itu adalah Madani. Dan begitu seterusnya.” Ja’bari mengatakan, “untuk mengetahui Makki dan Madani ada dua cara: sima’i (pendengaran) dan qiyasi (qiyas).”[10] Sudah tentu sima’i peganganya berita pendengaran, sedang qiyasi berpegang pada penalaran. Baik berita pendengaran maupun penalaran, keduanya merupakan metode pengetahuan yang valid dan metode penelitian ilmiah.

                                        
2.2.2  Perbedaan Makki dan Madani
Untuk membedakan makki dn Madani, para ulama’ mempunyai tiga macam pandangan yang masing-masing mempunyai dasarnya sendiri.
Pertama, dari segi waktu dan turunnya, makki adalah yang diturunkan sebelum hijrah meskipun bukan dimekkah. Madani adalah yang diturunkan sesudah hijrah sekalipun bukan di madinah. Yang diturunkan sesudah hijrah sekalian dimekah atau arafah, adalah madani, seperti yang diturunkan pada tahun penaklukan kota makah, misalnya firman Allah :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak.... “ (an-Nisa’ [4]:58).
Ayat ini diturunkan di Mekah, dalam ka’bah pada tahun penaklukan Mekah; atau yang diturunkan pada haji wada’, seperti firman Allah:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ٌ
“hari ini telah kusempurnakan untukmu agamamu, telah kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridai islam menjadi agama bagimu.” (al-Ma’idah [5]:3).[11]
Pendapat ini lebih baik dari pada kedua pendapat berikut, karena ia lebih memberika kepastian dan konsisten.
Kedua: dari segi tempat turunya. Makki adalah yang turun di mekah dan sekitarnya, seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyah. Dan Madani adalah yang turun di Madinah dan sekitarnya, seperti Uhud, Quba, dan Sil’. Pendapat ini mengakibatkan tidak adanya pembagian secara konkrit yang mendua, sebab yang turun dalam perjalanan, di tabuk atau di Baitul muqdis tidak termasuk salah satu bagianya,[12] sehingga ia tidak dinamakan Makki dan tidak juga Madani. Juga mengakibatkan bahwa yang diturunkan di Mekah sesudah Hijrah disebut Makki.
Ketiga: dari segi sasaranya. Makki adalah yang seruanya ditujukan kepada penduduk Madinah. Berdasarkan pendapat ini, para pendukungnya menyatakan pendapat bahwa ayat Quran yang mengandung seruan ya ayyuhan nas ( wahai manusia ) adalah Makki; sedangkan ayat yang mengandung seruan yaa ayyuhal ladzina amanu ( wahai orang-orang yang beriman) adalah madani.
Namun melalui pengalaman cermat, nampak bagi kita bahwa kebanyakan surah Quran tidak selalu dibuka denga seruan itu. Dan ketentuan demikian pun tidak konsisten. Misalnya, surah Baqarah itu Madani, tetapi didalamnya terdapat ayat:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai manusia, beribadahlah kepada tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa.” (al-Baqarah [2]:21).
Dan surah An-nisa’ itu Madani tetapi permulaanya “ya ayyuhan nas.” Surah al-Hajj, Makki, tetapi didalamnya terdapat juga:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا ارۡكَعُوۡا وَاسۡجُدُوۡا وَ اعۡبُدُوۡا رَبَّكُمۡ وَافۡعَلُوۡا الۡخَيۡرَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُوۡنَ۩ ۚ‏
“Wahai orang-orang yang beriman, rukulah kamu, sujudlah kamu dan beribadahlah kepada tuhanmu serta perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapatkan kemenangan.” (al-hajj [2]:77).

2.3. Ciri-ciri khas Makki dan Madani
Para ulama telah meneliti surah-surah Makki dan Madani; dan menyimpulkan beberapa ketentuan analogis bagi keduanya, yang menerangkan ciri-ciri khas gaya bahasa dan persoalan-persoalan yang dibicarakanya. Dari situ mereka dapat menghasilkan kaidah- kaidah dengan ciri-ciri tersebut.
2.3.1. Ketentuan Makki dan ciri Khas temanya
  1. Setiap surah yang didalamnya mengandung “sajdah” maka surah itu Makki.
  2. Stiap surat yang mengandung lafal kalla, berarti Makki. Lafal ini hanya terdapat dalam separuh terakhir dari quran. Dan disebutkan dalam tiga puluh tiga kali dalam lima belas surat.
  3.  Setiap surah yang mengandung ya ayyuhan nasdan tidak mengandung ya ayyuhal ladzina, berarti Makki, kecuali surah al-Hajj yang pada akhir surat mengandung ya ayyuhal ladzina amaniur-ka’uwasjudu. Namun demikian sebagian ulama’ berpendapat bahwa ayat tersebut adalah ayat Makki.
  4. Setiap surah yang mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu adalah Makki, kecuali surah baqarah.
  5. Setiap sureah yang mengandung kisah adam dan iblis adalah Makki, kecuali surah baqarah.
  6. Setiap huruf yang dibuka dengan huruf-huruf singkatan, seperti Alif Lam mim, Alif Lam Ra, Ha Mim dan lainya, adalah Makki kecuali surah Baqarah dan Ali imran. Sedangkan surat Ra’d masih diperselisihkan.
Ini adalah dari segi ketentuan, sedangkan dari ciri tema dan gaya bahasa dapatlah diringkas sebagai berikut:
  1. Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pambuktian kepada risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengerianya, neraka dan siksaanya, surga dan nikmatnya, argumentasi terhadap orang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniah.
  2. Peletakkan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat; dan penyingkapan dosa orang  musyrik dalam penumpahan darah, memakan harta anak yatim secara  zalim, penguburan hidup-hidup bayi perempuan dan tradisi buruk lainya.
  3. Menyebutkan kisah nabi dan para umat-umat terdahulu sebagai pelajaran bagi mereka sehingga tau nasib orang yang mendustakan sebelum mereka; dan sebagai hiburan buat Rasulullah sehingga ia tabah menghadapi gangguan mereka dan yakin akan menang.
  4. Suku katanya pendek-pendek disertai kata-kata yang mengesankan sekali, pernyataanya singkat, ditelinga terasa menembus dan terdengar sangat keras, menggetarkan hati, dan maknanya pun meyakinkan dengan diperkuat lafal-lafal sumpah; seperti surah surah yang pendek-pendek. Dan perkecualiannya hanya sedikit.
2.3.2. Ketentuan Madani dan Ciri Khasnya
1.      Setiap surah yang berisi kewajiban atau had (sanksi) adalah madani.
2.      Setiap surah yang didalamnya disebutkan oarang-orang munafik adalah Madani, kecuali surah Al-Ankabut adalah Makki.
3.      Setiap surah yang didalamnya terdapat dialog dengan ahli kitab adalah Madani.
Ini dari segi ketentuan, sedang dari segi ciri khas, tema dan gaya bahasa                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            dapatlah diringkas sebagai berikut:
1.      Menjelaskan ibadah, muamalah, had, kkekeluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasional, baik diwaktu ramai maupun perang, kaidah hukum dan masalah perundang-undangan.
2.      Seruan terhadap Ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, dan ajakan kepada mereka untuk masuk islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka terhadap kitab-kitab Allah, permusuhan mereka terhadap kebenaran dan perselisihan mereka setelah ilmu datang kepada mereka karena rasa dengki diantara sesama mereka.
3.      Menyingkap perilaku orang munafik, menganlisis kejiwaanya, membuka kedoknya dan menjelaskan bahwa ia berbahaya bagi agama.
4.      Suku kata dan ayatnya panjang-panjang dan dengan gaya bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan sasarannya.
2.3.3.  Studi Makkiyah dan Madaniyah dan Relevansinya dengan teory Nasikh-Mansukh
Studi Makkiyah dan Madaniyah menghasilkan pengetahuantentang ayat-ayat yang masuk kategori Makiyyah yang bersifat indhar dan membangun prinsip-prinsip umum (universal dan kulliyah) yang turun lebih dulu daripada ayat-ayat yang masuk kategori Madaniyah yang bersifat risalah dan membangun prinsip-prinsip khusus (partikular dan juz’iyah).
Ayat-ayat Makkiyah yang ajaran dan hukumnya telah ditetapkan dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat muslim sebagai warga minoritas di tengah mayoritas masyarakat jahiliyah, telah dirubah dan diganti dengan ajaran dan hukum baru dalam ayat-ayat  Madaniyah, karena Nabi saw. Dan masyarakat Madinah telah memiliki otoritas dalammembangun dan menerapkan ajaran, dan hukum secara utuh berdasarkan petunjuk Allah melalui ajaran dan hukumnya yang tertuang di al-Qur’an.
Hijrah Nabi saw dari kota Makkah yang berada pada posisi minoritas, menuju kota Madinah yang memposisikan peran Nabi saw sebagai pemimpin, maka ketetapan dan penerapan ajaran dan hukum islam menjadi bergeser dan ada perubahan. Karena Madinah telah membuka ajaran dan hukum Islam secara utuh (kaffah), disamping masyarakat yang membutuhkannya, lain halnya ketika di Makkah.
Realitas sosial yang dialami oleh masyarakat muslim di Makkah dan Madinah tersebut menyebabkan gerak teks dan ajaran atau hukum Islam juga bergerah mengikuti kebutuhan masyarakatnya. Dinamika inilah yang melahirkan teori nasikh dan mansukh.

 


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam studi al-Qur’an, ilmu Makkiyah dan Madaniyah merupakan bidang kajian yang membedakan fase penting yang memiliki andil dalam membentuk teks, baik dalam tataran isi ataupun struktur. Hal ini membuktikan, bahwa teks merupakan hasil dari interaksinya dengan realitas yang dinamis-historis.
Study Makkiyah dan Madaniyah sangat erat kaitannya dengan bangunan dan penerapan hukum Islam, karena itu selama ini studi Makiyyah dan Madaniyah sangat didominasi oleh pakar hukum Islam dan selalu hadir dari titik tolak yang bersifat fiqhiyah, yang lebih menekankan tujuan yang menggiring pada konstruksi naskh dan mansukh, yang ‘am dan khas , yang lebih bersifat semantik.


[1]az-Zarkashiy, al-Burhan fi Ulum., 1: 239. As-Suyutiy, al-Itqan fi Ulum., 19. Subhi Salih, Mabahith fi Ulum.,167. Abdul Djalal, Ulumul Qur’an., 78.
[2]as-suyutiy, al-Itqan fi Ulum., 19-20
[3]az-Zarkashiy, al-Burhan fi Ulum., 1:241
[4]az-Zarkashiy, al-Burhan fi Ulum., I: 242
[5]Abdul Djalal, Ulumul Qur’an., 100
[6]as-Suyutiy, al-Itqan fi Ulum .,21
[7]Abdul Djalal, Ulumul Qur’an.,98-100
[8]IbidI., 99-100
[9]Lihat al-Itqan, jilid 1, halaman 9.
[10]Ibid. Jilid 1, halaman 17.
[11]Dalam hadis sahih dari Umar dijelaskan, ayat itu turun pada malam Arafah hari jum’at tahun haji Wada’.
[12]Surah Fath turun dalam perjalanan. Dan firman Allah: “Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak berapa jauh, pasti mereka akan mengikutimu.” (at-taubah [9]:42), turun di Tabuk. Sedang firman Allah: “Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu.” (az-Zukhruf [43]:45), turun di Baitul Makdis pada malam Isra’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar