Translate

Jumat, 20 Desember 2013

turunnya al-quran dengan 7 huruf




BAB II

PEMBAHASAN


2.1 Pengertian TujuhHuruf Menurut Para Ulama’


Tidak terdapat nas sarih yang menjelaskan maksud dari sab’at ahruf. Sehingga menjadi hal yang lumrah kalau para ulama,-berdasarkan ijtihadnya masing-masing, berbeda pendapat dalam menafsirkan pengertiannya. Ibn Hibban al-Busti sebagaimana dikutip al-Suyuti mengatakan bahwa perbedaan ulama dalam masalah ini sampai tiga puluh lima pendapat, Sementara al-Zarqani dalam kitabnya hanya menampilkan sebelas pendapat secara detail dari perbedaan-perbedaan ulama tersebut. Perbedaan ulama mengenai pengertian sab’at ahruf ini tidak berasal dari tingkatan kualifikasi mereka atas hadis-hadis tentang tema dimaksud. Perbedaan itu justru muncul dari lafaz sab’at dan ahruf yang masuk kategori lafaz-lafaz musytarak, yaitu lafaz-lafaz yang mempunyai banyak kemungkinan arti, sehingga memungkinkan dan mengakomodasi segala jenis penafsiran. Selain itu juga disebabkan adanya fenomena historis tentang periwayatan bacaan al-Qur’an yang memang beragam. Berikut ini sebagian dari pendapat-pendapat tersebut:
Pendapat pertama. al-Tabari, dan jumhur ulama fiqh, dan hadis mengartikan sab’at ahruf sebagai tujuh bentuk bahasa yang berbeda lafalnya, tetapi sama maknanya. Dengan bahasa lain, sab’at ahruf di sini dapat diartikan tujuh bahasa dari bahasa-bahasa Arab tentang lafaz-lafaz tertentu yang berbeda lafaznya tetapi sama maknanya, seperti lafaz halumma, qasdi, ta’al, nahwi, dan aqbil. Meskipun kata-kata tersebut berbeda dalam pelafalan namun maknanya satu, yaitu perintah untuk datang.
Al-Tabari, dan ulama yang sepakat dengannya mendasarkan pendapatnya ini pada hadis Abu bakrah yang meriwayatkan permintaan Rasulullah kepada Jibril untuk memberikan alternatif pembacaan al-Qur’an lebih dari satu. Alasan lain adalah hadis Anas yang membaca Q.S. al-Muzammil (73): 6, dengan bacaan أشد وطأ وأقوم قيلا    ketika ditanya tentang bacaannya tersebut, Anas menjawab bahwa lafaz   أصوب أقوم أهياء    adalah satu arti.  Begitu pula hadis yang diirwayatkan Ubay ibn Ka’ab yang membaca surat al-Baqarah: 20 dengan tiga variasi bacaan. Namun demikian tidak semua makna mempunyai tujuh lafaz yang senada dengan makna tersebut. Tetapi semua makna yang bisa diwakili oleh suatu lafaz, lafaz ini sajalah yang dipakai. Adapun jika ungkapan makna itu bisa diwakili dengan dua lafaz, maka dua lafaz inilah yang dipakai, begitu seterusnya hingga tujuh lafaz.
Riwayat dan dalil-dalil yang dikemukakan di atas tidak hanya dipegangi oleh ulama-ulama zaman klasik dan pertengahan semacam al-Tabari, Sufyan ibn Uyainah, Ibn Wahb, Khalaiq, dan al-Tahawi, tetapi diikuti pula oleh penulis-penulis kontemporer semisal Manna’ al-Qattan, Abd al-Mun’im al-Namr, Abd al-Sabur Syahin, Umar Shihab, dan Hasbi ash-Shiddieqy. umar shihab berkata: “…perbedaan yang dapat diterima hanyalah perbedaan bahasa yang semakna. Sedangkan T.M. Hasby Ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa Al-Qur’an diturnkan dengan lahjah-lahjah yang biasa dipakai oleh suku quraisy dan suku-suku lainnya di tanah arab sehingga hasillah bagi Al-Qur’an beberapa macam bunyi lahjah. Sedangkan lahjah yang biasa dipakai di tanah arab ada tujuh macam.
Manna’ al-Qattan misalnya berkata: “Bahwa yang dimaksud dengan huruf-huruf yang tujuh adalah tujuh bahasa dari bahasa-bahasa Arab tentang makna yang sama”. Dalam membangun argumentasi, al-Tabari tidak hanya mendasarkan kepada teks-teks kitab suci, alasan-alasan rasionalpun ia pergunakan untuk memperkuat pendapatnya ini. al-Tabari berpendapat bahwa perbedaan yang terjadi di antara sahabat dalam pembacaan al-Qur’an hanya sebatas perbedaan lafaz bukan pada perbedaan makna, karena menurutnya tidak mungkin Rasulullah membenarkan semua yang diperselisihkan sahabat bila yang diperselisihkan itu berkaitan dengan masalah makna (hukum) seperti mengenai halal-haram, janji dan ancaman, dan sebagainya. Ini sebagai bukti bahwa perbedaan yang ada hanya pada pelafalan bahasa atau dialek al-Qur’an yang telah diajarkan Rasulullah kepada para sahabat.
Ibn Kasir mengutip perkataan al-Tahawi dan yang lainnya, “Bahwasanya adanya tujuh huruf itu adalah sebagai rukhsah (dispensasi) agar orang-orang boleh membaca al-Qur’an dalam tujuh bahasa”. Hal ini berlaku tatkala kebanyakan orang Islam kesulitan  untuk membaca dalam bahasa Quraisy dan bacaan Rasulullah, dikarenakan keterbatasan kemampuan yang dimiliki sebagian umat Islam saat itu. Pendapat kedua, Ibn Qutaibah menafsirkan sab’at ahruf dengan tujuh bentuk (awjuh) perubahan, yaitu:
1.      Perubahan harakat (tanda baca) tetapi makna dan bentuk tulisannya tidak berubah.
2.      Perubahan pada kata kerja (fi’il)
3.      Perubahan pada lafaz, seperti “nunsyiruha” dengan ra’ dan “nunsyizuha” dengan za’
4.      Perubahan dengan pergantian huruf yang berhampiran mahrajnya
5.      Perubahan dengan penambahan dan pengurangan kalimat.
6.      Perubahan dengan cara mengemudiankan dan mendahulukan.
7.      Perubahan dengan penggantian suatu kata dengan kata yang lain.
Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh Ibn al-Jazari  dan Qadi Ibn Tayyib. Bahkan pada substansinya kedua pendapat terakhir ini tidak berbeda dengan penafsiran yang dikemukakan oleh Ibn Qutaibah. kecuali dalam hal ungkapan, urutan, dan contohnya. Dalam hubungannya dengan qira’ah, ketiga pendapat in juga tidak jauh dengan penafsiran yang dikemukakan al-Razi.  
Pendapat ketiga, kelompok ini mengatakan bahwa yang dimaksud sab’at ahruf adalah tujuh bahasa bagi tujuh kabilah Arab. Tujuh bahasa ini adalah tujuh bahasa yang paling fasih di antara suku-suku Arab, yang terbanyak adalah bahasa Quraisy, Huzail, Saqif, Kinanah, Tamim, dan Yaman. Pendapat ini dibenarkan oleh al-Baihaqi dan al-Abhari.Ibn Mansur al-Azhari (w. 370 H) menyebutkan bahwa pendapat ini sebagai pendapat yang mukhtar, dengan alasan perkataan Usman ketika menyuruh mereka menulis mushaf, “Dan sesuatu yang yang kamu perselisihkan antara kamu dan Zaid, maka kamu tulislah dengan bahasa Quraisy, karena al-Qur’an banyak turun dengan bahasa mereka”.  Dari penelitian al-Sijistani mengenai bahasa al-Qur’an ternyata ditemukan lebih banyak dari bahasa-bahasa yang sudah disebutkan di depan, ia menyebutkan sekitar dua puluh delapan bahasa, sementara Abu Bakr al-Wasiti menyebutkan empat puluh bahasa, termasuk bahasa di luar rumpun bahasa Arab, seperti Nabat, Barbar, Suryani, Ibrani, dan Qibti.
Pendapat keempat, Qadi ‘Iyad,  dan ulama yang sepakat dengannya menganggap pengertian sab’at ahruf yang terdapat dalam hadis Nabi sebagai sesuatu yang pelik dan tidak dapat dipahami makna sebenarnya. Sebab kata ahruf termasuk lafaz musytarak yang secara literal (harfiyah) dapat berarti ejaan, kata, makna, sisi, ujung, bentuk, bahasa, dan arah. Sementara kata Sab’ah ada yang mengartikannya tidak dengan bilangan tujuh yang sebenarnya. Akan tetapi maksudnya hanyalah untuk memberikan kemudahan dan keleluasaan bagi umat. Sebab kata sab’ah digunakan untuk menunjukkan arti banyak (kasrah) dalam hal satuan, sebagaimana kata sab’un dalam hal puluhan dan sab’umiyah dalam hal ratusan. Dengan demikian kata sab’ah (tujuh) di sini tidak dimaksud bilangan tertentu.
 kelima, Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud sab’at ahruf adalah qira’at sab’ah. Ada yang menegaskannya dengan tujuh qira’ah dari tujuh sahabat Nabi, yaitu Abu Bakr, Umar, Usman, ‘Ali, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, dan Ubay Ibn Ka’ab, dan adapula pula yang menghubungkannya dengan qira’ah tujuh yang populer.
Ibn al-Jazari mengemukakan bahwa sesungguhnya pendapat ini tidak diucapkan oleh seorangpun dari ulama-ulama, hanya pendapat ini merupakan perkataan yang memberatkan ulama dari dulu dalam menceritakan, membantah, dan menyalahkannya. Pendapat ini adalah suatu sangkaan orang-orang awam yang bodoh, tidak lain. Sesungguhnya mereka mendengar turunnya al-Qur’an dalam tujuh huruf dan tujuh riwayat, maka kemudian mereka menghayalkan hal tersebut.
Hasbi ash-Shiddieqy menilai bahwa pendapat yang menyatakan bahwa sab’at ahruf sebagai sab’at qira’ah merupakan pendapat yang lemah. Pernyatan Hasbi ini memang beralasan, sebab sekalipun tujuh ahli qira’ah itu sangat berpengaruh dalam pembacaan ayat-ayat al-Qur’an, namun masih ada ahli qira’ah lain  yang digunakan juga qira’ahnya.
Qira’ah mutawatirah yang masyhur di kalangan umat Islam, tidak hanya qira’ah sab’ah. Dikenal pula qira’ah sittah, qira’ah asyrah, qira’ah ihda asyrah. Dengan demikian pendapat ini tidak diakui, karena tidak ada seorang ulamapun yang sepakat dengan pendapat ini.

2.2 Hikmah Al-Qur’an Turun Dengan Tujuh Huruf


Hikmah yang dapat diambil dengan kejadian turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah sebagai berikut:
1.      Mempermudah ummat Islam khususnya bangsa Arab yang dituruni Al-Qur’an sedangkan mereka memiliki beberapa dialeks (lahjah) meskipun mereka bisa disatukan oleh sifat ke-Arabannya.
2.      Sebagai mukjizat al-Qur’an dari sisi lughawi (bahasa) bagi bangsa Arab. Karena beragamnya dialek diantara suku-suku Arab.
3.      Mukjizat al-Qur’an dari segi makna dan penggalian hokum. Karena berubahnya bentuk lafaz dalah sebagaian huruf akan menghasilkan produk hukum yang dapat berlaku dalam setiap masa. Oleh karena itu, para fuqaha dalam istinbat (penyimpulan hokum) dan ijtihad berhujjah dengan qiraat bagi ketujuh huruf ini.
4.      Menyatukan ummat Islam dalam satu bahasa yang disatukan dengan bahasa Quraisy yang tersusun dari berbagai bahasa pilihan dikalangan suku-suku bangsa Arab yang berkunjung ke Makkah pada musim haji dan lainnya.


al-Ahruf (الأحرف) adalah bentuk jamak dari harf (حرف)ini mempunyai makna yang banyak :
1. Harf yang berarti ujungnya atau tepinya
Hurf / al-Ahruf yangberarti huruf istilah dalam ilmu nahwu.
2. Harf yang bermakna puncak seperti (حرف الجبل ) diartikan puncak gunung.
3. Harf diartikan sebagai salah satu huruf hijaiyyah.
                             
Sedangkan yang dimaksud al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf adalah sebagai kelonggaran dan kemudahan bagi pembaca, sehingga bisa memilih diantara bacaan-bacaan yang diinginkan, tapi bukan dimaksudkan bahwa semua kalimah yang ada dalam al-Qur’an bisa dibaca dengan tujuh macam bacaan, akan tetapi yang dimaksudkan tujuh bacaan yang berbeda itu pada beberapa tempat yang beebeda-beda yang bisa dibaca sampai tujuh bacaan.


Sebagian ulama menuturkan bahwa qiraat itu ada tiga macam muawatir, ahad dan syadz (langka), mereka membagi qiraat mutawatir menjadi  tujuh macam bagian, sedang qiraat ahad ialah tiga qiraat yang menggenapkannya menjadi sepuluh qiraat, lalu bacaan para sahabat serta yang tersisa disebut bacaan syadz.Dan dikatakan pula, bacaan yang sepuluh itu disebut bacaan mutawatir, disebutkan pula  yang menjadi pijakan pada definisi itu adalah kesemuanya baik bacaan yang tujuh macam ataupun sepuluh macam bacaan ataupun yang lainnya juga masuk qiraah itu.
Ukuran (tolok ukur) dalam kaidah qira’at menurut ulama adalah sebagai berikut:

1.       Kesesuaiannya dengan satu ragam dari beberapa macam ragam bahasa Arab, , sama saja apakah ia ragam bahasa Arab yang fasih atau afshah (lebih fasih). Karena qira’at adalah sunnah yang diikuti, wajib untuk diterima dan jalan untuk mengarah kepadanya adalah dengan menggunakan sanad, bukan dengan ra’yu (akal/rasio).
2.       Qira’at tersebut sesuai dengan salah satu mushaf ‘Utsmani, walaupun bersifat kemungkinan (tidak secara pasti). Karena para Shahabat radhiyallahu ‘anhum di dalam penulisan mushaf ‘Utsmani mereka berijtihad dalam membuat rasm (bentuk tulisan/khat) berdasarkan apa yang mereka ketahui dari bahasa-bahasa,  Dan yang dimaksud dengan kesesuaian yang bersifat kemungkinan adalah yang semisal denga hal di atas. Seperti dalam bacaan مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ{4}, maka sesungguhnya lafazh مالك ditulis dalam semua mushaf al-Qur’an tanpa menggunakan huruf Alif. Maka ia bisa dibaca مَلِكِ sehingga ia benar-benar sesuai dengan tulisan di mushaf, dan juga ia bisa dibaca مَالِكِ sehingga ia sesuai dengan mushaf namun bersifat kemungkinan. Dan demikian pula pada contoh-contoh yang lain. Dan contoh kesesuaian/kecocokan antara perbedaan Qira’at dengan rasm secara pasti adalah dalam kata تَعْلَمُونَ, karena ia dibaca dengan Ta’ dan juga dengan Ya’. Demikian juga kata يَغْفِرْ لَكُمْ, ia bisa dibaca dengan Ya’ dan Nun. Dan bacaan-bacaan lain yang semisal dengan hal itu. Ketiadaan titik dan harakat dalam suatu huruf ketika dihapus ataupun ditulis adalah salah satu hal yang menunjukkan keutamaan agung yang dimiliki oleh para Shahabat radhiyallahu ‘anhum dalam ilmu tentang ejaan, dan juga menunjukkan pemahaman mereka yang mendalam dalam menerapkan setiap ilmu.
Dan tidak disyaratkan di dalam Qira’at yang shahih kecocokan/kesesuaiannya dengan seluruh mushaf yang ada, dan cukup dengan kecocokannya dengan sebagian saja. Hal itu seperti Qira’at Ibnu ‘Amir:وَبِالزُّبُرِ وَبِالْكِتَاب dengan menuliskan huruf Ba’ pada kedua kata tersebut (padahal pada Qira’at imam yang lain dan yang tertulis di mushaf yang ada pada kita sekarang وَالزُّبُرِ وَالْكِتَابِ ). Maka sesungguhnya Qira’at Ibnu ‘Amr ini sesuai dengan tulisan yang ada di mushaf Syami (mushaf yang ada di Syam).
3.    Qira’at tersebut harus shahih sanadnya. Karena Qira’at adalah sunnah yang diikuti, yang didasarkan pada kebenaran penukilan dan keshahihan riwayat. Seringkali para ahli bahasa Arab mengingkari suatu Qira’at di antara macam-macam Qira’at yang ada dengan alasan keluarnya Qira’at tersebut dari aturan/kaidah bahasa Arab, atau karena lemahnya ia dari sisi bahasa. Namun para imam ahli Qira’at tidak mengindahkan dan memeperhatikan pengingkaran tersebut (karena mereka lebih mengepankan keshahihan sanad.




           






BAB III

PENUTUP


Dari makalah diatas dapat disimpulkan bahwa turunnya al-Qur’an dalam berbagai variasi bacaan (sab’at ahruf), sifatnya kontekstual dan bukan suatu yang normatif. Hal ini dapat diketahui dari konteks turunnya di Madinah yang awalnya berfungsi sebagai keringanan dan kemudahan bagi umat Islam yang saat itu terdiri dari berbagai kabilah dengan beragam bahasa dan dialek, yang hal itu tidak terjadi di Mekkah karena umat Islam masih minoritas dan tidak butuh pada adanya variasi bacaan al-Qur’an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar