BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian TujuhHuruf Menurut Para Ulama’
Tidak terdapat
nas sarih yang menjelaskan maksud dari sab’at ahruf. Sehingga menjadi hal yang
lumrah kalau para ulama,-berdasarkan ijtihadnya masing-masing, berbeda pendapat
dalam menafsirkan pengertiannya. Ibn Hibban al-Busti sebagaimana dikutip
al-Suyuti mengatakan bahwa perbedaan ulama dalam masalah ini sampai tiga puluh
lima pendapat, Sementara al-Zarqani dalam kitabnya hanya menampilkan sebelas
pendapat secara detail dari perbedaan-perbedaan ulama tersebut. Perbedaan ulama
mengenai pengertian sab’at ahruf ini tidak berasal dari tingkatan kualifikasi
mereka atas hadis-hadis tentang tema dimaksud. Perbedaan itu justru muncul dari
lafaz sab’at dan ahruf yang masuk kategori lafaz-lafaz musytarak, yaitu
lafaz-lafaz yang mempunyai banyak kemungkinan arti, sehingga memungkinkan dan
mengakomodasi segala jenis penafsiran. Selain itu juga disebabkan adanya
fenomena historis tentang periwayatan bacaan al-Qur’an yang memang beragam.
Berikut ini sebagian dari pendapat-pendapat tersebut:
Pendapat
pertama. al-Tabari, dan jumhur ulama fiqh, dan hadis mengartikan sab’at ahruf
sebagai tujuh bentuk bahasa yang berbeda lafalnya, tetapi sama maknanya. Dengan
bahasa lain, sab’at ahruf di sini dapat diartikan tujuh bahasa dari
bahasa-bahasa Arab tentang lafaz-lafaz tertentu yang berbeda lafaznya tetapi
sama maknanya, seperti lafaz halumma, qasdi, ta’al, nahwi, dan aqbil. Meskipun
kata-kata tersebut berbeda dalam pelafalan namun maknanya satu, yaitu perintah
untuk datang.
Al-Tabari, dan
ulama yang sepakat dengannya mendasarkan pendapatnya ini pada hadis Abu bakrah
yang meriwayatkan permintaan Rasulullah kepada Jibril untuk memberikan alternatif
pembacaan al-Qur’an lebih dari satu. Alasan lain adalah hadis Anas yang membaca
Q.S. al-Muzammil (73): 6, dengan bacaan أشد وطأ وأقوم
قيلا ketika
ditanya tentang bacaannya tersebut, Anas menjawab bahwa lafaz أصوب أقوم أهياء adalah
satu arti. Begitu pula hadis yang diirwayatkan Ubay ibn Ka’ab yang
membaca surat al-Baqarah: 20 dengan tiga variasi bacaan. Namun demikian tidak
semua makna mempunyai tujuh lafaz yang senada dengan makna tersebut. Tetapi
semua makna yang bisa diwakili oleh suatu lafaz, lafaz ini sajalah yang
dipakai. Adapun jika ungkapan makna itu bisa diwakili dengan dua lafaz, maka
dua lafaz inilah yang dipakai, begitu seterusnya hingga tujuh lafaz.
Riwayat dan
dalil-dalil yang dikemukakan di atas tidak hanya dipegangi oleh ulama-ulama
zaman klasik dan pertengahan semacam al-Tabari, Sufyan ibn Uyainah, Ibn Wahb,
Khalaiq, dan al-Tahawi, tetapi diikuti pula oleh penulis-penulis kontemporer
semisal Manna’ al-Qattan, Abd al-Mun’im al-Namr, Abd al-Sabur Syahin, Umar
Shihab, dan Hasbi ash-Shiddieqy. umar shihab berkata: “…perbedaan yang dapat
diterima hanyalah perbedaan bahasa yang semakna. Sedangkan T.M. Hasby
Ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa Al-Qur’an diturnkan dengan lahjah-lahjah yang biasa dipakai oleh suku quraisy dan suku-suku
lainnya di tanah arab sehingga hasillah bagi Al-Qur’an beberapa macam bunyi
lahjah. Sedangkan lahjah yang biasa dipakai di tanah arab ada tujuh macam.
Manna’
al-Qattan misalnya berkata: “Bahwa yang dimaksud dengan huruf-huruf yang tujuh
adalah tujuh bahasa dari bahasa-bahasa Arab tentang makna yang sama”. Dalam
membangun argumentasi, al-Tabari tidak hanya mendasarkan kepada teks-teks kitab
suci, alasan-alasan rasionalpun ia pergunakan untuk memperkuat pendapatnya ini.
al-Tabari berpendapat bahwa perbedaan yang terjadi di antara sahabat dalam
pembacaan al-Qur’an hanya sebatas perbedaan lafaz bukan pada perbedaan makna,
karena menurutnya tidak mungkin Rasulullah membenarkan semua yang
diperselisihkan sahabat bila yang diperselisihkan itu berkaitan dengan masalah makna
(hukum) seperti mengenai halal-haram, janji dan ancaman, dan sebagainya. Ini
sebagai bukti bahwa perbedaan yang ada hanya pada pelafalan bahasa atau dialek
al-Qur’an yang telah diajarkan Rasulullah kepada para sahabat.
Ibn Kasir
mengutip perkataan al-Tahawi dan yang lainnya, “Bahwasanya adanya tujuh huruf
itu adalah sebagai rukhsah (dispensasi) agar orang-orang boleh membaca
al-Qur’an dalam tujuh bahasa”. Hal ini berlaku tatkala kebanyakan orang Islam
kesulitan untuk membaca dalam bahasa Quraisy dan bacaan Rasulullah,
dikarenakan keterbatasan kemampuan yang dimiliki sebagian umat Islam saat itu.
Pendapat kedua, Ibn Qutaibah menafsirkan sab’at ahruf dengan tujuh bentuk
(awjuh) perubahan, yaitu:
1. Perubahan
harakat (tanda baca) tetapi makna dan bentuk tulisannya tidak berubah.
2. Perubahan pada
kata kerja (fi’il)
3. Perubahan pada
lafaz, seperti “nunsyiruha” dengan ra’ dan “nunsyizuha” dengan za’
4. Perubahan
dengan pergantian huruf yang berhampiran mahrajnya
5. Perubahan
dengan penambahan dan pengurangan kalimat.
6. Perubahan
dengan cara mengemudiankan dan mendahulukan.
7. Perubahan
dengan penggantian suatu kata dengan kata yang lain.
Pendapat yang
serupa juga dikemukakan oleh Ibn al-Jazari dan Qadi Ibn Tayyib. Bahkan
pada substansinya kedua pendapat terakhir ini tidak berbeda dengan penafsiran
yang dikemukakan oleh Ibn Qutaibah. kecuali dalam hal ungkapan, urutan, dan
contohnya. Dalam hubungannya dengan qira’ah, ketiga pendapat in juga tidak jauh
dengan penafsiran yang dikemukakan al-Razi.
Pendapat
ketiga, kelompok ini mengatakan bahwa yang dimaksud sab’at ahruf adalah tujuh
bahasa bagi tujuh kabilah Arab. Tujuh bahasa ini adalah tujuh bahasa yang
paling fasih di antara suku-suku Arab, yang terbanyak adalah bahasa Quraisy,
Huzail, Saqif, Kinanah, Tamim, dan Yaman. Pendapat ini dibenarkan oleh
al-Baihaqi dan al-Abhari.Ibn Mansur al-Azhari (w. 370 H) menyebutkan bahwa
pendapat ini sebagai pendapat yang mukhtar, dengan alasan perkataan Usman
ketika menyuruh mereka menulis mushaf, “Dan sesuatu yang yang kamu perselisihkan
antara kamu dan Zaid, maka kamu tulislah dengan bahasa Quraisy, karena
al-Qur’an banyak turun dengan bahasa mereka”. Dari penelitian
al-Sijistani mengenai bahasa al-Qur’an ternyata ditemukan lebih banyak dari
bahasa-bahasa yang sudah disebutkan di depan, ia menyebutkan sekitar dua puluh
delapan bahasa, sementara Abu Bakr al-Wasiti menyebutkan empat puluh bahasa,
termasuk bahasa di luar rumpun bahasa Arab, seperti Nabat, Barbar, Suryani,
Ibrani, dan Qibti.
Pendapat
keempat, Qadi ‘Iyad, dan ulama yang sepakat dengannya menganggap
pengertian sab’at ahruf yang terdapat dalam hadis Nabi sebagai sesuatu yang
pelik dan tidak dapat dipahami makna sebenarnya. Sebab kata ahruf termasuk
lafaz musytarak yang secara literal (harfiyah) dapat berarti ejaan, kata, makna,
sisi, ujung, bentuk, bahasa, dan arah. Sementara kata Sab’ah ada yang
mengartikannya tidak dengan bilangan tujuh yang sebenarnya. Akan tetapi
maksudnya hanyalah untuk memberikan kemudahan dan keleluasaan bagi umat. Sebab
kata sab’ah digunakan untuk menunjukkan arti banyak (kasrah) dalam hal satuan,
sebagaimana kata sab’un dalam hal puluhan dan sab’umiyah dalam hal ratusan.
Dengan demikian kata sab’ah (tujuh) di sini tidak dimaksud bilangan tertentu.
kelima, Ada yang mengatakan bahwa yang
dimaksud sab’at ahruf adalah qira’at sab’ah. Ada yang menegaskannya dengan
tujuh qira’ah dari tujuh sahabat Nabi, yaitu Abu Bakr, Umar, Usman, ‘Ali, Ibn
Mas’ud, Ibn Abbas, dan Ubay Ibn Ka’ab, dan adapula pula yang menghubungkannya
dengan qira’ah tujuh yang populer.
Ibn al-Jazari
mengemukakan bahwa sesungguhnya pendapat ini tidak diucapkan oleh seorangpun
dari ulama-ulama, hanya pendapat ini merupakan perkataan yang memberatkan ulama
dari dulu dalam menceritakan, membantah, dan menyalahkannya. Pendapat ini
adalah suatu sangkaan orang-orang awam yang bodoh, tidak lain. Sesungguhnya
mereka mendengar turunnya al-Qur’an dalam tujuh huruf dan tujuh riwayat, maka
kemudian mereka menghayalkan hal tersebut.
Hasbi
ash-Shiddieqy menilai bahwa pendapat yang menyatakan bahwa sab’at ahruf sebagai
sab’at qira’ah merupakan pendapat yang lemah. Pernyatan Hasbi ini memang
beralasan, sebab sekalipun tujuh ahli qira’ah itu sangat berpengaruh dalam
pembacaan ayat-ayat al-Qur’an, namun masih ada ahli qira’ah lain yang
digunakan juga qira’ahnya.
Qira’ah
mutawatirah yang masyhur di kalangan umat Islam, tidak hanya qira’ah sab’ah.
Dikenal pula qira’ah sittah, qira’ah asyrah, qira’ah ihda asyrah. Dengan
demikian pendapat ini tidak diakui, karena tidak ada seorang ulamapun yang
sepakat dengan pendapat ini.
2.2 Hikmah Al-Qur’an Turun Dengan Tujuh Huruf
Hikmah yang dapat diambil dengan kejadian turunnya Al-Qur’an dengan tujuh
huruf adalah sebagai berikut:
1.
Mempermudah ummat
Islam khususnya bangsa Arab yang dituruni Al-Qur’an sedangkan mereka memiliki beberapa
dialeks (lahjah) meskipun mereka bisa disatukan oleh sifat ke-Arabannya.
2. Sebagai mukjizat al-Qur’an dari sisi lughawi (bahasa) bagi bangsa
Arab. Karena beragamnya dialek diantara suku-suku Arab.
3. Mukjizat al-Qur’an dari segi makna dan penggalian hokum. Karena
berubahnya bentuk lafaz dalah sebagaian huruf akan menghasilkan produk hukum
yang dapat berlaku dalam setiap masa. Oleh karena itu, para fuqaha dalam
istinbat (penyimpulan hokum) dan ijtihad berhujjah dengan qiraat bagi ketujuh
huruf ini.
4. Menyatukan ummat Islam dalam satu bahasa yang disatukan dengan bahasa
Quraisy yang tersusun dari berbagai bahasa pilihan dikalangan suku-suku bangsa
Arab yang berkunjung ke Makkah pada musim haji dan lainnya.
al-Ahruf (الأحرف)
adalah bentuk jamak dari harf (حرف)ini mempunyai makna yang banyak :
1. Harf yang
berarti ujungnya atau tepinya
Hurf / al-Ahruf yangberarti huruf istilah dalam ilmu nahwu.
2. Harf yang bermakna puncak seperti (حرف الجبل ) diartikan puncak gunung.
3. Harf diartikan sebagai salah satu huruf hijaiyyah.
Sedangkan
yang dimaksud al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf adalah sebagai
kelonggaran dan kemudahan bagi pembaca, sehingga bisa memilih diantara
bacaan-bacaan yang diinginkan, tapi bukan dimaksudkan bahwa semua kalimah yang
ada dalam al-Qur’an bisa dibaca dengan tujuh macam bacaan, akan tetapi yang
dimaksudkan tujuh bacaan yang berbeda itu pada beberapa tempat yang
beebeda-beda yang bisa dibaca sampai tujuh bacaan.
Sebagian ulama
menuturkan bahwa qiraat itu ada tiga macam muawatir, ahad dan syadz (langka),
mereka membagi qiraat mutawatir menjadi tujuh macam bagian, sedang qiraat ahad ialah
tiga qiraat yang menggenapkannya menjadi sepuluh qiraat, lalu bacaan para
sahabat serta yang tersisa disebut bacaan syadz.Dan dikatakan pula, bacaan yang
sepuluh itu disebut bacaan mutawatir, disebutkan pula yang menjadi
pijakan pada definisi itu adalah kesemuanya baik bacaan yang tujuh macam
ataupun sepuluh macam bacaan ataupun yang lainnya juga masuk qiraah itu.
Ukuran (tolok ukur) dalam kaidah qira’at menurut ulama adalah
sebagai berikut:
1. Kesesuaiannya dengan satu ragam dari beberapa macam ragam bahasa
Arab, , sama saja apakah ia ragam bahasa Arab yang fasih atau afshah (lebih
fasih). Karena qira’at adalah sunnah yang diikuti, wajib untuk diterima dan
jalan untuk mengarah kepadanya adalah dengan menggunakan sanad, bukan dengan
ra’yu (akal/rasio).
2. Qira’at tersebut sesuai dengan salah satu mushaf ‘Utsmani, walaupun
bersifat kemungkinan (tidak secara pasti). Karena para Shahabat radhiyallahu
‘anhum di dalam penulisan mushaf ‘Utsmani mereka berijtihad dalam membuat rasm
(bentuk tulisan/khat) berdasarkan apa yang mereka ketahui dari bahasa-bahasa, Dan yang dimaksud dengan kesesuaian yang
bersifat kemungkinan adalah yang semisal denga hal di atas. Seperti dalam
bacaan مَالِكِ يَوْمِ
الدِّينِ{4}, maka sesungguhnya lafazh مالك ditulis dalam semua mushaf al-Qur’an tanpa menggunakan huruf
Alif. Maka ia bisa dibaca مَلِكِ
sehingga ia benar-benar sesuai dengan tulisan di mushaf, dan juga
ia bisa dibaca مَالِكِ
sehingga ia sesuai dengan mushaf namun bersifat kemungkinan. Dan demikian pula
pada contoh-contoh yang lain. Dan contoh kesesuaian/kecocokan antara perbedaan
Qira’at dengan rasm secara pasti adalah dalam kata تَعْلَمُونَ, karena ia dibaca dengan Ta’ dan juga dengan
Ya’. Demikian juga kata يَغْفِرْ
لَكُمْ, ia bisa dibaca dengan Ya’ dan Nun. Dan bacaan-bacaan lain yang
semisal dengan hal itu. Ketiadaan titik dan harakat dalam suatu huruf ketika
dihapus ataupun ditulis adalah salah satu hal yang menunjukkan keutamaan agung
yang dimiliki oleh para Shahabat radhiyallahu ‘anhum dalam ilmu tentang ejaan,
dan juga menunjukkan pemahaman mereka yang mendalam dalam menerapkan setiap
ilmu.
Dan tidak disyaratkan di dalam Qira’at yang
shahih kecocokan/kesesuaiannya dengan seluruh mushaf yang ada, dan cukup dengan
kecocokannya dengan sebagian saja. Hal itu seperti Qira’at Ibnu ‘Amir:وَبِالزُّبُرِ وَبِالْكِتَاب dengan menuliskan huruf Ba’ pada kedua kata
tersebut (padahal pada Qira’at imam yang lain dan yang tertulis di mushaf yang
ada pada kita sekarang وَالزُّبُرِ وَالْكِتَابِ ). Maka sesungguhnya Qira’at
Ibnu ‘Amr ini sesuai dengan tulisan yang ada di mushaf Syami (mushaf yang ada
di Syam).
3. Qira’at tersebut harus shahih sanadnya. Karena Qira’at adalah sunnah
yang diikuti, yang didasarkan pada kebenaran penukilan dan keshahihan riwayat.
Seringkali para ahli bahasa Arab mengingkari suatu Qira’at di antara macam-macam
Qira’at yang ada dengan alasan keluarnya Qira’at tersebut dari aturan/kaidah
bahasa Arab, atau karena lemahnya ia dari sisi bahasa. Namun para imam ahli
Qira’at tidak mengindahkan dan memeperhatikan pengingkaran tersebut (karena
mereka lebih mengepankan keshahihan sanad.
BAB III
PENUTUP
Dari makalah
diatas dapat disimpulkan bahwa turunnya al-Qur’an dalam berbagai variasi bacaan
(sab’at ahruf), sifatnya kontekstual dan bukan suatu yang normatif. Hal ini
dapat diketahui dari konteks turunnya di Madinah yang awalnya berfungsi sebagai
keringanan dan kemudahan bagi umat Islam yang saat itu terdiri dari berbagai
kabilah dengan beragam bahasa dan dialek, yang hal itu tidak terjadi di Mekkah
karena umat Islam masih minoritas dan tidak butuh pada adanya variasi bacaan
al-Qur’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar