Translate

Senin, 23 Desember 2013

theology *iman dan kufur*



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Iman
     Menurut bahasa iman berarti pembenaran hati. Sedangkan menurut istilah iman adalah: “Membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan degan anggota badan.” Ini adalah pendapat jumhur. Dan Imam Syafi’i meriwayatkan ijma’ para sahabat, tabi’in dan orang-orang sesudah mereka yang sezaman dengan beliau atas pengertiantersebut.
تصديق باالقل وتكرير با اللسان وعمل باالاركان
“Membenarkan dengan hati” maksudnya adalah menerima segala sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah SAW.“Mengikrarkan dengan lisan” maksudnya, mengucapkan dua kalimat syahadat, “La ilaha illallah wa anna Muhammadan Rasulullah” (Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah Ta’ala dan bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT). “Mengamalkan dengan anggota badan” maksudnya, hati mengamalkan dalam bentuk keyakinan, sedang anggota badan yang lain mengamalkan dalam bentuk ibadah-ibadah sesuai dengan fungsinya.Bila kita perhatikan penggunaan kata iman dalam Al-Quran, kita akan mendapatinya dalam dua pengertian dasar, yaitu:
1.      Iman dengan pengertian membenarkan. Yaitu membenarkan berita yang datangnya dari Allah dan Rasul-Nya.
Diantara dalil-dalil yang menunjukkan penggunaan iman untuk pengertian ini, pertama perkataan Nabi Ibrahim as., letika beliau meminta Allah menunjukkan kepadanya bagaimana Dia berkuasa menghidupkan sesuatu yang telah mati. Firman Allah yang artinya: “Allah berfirman, ‘Apakah kamu belum percaya?’ Ibrahim menjawab, ‘Saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya.”(QS.Al-Baqarah:260)
Kedua, dijelaskan dalam salah satu ayat yang mengisahkan tentang saudara-saudara Yusuf as. yang pulang menemui ayah mereka pada waktu malam, dengan membawa pakaian Yusuf yang berlumuran darah: “Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami mengatakan yang sebenarnya.”
(QS. Yusuf: 17)
Ketiga, demikian juga firman Allah yang menceritakan kisah Fir’aun, ketika ia tenggelam dan akan binasa: “Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. Yunus: 90)
2.      Iman dengan pengertian amal atau ber-iltizam dengan amal. Amal yang dikehendaki disini adalah amal iman, yakni segala perbuatan kebajikan yang tidak bertentangan dengan hukum yang telah digariskan oleh syara’.
Allah berfirman dalam QS. Al-Anfaal: 2-4 yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka. Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal.Mereka mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rizqi yang Kami berikan kepada mereka.Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rizqi (nikmat) yang mulia.”Jelaslah bahwa hati yang gemetar, bertambahnya keimanan, dan senantiasa bertawakal kepada Allah, semuanya itu merupakan suatu perasaan yang dapat dirasakan oleh hati mereka yang benar imannya.Ini berarti bahwa iman bukanlah semata-mata pembenaran yang terpendam di dalam hati, namun menuntut pula suatu pembenaran yang berwujud tindakan dalam kehidupan sehari-hari.Setelah itu barulah perwujudan pelaksanaan shalat, zakat dan lainnya yang merupakan bagian dari amal-amal iman.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa iman, sebagaimana yang termaktub dalam Al-Quran dan As-Sunnah, mempunyai dua pengertian:
a.       Membenarkan berita yang datang dari Allah dan Rasul-Nya.
b.      Meneguhkan pendirian terhadap ketentuan yang telah ditetapkan (diberitakan) Allah SWT.
Keimanan itu bukanlah semata-mata ucapan yang keluar dari lahir dan lidah saja, atau semacam keyakinan yang ada dalam hati.Tetapi keimanan yang sebenarnya adalah merupakan suatu aqidah atau kepercayaan yang memenuhi seluruh isi hati nurani.Dari situ timbul bekas-bekas atau kesan-kesannya, seperti cahaya yang dipancarkan oleh matahari. Dalam Al-Quran iman itu selalu berkaitan dengan amal perbuatan baik berupa pelaksanaan rukun-rukun Islam, akan menyebabkan manusia hidup bahagia di dunia dan di akhiratnya.
Dalam referensi lain disebutkan: Iman dari segi lughat, kata iman berarti : pembenaran ( التَّصـْدِ يـْقُ ) inilah makna yang dimaksud dengan kata ( مُؤْ مِنٌ ) dalam surat Yusuf 12, 17 yang artinya:
“Dan kamu sekali-kali tidak akan membenarkan kami (مُؤْ مِنٍ لَّـنَا ) walaupun kami orang-orang yang benar”.
Adapun makna iman dari segi istilah ialah pembenaran atau pengakuan hati dengan penuh yakin tanpa ragu-ragu akan segala apa yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW yang diketahui dengan jelas sebagai ajaran agama yang berasal dari wahyu Allah. Iman dalam pengertian di atas telah diterima oleh seluruh ulama Islam, baik ulama salaf maupun ulama khalaf. Kata Imam Nawawi, jika seseorang membenarkan dengan hati dengan penuh yakin akan agama Islam, maka ia adalah orang mukmin dan orang tersebut tidak wajib mempelajari dalil-dalil untuk mengukuhkan iman atau makrifatnya kepada adanya Allah. Jadi, orang awam atau muqallid (مُقَـلِـّدْ ) juga termasuk ke dalam golongan mukmin. Pembenaran dan pengakuan itu tempatnya di dalam hati, yaitu setelah adanya makrifah atau ilmu, iman dalam arti yang demikian sama artinya dengan iktikad, yakni mengikat hati dalam kepercayaan kepada sesuatu yang telah diketahui wujud kebenarannya. Kaitan atau gantungan iman atau iktikad.
Iman adalah bentuk mashdar atau kata kerja dari amana- yu’minu = percaya, setia, aman, melindungi, dan menempatkan sesuatu pada tempatnya yang aman.
Hadits Rasul dari Bukhari:Iman adalah engkau percaya kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kebangkitan dan peraturan (qodo) dan qodar atau kuasanya.

2.2    Pengertian Kufur

            Kufur adalah kebalikan dari iman.Dari segi lughat (bahasa), “kufur” artinya menutupi atau menyembunyikan.Orang yang bersikap ‘kufur’ disebut kafir, yaitu orang yang menutupi hatinya dari hidayah Allah.Malam juga disebut ‘kafir’ karena malam menutupi orang dan benda-benda lain dengan kegelapannya.Mereka juga menyebut petani dengan kata kafir, karena petani itu menutup (menanam) benih dalam tanah.
            Sama dengan pengertian ini dalam firman Allah yang artinya:“Ketahuilah bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megah antara kamu dan berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani.” (QS. Al-Hadid: 20)
Kata kuffar dalam ayat ini berarti petani. Orang-orang yang keluar dari landasan Islam dinamakan kafir, karena dia melihat dalil-dalil tauhid dihadapannya dan sesuatu yang mendorongnya agar beriman kepada Allah, tetapi dia tetap berbuat dalam kebatilan dan kekufurannya,seolah-olah dia tidak dapat melihat dalil-daliltersebut.
Adapun pengertian kufur yang diambil dari Ensiklopedi Islam, yaitu :
Al-Kufr (tertutup) atau tersembunyi, mengalami perluasan makna menjadi “ingkar” atau tidak percaya, ketidakpercayaan kepada Tuhan.
Kata kafir mengisyaratkan usaha keras untuk menolak bukti-bukti kebenaran Tuhan, yakni sebuah kehendak untuk mengingkari Tuhan, sengaja tidak mensyukuri kehidupan dan mengingkari wahyu.
Izzuddin bin Abdissalam berkata, bahwa ada tiga hal yang menyebabkan seseorang mukmin menjadi kafir, yaitu :
a.       Beriman seperti iman orang kafir, misalnya tidak mengakui adanya Allah Yang Maha Esa dan kerasulan Nabi Muhammad SAW.
b.      Ucapan atau perbuatan yang hanya dilakukan oleh orang kafir, seperti membuang al-Qur’an dengan sengaja, pergi ke Gereja untuk beribadat, atau sujud kepada berhala.
c.       Mengingkari akan apa yang jelas diketahui sebagai ajaran agama, seperti mengingkari wajib shalat, wajib puasa, wajib haji dan sebagainya. Dan juga menghalalkan minum khoer, berjudi, zina dan sebagainya.
      Demikianlah pengerian kufur dalam dua macam: kufur akidah dan kufur amaliyah yang disebut juga kufur nikmat. Dalam al-Quran istilah kafir mempunyai pelbagai bentuk dan manifestasinya, yaitu :
a.    Kafir ingkar, yaitu orang yang mengingkari kebenaran ajaran al-Quran, baik hal itu disadari sebagai suatu kebenaran atau belum disadarinya.
b.    Kafir inad, yaitu orang yang tidak mau menerima kebenaran, walaupun ia menyadari bahwa itu adalah kebenaran.
c.    Kafir juhud, yaitu orang yang mengingkari kebenaran, sedangkan ia tahu bahwa itu adalah benar.
d.   Kafir nifaq, yaitu orang yang pura-pura menampakkan kebaikan, tetapi di dalam hatinya berisi kejahatan. Secara lahiriyah nampak Islam, tetapi hakikat isi hatinya mengingkari kebenaran ajaran Islam.
e.    Kafir harbi, artinya kata harbi berlaku dalam hukum perang. Hal ini terjadi jika pihak musuh orang kafir yang dihadapinya belum menyerahkan diri atau belum mau menerima perdamaian atau perjanjian dengan kaum muslimin.
f.     Kafir zimmi, arti kata zimmi yaitu tanggungan kaum muslimin. Hal ini berlaku dalam wilayah yang dikuasai oleh perdamaian atau perjanjian yang diberikan oleh kaum muslimin.
Menurut referensi lain, sesuatu yang menyebabkan seseorang menjadi kafir adalah:
1) Mengingkari rububiyah Allah SWT. atau sesuatu dari kekhususan-kekhususan-Nya, atau mengaku memiliki sesuatu dari kekhususan tersebut atau membenarkan orang yang mengakuinya.
2) Sombong serta menolak beribadah kepada Allah SWT.
3) Menjadikan perantara dan penolong yang ia sembah atau ia mintai (pertolongan) selain Allah SWT.
4) Menolak sesuatu yang ditetapkan Allah SWT. untuk diri-Nya atau yang ditetapkan
oleh Rasul-Nya.
5) Mendustakan Rasulullah tentang sesuatu yang ia bawa.
6) Berkeyakinan bahwa petunjuk Rasulullah tidak sempurna atau menolak suatu hukum syara’ yang telah Allah SWT. turunkan kepadanya, atau meyakini bahwa selain hukum Allah SWT. itu lebih baik, lebih sempurna dan lebih memenuhi hajat manusia, atau meyakini kesamaan hukum Allah SWT. dan Rasul-Nya dengan hukum selainnya, atau meyakini dibolehkannya berhukum dengan selain hukum Allah SWT.
7) Tidak mau mengafirkan orang-orang musyrik atau ragu tentang kekafiran mereka, sebab hal itu berarti meragukan apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW.
Mengolok-olok atau mengejek Allah SWT. atau Al-Quran atau agama Islam atau pahala dan siksa dan yang sejenisnya, ayau mengolok-olok Rasulullah SAW. atau seorang nabi, baik itu gurauan atau sungguhan.
8) Membantu orang musyrik atau menolong mereka untuk memusuhi orang muslim.
9) Meyakini bahwa orang-orang tertentu boleh keluar dari ajaran Rasulullah SAW., dan tidak wajib mengikuti ajaran beliau.
10) Berpaling dari agama Allah SWT., tidak mau mempelajarinya, serta tidak mau mengamalkannya.





2.3    Perbandingan Iman dan Kufur Menurut Aliran-Aliran Teologi Islam

a. Aliran Khawarij
Sebagai kelompok yang lahir dari peristiwa politik, pendiri teologi khawarij terutama masalah iman dan kufur lebih bertendensi politik ketimbang ilmiah-teoritis. Kebenaran pernyataan ini tak dapat disangkal karena, seperti yang telah diungkapkan sejarah mula-mula memunculkan persoalan teologis seputar masalah, “apakah ali dan pendukungnya adalah kafir atau tetap mukmin?” “apakah mu’awiyah dan pendukungnya adalah kafir atau tetap mukmin?”. Jawaban atas pertanyaan ini kemudian menjadi pijakan atas dasar dari teologi mereka. Menurut mereka Ali dan Mu’awiyah beserta para pendukungnya telah melakukan tahkim kepada manusia, berarti mereka telah melakukan dosa besar. Dan semua pelaku dosa besar (mutabb al-kabirah), menurut semua subsekte khawarij, kecuali Najdah, adalah kafir dan akan disiksa selamanya.
Iman dalam pandangan golongan khawarij, tidak semata-mata percaya kepada Allah.Mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan.Segala perbuatan yang berbau religius, termasuk di dalamnya masalah kekuasaan.
Kekuasaan adalah bagian dari keimanan (al-amal juz’un al-iman). Dengan demikian siapapun yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah dan bahwa Muhammad adalah rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban agama dan malah melakukan perbuatan dosa, ia dipandang kafir oleh khawarij.
Berikut pokok-pokok ajaran Khawarij dibidang teologi, yaitu:
1) Orang mukmin yang berbuat dosa besar adalah kafir dan telah keluar dari Islam dan wajib dibunuh.
Karena itu kemudian Khawarij mengartikan iman adalah amal shalih. Jadi seorang mukmin adalah orang yang melakukan amal shalih dan jika yang dilakukan amalan dosa besar, maka ia dipandang tidak beriman lagi, ia telah kafir, wajib dilaknat (dibunuh).
2) Ibadah termasuk ruun iman, maka orang yang tarikussholat dinyatakan kafir.
3) Anak-anak orang kafir yang mati waktu kecilnya juga masuk neraka.

b.    Aliran Murji’ah
Pada dasarnya, aliran Murji’ah menjatuhkan hukum mukmin bagi orang yang berbuat dosa besar.Adapun soal dosa besar yang mereka buat, itu ditunda penyelesaiannya ke hari perhitungan kelak.Argumentasi yang mereka ajukan dalam hal ini ialah bahwa orang Islam yang berdosa besar itu tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa nabi Muhammad adalah Rasul-Nya. Dengan kata lain, orang serupa itu tetap mengucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang yang berdosa besar menurut pendapat aliran ini tetap mukmin dan tidak kafir.
Berdasarkan pandangan mereka tentang iman, Abu Al-Hasan Al-Asy’ari mengklasifikasikan aliran teologi Murji’ah menjadi 12 subsekte, yaitu:
a)Al-jahmiyah
b)Ash-salihiyah
c)Al-yunusiyah
d)Asy-syimriyah
e)As-saubaniyah
f)An-najjariyah
g)Al-kailaniyah bin syabib
h) Abu hanifah
i)At-tumaniyah
j)Al-marisiyah
k)Al-karramiyah
Sementara itu, Harun Nasution dan Abu Zahra membedakan Murji’ah menjadi 2 kelompok, yaitu:
a) Murji’ah moderat (Murji’ah Sunnah) yaitu mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal di dalamnya, bergantung pada dosa yang dilakukannya. Ciri khas mereka lainnya adalah dimasukkannya ikrar sebagai bagian penting dari iman, di samping tashdiq (ma’rifah).Golongan Murji’ah moderat selaku golongan yang berdiri sendiri telah lenyap dalam sejarah, sedang ajaran-ajarannya tentang iman, kufur, dan dosa besar bersatu dalam aliran “Ahlu Sunnah wal Jama’ah”.
b) Murji’ah ekstrim (Murji’ah Bid’ah) yaitu mereka yang berpendapat bahwa keimanan terletak di dalam qalbu. Diantara kalangan Murji’ah yang berpendapat senada adalah subsekte Al-jahmiyah, Ash-salihiyah dan Al-yunusiyah.Mereka berpendapat bahwa iman adalah tashdiq (secara qolbu) atau ma’rifah (mengetahui). Oleh karena itu, jika seseorang telah beriman dalam hatinya, ia tetap dipandang sebagai orang mukmin sekalipun menampakkan seperti Yahudi atau Nasrani. Hal ini disebabkan oleh keyakinan Murji’ah bahwa ikrar dan amal bukanlah bagian dari iman. Adapun golongan Murji’ah ekstrim sebagai golongan yang berdiri sendiri juga telah musnah dalam sejarah, namun dalam praktek masih ada sebagian mat Islam yang masih melakukan ajaran-ajarannya dengan tidak sadar.
Satu hal yang patut dicatat adalah seluruh subsekte Murji’ah yang disebutkan oleh Al-Asy’ari kecuali As-aubaniyah, At-tumuniyah, dan Al-karamiyah memasukkan unsur ma’rifah (pengetahuan) dalam konsep iman mereka. Pertanyaannya, apa yang mereka maksudkan dengan ma’rifah? Mereka beranggapam bahwa yang dimaksud dengan ma’rifah adalah cinta kepada Tuhan dan tunduk kepada-Nya (al-mahabbah wa al-khudu).Jadi, pokok pikiran aliran Murji’ah adalah:
a) Iman adalah mengenal Tuhan dan Rasul-rasul-Nya, dan bila seseorang telah mengenal Tuhan dan Rasul-rasul-Nya maka oran itu sudah dianggap mukmin.
b) Orang yang beriman dalam hatinya bila berbuat dosa besar orang tersebut masih tetap mukmin.
c) Orang yang beriman bila ia berbuat dosa, maka hukum baginya ditangguhkan atau menunggu sampai kemuka Tuhan pada hari kiamat.
c. Aliran Mu’tazilah
Kemunculan aliran Mu’tazilah dalam pemikiran teologi Islam diawali oleh masalah yang hampir sama dengan kedua aliran yang telah di jelaskan di atas, yaitu mengenai status pelaku dosa besar. Apakah masih beriman atau telah menjadi kafir.Bila Khawarij mengkafirkan pelaku dosa besar dan Murj’iah memelihara keimanan pelaku dosa, Mu’tazilah tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, Apakah tetap mukmin ataukah kafir, kecuali dengan sebutan yang terkenal yaitu al-manzilah bain al-manzilataini.Setiap pelaku dosa besar menurut Mu’tazilah menempati posisi tengah di antara posisi mukmin dan posisi kafir. Jika meninggal dunia sebelum bertaubat, ia akan di masukkan kedalam neraka selama-lamanya. Namun siksaan yang bakal diterimanya lebih ringan di banding siksaan orang kafir.Menurut pandangan Mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai mukmin secara mutlak.Hal ini karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada Tuhan, tidak cukup hanya pengakuan dan pembenaran.Berdosa besar bukanlah kepatuhan melainkan kedurhakaan. Pelakunya tidak dapat dikatakan kafir secara mutlak karena ia masih percaya kepada Tuhan, rasul-Nya, dan mengerjakan pekerjaan yang baik. Hanya saja kalau meninggal sebelum bertaubat, ia dimasukkan ke neraka dan kekal didalamnya. Orang mukmin masuk suga dan orang kafir masuk neraka.Orang fasik pun dimasukkan ke neraka, hanya saja siksaannya lebih ringan dari orang kafir. Mengapa ia tidak dimasukkan ke surge dari kelas yang lebih rendah dari mukmin sejati? Tampaknya disini Mu’tazilah ingin mendorong agar manusia tidak menyepelekan perbuatan dosa, apalagi dosa besar.
Menurut Wshil bin Atho’, orang yang berdosa besar bukan kafir, sebagai disebut kaum Khawarij, dan bukan pula mukmin sebagai dikatakan Murji’ah, tetapi fasiq yang menduduki posisi diantara posisi mukmin dan kafir. Kata mukmin, dalam pendapat Washil, merupakan sifat baik dan nama pujian yang tak dapat diberikan kepada fasiq dengan dosa besarnya. Tetapi predikat kafir tidak pula dapat diberikan kepadanya, karena dibalik dosa besar, ia masih mengucapkan syahadat dan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik. Orang serupa ini, kalau meninggal dunia tanpa taubat, akan kekal dalam neraka; hanya siksaan yang diterimanya lebih ringan dari siksaan yang diterima kafir.
Aspek penting lainnya dalam konsep Mu’tazilah tentang iman adalah apa yang mereka identifikasikan sebagai ma’rifah (pengetahuan dan akal). Ma’rifah menjadi unsur yang tak kalah penting dari iman karena pandangan Mu’tazilah yang bercorak rasional. Ma’rifah sebagai unsur pokok yang rasional dari iman berimplikasi pada setiap penolakan keimanan berdasarkan otoritas orang lain (al-iman bi al-taqlid). Disini terlihat bahwa Mu’tazilah sangat menekankan pentingnya pemikiran logis atau penggunaaan akal bagi keimanan.Harun Nasution menjelaskan bahwa menurut Mu’tazilah, segala pengetahuan dapat di peroleh dengan perantaraan akal dan segala kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian, menurut mereka, iman seseorang dapat dikatakan benar apabila di dasarkan pada akal bukan karena taqlid kepada orang lain.
Mengenai apa saja yang dikatagorikan sebagai dosa besar, aliran Mu’tazilah agaknya merumuskan secara lebih konseptual ketimbang aliran Khawarij. Yang di maksud dengan dosa besar, menurut mereka adalah segala perbuatan yang ancamannya disebutkan secara tegas dalam Nash.Tampaknya kelompok ini menjadikan ancaman sebagai kriteria dasar bagi dosa besar maupun kecil.
Masalah fluktuasi iman, yang merupakan persoalan teologi yang di wariskan aliran Murji’ah, disinggung pula oleh Mu’tazilah.Aliran ini berpendapat bahwa manakala seseorang meningkatkan dan melaksanakan amal kebaikannya, imannya semakin bertambah. Setiap kali ia berbuat maksiat, imannya semakin berkurang. Kenyataan ini dapat dipahami mengingat Mu’tazilah, seperti halnya Khawarij, memasukkan unsur amal sebagai unsur penting dari iman ( al-amal juz’un min al-iman).
c.    Aliran Asy’ariyah
Agak pelit untuk memahami makna iman yang di berikan oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari sebab, di dalam karya-karyanya seperti Maqolat, Al-Ibanah dan Al-Luma, ia mendefinisikan iman secara berbeda-beda. Dalam Maqolat dan Al-Ibanah di sebutkan bahwa iman adalah Qawl, amal dan dapat bertambah secara berkurang.Dalam Al-Luma iman di artikannya sebagai tashdiq bi Allah.
Aliran Mu’tazilah mengatakan apabila pembuat dosa besar tidak bertaubat dari dosanya itu, meskipun ia mempunyai iman dan ketaatan, tidak akan keluar dari neraka. Aliran Murji’ah mengatakan siapa yang iman kepada Tuhan dan mengikhlaskan diri kepada-Nya, maka bagaimanapun besar dosa yang dikerjakannya, namun tidak akan mempengaruhi imannya, datanglah Al-Asy’ari mengatakan bahwa orang mukmin yang mengesakan Tuhan tetapi fasik, terserah kepada Tuhan, apakah akan diampuni-Nya dan langsung masuk surga atau akan dijatuhi siksa karena kefasikannya, tetapi kemudian dimasukkan-Nya kedalam surga.
Bagi aliran Asy’ariyah, dengan keyakinan mereka bahwa akal manusia tidak bisa sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan, iman tidak bisa merupakan ma’rifah atau ‘amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban itu hanya melalui wahyu. Wahyulah yang mengatakan dan menerangkan kepada manusia, bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan, dan manusia harus menerima kebenaran berita ini. Oleh karena itu, iman bagi aliran Asy’ariyah adalah tashdiq, dan batasan iman, sebagai diberikan Al-Asy’ari, attashdiq billah, yaitu meneriman sebagai benar kabar tentang adanya Tuhan, rasul-rasul dan berita yang mereka bawa; tashdiq tidak sempurna jika tidak disertai oleh pengetahuan. Bagaimanapun, iman hanyalah tasdiq dan pengetahuan tidak timbul kecuali setalah datangnya kabar yang dibawa wahyu.
Diantara definisi iman yang di inginkan Al-Asy’ari di jelaskan oleh Asy-Syahrastani, salah seorang teologi Asy’irah. Asy-Syahrastani menulis :“Al-Asy’ari berkata,”…..Iman (secara essential) adalah Tashdiq bial-jannah (membenar dengan kalbu).Sedangkan ‘mengatakan’ (qawl) dengan lisan dan melakukananya berbagai kewajiban utama (amal bi al-arkan) hanyalah merpakan furu (cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang membenarkan keesaan Tuhan dengan kalbunya dan juga membenarkan utusan-utusanNya beserta apa yang mereka bawa darinya, iman orang semacam itu merupakan iman orang yang sahih. Dan keimanan seorang tidak akan hilang kecuali jika ia mengingkari salahsatu dari hal-hal tersebut .
“Keterangan Asy-Syahrani di atas, di samping mengonvergensikan kedua definisi yang berbeda yang diberikan Al-Asy’ari dalam Maqalat, Al-Ibanah, dan Al-Luma kepada satu titik pertemuan, juga menempatkan ketiga unsur iman itu (tashdiq, qawl, dan amal) ada posisinya masing-masing. Jadi, bagi Al-Asy’ari dan juga Asy’ariyah, persyaratan minimal untuk adanya iman hanyalah tashdiq, yang jika diekpresikan secara verbal berbentuk syahadatain.
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah.Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur, predikat salah seorang haruslah salah satu diantaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.
d.   Aliran Maturidiyah
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah samarkhan berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al lisan.Pengertian ini dikemukakan oleh Al-Maturidi sebagai bantahan terhadap Al-Karamiyah, salah satu subsekte Murji’ah.Ia berargumentasi dengan ayat Al-Quran surat Al-Hujurat 14.Ayat tersebut dipahami oleh Al-Maturidi sebagai suatu penegasan bahwa keimanan itu tidak cukup hanya dengan perkataan semata, tanpa diimani pula oleh kalbu.Apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi baal bila hati tidak mengakui ucapan lidah. Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal didalam neraka walaupun ia mati sebelum bertaubat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal didalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya akan kekal didalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad. Menurut Al’Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali hanya menambah atau mengurangi sifatnya saja.
Al-Maturidi tidak berhenti sampai disitu. Menurut tashdiq, seperti yang dipahami diatas , harus diperoleh dari ma’rifah. Tashdiq hasil dari ma’rifah ini didapat melalui penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu. Lebih lanjut, Al- Maturidi mendasari pandangannya pada dalil naqli surat Al-Baqarah tersebut dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang yang sudah mati. Permintaan Ibrahim tersebut, lanjut Al-Maturidi, tidaklah berarti Ibrahim belum beriman.Akan tetapi, Ibrahim mengharapkan agar iman yang dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah. Meskipun demikian, ma’rifah menurutnya sama sekali bukan berarti esensi iman, melainkan faktor penyebab kehadiran iman. Adapun pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang dijelaskan oleh Al-bazdawi, adalah tashdiq bi al qalb dan tashdiq bi al-lisan.Lebih lanjut dijelaskan bahwa tashdiq bi al qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan utus-utusannya beserta risalah yang dibawanya. Adapun seluruh pokok ajaran islam secara verbal. Pendapat ini tampaknya tidak banyak berbeda dengan Asy’ariyah, yaitu sama-sama menempatkan tashdiq sebagai unsur esensial dari keimanan walaupun dengan pengungkapan yang berbeda.Dari penelaahan karya Al-Maturidi, penulis tidak menemukan pendapatnya yang berkenaan dengan masalah fluktuasi iman. Meskipun demikian, komentarnya terhadap Al-Fiqh Al-Akbar, karya Abu Hanifah tentang fluktuasi iman, dapat dijadikan referensi sebagai pendapatnya sendiri. Al-Maturidi tidak mengakui adanya fluktuasi iman.Meskipun demikian, berbeda dengan Abu Hanifah, Al-Maturidi menerima adanya perbedaan individual dalam iman.Hal itu dibuktikan dengan sikap penerimaannya terhadap hadis Nabi SAW yang menyatakan bahwa skala iman Abu Bakar lebih berat dan lebih besar dari pada skala iman seluruh manusia.Maturidiyah Bukhara mengembangkan pendapat yang berbeda.Al-Bazdawi menyatakan bahwa iman tidak dapat berkurang, tetapi bisa bertambah dengan adanya ibadah-ibadah yang dilakukan.Al-Bazdawi menegaskan hal tersebut dengan membuat analogi bahwa ibadah-ibadah yang dilakukan berfungsi sebagai bayangan dari iman. Jika bayangan itu hilang, esensi yang digambarkan oleh bayangan itu tidak akan berkurang. Sebaliknya, dengan kehadiran bayang-bayang (ibadah) itu, iman justru menjadi bertambah.
2.4    Macam-macam Kufur
Kufur Aqidah, ialah mengingkari akan apa yang wajib diimani, seperti iman kepada Allah, iman kepada Rasul, iman kepada Hari Akhirat, iman kepada Qodo dan Qodar, dan lain-lain. Firman Allah dalam surat an-Nisa / 4 : 136
وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيدًا
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”
Dalam kufur aqidah pun ada dua macam, yaitu:Kufur asli yakni orang belum pernah beriman ia menganut ajaran atau kepercayaan yang selain Islam. Kita wajib untuk mengajak orang tersebut untuk beriman kepada Allah dan menganut agama Islam, tetapi tidak boleh mengancam atau memaksa mereka untuk menyembah Allah dan memaksa mereka menganut Islam karena keimanan adalah hidayah dari Allah yang diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya. Bahkan rasul pun tak dapat membuat pamannya Abu Thalib untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Murtad yaitu orang yang telah beriman dengan agama Islam, lalu ia keluar dari iman itu dengan memeluk agama lain. Kufur aqidah yang seperti ini dapat menyebabkan orang kekal dalam neraka. Jadi, kufur aqidah ialah tidak beriman kepada apa yang dengan jelas dan pasti sudah ditetapkan sebagai ajaran agama, seperti tidak beriman kepada rukun-rukun iman yang enam perkara itu. Juga orang dapat menjadi kafir aqidah karena mengingkari kewajiban agama yang telah pasti ketetapannya seperti mengingkari wajib shalat, wajib puasa, dan lain sebagainya.
2.5Analisa
Berdasarkan paparan di atas, jelaslah bahwa dalam konsep iman dan kufur terdapat perbedaan pendapat di antara aliran-aliran teologi Islam.Perbedaan itu, sedikit banyak dipengaruhi oleh teori kekuatan akal dan fungsi wahyu.Bagi aliran-aliran yang berpendapat bahwa akal mencapai kewajiban mengetahui Tuhan (KMT), iman melibatkan ma’rifat di dalamnya.Dengan demikian, kita melihat Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand tergolong dalam kelompok ini karena menyebutkan ma’rifah dalam konsep iman dan mereka berpendapat bahwa akal dapat mencapai KMT. Adapun Murji’ah tidak dapat dikategorikan dalam kelompok ini sebab meskipun mereka menyebut ma’rifah ,yang dimaksudkannya bukanlah ma’rifah bi al-qalb.
Sebaliknya, aliran-aliran yang tudak berpendapat bahwa akal dapat mencapai KMT, iman dalam konsep mereka tidak melibatkan ma’rifah di dalamnya. Hal ini dapat kita temukan dalam aliran asy’ari, maturidiyah Bukhara.Aliran khawarij, karena corak pemikiran kalam mereka lebih bertendensi politik ketimbang intelektual, termasuk dalam kategori kelompok ini.
Aliran –aliran yang mengintegrasikan amal sebagai salah satu unsur keimanan, yakni mu’tazilah dan khawarij, memandang bahwa iman dapat bertambah atau berkurang.Sementara aliran-aliran yang tidak memasukkan amal sebagai unsur dari iman, seperti murji’ah, asy’ariyah, maturidiyah Samarkand dan maturidiyah Bukhara.Kalaupun iman dapat dikatakan bertambah atau berkurang, hal itu terjadi pada segi sifatnya.
Konsekuensi penting lainnya dari pernyataan bahwa amal merupakan unsur penting dari iman adalah pandangan yang tegas terhadap kewajiban menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar dengan segala kemampuan yang dimiliki berdasarkan hadits Rasulullah SAW. Tentang amar ma’ruf nahi munkar, jelaslah bahwa aliran-aliran teologi islam yang memasukkan empat unsur pokok kedalam konsep iman memiliki keimanan yang paling kokoh. Sebaliknya, aliran-aliran yang hanya mengakui satu unsur pokok di dalam konsep iman menghasilkan iman yang paling lemah.

















BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
            Dari uraian dan analisis yang telah kami tulis, maka kami menyimpulkan sebagai berikut:
1.      Iman dari segi lughat adalah pembenaran sedangkan dari segi istilah iman ialah pembenaran atau pengakuan hati dengan penuh yakin tanpa ragu-ragu akan apa segala yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
2.      Kufur artinya menutupi, tertutup, tersembunyi, ketidak percayaan kepada Tuhan
3.      Macam-macam kufur, ada kufur akidah dan kufur amaliyah, dan macam-macam kafir ada kafir ingkar, kafir inad, kafir junud dan lain-lain.
4.      Golongan Mu’tazilah mengklaim bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar dan mati sebelum bertaubat, maka orang tersebut dihukumi fasiq.
5.      Golongan Khawarij berpendapat bahwa iman tidak hanya dilisan dan hati saja, tetapi harus diwujudkan dalam perbuatan / akhlak kita sehari-hari, dan orang yang tidak melakukan rukun Islam termasuk kafir. Sedangkan golongan Ahlu Sunnah, iman adalah mengikrarkan dengan lisan dan membenarkan dengan hati dan orang yang melakukan dosa besar dan mati sebelum bertaubat, maka orang tersebut tetap mukmin.
6.      Pokok pikiran aliran Murji’ah adalah orang yang beriman dalam hatinya bila ia berbuat dosa besar orang tersebut masih tetap mukmin, dan orang yang beriman jika ia melakukan dosa besar maka hukum baginya akan ditangguhkan atau menunggu sampai kehadapan Tuhan pada hari kiamat kelak.
7.      Al-Asy’ariyah berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.
8.      Al-Maturidiyah berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar tidaklah kafir dan tidak kekal dalam neraka meski ia meninggal sebelum bertaubat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar