Translate

Jumat, 20 Desember 2013

Kaidah-Kaidah dalam Al-qur'an



BAB II

            PEMBAHASAN

1.1  Pengertian Qawa’id al-tafsir
A.    pengertian Qawa’id al-tafsir
Qawa’id al-tafsir merupakan kata majemuk; terdiri dari kata qawa’id dan kata Al-tafsir. Qaw’id merupakan bentuk jamak dari kata qa’idah atau kata kaidah dalam bahasa Indonesia. Kata qa’idah sendiri, secara semantik, berarti asas, dasar, pedoman atau prinsip.
Sedangkan al-tafsir adalah keterangan atau penjelasan mengenai makna-makna Al-Quran sebagai wahyu Allah SWT. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa qawa’id al-tafsir adalah dasar-dasar, pedoman-pedoman, prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah yang digunakan agar isi atau kandungan serta pesan-pesan Al-Quran dapat ditangkapdan dipahami secara baik sesuai tingkat kemampuan.
Qawa’id al-tafsir sebagaimana yang telah dikemukakan oleh M.Quraish Shihab, mencakup beberapa komponen .pertama, ketentuan-ketentuandalam menafsirkan Al-quran. Kedua, sistematika penafsiran. Ketiga, aturan-aturan khusus untuk membantu dakam penafsiran Al-quran, seperti bahasa, ushul fiqih, dan lain-lain. Dalam hal ini para mufassir mengingatkan agar dalam menafsirkan Al-Quran seseorang harus memperhatikan aspek-aspek bahasa Al-quran serta korelasi (al-munasabah) anatar surat tanpa mengabaikan kaidah-kaidah kebahasaan. Kekeliruan-kekeliruan atau penyimpangan-penyimpangan dalam menafsirkan Al-quran, diantaranya, karena para mufassir tidak memperhatikan kaidah kebahasaan.
B.     Ketentuan-ketentuan dalam menafsirkan Al-Quran
Dalam upaya menafsikan dan memahami ayat-ayat Al-quran secara baik dan komprehensif, diperlukan syarat-syarat khusus bagi seseorang mufasir, baik yang menyangkut kepribadian (personality), kemampuan akademis maupun kemampuan teknik operasional penafsiran. Syarat-syarat yang dimaksud sebagai berikut:
1.      Seorang mufasir harus memiliki kepribadian yang mulia , memiliki dasar-dasar keimanan yang mantap dan jiwa yang bersih. Menurut Rasyid Ridha, Al-quran hanya dapat dipahami oleh orang yang mengkonsentrasikan mata, wajah dan hatinya dalam membacanya, baik didalam maupun diluar shalat. Selain itu, harus disertai pula ketakwaan kepada Allah SWT  karena Al-Quran merupakan petunjuk bagi orang yang bertakwa, sebagaimana firman Allah :
y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ
2.  Kitab[1] (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa[2],

[1]  Tuhan menamakan Al Quran dengan Al Kitab yang di sini berarti yang ditulis, sebagai isyarat bahwa Al Quran diperintahkan untuk ditulis.
[2]  takwa yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-perintah-Nya; dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya; tidak cukup diartikan dengan takut saja.
2. seorang mufasir harus mengetahui dan menguasai bahasa Arab dan cabang-cabangnya. Hal ini penting agar benar-benar dapat dipahami makna-makna dan hukum-hukum ayat, hakiki dan majazinya, mubham mujmalnya, ‘am dan khasnya, mutlaq dan muqayyadnya, dan lain-lainya.
3. seorang mufasir harus mengetahui pokok-pokok ulumul Quran, seperti ilmu Qiraat, ilmu asbab an-nuzul, ilmu nasikh dan mansukh, ilmu muhkam dan mutasyabihnya, ilmu al-makiy dan madaninya dan sebagainya. Melalui ilmu-ilmu ini, dapat dijelaskan arti-arti dan maksud ayat-ayat Al-quran dengan baik dan benar.
4. seorang mufasir harus menempuh langkah-langkah sistematis dalam menafsirkan Al-quran. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Mannâ’ al-Qaththân, bahwa penafsiran dalam Al-quran diperlukan langkah-langkah sistematis agar menghasilkan penafsiran secara baik dan benar.
5. seorang mufasir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-quran hendaknya mengambil referensi ( rujukan) dari tafsir-tafsir yang mu’tabar (qualivied) untuk dianalisis secara kritis dan dikomparasikan dengan tafsir-tafsir lainya. Dengan langkkah terakhir ini diharapkan dalam penafsiran Al-quran penuh ketelitian untuk menghasilkan produk tafsir yang komperehensif.
Dari keseluruhan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan diatas, Muhammad Abduh mengikhtisarkan syarat-syarat tersebut. Sebagaimana yang dikatakannya bahwa mufasir pertama-tama harus memahami setiap kata yang ada dalam Al-quran. Disamping itu, sebagai ditambahkannya, seorang mufasir harus mencapai ilmu kemasyarakatan ( sosiologi) dan ilmu yang menyangkut hal ihwal manusia, terutama menyangkut orang-orang Arab paada masa dinuzulkan Al-quran dan sessudahnya.
C.    Sistematika Penafsiran Al-quran
Secara singkat dappat dikemukakan bahwa sistematika ( manhaj) penafsiran Al-quran sebagai berikut:
1.      Sistematika sederhana (al-manḫaj al-basîth)
Sistematika ini hanya mengemukakan aspek-aspek penafsiran, yang biasanya, hanya memberi kata-kata sinonim (murâdif) dari lafal-lafal ayat yang sukar serta sedikit penjelasan ringkas. Sistematika ini dapat dijumpai pada penafsiran nabi dan para sahabatnya yang hanya member keterangan tentang maksud kata ayat-ayat sukar saja.
2.      Sistematika sedang (al-manḫaj al-wasîth)
Sistematika ini dalam menjelaskan ayat-ayat Al-quran menggunakan dua atau tiga segi penafsiran saja, misalnya hanya menerangkan kata-kata mufradat, sebab nuzul ayat dan sedikit tafsiran kalimat-kalimatnya. Sistematika ini digunakan para shahabat dan tabi’in, yang mulai menambahkan sedikit keterangan yang disisipkan ditengah-tengah ayat Al-quran.
3.      Sistematika lengkap (al-manḫaj al-mabsȗth)
Sistematika ini menyangkut penafsiran ayat; mulai dari mufradat, i’rab dan bacaanya, relevansi(al-munâsabah) ayat, makna ringkasnya dan pengistimbatan hukum-hukum yang dikandungnya serta hikmah dari disyariatkannya hukum-hukum tersebut. Sistematika ini digunakan oleh para tabi’in dan para ulama mutaqaddimin pada umumnya.



D.    Macam-macam penafsiran Al-quran
Dalam penafsiran Alquran ini, sedikitnya ada tiga macam kaidah yang berlaku, yaitu kaidah dasar, kaidah syar’i dan kaidah kebahasaan. Mengingat keterbatasan penulisan sendiri, maka ketiga kaidah ini hanya dibahas secara singkat saja.
1.      Kaidah dasar penafsiran
Kaidah dasar penafsiran yang dimaksud dalam tulisan ini mencakup penafsiran Al-quran dengan Al-quran, Al-quran dengan Hadits Nabi, penafsiran Al-quran dengan pendapat shahabat, penafsiran Al-quran dengan pendapat tabi’in.
2.      Kaidah Syar’i
Penafsiran Al-quran bias menggunakan kaidah syar’i, jika sumber pertama, sebagai terdapat dalam kaidah dasar tidak dapat ditemukan, melalui ijtihad dan istimbath. Adapun yang termasuk kaidah-kaidah syar’i itu, diantaranya: manthȗq dan mafḫȗm, muthlâq dan muqayyad, mujmal dan mufashal, dan sebagainya yang biasanya dikenal oleh ulama-ulama ushul.
3.       Kaidah kebahasaan
Sebagai halnya kaidah syar’i, kaidah kebahasaan merupakan alternative untuk dijadikan sumber penafsiran Al-quran jika ayat Al-quran, hadist, pendapat shahabat, pendapat tabi’in telah ditemukan. Kaidah-kaidah yang dimaksud mencakup kaidah isim dan fi’il, kaidah amr dan nahy, kaidah istifham, kaidah dhamir, kaidah mufrad dan jama’, kaidah mudzakkar dan muannats, kaidah taqdîm dan ta’khîr, kaidah wujȗḫ dan nazhâir, kaidah syarth dan jawâb, dan kaidah-kaidah kebahasaan lainnya.
Kaidah penafsiran dengan menggunakan kaidah syar’I dan bahasa ini tidak sevalid penafsiran dengan menggunakan kaidah-kaidah dasar. Alasannya, penafsiran tersebut menggunakan daya nalar (ijtihad) yang akurasi maknanya terkadang bersifat ambiguitif.
a.       Kaidah Isim dan fi’il
Jumlah ismiyah atau kalimat nominal mmenunjukkan arti subut (tetap) dan istimrâr (terus-menerus), sedang jumlah fi’liyah atau kalimat verba menujjukkan arti tajaddud (timbulnya sesuatu) dan hudȗs (temporal). Masing-masing kalimat ini mempunyai tempat tersendiri yang tidak bisa ditempai oleh yang lain. Misalnya infâq yang diungkapkan dengan kalimat verbal, seperti pada surat Ali-Imran ayat 134.
tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZムÎû Ïä!#§Žœ£9$# Ïä!#§ŽœØ9$#ur tûüÏJÏà»x6ø9$#ur xáøtóø9$# tûüÏù$yèø9$#ur Ç`tã Ĩ$¨Y9$# 3 ª!$#ur =Ïtä šúüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÌÍÈ    
134.  (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Hal ini karena infaq merupakan suatu perbuatan yang bersifat temporal yang terkadang ada dan terkadang tidak ada. Lain halnya dengan iman yang dicontohkan dalam bentuk isim fa’il, menunjukkan sesuatu yang bersifat tetap dan permanen. Seperti dalam Al-quran surat Al-Hujurat ayat 15.
$yJ¯RÎ) šcqãYÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur §NèO öNs9 (#qç/$s?ötƒ (#rßyg»y_ur öNÎgÏ9ºuqøBr'Î/ óOÎgÅ¡àÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNèd šcqè%Ï»¢Á9$# ÇÊÎÈ
15.  Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar.

Yang dimaksud tajaddud dalam fi’il madi (kata kerja masa lampau) ialah perbuatan itu timbul tenggelam, kadang ada dan terkadang tidak ada. Sedang dalam fi’il mudhari’(kata kerja masa kini atau masa akan datang). Perbuatan itu terjadi berulang-ulang. Fi’il atau kata kerja yang tidak dinyatakan secara jelas dalam hal ini sama halnya dengan fi’il yang dinyatakan secara jelas. Karena hal itupara ulama’ berpendapat.

b. Kaidah Amr dan Nahy
Amr berarti perintah atau suruhan. Secara terminologis, amr berarti tuntutan melakukan perbuatan dari yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah kedudukannya, menurut Khalid ‘Abd al- Rahman, amr adalah kata yang menunjukkan permintaan melakukan apa yang disuruh dari arah yang lebih tinggi (Allah) kepada yang lebih rendah(makhluk).
1. Bentuk-bentuk (shiyag) amr
Bentuk-bentuk amrdalam Al-Qur’an sangat beragam.
a. Amr menggunakan fi’il amr seperti kata dalam surat al-Nisa ayat 4;
b. Amr  yang menggunakan fi’il mudhari yang didahului lam al-amr, seperti dalam surat Ali’imran ayat 104;
c. Amr menggunakan isim fi’il amr(kata benda yang bermakna kata kerja), seperti kata dalam surat al- Maidah ayat 105;
d. Amr menggunakan mashdar pengganti fi’il, seperti kata dalam surat al-Baqarah ayat 83;
e. Amr menggunakan kalimat berita  yang mengandung perintah atau permintaan seperti terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 228;
d. Amr  menggunakanamara dan yakmuru, seperti dalam surat al-Nisa’ ayat 58;
2. Kategori Amr
Ada beberapa macam kategori amr  yang disepakati ulama, yaitu:
a. Amr  menunjukan wajib (al- wujub), seperti firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 77 tentang salat;
b. Amr menunjukkan sunnah (al-nadb). Seperti firman Allah dalam surat al-Nur ayat 33;
c. Amr tidak menghendaki pengulangan (al-amr la yaqtadhi al takrar), seperti melaksanakan ibadah haji dan ‘umrah diwajibkan hanya satu kali saja surat al-Baqarah 196;
d. Amr menghendaki pengulangan (al-amr yaqtadhi al-takrar), seperti firman allah dalam surat al-Maidah ayat 6,
e. Amr tidak menghendaki kesegaran (al-amr la yaqtadhi al-fawr), seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 184,
f. Amr menghendaki kesegaran (al-amr yaqtadhi al-fawr), seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 148,
g. Amr (perintah) yang dating setelah larangan bermakna mubah (boleh), seperti firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 2.
3. Ragam Makna Amr
Bentuk-bentuk amr terkadang keluardari makna asalnya dan menunjukan beberapa makna lain yang dapat diambil kesimpulan dari susunan kalimat dan tanda-tanda yang menyertainya. Makna-makna itu di antaranya:
a. Amr bermakna doa (al-du’a), seperti dalam surat al-Hasyr ayat 10.
b. Amr bermakna pendustaan (al-takdzib), seperti dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 111;
c. Amr bermakna I’tibar. Seperti dalam firman Allah dalam surat al-An’am ayat 99,
d. Amr bermakna nasihat (al-irsyad), seperti dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 282;
e. Amr bermakna boleh (al-ibahah), seperti dalam firman Allah surat al-Mukminun ayat 51,
f. Amr bermakna memuliakan (al-ikram), seperti dalam firman Allah surat al-Hijr ayat 46
g. Amr bermakna melemahkan (al-ta’jiz), seperti dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 23,
h. Amr bermakna penghinaan (al-ihanah), seperti dalam firman Allah suratal-israayat 50; dan lain-lain.

            Adapun nahy (larangan), berarti tuntunan atau perintah meninggalkan suatu perbuatan dari yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah kedudukannya. Menurut Khalid ‘Abd al-Rahman, nahi yang menunjukkan permintaan berhenti dari suatu perbuatan, dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah.
1)   Bentuk-bentuk Nahy
Sebagaimana halnya amr, nahy pun memiliki bermacam-macam bentuk pengungkapannya. Bentuk-bentuk nahyitu diantaranya:
a. Menggunakan fi’il (kata kerja) nahy, seperti dalam firman Allah dalam surat al-Isra’ ayat 31.
b. menggunakan kata harrama seperti dalam surat al-A’raf ayat 33,
c. menggunakan kata naha seperti dalam firman Allah surat al-Hasyr ayat 7,
d. menggunakan kata dak seperti dalam firman Allah dalam surat al-Ahzab ayat 48,
e. menggunakan kata utsruk seperti dalam firman Allah surat al-Dukhan ayat 24.
2)   Ragam Pemakaian Nahy
Larangan dalam Al-Qur’an mengandung beberapa makna diantaranya:
a. Larangan bermakna haram, seperti dalam firman Allah surat al-Isra’ ayat 32.
b. Larangan bermakna makruh, seperti dalam firman Allah surat al-Maidah ayat 87,
c. Larangan yang menggunakan perintah yang melakukan sebaliknya, seperti dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 188,
d. Larangan bermakna doa, seperti dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 286,
e. Larangan bermakna bimbingan/nasihat, seperti dalam firman Allah surat al-Maidah ayat 101,
f. Larangan menegaskan keputus asaan, seperti dalam firman Allah surat al-Tahrim ayat 7,
g. Larangan untuk menentramkan, seperti dalam firman Allah surat al-Tawbah ayat 40,
h. Laranga yang berarti penghinaan, seperti dalam firman Allah surat Thah ayat 131.

c. Kaidah-kaidah Istifham
Istifham, secara etimologis, merupakan bentuk masdar dari kata kerja istifhamam yang arab sinonimnya dengan istawadhoha yang berarti meminta tahu atau meminta penjelasan, maksudnya, bahwa Istifham adalah mencari pemahaman tentang sesuatu hal yang tidak diketahui. Dalam al- Mu’jam al- Mufashshal dijelaskan bahwa Istifham adalah mencari pemahaman tentang hakikat, nama, jumlah serta sifat dari suatu hal. Jadi Istifham berarti mencari pemahaman tentang suatu hal.
Istifham memiliki berbagai instrument (al-adawat), yaitu:
a. Hamzah, hamzah ini ada tiga macam, yaitu untuk menentukan satu dari dua hal dengan kata am (setelahnya), untuk menyatakan tentang apa atau siapa yang jawabanyamemerlukan ya atau tidak; dam untuk menanyakan tentang apa atau siapa yang masuk kepada kalimat negative (al-nafy), dengan memerlukan jawaban balay  (positif) dan na’am (negatif), salah satu contohnya dapat dilihat dalam surat al-Maidah ayat 116,
b. Hal. Hal termasuk kata Tanya untuk mengkonfirmasi, yang memerlukan jawaban ya atau tidak. Contohnya terdapat dalam surat al-insan ayat 1,
c. Ma, digunakan untuk menanyakan sesuatu yang tidak berakal (selain manusia), seprti dalam firman Allah al-Muddatsir ayat42-43,
d. Man, digunakan untuk menanyakan makhluk yang berakal (manusia), seperti dalam firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 245,
e. Matay, digunakan untuk menanyakan waktu, baik yang menunjukkan masa lampau, sekarang maupun akan dating. Contohnya dapat dilihat dalam surat al-Baqarah ayat 214,
f. Ayyana, digunakan untuk menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan waktu akan dating, seperti dalam firman Allah surat al-Qiyamah ayat 6,
g. Kayfa, digunakan untuk menanyakan kondisi, seperti dalam firman Allah surat Ali ‘Imran ayat 101,
h. Annay, untuk \ menanyakan asal usul, seperti dalam surat Maryam ayat 8,
i. Kam, digunakan untuk menanyakan kuantitas, bilangan atau jumlah, seperti dalam surat al-Baqarah ayat 259.
j. Ayna,untuk menenyakan tempat, seperti dalam surat al-Takwir ayat 26,
k. Ayy, untuk menenyakan apa atau siapa, seperti dalam surat al-An’am ayat 81.

Istifham sebagai salah satu dari uslub (gaya bahasa) yang digunakan Al-Qur’an  memberikan pengertian bahwa lawan bicara (almukhathab) telah mengetahui apa yang ditetapkan dan apa yang dinafikan, seperti dalam surat al-Nisa ayat 87, dengan pertanyaan itu Allah mengingatkan makhluk-Nya mengenai hal yang telah mereka ketahui.
Namun, terkadang Istifham itu keluar dari polanya sendiri dan mengandung dua makna sekaligus yakni inkar dan taqrir. Seperti dalam surat al-An’am ayat 81. Di satu sisi orang-orang yang beriman berhak jaminan keamanan dan sisi lain orang-orang yang beriman berhak mendapat jaminan keamanan.

d. Kaidah Nakirah dan Ma’rifah
Isim nakirah adalah isim yang menunjukkan kata benda tak tentu Isi mini memiliki beberapa fungsi, diantaranya:

1. Untuk menunjukkan isim tunggal (al-wihdah), seperti kata rojulun dalam surat al-Qashash ayat 20; seorang laki-laki
2. Untuk menunjukkan ragam atau macam (al-naw) misalnya kata dza’abatin dalam surat al-Nur ayat 45, ragam binatang dari macam-macam air. Demikian halnya kata haya’atin dlam surat al-Baqarah ayat 96. al-Hayat (kehidupan) itu untuk mencari tambahan bekal di masa dating sebab keinginan itu bukan terhadap masa lalu atau masa sekarang,
3. Untuk menggunakan atau emuliakan (al-ta’zhim), seperti kata dalam surat al-Baqarah ayat 279. Harb dalam ayatiini maksudnya peperangan yang dahsyat (besar),
4. Untuk menunjukkan jumlah yang banyak (al-Taltsir), seperti kata dalam surat al-Syu’araayat 42. Ajran dalam ayat ini maksudnya pahala yang banyak (cukup),
5. Untuk menghinakan atau merendahkan (al-Tahrir), seperti kata dalam surat ‘Abasa ayat 19, maksudnya, manusia diciptakan Tuhan dari sesuatu yang hina.
6. Untuk menyatakan jumlah sedikit (al-taqlil), seperti kata dalam surat al-Tawbah ayat 72, Maksudnya, rida’ Allah yang sedikit, itu lebih besar ketimbang surge-surga yang ada karena merupakan pangkal kebahagiaan.
7. Untuk menunjuk pengertian umum jikanakirah teersebut mengandung ubsur nafy atau nahy atau syart atau istifham. Misalnya kata dalam surat al-infithar ayat 19 bersifat umum, menunjuk kepada siapapun.

Adapun isim ma’rifah adalah isim yang menunjukkan kata benda tertentu. Sebagai halnya isim nakirah, isim ma’rifah pun memiliki beberapa fungsi, diantaranya:
1. Ta’rif dengan Isim dhamir (kata ganti), baik ghaib (orang ketiga). Mukhathab (orang kedua) maupun mutakallim (orang pertama) untuk meringkas kalimat, seperti dalam surat al-Ahzab ayat 35. Dhamir yang terdapat dalam ayat tersebut yaitu (hum).
2. Ta’rif dengan alamiah (nama diri), Ta’rif ini berfungsi untuk menghadirkan pemilik namanya yang khas, seperti dalam surat al-Ikhsan ayat 1-2; atau mengagungkan (memuliakan) identitsnya, seperti dalam surat al Fath ayat 29; atau menghinakan (al-Ihanah), seperti dlam surat al-Lahab ayat 1.
3. Ta’rif dengan isim siyarah (kata petunjuk). Ta’rif ini berfungsi untuk menunjukkan yang ditunjuk itu dekat , seperti dalam surat Luqman ayat 11 dan yand ditunjuk jauh, seperti dalam al-Khaf ayat 59; atau menagungkan yang ditunjuk dengan menggunakan kata tunjuk jauh, yakni dza’alika seperti dalam surat al-Baqarah ayat 2; atau menghinakan dengan kata tunju dekat, yakni haadzihi seperti dalam surat al-Ankabut ayat 64.
4. Ta’rif dengan isim mawshull (kata sambung), karena beberapa alasan, Pertama, karena tidak disukai penuyebutan namanya untuk menutupi atau merendahkannya, seperti aladzi’ dalam surat al-Ahqaf ayat 17. Kedua, untuk menunjukkan umum, seperti, dalam surat al-Ankabut ayat 69. Ketiga, untuk meringkas kalimat, seperti dalam surat al-Ahzab ayat 69
5. Ta’rif dengan alif danlam. Ta’rif  ini memiliki fungsi untuk menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui karena telah disebutkan terdahulu. Seperti dalam surat al-Nur ayat 35; untuk menunjukan sessuatu yang telah diketahui oleh pendengarnya, seperti dalam surat al-Fath ayat 18; untuk menunjukkan hakikat makna secara kesseluruhan, seperti dalam surat al-Ashr ayat 1-2; dan untuk menunjuk seluruh pengertian yang tercakup di dalamnya, seperti dalam surat al-Maidah ayat 2, kata albir’i dalam ayat tersebut mencakup semua jenis kebaikan.
6. Ta’rif dengan penyandaran (al-idhafar). Ta’rif ini berfungsi untk memuliakan atau memberikan penghargaan kepada yang bersandar (al-mudhaf), seperti kata iba’adiyu dalam surat al-Hajr ayat 42 dan untuk menunjuk pengertian umum seperti kata nikmatallah dalam surat al-Fathr ayat 3.

Pengulangan Isim Nakkirah dan Isim Ma’rifah

Jika isim itu di ulang dua kali, maka baginya memiliki empat kondisiatau keadaan..

1. Jika kedua isimnya ma’rifat, maka pada umumnya, isim yang kedua merupakan hakikat yang pertama, seperti dlam surat al-Fatihah ayat 6-7.
2. jika kedua isimnya nakirah, maka yang kedua, biasanya, bukan yang pertama seperti dalam surat al-Rum ayat 54. Dhokfun yang pertama adalah sperma (nutfah), Dhokfun kedua masa kanak-kanakdan ketiga masa lansia (lanjut usia).
3. Apabila isim yang pertama nakirah dan isim yang kedua ma’rifah, maka yang kedua adalah hakikat yang pertama, karena itulah yang sudah diketahui, seperti dalam surat al-Muzzamil ayat 15-16.
4. Jika isim yang pertama ma’rifah dan isim yang kedua nakirah, maka apa yang dimaksudkan bergantung pada indikator (qarinah)nya. Qorinah itu terkadang menunjukkan keduanya berbeda, seperti dalam surat ar-Rum ayat 55, dan terkadang qorinahnya menunjukkan keduannya sama, seperti dalam surat al-Zumar ayat 27-28.


e. Kaidah Mufrad dan Jamak
Mufradat adalah isim yang menunjukkan bentuk tunggal, seperti sebutir telur, sehelai kain, seorang siswa, dan sebagainya. Sedangkan jama’ adalah isim yang menunjukkan bentuk banyak, yakni isim yang menunjukkan lebih dari dua.
Dalam kaitannya dengan mufradat dan jama’ ini ada beberapa hal yang dapat menunjukkan itu diantaranya:
1. Kata yang selalu disebutkan dalam bentuk mufradat, yaitu ardha (bumi), sirath (jalan), anuru (cahaya), dan sebagainya
2. Kata yang selalu disebutkan dalam bentuk jama’, yaitu albab (dari lubb) dan akwab (dari kub).
3. Kata yang dipergunakan dalam bentuk mufradat dan jama’ untuk konteks yang berbeda, kata-kata tersebut diantaranya sama-samawat, rih-riyah, sabil-subul, magrib-magharib, masyrik-masyarik.
Kata sama dalam bentuk jama’(QS. al-Hadid: 1-2), untuk menunjuk bilangan atau menunjuk betapa luasnya. Sedangkan dalam bentuk mufradat (QS. al-Dzariyyat: 22-23) menunjuk arah atas .
Kata rih dalam bentuk mufrad (QS. al-Ibrahim:18). Biasanya menunjukkan jalan kebenaran sedangkan dalam bentuk jama’ menunjuk jalan kesesatan. Hal ini karena jalan kebenaran hanya satu, sedangkan jalan kesesatan itu banyak  (QS. al-An’am: 153).
Kata masyriq dan maghrib dalam bentuk mufradat (QS. al-Baqarah:115) mengisyaratkan arah, ditatsniyahkan (ganda) menunjukan dua panas;dan dijamakan menunjukan tempat terbenam setiap hari.

f. Kaidah Sual dan Jawab
setiap ada pertanyaan, biasannya ada jawaban, sehingga apa yang dikehendaki penanya dapat terpenuhi. Namun, dala m Al- Qur’an tidak selamanya yang dipertanyakan jawabanya harus sesuai dengan yang dikehendaki. Jawaban ini merupakan kehendak Allah; itulah yang harus ditanyakan. Redaksi ini oleh al-Salaki disebut uslub hakim. Misalnya, firman Allah dalam QS. al-Baqarah ayat 189.
*štRqè=t«ó¡oÇ`tãÏ'©#ÏdF{$#(ö@è%}ÏdàMÏ%ºuqtBĨ$¨Y=Ï9Ædkysø9$#ur3
mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.

Adakalanya jawaban yang diberikan lebih luas disbanding sesuatu yang ditanyakan (QS. al-An’am: 63-64); atau adakalnya jawaban nya lebih sempit cakupannya ketimbang yang ditanyakan (QS. Yunus: 15). Dalam contoh terakhir dijelaskan bahwa jawaban untuk mengganti saja tidak mungkin karena lebih sempit ketimbang permintaan untuk didatangkan kitab yang lain.
Menurut Khalid ‘Abd ar-Rahman, pertanyaan merupakan perkataan yang menjadi permulaan, sedangkan jawaban perkataan yang dikembalikan kepada penanya. Generasi Salaf, menurut al-Bazzar, pernah bertanya kepada Nabi yang direkam oleh Al-Qur’an dalam 12 masalah yang terdapat dalam QS.al-Baqarah :168,189,215,217,220,222; QS. al-Maidah:4; QS. al-Ar’af: 187; al-Anfal: 1; QS. al-Isra: 85; QS. al-Kahf: 83; QS. Thaha: 105; dan QS. al-Infithar: 42.
Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa bentuk soal dan jawab, sebagai dikemukakan KhAalid ‘Abd al-Rahman berikut ini.
1. jawaban yang bersambung dengan pertanyaan (QS. al-Baqarah: 215 dan219).
2. jawaban yang terpisah, baik terdapat dalam satu surat maupun dalam dua surat yang berlainan (QS. al-Furqan:7 dan 60; QS. al-Rahman: 1-4)
3. dua jawaban dalam surat untuk satu pertanyaan (QS. al-Zukhruf:31-32 dan al-Qashash: 68).
4. pertanyaan yang jawabannya terhapus atau tidak disebutkan (QS. Muhammad: 14).
5. jawaban yang disebutkan mendahului pertanyaannya (QS. Shad: 1 dan 4).

g. Kaidah Dhamair, Tadzkir dan Ta’nis
1. Kaidah Dhamir (kala ganti)
Dalam upaya penghematan terhadap penggunaan kalimat termasuk juga di dalamnya pengeektifan kalimat , maka dhamir merupakam salah satu alternatif yang tepat. Penggunaan dhamir ini sangat besar manfaatnya dalam upaya menafsirkan Al-Qur’an. Misalnya firman Allah dalam QS. al-Ahzab ayat 35.
¨bÎ)šúüÏJÎ=ó¡ßJø9$#ÏM»yJÎ=ó¡ßJø9$#uršúüÏZÏB÷sßJø9$#urÏM»oYÏB÷sßJø9$#ur……..
£tãr&ª!$#Mçlm;ZotÏÿøó¨B#·ô_r&ur$VJÏàtã
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim,…. Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.

Dhamir hum dalam ayat tersebut menggantikan 25 kata sebelumnya. Kaidah dhamir dalam bahasa arab bersumber dari Al-Qur’an, Hadis Nabi, refrensi bahasa arab asli dan ungkapan para sastrawan Arab, baik dalam bentukpuisi (nazham) maupun prosa (natsar).
Dhamir mempunyai kata yang digantikan yang disebut isim zhahir (kata yang disebut secara jelas).Dhamir ini, secara garis besar ada tiga macam, yaitu  dhamir mutakallim (orang pertama/si pembicara), dhamir mukhathab (orang kedua/lawan bicara), dan dhamir ghaib (orang ketiga/yang dijadikan objek bicara). Dari dua macam dhamir tersebut, mutakallim dan mukhathab, marjinya (rujukannya) telah diketahui maksudnya dengan jelas melalui keadaan yang melingkupinya, sedangkan ghaib marjinya memerlukan ketentuan tersendiri dengan melihat kembali kata yang disebutkan sebelumnya.Contohnya dapat dilihat dalam QS.Hud ayat 42.
Namun, terkadang marji’ dhamir disebutkan setelah dhamir, seperti dlam QS.thaha ayat 67. Bahkan, terkadang marji’ dhamir tidak dinyatakan secara eksplisit, namun dapat diketahui dari konteks kalimat (siyaq al-kalam).Misalnya firman Allah dalam QS.al-rahman ayat 26.
Dhamir ha pada kata alayha kembali kepada kata al-ardh (bumi), sehingga ayat tersebut diartikan semua yang ada di atas bumi akan binasa.
Dalam pada itu, marji’ terkadang kembali kepada makna bukan kepada lafal, misalnya, dhamir ha dalam QS. Fatir ayat 111, tidak kembali kepada kata muammaru sebelumnya, tetapi kepada kata muammaru yang lain. Terkadang juga ayat itu menggunakan dhamir jama, sedangkan marjinya mutsana (ganda), seperti dhamir hum dalam QS.al-Anbiya’ kembali kembali kepada Daud dan Sulaiman.

2. Kaidah Tadzkir dan Ta’nits
Dalam bahasa arab dibedakan antara menyebutkan kata berjenis betina (al-tanits) dan berjenis jantan (al-tadzkir). Hal dimaksudkan untuk mengetahui khitab yang dituju ayat tersebut.
Para ulama Nahwiyyin menyebutkan beberapa tanda mu’annats, diantaranya: ta’ al-ta’nits (al-ta’al-marbutha).
Muannats  sendiri dibagi lagi kepada dua bagian, yaitu muanats haqiqiy dan muannats majaziy. Muanats haqiqiy adalah muanats yangterdapat padanya ta’al-ta’nits, sedangkan muanats majdziy adalah muanats yang tidak terdapat padanya terdapat ta’al-ta’nits, tetapi menunjukkan kepada jenis perempuan.
Terkadang ta’al-ta’nits haqiqiy dibuang ketika ada pemisah, seperti kata ja’aahu asalnya berbunyi ja’aathu, tetapi karena dipisah oleh dhamir ta, maka boleh dibuangta’nya.


h. Kaidah Syarath dan hadtzf Jawab al-Syarth
Salah satu uslub Al-Qur’an yang tidak kalahpentingnya dengan uslub-uslub lain yaitu syarath. Syarath adalah gaya bahasa yang tersusun dari instrument syarath yang berkaitan di antara dua kalimat. Kata pertama disebut kalimat syarath sedangkan yang kedua disebut jawal al-syarath.Instrument syarath ini adakalanya menjazmkan dua kata kerja (fi’il) seperti in, idzma, ma, mata, man, mahma da nada kalanya tidak menjazmkan, seperti lau, laula, idza, lamma, kullama dan sebagainya.
Di dalam Al-Qur’an dapat dijumpai kalimat-kalimat yang terdiri dari uslub syarath.Misalnya in (jika), seperti dalam QS.al-Baqarah ayat 284; idza (jika, bila), seperti dalam QS. Nashr ayat 1-3; man (siapa), seperti terdapat dalam QS.al-Nisa’ ayat 110; mahma (apapun), seperti dalam QS.al-Araf ayat 132; aina (dimana), seperti dalam QS. al-Nisa’ ayat 78; aiy (apa), seperti dalam QS. al-Isra ayat 110; dan lau (jika), seperti dalam QS. al-Tawbah ayat 42.
Perlu dicatat di sini, bahwa ada perbedaan penggunaan antara in dan idza Kala syaratnya in digunakan (menurut asalnya) jika si mutakallim tidak bias memastikan terjadinya apa yang disyaratkan di waktu mendatang. Ia dipakai dalam kondisi yang terjadi dan harus berdampingan dengan lafadz mudhari’ (sekarang/akan dating), sebab terdapat  aspek kerauan tentang terjadinya. Sedangkan kata syarath (menurut asalnya) digunakan dalam keadaan mautakallim optimis terjadinya apa yang diisyaratkan di masa akan dating. Oleh karena itu idza tidak dipakai kecuali dalam beberapa keadaan yang banyak terjadi dan berdampinga dengan bentuk madhi (lampau).Karena bentuk ini menunjukkan hal yang pasti terjadi.Misalnya, firman Allah dalam QS.al-A’raf ayat 131.
Dalam pada itu, jika jawalal-syarath dari kalimat syarathiyyah itu dibuang.Hal itu menunjukkan pentingnya masalah yang dibicarakan. Jika ia membicarakan siksa (azab) maka itu menunjukkan dahsyatnya siksa tersebut. Misalnya dapat dilihat dalam firman Allah QS.al-Sajadah ayat 12, QS. Saba’ ayat 51-53 dan sebagainya.


BAB III

                                                              PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Dalam memaknai, memahami dan menafsirkan Al-quran para mufasir menggunakan beberapa cara dan metode. Dengan cara itu maka para ulama dapat menghasilkan suatu karya yang Al-quran dipakai sebagai rujukannya.
Dengan di pisahkan cara-caranya maka para pemula dapat dengan mudah untuk mempelajari isi kandungan yang ada dalam Al-quran mulai dari tahap dasar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar