BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Pengertian Qawa’id al-tafsir
A. pengertian
Qawa’id al-tafsir
Qawa’id al-tafsir
merupakan kata majemuk; terdiri dari kata qawa’id dan kata Al-tafsir. Qaw’id
merupakan bentuk jamak dari kata qa’idah atau kata kaidah dalam bahasa Indonesia.
Kata qa’idah sendiri, secara semantik, berarti asas, dasar, pedoman atau
prinsip.
Sedangkan al-tafsir
adalah keterangan atau penjelasan mengenai makna-makna Al-Quran sebagai wahyu
Allah SWT. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa qawa’id al-tafsir adalah
dasar-dasar, pedoman-pedoman, prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah yang digunakan
agar isi atau kandungan serta pesan-pesan Al-Quran dapat ditangkapdan dipahami
secara baik sesuai tingkat kemampuan.
Qawa’id al-tafsir
sebagaimana yang telah dikemukakan oleh M.Quraish Shihab, mencakup beberapa
komponen .pertama, ketentuan-ketentuandalam menafsirkan Al-quran. Kedua,
sistematika penafsiran. Ketiga, aturan-aturan khusus untuk membantu dakam
penafsiran Al-quran, seperti bahasa, ushul fiqih, dan lain-lain. Dalam hal ini
para mufassir mengingatkan agar dalam menafsirkan Al-Quran seseorang harus
memperhatikan aspek-aspek bahasa Al-quran serta korelasi (al-munasabah) anatar
surat tanpa mengabaikan kaidah-kaidah kebahasaan. Kekeliruan-kekeliruan atau
penyimpangan-penyimpangan dalam menafsirkan Al-quran, diantaranya, karena para
mufassir tidak memperhatikan kaidah kebahasaan.
B.
Ketentuan-ketentuan
dalam menafsirkan Al-Quran
Dalam upaya menafsikan
dan memahami ayat-ayat Al-quran secara baik dan komprehensif, diperlukan syarat-syarat
khusus bagi seseorang mufasir, baik yang menyangkut kepribadian (personality),
kemampuan akademis maupun kemampuan teknik operasional penafsiran.
Syarat-syarat yang dimaksud sebagai berikut:
1. Seorang
mufasir harus memiliki kepribadian yang mulia , memiliki dasar-dasar keimanan
yang mantap dan jiwa yang bersih. Menurut Rasyid Ridha, Al-quran hanya dapat
dipahami oleh orang yang mengkonsentrasikan mata, wajah dan hatinya dalam
membacanya, baik didalam maupun diluar shalat. Selain itu, harus disertai pula
ketakwaan kepada Allah SWT karena
Al-Quran merupakan petunjuk bagi orang yang bertakwa, sebagaimana firman Allah
:
y7Ï9ºs Ü=»tGÅ6ø9$# w |=÷u ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`É)FßJù=Ïj9 ÇËÈ
2. Kitab[1] (Al Quran)
Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa[2],
[1] Tuhan menamakan Al Quran dengan Al Kitab yang
di sini berarti yang ditulis, sebagai isyarat bahwa Al Quran diperintahkan
untuk ditulis.
[2] takwa yaitu memelihara diri dari siksaan
Allah dengan mengikuti segala perintah-perintah-Nya; dan menjauhi segala
larangan-larangan-Nya; tidak cukup diartikan dengan takut saja.
2.
seorang mufasir harus mengetahui dan menguasai bahasa Arab dan
cabang-cabangnya. Hal ini penting agar benar-benar dapat dipahami makna-makna
dan hukum-hukum ayat, hakiki dan majazinya, mubham mujmalnya, ‘am dan khasnya,
mutlaq dan muqayyadnya, dan lain-lainya.
3.
seorang mufasir harus mengetahui pokok-pokok ulumul Quran, seperti ilmu Qiraat,
ilmu asbab an-nuzul, ilmu nasikh dan mansukh, ilmu muhkam dan mutasyabihnya,
ilmu al-makiy dan madaninya dan sebagainya. Melalui ilmu-ilmu ini, dapat
dijelaskan arti-arti dan maksud ayat-ayat Al-quran dengan baik dan benar.
4.
seorang mufasir harus menempuh langkah-langkah sistematis dalam menafsirkan
Al-quran. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Mannâ’ al-Qaththân, bahwa penafsiran
dalam Al-quran diperlukan langkah-langkah sistematis agar menghasilkan
penafsiran secara baik dan benar.
5.
seorang mufasir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-quran hendaknya mengambil
referensi ( rujukan) dari tafsir-tafsir yang mu’tabar (qualivied) untuk
dianalisis secara kritis dan dikomparasikan dengan tafsir-tafsir lainya. Dengan
langkkah terakhir ini diharapkan dalam penafsiran Al-quran penuh ketelitian
untuk menghasilkan produk tafsir yang komperehensif.
Dari
keseluruhan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan diatas, Muhammad Abduh
mengikhtisarkan syarat-syarat tersebut. Sebagaimana yang dikatakannya bahwa
mufasir pertama-tama harus memahami setiap kata yang ada dalam Al-quran.
Disamping itu, sebagai ditambahkannya, seorang mufasir harus mencapai ilmu
kemasyarakatan ( sosiologi) dan ilmu yang menyangkut hal ihwal manusia,
terutama menyangkut orang-orang Arab paada masa dinuzulkan Al-quran dan
sessudahnya.
C.
Sistematika
Penafsiran Al-quran
Secara singkat dappat dikemukakan
bahwa sistematika ( manhaj) penafsiran Al-quran sebagai berikut:
1.
Sistematika
sederhana (al-manḫaj al-basîth)
Sistematika ini hanya
mengemukakan aspek-aspek penafsiran, yang biasanya, hanya memberi kata-kata
sinonim (murâdif) dari lafal-lafal ayat yang sukar serta sedikit penjelasan
ringkas. Sistematika ini dapat dijumpai pada penafsiran nabi dan para
sahabatnya yang hanya member keterangan tentang maksud kata ayat-ayat sukar
saja.
2.
Sistematika
sedang (al-manḫaj al-wasîth)
Sistematika ini dalam
menjelaskan ayat-ayat Al-quran menggunakan dua atau tiga segi penafsiran saja,
misalnya hanya menerangkan kata-kata mufradat, sebab nuzul ayat dan sedikit
tafsiran kalimat-kalimatnya. Sistematika ini digunakan para shahabat dan
tabi’in, yang mulai menambahkan sedikit keterangan yang disisipkan
ditengah-tengah ayat Al-quran.
3.
Sistematika
lengkap (al-manḫaj al-mabsȗth)
Sistematika ini
menyangkut penafsiran ayat; mulai dari mufradat, i’rab dan bacaanya,
relevansi(al-munâsabah) ayat, makna ringkasnya dan pengistimbatan hukum-hukum
yang dikandungnya serta hikmah dari disyariatkannya hukum-hukum tersebut.
Sistematika ini digunakan oleh para tabi’in dan para ulama mutaqaddimin pada
umumnya.
D. Macam-macam
penafsiran Al-quran
Dalam
penafsiran Alquran ini, sedikitnya ada tiga macam kaidah yang berlaku, yaitu
kaidah dasar, kaidah syar’i dan kaidah kebahasaan. Mengingat keterbatasan
penulisan sendiri, maka ketiga kaidah ini hanya dibahas secara singkat saja.
1.
Kaidah dasar penafsiran
Kaidah
dasar penafsiran yang dimaksud dalam tulisan ini mencakup penafsiran Al-quran
dengan Al-quran, Al-quran dengan Hadits Nabi, penafsiran Al-quran dengan
pendapat shahabat, penafsiran Al-quran dengan pendapat tabi’in.
2.
Kaidah Syar’i
Penafsiran
Al-quran bias menggunakan kaidah syar’i, jika sumber pertama, sebagai terdapat
dalam kaidah dasar tidak dapat ditemukan, melalui ijtihad dan istimbath. Adapun
yang termasuk kaidah-kaidah syar’i itu, diantaranya: manthȗq dan mafḫȗm,
muthlâq dan muqayyad, mujmal dan mufashal, dan sebagainya yang biasanya dikenal
oleh ulama-ulama ushul.
3.
Kaidah kebahasaan
Sebagai
halnya kaidah syar’i, kaidah kebahasaan merupakan alternative untuk dijadikan
sumber penafsiran Al-quran jika ayat Al-quran, hadist, pendapat shahabat,
pendapat tabi’in telah ditemukan. Kaidah-kaidah yang dimaksud mencakup kaidah
isim dan fi’il, kaidah amr dan nahy, kaidah istifham, kaidah dhamir, kaidah
mufrad dan jama’, kaidah mudzakkar dan muannats, kaidah taqdîm dan ta’khîr,
kaidah wujȗḫ dan nazhâir, kaidah syarth dan jawâb, dan kaidah-kaidah kebahasaan
lainnya.
Kaidah
penafsiran dengan menggunakan kaidah syar’I dan bahasa ini tidak sevalid
penafsiran dengan menggunakan kaidah-kaidah dasar. Alasannya, penafsiran
tersebut menggunakan daya nalar (ijtihad) yang akurasi maknanya terkadang
bersifat ambiguitif.
a.
Kaidah Isim dan fi’il
Jumlah
ismiyah atau kalimat nominal mmenunjukkan arti subut (tetap) dan istimrâr
(terus-menerus), sedang jumlah fi’liyah atau kalimat verba menujjukkan arti
tajaddud (timbulnya sesuatu) dan hudȗs (temporal). Masing-masing kalimat ini
mempunyai tempat tersendiri yang tidak bisa ditempai oleh yang lain. Misalnya
infâq yang diungkapkan dengan kalimat verbal, seperti pada surat Ali-Imran ayat
134.
tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZã Îû Ïä!#§£9$# Ïä!#§Ø9$#ur tûüÏJÏà»x6ø9$#ur xáøtóø9$# tûüÏù$yèø9$#ur Ç`tã Ĩ$¨Y9$# 3 ª!$#ur =Ïtä úüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÌÍÈ
134. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan
(hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan.
Hal
ini karena infaq merupakan suatu perbuatan yang bersifat temporal yang
terkadang ada dan terkadang tidak ada. Lain halnya dengan iman yang dicontohkan
dalam bentuk isim fa’il, menunjukkan sesuatu yang bersifat tetap dan permanen.
Seperti dalam Al-quran surat Al-Hujurat ayat 15.
$yJ¯RÎ) cqãYÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur §NèO öNs9 (#qç/$s?öt (#rßyg»y_ur öNÎgÏ9ºuqøBr'Î/ óOÎgÅ¡àÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNèd cqè%Ï»¢Á9$# ÇÊÎÈ
15. Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada
Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang
(berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah
orang-orang yang benar.
Yang
dimaksud tajaddud dalam fi’il madi (kata kerja masa lampau) ialah perbuatan itu
timbul tenggelam, kadang ada dan terkadang tidak ada. Sedang dalam fi’il
mudhari’(kata kerja masa kini atau masa akan datang). Perbuatan itu terjadi
berulang-ulang. Fi’il atau kata kerja yang tidak dinyatakan secara jelas dalam
hal ini sama halnya dengan fi’il yang dinyatakan secara jelas. Karena hal
itupara ulama’ berpendapat.
Amr
berarti
perintah atau suruhan. Secara terminologis, amr berarti tuntutan
melakukan perbuatan dari yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih
rendah kedudukannya, menurut Khalid ‘Abd al- Rahman, amr adalah kata
yang menunjukkan permintaan melakukan apa yang disuruh dari arah yang lebih
tinggi (Allah) kepada yang lebih rendah(makhluk).
1.
Bentuk-bentuk (shiyag) amr
Bentuk-bentuk
amrdalam Al-Qur’an sangat beragam.
a. Amr menggunakan fi’il amr seperti
kata dalam surat al-Nisa ayat 4;
b. Amr yang menggunakan fi’il mudhari yang
didahului lam al-amr, seperti dalam surat Ali’imran ayat 104;
c. Amr menggunakan isim fi’il
amr(kata benda yang bermakna kata kerja), seperti kata dalam surat al-
Maidah ayat 105;
d. Amr menggunakan mashdar
pengganti fi’il, seperti kata dalam surat al-Baqarah ayat 83;
e. Amr menggunakan kalimat
berita yang mengandung perintah atau
permintaan seperti terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 228;
d. Amr menggunakanamara dan yakmuru,
seperti dalam surat al-Nisa’ ayat 58;
2. Kategori Amr
Ada beberapa macam
kategori amr yang disepakati
ulama, yaitu:
a. Amr menunjukan wajib (al- wujub), seperti
firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 77 tentang salat;
b. Amr menunjukkan sunnah (al-nadb).
Seperti firman Allah dalam surat al-Nur ayat 33;
c. Amr tidak menghendaki
pengulangan (al-amr la yaqtadhi al takrar), seperti melaksanakan ibadah
haji dan ‘umrah diwajibkan hanya satu kali saja surat al-Baqarah 196;
d. Amr menghendaki pengulangan (al-amr
yaqtadhi al-takrar), seperti firman allah dalam surat al-Maidah ayat 6,
e. Amr tidak menghendaki kesegaran
(al-amr la yaqtadhi al-fawr), seperti firman Allah dalam surat
al-Baqarah ayat 184,
f. Amr menghendaki kesegaran (al-amr
yaqtadhi al-fawr), seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 148,
g. Amr (perintah) yang dating
setelah larangan bermakna mubah (boleh), seperti firman Allah dalam surat
al-Maidah ayat 2.
3. Ragam Makna Amr
Bentuk-bentuk amr
terkadang keluardari makna asalnya dan menunjukan beberapa makna lain yang
dapat diambil kesimpulan dari susunan kalimat dan tanda-tanda yang menyertainya.
Makna-makna itu di antaranya:
a. Amr bermakna doa (al-du’a),
seperti dalam surat al-Hasyr ayat 10.
b. Amr bermakna pendustaan
(al-takdzib), seperti dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 111;
c. Amr bermakna I’tibar.
Seperti dalam firman Allah dalam surat al-An’am ayat 99,
d. Amr bermakna nasihat
(al-irsyad), seperti dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 282;
e. Amr bermakna boleh
(al-ibahah), seperti dalam firman Allah surat al-Mukminun ayat 51,
f. Amr bermakna memuliakan
(al-ikram), seperti dalam firman Allah surat al-Hijr ayat 46
g. Amr bermakna melemahkan
(al-ta’jiz), seperti dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 23,
h. Amr bermakna penghinaan
(al-ihanah), seperti dalam firman Allah suratal-israayat 50; dan lain-lain.
Adapun
nahy (larangan), berarti tuntunan atau perintah meninggalkan suatu
perbuatan dari yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah
kedudukannya. Menurut Khalid ‘Abd al-Rahman, nahi yang menunjukkan
permintaan berhenti dari suatu perbuatan, dari yang lebih tinggi kepada yang
lebih rendah.
1) Bentuk-bentuk
Nahy
Sebagaimana halnya amr,
nahy pun memiliki bermacam-macam bentuk pengungkapannya. Bentuk-bentuk nahyitu
diantaranya:
a. Menggunakan fi’il (kata kerja)
nahy, seperti dalam firman Allah dalam surat al-Isra’ ayat 31.
b. menggunakan kata harrama seperti
dalam surat al-A’raf ayat 33,
c. menggunakan kata naha seperti
dalam firman Allah surat al-Hasyr ayat 7,
d. menggunakan kata dak seperti
dalam firman Allah dalam surat al-Ahzab ayat 48,
e. menggunakan kata utsruk seperti
dalam firman Allah surat al-Dukhan ayat 24.
2) Ragam
Pemakaian Nahy
Larangan dalam
Al-Qur’an mengandung beberapa makna diantaranya:
a. Larangan bermakna haram, seperti
dalam firman Allah surat al-Isra’ ayat 32.
b. Larangan bermakna makruh, seperti
dalam firman Allah surat al-Maidah ayat 87,
c. Larangan yang menggunakan perintah
yang melakukan sebaliknya, seperti dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat
188,
d. Larangan bermakna doa, seperti dalam
firman Allah surat al-Baqarah ayat 286,
e. Larangan bermakna bimbingan/nasihat,
seperti dalam firman Allah surat al-Maidah ayat 101,
f. Larangan menegaskan keputus asaan,
seperti dalam firman Allah surat al-Tahrim ayat 7,
g. Larangan untuk menentramkan, seperti
dalam firman Allah surat al-Tawbah ayat 40,
h. Laranga yang berarti penghinaan,
seperti dalam firman Allah surat Thah ayat 131.
c. Kaidah-kaidah Istifham
Istifham,
secara etimologis, merupakan bentuk masdar dari kata kerja istifhamam
yang arab sinonimnya dengan istawadhoha yang berarti meminta tahu atau
meminta penjelasan, maksudnya, bahwa Istifham adalah mencari pemahaman
tentang sesuatu hal yang tidak diketahui. Dalam al- Mu’jam al- Mufashshal
dijelaskan bahwa Istifham adalah mencari pemahaman tentang hakikat,
nama, jumlah serta sifat dari suatu hal. Jadi Istifham berarti mencari
pemahaman tentang suatu hal.
Istifham
memiliki berbagai instrument (al-adawat), yaitu:
a. Hamzah, hamzah ini ada tiga
macam, yaitu untuk menentukan satu dari dua hal dengan kata am
(setelahnya), untuk menyatakan tentang apa atau siapa yang jawabanyamemerlukan ya
atau tidak; dam untuk menanyakan tentang apa atau siapa yang masuk
kepada kalimat negative (al-nafy), dengan memerlukan jawaban balay (positif) dan na’am (negatif), salah
satu contohnya dapat dilihat dalam surat al-Maidah ayat 116,
b. Hal. Hal termasuk kata Tanya
untuk mengkonfirmasi, yang memerlukan jawaban ya atau tidak. Contohnya terdapat
dalam surat al-insan ayat 1,
c. Ma, digunakan untuk menanyakan
sesuatu yang tidak berakal (selain manusia), seprti dalam firman Allah al-Muddatsir
ayat42-43,
d. Man, digunakan untuk
menanyakan makhluk yang berakal (manusia), seperti dalam firman Allah dalam
surat al-Baqarah ayat 245,
e. Matay, digunakan untuk
menanyakan waktu, baik yang menunjukkan masa lampau, sekarang maupun akan dating.
Contohnya dapat dilihat dalam surat al-Baqarah ayat 214,
f. Ayyana, digunakan untuk
menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan waktu akan dating, seperti dalam
firman Allah surat al-Qiyamah ayat 6,
g. Kayfa, digunakan untuk
menanyakan kondisi, seperti dalam firman Allah surat Ali ‘Imran ayat 101,
h. Annay, untuk \ menanyakan asal
usul, seperti dalam surat Maryam ayat 8,
i. Kam, digunakan untuk
menanyakan kuantitas, bilangan atau jumlah, seperti dalam surat al-Baqarah ayat
259.
j. Ayna,untuk menenyakan tempat,
seperti dalam surat al-Takwir ayat 26,
k. Ayy, untuk menenyakan apa atau
siapa, seperti dalam surat al-An’am ayat 81.
Istifham
sebagai salah satu dari uslub (gaya bahasa) yang digunakan
Al-Qur’an memberikan pengertian bahwa
lawan bicara (almukhathab) telah mengetahui apa yang ditetapkan dan apa yang
dinafikan, seperti dalam surat al-Nisa ayat 87, dengan pertanyaan itu Allah
mengingatkan makhluk-Nya mengenai hal yang telah mereka ketahui.
Namun, terkadang Istifham
itu keluar dari polanya sendiri dan mengandung dua makna sekaligus yakni inkar
dan taqrir. Seperti dalam surat al-An’am ayat 81. Di satu sisi orang-orang yang
beriman berhak jaminan keamanan dan sisi lain orang-orang yang beriman berhak
mendapat jaminan keamanan.
d. Kaidah Nakirah dan Ma’rifah
Isim nakirah adalah
isim yang menunjukkan kata benda tak tentu Isi mini memiliki beberapa
fungsi, diantaranya:
1. Untuk menunjukkan isim tunggal
(al-wihdah), seperti kata rojulun dalam surat al-Qashash ayat 20;
seorang laki-laki
2. Untuk menunjukkan ragam atau macam
(al-naw) misalnya kata dza’abatin dalam surat al-Nur ayat 45, ragam
binatang dari macam-macam air. Demikian halnya kata haya’atin dlam surat
al-Baqarah ayat 96. al-Hayat (kehidupan) itu untuk mencari tambahan
bekal di masa dating sebab keinginan itu bukan terhadap masa lalu atau masa
sekarang,
3. Untuk menggunakan atau emuliakan
(al-ta’zhim), seperti kata dalam surat al-Baqarah ayat 279. Harb dalam
ayatiini maksudnya peperangan yang dahsyat (besar),
4. Untuk menunjukkan jumlah yang banyak (al-Taltsir),
seperti kata dalam surat al-Syu’araayat 42. Ajran dalam ayat ini
maksudnya pahala yang banyak (cukup),
5. Untuk menghinakan atau merendahkan
(al-Tahrir), seperti kata dalam surat ‘Abasa ayat 19, maksudnya, manusia
diciptakan Tuhan dari sesuatu yang hina.
6. Untuk menyatakan jumlah sedikit
(al-taqlil), seperti kata dalam surat al-Tawbah ayat 72, Maksudnya, rida’ Allah
yang sedikit, itu lebih besar ketimbang surge-surga yang ada karena merupakan
pangkal kebahagiaan.
7. Untuk menunjuk pengertian umum
jikanakirah teersebut mengandung ubsur nafy atau nahy atau syart
atau istifham. Misalnya kata dalam surat al-infithar ayat 19 bersifat
umum, menunjuk kepada siapapun.
Adapun isim ma’rifah
adalah isim yang menunjukkan kata benda tertentu. Sebagai halnya isim
nakirah, isim ma’rifah pun memiliki beberapa fungsi, diantaranya:
1. Ta’rif dengan Isim dhamir (kata
ganti), baik ghaib (orang ketiga). Mukhathab (orang kedua)
maupun mutakallim (orang pertama) untuk meringkas kalimat,
seperti dalam surat al-Ahzab ayat 35. Dhamir yang terdapat dalam ayat
tersebut yaitu (hum).
2. Ta’rif dengan alamiah
(nama diri), Ta’rif ini berfungsi untuk menghadirkan pemilik namanya
yang khas, seperti dalam surat al-Ikhsan ayat 1-2; atau mengagungkan
(memuliakan) identitsnya, seperti dalam surat al Fath ayat 29; atau menghinakan
(al-Ihanah), seperti dlam surat al-Lahab ayat 1.
3. Ta’rif dengan isim siyarah
(kata petunjuk). Ta’rif ini berfungsi untuk menunjukkan yang ditunjuk
itu dekat , seperti dalam surat Luqman ayat 11 dan yand ditunjuk jauh, seperti
dalam al-Khaf ayat 59; atau menagungkan yang ditunjuk dengan menggunakan kata
tunjuk jauh, yakni dza’alika seperti dalam surat al-Baqarah ayat 2; atau
menghinakan dengan kata tunju dekat, yakni haadzihi seperti dalam surat
al-Ankabut ayat 64.
4. Ta’rif dengan isim mawshull
(kata sambung), karena beberapa alasan, Pertama, karena tidak disukai
penuyebutan namanya untuk menutupi atau merendahkannya, seperti aladzi’ dalam
surat al-Ahqaf ayat 17. Kedua, untuk menunjukkan umum, seperti, dalam surat
al-Ankabut ayat 69. Ketiga, untuk meringkas kalimat, seperti dalam surat
al-Ahzab ayat 69
5. Ta’rif dengan alif danlam.
Ta’rif ini memiliki fungsi untuk
menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui karena telah disebutkan terdahulu.
Seperti dalam surat al-Nur ayat 35; untuk menunjukan sessuatu yang telah
diketahui oleh pendengarnya, seperti dalam surat al-Fath ayat 18; untuk
menunjukkan hakikat makna secara kesseluruhan, seperti dalam surat al-Ashr ayat
1-2; dan untuk menunjuk seluruh pengertian yang tercakup di dalamnya, seperti
dalam surat al-Maidah ayat 2, kata albir’i dalam ayat tersebut mencakup
semua jenis kebaikan.
6. Ta’rif dengan penyandaran
(al-idhafar). Ta’rif ini berfungsi untk memuliakan atau memberikan penghargaan
kepada yang bersandar (al-mudhaf), seperti kata iba’adiyu dalam surat
al-Hajr ayat 42 dan untuk menunjuk pengertian umum seperti kata nikmatallah dalam
surat al-Fathr ayat 3.
Pengulangan Isim Nakkirah dan Isim
Ma’rifah
Jika isim itu di ulang
dua kali, maka baginya memiliki empat kondisiatau keadaan..
1. Jika kedua isimnya ma’rifat, maka
pada umumnya, isim yang kedua merupakan hakikat yang pertama, seperti dlam
surat al-Fatihah ayat 6-7.
2. jika kedua isimnya nakirah, maka yang
kedua, biasanya, bukan yang pertama seperti dalam surat al-Rum ayat 54. Dhokfun
yang pertama adalah sperma (nutfah), Dhokfun kedua masa
kanak-kanakdan ketiga masa lansia (lanjut usia).
3. Apabila isim yang pertama nakirah dan
isim yang kedua ma’rifah, maka yang kedua adalah hakikat yang pertama, karena
itulah yang sudah diketahui, seperti dalam surat al-Muzzamil ayat 15-16.
4. Jika isim yang pertama ma’rifah dan
isim yang kedua nakirah, maka apa yang dimaksudkan bergantung pada indikator
(qarinah)nya. Qorinah itu terkadang menunjukkan keduanya berbeda, seperti dalam
surat ar-Rum ayat 55, dan terkadang qorinahnya menunjukkan keduannya sama,
seperti dalam surat al-Zumar ayat 27-28.
e. Kaidah Mufrad dan Jamak
Mufradat adalah isim
yang menunjukkan bentuk tunggal, seperti sebutir telur, sehelai kain, seorang
siswa, dan sebagainya. Sedangkan jama’ adalah isim yang menunjukkan bentuk
banyak, yakni isim yang menunjukkan lebih dari dua.
Dalam kaitannya dengan
mufradat dan jama’ ini ada beberapa hal yang dapat menunjukkan itu diantaranya:
1. Kata yang selalu disebutkan dalam
bentuk mufradat, yaitu ardha (bumi), sirath (jalan), anuru (cahaya),
dan sebagainya
2. Kata yang selalu disebutkan dalam
bentuk jama’, yaitu albab (dari lubb) dan akwab (dari kub).
3. Kata yang dipergunakan dalam bentuk
mufradat dan jama’ untuk konteks yang berbeda, kata-kata tersebut diantaranya sama-samawat,
rih-riyah, sabil-subul, magrib-magharib, masyrik-masyarik.
Kata
sama dalam bentuk jama’(QS. al-Hadid: 1-2), untuk menunjuk bilangan atau
menunjuk betapa luasnya. Sedangkan dalam bentuk mufradat (QS. al-Dzariyyat:
22-23) menunjuk arah atas .
Kata
rih dalam bentuk mufrad (QS. al-Ibrahim:18). Biasanya menunjukkan jalan
kebenaran sedangkan dalam bentuk jama’ menunjuk jalan kesesatan. Hal ini karena
jalan kebenaran hanya satu, sedangkan jalan kesesatan itu banyak (QS. al-An’am: 153).
Kata
masyriq dan maghrib dalam bentuk mufradat (QS. al-Baqarah:115)
mengisyaratkan arah, ditatsniyahkan (ganda) menunjukan dua panas;dan dijamakan
menunjukan tempat terbenam setiap hari.
f. Kaidah Sual dan Jawab
setiap ada pertanyaan,
biasannya ada jawaban, sehingga apa yang dikehendaki penanya dapat terpenuhi.
Namun, dala m Al- Qur’an tidak selamanya yang dipertanyakan jawabanya harus
sesuai dengan yang dikehendaki. Jawaban ini merupakan kehendak Allah; itulah
yang harus ditanyakan. Redaksi ini oleh al-Salaki disebut uslub hakim.
Misalnya, firman Allah dalam QS. al-Baqarah ayat 189.
*tRqè=t«ó¡oÇ`tãÏ'©#ÏdF{$#(ö@è%}ÏdàMÏ%ºuqtBĨ$¨Y=Ï9Ædkysø9$#ur3
mereka bertanya
kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.
Adakalanya jawaban yang
diberikan lebih luas disbanding sesuatu yang ditanyakan (QS. al-An’am: 63-64);
atau adakalnya jawaban nya lebih sempit cakupannya ketimbang yang ditanyakan
(QS. Yunus: 15). Dalam contoh terakhir dijelaskan bahwa jawaban untuk mengganti
saja tidak mungkin karena lebih sempit ketimbang permintaan untuk didatangkan
kitab yang lain.
Menurut Khalid ‘Abd
ar-Rahman, pertanyaan merupakan perkataan yang menjadi permulaan, sedangkan
jawaban perkataan yang dikembalikan kepada penanya. Generasi Salaf, menurut
al-Bazzar, pernah bertanya kepada Nabi yang direkam oleh Al-Qur’an dalam 12
masalah yang terdapat dalam QS.al-Baqarah :168,189,215,217,220,222; QS.
al-Maidah:4; QS. al-Ar’af: 187; al-Anfal: 1; QS. al-Isra: 85; QS. al-Kahf: 83;
QS. Thaha: 105; dan QS. al-Infithar: 42.
Dalam Al-Qur’an
terdapat beberapa bentuk soal dan jawab, sebagai dikemukakan KhAalid ‘Abd
al-Rahman berikut ini.
1. jawaban yang bersambung dengan
pertanyaan (QS. al-Baqarah: 215 dan219).
2. jawaban yang terpisah, baik terdapat
dalam satu surat maupun dalam dua surat yang berlainan (QS. al-Furqan:7 dan 60;
QS. al-Rahman: 1-4)
3. dua jawaban dalam surat untuk satu
pertanyaan (QS. al-Zukhruf:31-32 dan al-Qashash: 68).
4. pertanyaan yang jawabannya terhapus
atau tidak disebutkan (QS. Muhammad: 14).
5. jawaban yang disebutkan mendahului
pertanyaannya (QS. Shad: 1 dan 4).
g. Kaidah Dhamair, Tadzkir dan Ta’nis
1. Kaidah Dhamir (kala ganti)
Dalam upaya penghematan
terhadap penggunaan kalimat termasuk juga di dalamnya pengeektifan kalimat ,
maka dhamir merupakam salah satu alternatif yang tepat. Penggunaan dhamir ini
sangat besar manfaatnya dalam upaya menafsirkan Al-Qur’an. Misalnya firman
Allah dalam QS. al-Ahzab ayat 35.
¨bÎ)úüÏJÎ=ó¡ßJø9$#ÏM»yJÎ=ó¡ßJø9$#urúüÏZÏB÷sßJø9$#urÏM»oYÏB÷sßJø9$#ur……..
£tãr&ª!$#Mçlm;ZotÏÿøó¨B#·ô_r&ur$VJÏàtã
Sesungguhnya laki-laki
dan perempuan yang muslim,…. Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan
pahala yang besar.
Dhamir hum
dalam ayat tersebut menggantikan 25 kata sebelumnya. Kaidah dhamir dalam bahasa
arab bersumber dari Al-Qur’an, Hadis Nabi, refrensi bahasa arab asli dan
ungkapan para sastrawan Arab, baik dalam bentukpuisi (nazham) maupun prosa
(natsar).
Dhamir mempunyai
kata yang digantikan yang disebut isim zhahir (kata yang disebut secara
jelas).Dhamir ini, secara garis besar ada tiga macam, yaitu dhamir mutakallim (orang pertama/si
pembicara), dhamir mukhathab (orang kedua/lawan bicara), dan dhamir
ghaib (orang ketiga/yang dijadikan objek bicara). Dari dua macam dhamir
tersebut, mutakallim dan mukhathab, marjinya (rujukannya) telah diketahui
maksudnya dengan jelas melalui keadaan yang melingkupinya, sedangkan ghaib
marjinya memerlukan ketentuan tersendiri dengan melihat kembali kata yang
disebutkan sebelumnya.Contohnya dapat dilihat dalam QS.Hud ayat 42.
Namun, terkadang marji’
dhamir disebutkan setelah dhamir, seperti dlam QS.thaha ayat 67. Bahkan,
terkadang marji’ dhamir tidak dinyatakan secara eksplisit, namun dapat diketahui
dari konteks kalimat (siyaq al-kalam).Misalnya firman Allah dalam QS.al-rahman
ayat 26.
Dhamir ha
pada kata alayha kembali kepada kata al-ardh (bumi), sehingga ayat
tersebut diartikan semua yang ada di atas bumi akan binasa.
Dalam pada itu, marji’
terkadang kembali kepada makna bukan kepada lafal, misalnya, dhamir ha dalam
QS. Fatir ayat 111, tidak kembali kepada kata muammaru sebelumnya, tetapi
kepada kata muammaru yang lain. Terkadang juga ayat itu menggunakan dhamir
jama, sedangkan marjinya mutsana (ganda), seperti dhamir hum dalam
QS.al-Anbiya’ kembali kembali kepada Daud dan Sulaiman.
2. Kaidah
Tadzkir dan Ta’nits
Dalam bahasa arab
dibedakan antara menyebutkan kata berjenis betina (al-tanits) dan berjenis
jantan (al-tadzkir). Hal dimaksudkan untuk mengetahui khitab yang dituju ayat
tersebut.
Para ulama Nahwiyyin
menyebutkan beberapa tanda mu’annats, diantaranya: ta’ al-ta’nits
(al-ta’al-marbutha).
Muannats sendiri dibagi lagi kepada dua bagian, yaitu
muanats haqiqiy dan muannats majaziy. Muanats haqiqiy adalah muanats
yangterdapat padanya ta’al-ta’nits, sedangkan muanats majdziy adalah muanats
yang tidak terdapat padanya terdapat ta’al-ta’nits, tetapi menunjukkan kepada
jenis perempuan.
Terkadang ta’al-ta’nits
haqiqiy dibuang ketika ada pemisah, seperti kata ja’aahu asalnya berbunyi
ja’aathu, tetapi karena dipisah oleh dhamir ta, maka boleh dibuangta’nya.
h. Kaidah Syarath dan hadtzf Jawab
al-Syarth
Salah satu uslub
Al-Qur’an yang tidak kalahpentingnya dengan uslub-uslub lain yaitu syarath.
Syarath adalah gaya bahasa yang tersusun dari instrument syarath yang berkaitan
di antara dua kalimat. Kata pertama disebut kalimat syarath sedangkan yang
kedua disebut jawal al-syarath.Instrument syarath ini adakalanya
menjazmkan dua kata kerja (fi’il) seperti in, idzma, ma, mata, man, mahma
da nada kalanya tidak menjazmkan, seperti lau, laula, idza, lamma, kullama
dan sebagainya.
Di dalam Al-Qur’an
dapat dijumpai kalimat-kalimat yang terdiri dari uslub syarath.Misalnya in
(jika), seperti dalam QS.al-Baqarah ayat 284; idza (jika, bila), seperti dalam
QS. Nashr ayat 1-3; man (siapa), seperti terdapat dalam QS.al-Nisa’ ayat 110;
mahma (apapun), seperti dalam QS.al-Araf ayat 132; aina (dimana), seperti dalam
QS. al-Nisa’ ayat 78; aiy (apa), seperti dalam QS. al-Isra ayat 110; dan lau
(jika), seperti dalam QS. al-Tawbah ayat 42.
Perlu dicatat di sini,
bahwa ada perbedaan penggunaan antara in dan idza Kala syaratnya in digunakan
(menurut asalnya) jika si mutakallim tidak bias memastikan terjadinya apa yang
disyaratkan di waktu mendatang. Ia dipakai dalam kondisi yang terjadi dan harus
berdampingan dengan lafadz mudhari’ (sekarang/akan dating), sebab terdapat aspek kerauan tentang terjadinya. Sedangkan
kata syarath (menurut asalnya) digunakan dalam keadaan mautakallim optimis
terjadinya apa yang diisyaratkan di masa akan dating. Oleh karena itu idza
tidak dipakai kecuali dalam beberapa keadaan yang banyak terjadi dan berdampinga
dengan bentuk madhi (lampau).Karena bentuk ini menunjukkan hal yang pasti
terjadi.Misalnya, firman Allah dalam QS.al-A’raf ayat 131.
Dalam pada itu, jika
jawalal-syarath dari kalimat syarathiyyah itu dibuang.Hal itu menunjukkan
pentingnya masalah yang dibicarakan. Jika ia membicarakan siksa (azab) maka itu
menunjukkan dahsyatnya siksa tersebut. Misalnya dapat dilihat dalam firman
Allah QS.al-Sajadah ayat 12, QS. Saba’ ayat 51-53 dan sebagainya.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam memaknai, memahami dan
menafsirkan Al-quran para mufasir menggunakan beberapa cara dan metode. Dengan
cara itu maka para ulama dapat menghasilkan suatu karya yang Al-quran dipakai
sebagai rujukannya.
Dengan di pisahkan cara-caranya
maka para pemula dapat dengan mudah untuk mempelajari isi kandungan yang ada
dalam Al-quran mulai dari tahap dasar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar