BAB II
KAJIAN
PUSTAKA
Guru merupakan
pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada jalur
pendidikan formal. Tugas utama itu akan efektif jika guru memiliki derajat
profesionalitas tertentu yang tercermin dari kompetensi, kemahiran, kecakapan,
atau keterampilan yang memenuhi standar mutu atau norma etik tertentu. Siapa
guru itu? Secara defenisi sebutan guru tidak termuat dalam UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Di dalam UU No. 20 Tahun 2003,
kata guru dimasukkan kedalam genus pendidik. Dalam peraturan pemerintah (PP)
No. 74 tahun 2008 tentang guru, sebutan guru mencakup :
1.
Guru itu sendiri, baik guru kelas, guru bidang
studi, maupun guru bimbingan konseling atau guru bimbingan karir
2.
Guru dengan tugas tambahan sebagai kepala
sekolah, dan
3.
Guru dalam jabatan pengawas.
Istilah guru
juga mencakup individu-individu yang melakukan tugas bimbingan dan konseling,
supervisi pembelajaran di institusi pendidikan atau sekolah-sekolah negeri dan
swasta, teknisi sekolah, administrator sekolah, dan tenaga layanan bantu
sekolah (supporting staf) untuk urusan-urusan administratif. Guru juga bermakna
lulusan pendidikan yang telah lulus ujian Negara (government examination) untuk
menjadi guru, meskipun belum belum secara aktual bekerja sebagai guru.
Secara formal,
untuk menjadi professional guru disyaratkan memenuhi kualifikasi akademik
minimum dan bersertifikat pendidik. Guru-guru yang memenuhi kriteria
profesional inilah yang akan mampu menjalankan fungsi utamanya secara efektif
dan efisien untuk mewujudkan proses pendidikan dan pembelajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan nasional, yakni berkembangnya poteni peserta didik agar
menjadi mansia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga Negara yang demokratis dan
bertanggug jawab.
Untuk memenuhi
kriteria professional itu, guru harus menjalani profesionalisasi atau proses
menuju derajat professional yang sesungguhnya secara terus-menerus, termasuk
kompetensi mengelola kelas. Pengembangan dan peningkatan kompetensi bagi
guru yang sudah memiliki sertifikat pendidik dilakukan dalam rangka menjaga
agar kompetensi keprofesian tetap sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, seni budaya dan/atau olahraga. Pengembangan dan peningkatan
kompetensi dimaksud dilakukan melalui sistem pembinaan dan pengembangan
keprofesian guru berkelanjutan yang dikaitkan dengan perolehan angka kredit
jabatan fungsional.
Pembinaan dan
pengembangan profesi guru (PPPG) meliputi pembinaan kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. PPPG
dilakukan melalui jabatan fungsional. Sementara itu, pembinaan dan pengembangan
karir meliputi penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi. Upaya pembinaan dan
pengembangan karir guru ini harus sejalan dengan jenjang jabatan fungsional
mereka. Pengembangan profesi dan karir tersebut diarahkan untuk meningkatkan
kompetensi dan kinerja guru dalam rangka pelaksanaan proses pendidikan dan
pembelajran dikelas dan luar kelas. Upaya peningkatan kompetensi dan
profesionalitas ini tentu saja harus sejalan dengan upaya untuk memberikan
penghargaan, peningkatan kesejahteraan dan perlindungan terhadap guru.
WF Connell
(1972) membedakan tujuh peran seorang guru yaitu (1) pendidik (nurturer),
(2) model, (3) pengajar dan pembimbing, (4) pelajar (learner), (5)
komunikator terhadap masyarakat setempat, (6) pekerja administrasi, serta (7)
kesetiaan terhadap lembaga.
Peran guru
sebagai pendidik (nurturer) merupakan peran-peran yang berkaitan dengan
tugas-tugas memberi bantuan dan dorongan (supporter), tugas-tugas pengawasan
dan pembinaan (supervisor) serta tugas-tugas yang berkaitan dengan
mendisiplinkan anak agar anak itu menjadi patuh terhadap aturan-aturan sekolah
dan norma hidup dalam keluarga dan masyarakat. Tugas-tugas ini berkaitan dengan
meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak untuk memperoleh
pengalaman-pengalaman lebih lanjut seperti penggunaan kesehatan jasmani, bebas
dari orang tua, dan orang dewasa yang lain, moralitas tanggungjawab
kemasyarakatan, pengetahuan dan keterampilan dasar, persiapan.untuk perkawinan
dan hidup berkeluarga, pemilihan jabatan, dan hal-hal yang bersifat personal
dan spiritual. Oleh karena itu tugas guru dapat disebut pendidik dan
pemeliharaan anak. Guru sebagai penanggung jawab pendisiplinan anak harus
mengontrol setiap aktivitas anak-anak agar tingkat laku anak tidak menyimpang
dengan norma-norma yang ada.
Peran guru
sebagai model atau contoh bagi anak. Setiap anak mengharapkan guru mereka dapat
menjadi contoh atau model baginya. Oleh karena itu tingkah laku pendidik baik
guru, orang tua atau tokoh-tokoh masyarakat harus sesuai dengan norma-norma
yang dianut oleh masyarakat, bangsa dan negara. Karena nilai nilai dasar negara
dan bangsa Indonesia adalah Pancasila, maka tingkah laku pendidik harus selalu
diresapi oleh nilai-nilai Pancasila.
Peranan guru
sebagai pengajar dan pembimbing dalam pengalaman belajar. Setiap guru harus
memberikan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman lain di luar fungsi sekolah
seperti persiapan perkawinan dan kehidupan keluarga, hasil belajar yang berupa
tingkah laku pribadi dan spiritual dan memilih pekerjaan di masyarakat, hasil
belajar yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial tingkah laku sosial anak.
Kurikulum harus berisi hal-hal tersebut di atas sehingga anak memiliki pribadi
yang sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dianut oleh bangsa dan negaranya,
mempunyai pengetahuan dan keterampilan dasar untuk hidup dalam masyarakat dan
pengetahuan untuk mengembangkan kemampuannya lebih lanjut.
Peran guru sebagai pelajar (leamer). Seorang guru dituntut untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan agar supaya pengetahuan dan keterampilan yang dirnilikinya tidak ketinggalan jaman. Pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai tidak hanya terbatas pada pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan tugas profesional, tetapi juga tugas kemasyarakatan maupun tugas kemanusiaan.
Peran guru sebagai pelajar (leamer). Seorang guru dituntut untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan agar supaya pengetahuan dan keterampilan yang dirnilikinya tidak ketinggalan jaman. Pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai tidak hanya terbatas pada pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan tugas profesional, tetapi juga tugas kemasyarakatan maupun tugas kemanusiaan.
Peran guru
sebagai setiawan dalam lembaga pendidikan. Seorang guru diharapkan dapat
membantu kawannya yang memerlukan bantuan dalam mengembangkan kemampuannya.
Bantuan dapat secara langsung melalui pertemuan-pertemuan resmi maupun
pertemuan insidental.
Peranan guru
sebagai komunikator pembangunan masyarakat. Seorang guru diharapkan dapat
berperan aktif dalam pembangunan di segala bidang yang sedang dilakukan. Ia
dapat mengembangkan kemampuannya pada bidang-bidang dikuasainya.
Guru sebagai
administrator. Seorang guru tidak hanya sebagai pendidik dan pengajar, tetapi
juga sebagai administrator pada bidang pendidikan dan pengajaran. Oleh karena
itu seorang guru dituntut bekerja secara administrasi teratur. Segala
pelaksanaan dalam kaitannya proses belajar mengajar perlu diadministrasikan
secara baik. Sebab administrasi yang dikerjakan seperti membuat rencana
mengajar, mencatat hasil belajar dan sebagainya merupakan dokumen yang berharga
bahwa ia telah melaksanakan tugasnya dengan baik.
Daoed Yoesoef
(1980) menyatakan bahwa seorang guru mempunyai tiga tugas pokok yaitu tugas
profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan (sivic mission).
Jika dikaitkan pembahasan tentang kebudayaan, maka tugas pertama berkaitan
dengar logika dan estetika, tugas kedua dan ketiga berkaitan dengan etika.
Tugas-tugas
profesional dari seorang guru yaitu meneruskan atau transmisi ilmu pengetahuan,
keterampilan dan nilai-nilai lain yang sejenis yang belum diketahui anak dan
seharusnya diketahui oleh anak.
Tugas manusiawi
adalah tugas-tugas membantu anak didik agar dapat memenuhi tugas-tugas utama
dan manusia kelak dengan sebaik-baiknya. Tugas-tugas manusiawi itu adalah
transformasi diri, identifikasi diri sendiri dan pengertian tentang diri
sendiri.
Usaha membantu
kearah ini seharusnya diberikan dalam rangka pengertian bahwa manusia hidup
dalam satu unit organik dalam keseluruhan integralitasnya seperti yang telah
digambarkan di atas. Hal ini berarti bahwa tugas pertama dan kedua harus
dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu. Guru seharusnya dengan melalui
pendidikan mampu membantu anak didik untuk mengembangkan daya berpikir atau
penalaran sedemikian rupa sehingga mampu untuk turut serta secara kreatif dalam
proses transformasi kebudayaan ke arah keadaban demi perbaikan hidupnya sendiri
dan kehidupan seluruh masyarakat di mana dia hidup.
Tugas
kemasyarakatan merupakan konsekuensi guru sebagai warga negara yang baik, turut
mengemban dan melaksanakan apa-apa yang telah digariskan oleh bangsa dan negara
lewat UUD 1945 dan GBHN.
Ketiga tugas
guru itu harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan organis harmonis
dan dinamis. Seorang guru tidak hanya mengajar di dalam kelas saja tetapi
seorang guru harus mampu menjadi katalisator, motivator dan dinamisator
pembangunan tempat di mana ia bertempat tinggal.
Ketiga tugas
ini jika dipandang dari segi anak didik maka guru harus memberikan nilai-nilai
yang berisi pengetahuan masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang,
pilihan nilai hidup dan praktek-praktek komunikasi. Pengetahuan yang kita
berikan kepada anak didik harus mampu membuat anak didik itu pada akhimya mampu
memilih nilai-nilai hidup yang semakin komplek dan harus mampu membuat anak
didik berkomunikasi dengan sesamanya di dalam masyarakat, oleh karena anak
didik ini tidak akan hidup mengasingkan diri. Kita mengetahui cara manusia
berkomunikasi dengan orang lain tidak hanya melalui bahasa tetapi dapat juga
melalui gerak, berupa tari-tarian, melalui suara (lagu, nyanyian), dapat
melalui warna dan garis-garis (lukisan-lukisan), melalui bentuk berupa ukiran,
atau melalui simbul-simbul dan tanda tanda yang biasanya disebut rumus-rumus.
Jadi
nilai-nilai yang diteruskan oleh guru atau tenaga kependidikan dalam rangka
melaksanakan tugasnya, tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas
kemasyarakatan, apabila diutarakan sekaligus merupakan pengetahuan, pilihan
hidup dan praktek komunikasi. Jadi walaupun pengutaraannya berbeda namanya,
oleh karena dipandang dari sudut guru dan dan sudut siswa, namun yang diberikan
itu adalah nilai yang sama, maka pendidikan tenaga kependidikan pada umumnya
dan guru pada khususnya sebagai pembinaan prajabatan, bertitik berat sekaligus
dan sama beratnya pada tiga hal, yaitu melatih mahasiswa, calon guru atau calon
tenaga kependidikan untuk mampu menjadi guru atau tenaga kependidikan yang
baik, khususnya dalam hal ini untuk mampu bagi yang bersangkutan untuk
melaksanakan tugas profesional.
Selanjutnya,
pembinaan prajabatan melalui pendidikan guru ini harus mampu mendidik mahasiswa
calon guru atau calon tenaga kependidikan untuk menjadi manusia, person
(pribadi) dan tidak hanya menjadi teachers (pengajar) atau (pendidik) educator,
dan orang ini kita didik untuk menjadi manusia dalam artian menjadi makhluk
yang berbudaya. Sebab kebudayaanlah yang membedakan makhluk manusia dengan
makhluk hewan. Kita tidak dapat mengatakan bahwa hewan berbudaya, tetapi kita
dapat mengatakan bahwa makhluk manusia adalah berbudaya, artinya di sini jelas
kalau yang pertama yaitu training menyiapkan orang itu menjadi guru, membuatnya
menjadi terpelajar, aspek yang kedua mendidiknya menjadi manusia yang
berbudaya, sebab sesudah terpelajar tidak dengan sendininya orang menjadi
berbudaya, sebab seorang yang dididik dengan baik tidak dengan sendininya
menjadi manusia yang berbudaya.
Memang lebih
mudah membuat manusia itu berbudaya kalau ia terdidik atau terpelajar, akan
tetapi orang yang terdidik dan terpelajar tidak dengan sendirinya berbudaya.
Maka mengingat pendidikan ini sebagai pembinaan pra jabatan yaitu di satu pihak
mempersiapkan mereka untuk menjadi guru dan di lain pihak membuat mereka
menjadi manusia dalam artian manusia berbudaya, kiranya perlu dikemukakan
mengapa guru itu harus menjadi rnanusia berbudaya. Oleh kanena pendidikan
merupakan bagian dari kebudayaan; jadi pendidikan dapat berfungsi melaksanakan
hakikat sebagai bagian dari kebudayaan kalau yang melaksanakannya juga
berbudaya. Untuk menyiapkan guru yang juga manusia berbudaya ini tergantung 3 elemen
pokok yaitu :
1.
Orang yang disiapkan menjadi guru ini melalui
prajabatan (initial training) harus mampu menguasai satu atau beberapa
disiplin ilmu yang akan diajarkannya di sekolah melalui jalur pendidikan,
paling tidak pendidikan formal. Tidak mungkin seseorang dapat dianggap sebagai
guru atau tenaga kependidikan yang baik di satu bidang pengetahuan kalau dia
tidak menguasai pengetahuan itu dengan baik. Ini bukan berarti bahwa seseorang
yang menguasai ilmu pengetahuan dengan baik dapat menjadi guru yang baik, oleh
karena biar bagaimanapun mengajar adalah seni. Tetapi sebaliknya biar
bagaimanapun mahirnya orang menguasai seni mengajar (art of teaching),
selama ia tidak punya sesuatu yang akan diajarkannya tentu ia tidak akan pantas
dianggap menjadi guru.
2.
Guru tidak hanya harus menguasai satu atau
beberapa disiplin keilmuan yang harus dapat diajarkannya, ia harus juga
mendapat pendidikan kebudayaan yang mendasar untuk aspek manusiawinya. Jadi di
samping membiasakan mereka untuk mampu menguasai pengetahuan yang dalam, juga
membantu mereka untuk dapat menguasai satu dasar kebudayaan yang kuat. Jadi
bagi guru-guru juga perlu diberikan dasar pendidikan umum.
Pendidikan
terhadap guru atau tenaga kependidikan dalam dirinya seharusnya merupakan satu
pengantar intelektual dan praktis kearah karir pendidikan yang dalam dirinya
(secara ideal kita harus mampu melaksanakannya) meliputi pemagangan. Mengapa
perlu pemagangan, karena mengajar seperti juga pekerjaan dokter adalah seni.
Sehingga ada istilah yang populer di dalam masyarakat tentang dokter yang
bertangan dingin dan dokter yang bertangan panas, padahal ilmu yang diberikan
sama. Oleh karena mengajar dan pekerjaan dokter merupakan art (kiat),
maka diperlukan pemagangan. Karena art tidak dapat diajarkan adalah teknik
mengajar, teknik untuk kedokteran. Segala sesuatu yang kita anggap kiat, begitu
dapat diajarkan diakalau menjadi teknik. Akan tetapi kalau kiat ini tidak dapat
diajarkan bukan berarti tidak dapat dipelajari. Untuk ini orang harus aktif
mempelajarinya dan mempelajari kiat ini harus melalui pemagangan dengan jalan
memperhatikan orang itu berhasil dan mengapa orang lain tidak berhasil, mengapa
yang satu lebih berhasil, mengapa yang lain kurang berhasil.
Peserta didik adalah setiap manusia yang
berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur
pendidikan baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal, pada jenjang
pendidikan dan jenis pendidikan tertentu.
Peserta didik juga dikenal dengan istilah lain
seperti Siswa, Mahasiswa, Warga Belajar, Pelajar, Murid serta Santri.
1. Siswa adalah
istilah bagi peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
2. Mahasiswa
adalah istilah umum bagi peserta didik pada jenjang pendidikan perguruan tinggi
3. Warga Belajar
adalah istilah bagi peserta didik nonformal seperti Pusat Kegiatan Belajar
Masyarakat (PKBM)
4. Pelajar adalah
istilah lain yang digunakan bagi peserta didik yang mengikuti pendidikan formal
tingkat menengah maupun tingkat atas
5. Murid memiliki
definisi yang hampir sama dengan pelajar dan siswa.
6. Santri adalah
istilah bagi peserta didik pada jalur pendidikan non formal, khususnya
pesantren atau sekolah-sekolah yang berbasiskan agama Islam.
Pendidikan merupakan bantuan bimbingan yang
diberikan pendidik terhadap peserta didik menuju kedewasaannya. Sejauh dan
sebesar apapun bantuan itu diberikan sangat berpengaruh oleh pandangan pendidik
terhadap kemungkinan peserta didik untuk di didik.
Sesuai dengan fitrahnya manusia adalah makhluk
berbudaya, yang mana manusia dilahirkan dalam keadaan yang tidak mengetahui
apa-apa dan ia mempunyai kesiapan untuk menjadi baik atau buruk.
Pemenuhan kebutuhan siswa disamping bertujuan
untuk memberikan materi kegiatan setepat mungkin, juga materi pelajaran yang
sudah disesuaikan dengan kebutuhan biasanya menjadi lebih menarik. Dengan
demikian akan membantu pelaksanaan proses belajar-mengajar. Adapun yang menjadi
kebutuhan siswa antara lain :
1. Kebutuhan Jasmani.
Hal ini berkaitan dengan tuntutan siswa yang bersifat jasmaniah.
2. Kebutuhan
Rohaniah. Hal ini berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan siswa yang bersifat
rohaniah
3. Kebutuhan
Sosial. Pemenuhan keinginan untuk saling bergaul sesama peserta didik dan
Pendidik serta orang lain. Dalam hal ini sekolah harus dipandang sebagai
lembaga tempat para siswa belajar, beradaptasi, bergaul sesama teman yang
berbeda jenis kelamin, suku bangsa, agama, status sosial dan kecakapan.
4. Kebutuhan
Intelektual. Setiap siswa tidak sama dalam hal minat untuk mempelajari sesuatu
ilmu pengetahuan. Dan peserta didik memiliki minat serta kecakapan yang berbeda
beda. Untuk mengembangkan nya bisa ciptakan pelajaran-pelajaran ekstra
kurikuler yang dapat dipilih oleh siswa dalam rangka mengembangkan kemampuan
intelektual yang dimilikinya.
Peserta didik adalah salah satu komponen
manusiawi yang menempati posisi sentral dalam proses belajar mengajar. Didalam
proses belajar-mengajar, peserta didik sebagai pihak yang ingin meraih
cita-cita dan memiliki tujuan dan kemudian ingin mencapainya secara optimal.
Jadi dalam proses belajar mengajar yang perlu diperhatikan pertama kali adalah
peserta didik, bagaimana keadaan dan kemampuannya, baru setelah itu menentukan
komponen-komponen yang lain. Apa bahan yang diperlukan, bagaimana cara yang
tepat untuk bertindak, alat dan fasilitas apa yang cocok dan mendukung, semua
itu harus disesuaikan dengan keadaan atau karakteristik peserta didik. Itulah sebabnya
peserta didik merupakan subjek belajar. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi
oleh peserta didik sebagai subjek belajar yaitu :
1.
Memahami dan menerima keadaan jasmani
2.
Memperoleh hubungan yang memuaskan dengan teman-teman sebayanya.
3.
Mencapai hubungan yang lebih “matang” dengan orang dewasa
4.
Mencapai kematangan Emosional
5.
Menunjuk kepada keadaan berdiri sendiri dalam lapangan finansial.
6.
Mencapai kematangan intelektual
7.
Membentuk pandangan hidup
8.
Mempersiapkan diri untuk mendirikan rumah tangga sendiri.
Tujuan pendidikan nasional pada khususnya dan
pembangunan pada umumnya adalah ingin menciptakan “Manusia Seutuhnya” maksudnya
yaitu manusia yang lengkap, selaras, serasi dan seimbang perkembangan semua
segi kepribadiannya. Manusia seutuhnya adalah individu-individu yang mampu
menjangkau segenap hubungan dengan Tuhan, dengan lingkungan atau alam
sekeliling, dengan manusia lain dalam suatu kehidupan sosial yang konstruktif
dan dengan dirinya sendiri. Individu-individu yang demikian pada dirinya
terdapat suatu kepribadian terpadu baik untuk akal pikiran, perasaan, moral dan
keterampilan (cipta, rasa dan karsa), jasmani maupun rohani yang
berkembang secara penuh.
Ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan peserta didik:
1. Aliran
Natifisme
Perkembangan individu semata-mata ditentukan
oleh faktor bawaan dan keturunan. Contohnya : wajah dan perilaku seseorang akan
berkembang sesuai dengan wajah dan perilaku orang tuanya.
2. Aliran
Empirisme
Perkembangan individu semata-mata ditentukan
oleh faktor luar atau lingkungan.
3. Aliran
Konvergensi
Perkembangan individu dipengaruhi baik oleh
faktor bawaan maupun oleh faktor lingkungan.
Karakteristik peserta didik adalah keseluruhan
kelakuan dan kemampuan yang ada pada peserta didik sebagai hasil dari pembawaan
dan lingkungan sosialnya sehingga menentukan pola aktivitas dalam meraih
cita-cintanya. Dengan demikian, penentuan tujuan belajar itu sebenarnya harus
dikaitkan atau disesuaikan dengan keadaan atau karakteristik peserta didik itu
sendiri.
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam
karakteristik peserta didik yaitu:
1. Karakteristik
atau keadaan yang berkenaan dengan kemampuan awal atau Prerequisite skills,
seperti misalnya kemampuan intelektual, kemampuan berfikir, mengucapkan hal-hal
yang berkaitan dengan aspek psikomotor dan lainnya.
2. Karakteristik
yang berhubungan dengan latar belakang dan status sosial (socioculture)
3. Karakteristik
yang berkenaan dengan perbedaan-perbedaan kepribadian seperti sikap, perasaan,
minat dan lain-lain.
Pengetahuan mengenai karakteristik peserta
didik ini memiliki arti yang cukup penting dalam interaksi belajar mengajar.
Terutama bagi guru, informasi mengenai karakteristik peserta didik senantiasa
akan sangat berguna dalam memilih dan menentukan pola-pola pengajaran yang
lebih baik, yang dapat menjamin kemudahan belajar bagi setiap peserta didik.
Adapun Karakteristik Peserta Didik yang
mempengaruhi kegiatan belajar peserta didik antara lain:
1.
Kondisi fisik
2.
Latar belakang pengetahuan dan taraf pengetahuan
3.
Gaya belajar
4.
Usia
5.
Tingkat kematangan
6.
Ruang lingkup minat dan bakat
7.
Lingkungan sosial ekonomi dan budaya
8.
Faktor emosional
9.
Faktor komunikasi
10.
Intelegensia
11.
Keselaran dan attitude
12.
Prestasi belajar
13.
Motivasi dan lain-lain.
Dasar-dasar kodrati ini dapat dimengerti dari
kebutuhan-kebutuhan dasar yang dimiliki oleh setiap anak dalam kehidupannya,
dalam hal ini keharusan untuk mendapatkan pendidikan itu jika diamati lebih
jauh sebenarnya mengandung aspek-aspek kepentingan, antara lain :
1.
Aspek Paedogogis.
Dalam aspek ini para pendidik mendorong manusia
sebagai animal educandum, makhluk yang memerlukan pendidikan. Dalam
kenyataannya manusia dapat dikategorikan sebagai animal, artinya binatang yang
dapat dididik, sedangkan binatang pada umumnya tidak dapat dididik, melainkan
hanya dilatih secara dresser. Adapun manusia dengan potensi yang dimilikinya
dapat dididik dan dikembangkan kearah yang diciptakan.
2.
Aspek Sosiologi dan Kultural.
Menurut ahli sosiologi, pada prinsipnya manusia
adalah moscrus, yaitu makhluk yang berwatak dan berkemampuan dasar untuk hidup
bermasyarakat.
3.
Aspek Tauhid.
Aspek tauhid ini adalah aspek pandangan yang
mengakui bahwa manusia adalah makhluk yang berketuhanan, menurut para ahli
disebut homodivinous (makhluk yang percaya adanya Tuhan) atau disebut juga
homoriligius (makhluk yang beragama).
Dalam kultur Indonesia, hubungan guru dengan siswa sesungguhnya
tidak hanya terjadi pada saat sedang melaksanakan tugas atau selama
berlangsungnya pemberian pelayanan pendidikan. Meski seorang guru sedang dalam
keadaan tidak menjalankan tugas, atau sudah lama meninggalkan tugas (purna
bhakti), hubungan dengan siswanya (mantan siswa) relatif masih terjaga. Bahkan
di kalangan masyarakat tertentu masih terbangun “sikap patuh pada guru”
(dalam bahasa psikologi, guru hadir sebagai “reference group”). Meski
secara formal, tidak lagi menjalankan tugas-tugas keguruannya,
tetapi hubungan batiniah antara guru dengan siswanya masih relatif kuat, dan
sang siswa pun tetap berusaha menjalankan segala sesuatu yang diajarkan
gurunya.
Dalam keseharian kita melihat kecenderungan seorang guru ketika bertemu
dengan siswanya yang sudah sekian lama tidak bertemu. Pada umumnya, sang
guru akan tetap menampilkan sikap dan perilaku keguruannya, meski dalam wujud
yang berbeda dengan semasa masih dalam asuhannya. Dukungan dan kasih
sayang akan dia tunjukkan. Aneka nasihat, petatah-petitih akan meluncur
dari mulutnya.
Begitu juga dengan sang siswa, sekalipun dia sudah meraih kesuksesan hidup
yang jauh melampaui dari gurunya, baik dalam jabatan, kekayaan atau ilmu
pengetahuan, dalam hati kecilnya akan terselip rasa hormat, yang diekspresikan
dalam berbagai bentuk, misalnya: senyuman, sapaan, cium tangan, menganggukkan
kepala, hingga memberi kado tertentu yang sudah pasti bukan dihitung dari nilai
uangnya. Inilah salah satu kebahagian seorang guru, ketika masih bisa sempat
menyaksikan putera-puteri didiknya meraih kesuksesan hidup. Rasa hormat
dari para siswanya itu bukan muncul secara otomatis tetapi justru
terbangun dari sikap dan perilaku profesional yang ditampilkan sang guru ketika
masih bertugas memberikan pelayanan pendidikan kepada putera-puteri didiknya.
Belakangan ini muncul keluhan dari beberapa teman yang menyatakan bahwa
anak-anak sekarang kurang menunjukkan rasa hormatnya terhadap guru. Jangankan
setelah mereka lulus, semasa dalam pengasuhan pun mereka kadang bersikap kurang
ajar. Jika memang benar adanya, tentu hal ini sangat memprihatinkan. Adalah hal
yang kurang bijak jika kita hanya bisa menyalahkan mereka, tetapi mari
kita berusaha merefleksi kembali hubungan kita dengan putera-puteri didik
kita, sejauhmana kita telah menjalin hubungan dengan putera-puteri didik kita,
dengan didasari nilai-nilai sebagaimana diisyaratkan dalam kode etik di atas.
Jangan-jangan itulah faktor penyebab sesungguhnya.
Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa hubungan guru dengan siswa
tidak hanya dikemas dalam bahasa profesional tetapi juga dalam konteks
kultural. Oleh karena itu, mari kita (saya dan Anda semua) terus belajar untuk
sedapat mungkin berusaha menjaga kode etik guru, kita jaga hubungan dengan
putera-puteri didik kita secara profesional dan kultural, agar kita tetap
menjadi guru yang sejatinya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Peserta didik adalah makhluk yang berada dalam
proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing, dimana
mereka sangat memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah
titik optimal kemampuan fitrahnya. Berdasarkan pengertian ini, maka anak didik
dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu,
bimbingan dan pengarahan.
Hal yang harus dipenuhi oleh peserta didik
sebagai subjek belajar yaitu : Memahami dan menerima keadaan jasmani,
Memperoleh hubungan yang memuaskan dengan teman-teman sebayanya, Mencapai
hubungan yang lebih “matang” dengan orang dewasa, Mencapai kematangan
Emosional, Menunjuk kepada keadaan berdiri sendiri dalam lapangan finansial,
Mencapai kematangan intelektual, Membentuk pandangan hidup, Mempersiapkan diri
untuk mendirikan rumah tangga sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar