BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Istilah manajemen, terjemahannya
dalam bahasa Indonesia hingga saat ini belum ada keseragaman.Selanjutnya, bila
kita mempelajari literatur manajemen, maka akan ditemukan bahwa istilah manajemen
mengandung tiga pengertian yaitu: 1. Manajemen sebagai suatu proses, 2.Manajemen sebagai kolektivitas orang-orang yang
melakukan aktivitas manajemen, 3.Manajemen sebagai suatu seni (Art) dan sebagai
suatu ilmu pengetahuan (Science)Menurut pengertian yang pertama, yakni
manajemen sebagai suatu proses, berbeda-beda definisi yangdiberikan oleh para
ahli. Untuk memperlihatkan tata warna definisi manajemen menurut pengertianyang
pertama itu, dikemukakan tiga buah definisi.Dalam Encylopedia of the Social
Sience dikatakan bahwa manajemen adalah suatu proses denganmana pelaksanaan suatu
tujuan tertentu diselenggarakan dan diawasi.Selanjutnya, Hilman mengatakan bahwa manajemen adalah
fungsi untuk mencapai sesuatu melalui kegiatan orang lain dan mengawasi
usaha-usaha individu untuk mencapai tujuan yang sama. Menurut pengertian yang
kedua, manajemen adalah kolektivitas orang-orang yang melakukan
aktivitasmanajemen. Jadi dengan kata lain, segenap orang-orang yang melakukan
aktivitas manajemen dalamsuatu badan tertentu disebut manajemen.Menurut
pengertian yang ketiga, manajemen adalah seni (Art) atau suatu ilmu
pnegetahuan. Mengenai ini pun sesungguhnya belum ada keseragaman pendapat,
segolongan mengatakan bahwa manajemen adalah seni dan segolongan yang lain
mengatakan bahwa manajemen adalah ilmu. Sesungguhnya kedua pendapat itu sama
mengandung kebenarannya. Menurut G.R. Terry manajemen adalah suatu proses atau
kerangka kerja, yang melibatkan bimbingan atau pengarahan suatu kelompok
orang-orang kearah tujuan-tujuan organisasional atau maksud-maksudyang nyata.
Manajemen juga adalah suatu ilmu pengetahuan maupun seni. Seni adalah
suatu pengetahuan bagaimana mencapai hasil yang diinginkan atau dalam kata
lain seni adalah kecakapan yang diperoleh dari pengalaman, pengamatan dan
pelajaran serta kemampuan untuk menggunakan pengetahuan manajemen.Menurut Mary Parker Follet manajemen adalah suatu
seni untuk melaksanakan suatu pekerjaan melalui orang lain. Definisi dari mary
ini mengandung perhatian pada kenyataan bahwa para manajer mencapai suatu
tujuan organisasi dengan cara mengatur orang-orang lain untuk melaksanakan apa
saja yang pelu dalam pekerjaan itu, bukan dengan cara melaksanakan pekerjaan
itu oleh dirinya sendiri. Itulah manajemen, tetapi menurut Stoner bukan hanya
itu saja. Masih banyak lagi sehingga tak ada satu definisi saja yang dapat diterima
secara universal. Menurut James A.F.Stoner, manajemen adalah suatu proses
perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian upaya anggota
organisasi danmenggunakan semua sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Berikut ini adalah pendapat para ahli mengenai makna
dari manajemen, The Liang Gie,
Manajemen : perencanaan,
peng-organisasian, pengarahan, pengkoordinasian dan pengontrolan terhadap
sumber daya manusia dan alam untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Sondang P.
Siagian, Manajemen : kemampuan dan ketrampilan untuk memperoleh
hasil dalam rangka mencapai tujuan melalui kegiatan orang lain. Malayu S.P.
Hasibuan, Manajemen : ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan
sumber daya manusia dan sumber daya yang lain secara efektif dan efisien untuk
mencapai tujuan tertentu.
Kepekaan
melihat kondisi global yang bergulir dan peluang masa depan menjadi modal utama
untuk mengadakan perubahan paradigma dalam manajemen pendidikan. Modal ini akan
dapat menjadi pijakan yang kuat untuk mengembangkan pendidikan. Pada titik
inilah diperlukan berbagai komitmen untuk perbaikan kualitas. Ketika melihat
peluang, dan peluang itu dijadikan modal, kemudian modal menjadi pijakan untuk
mengembangkan pendidikan yang disertai komitmen yang tinggi, maka secara otomatis
akan terjadi sebuah efek domino (positif) dalam pengelolaan organisasi,
strategi, SDM, pendidikan dan pengajaran, biaya, serta marketing pendidikan.
Untuk menuju
point education change (perubahan pendidikan) secara menyeluruh, maka manajemen
pendidikan adalah hal yang harus diprioritaskan untuk kelangsungan pendidikan
sehingga menghasilkan out-put yang diinginkan. Walaupun masih terdapat
institusi pendidikan yang belum memiliki manajemen yang bagus dalam pengelolaan
pendidikannya. Manajemen yang digunakan masih konvensional, sehingga kurang
bisa menjawab tantangan zaman dan terkesan tertinggal dari modernitas.
Jika manajemen
pendidikan sudah tertata dengan baik dan membumi, niscaya tidak akan lagi
terdengar tentang pelayanan sekolah yang buruk, minimnya profesionalisme tenaga
pengajar, sarana-prasarana tidak memadai, pungutan liar, hingga kekerasan dalam
pendidikan. Manajemen dalam sebuah organisasi pada dasarnya dimaksudkan sebagai
suatu proses (aktivitas) penentuan dan pencapaian tujuan organisasi melalui
pelaksanaan empat fungsi dasar: planning, organizing, actuating, dan controlling
dalam penggunaan sumberdaya organisasi. Karena itulah, aplikasi manajemen
organisasi hakikatnya adalah juga amal perbuatan SDM organisasi yang
bersangkutan.
2.1.2.1
Planning
Satu-satunya
hal yang pasti di masa depan dari organisasi apapun termasuk lembaga pendidikan
adalah perubahan, dan perencanaan penting untuk menjembatani masa kini dan masa
depan yang meningkatkan kemungkinan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Mondy
dan Premeaux (1995) menjelaskan bahwa perencanaan merupakan proses menentukan
apa yang seharusnya dicapai dan bagaimana mewujudkannya dalam kenyataan.
Perencanaan amat penting untuk implementasi strategi dan evaluasi strategi yang
berhasil, terutama karena aktivitas pengorganisasian, pemotivasian, penunjukkan
staff, dan pengendalian tergantung pada perencanaan yang baik (Fred R. David,
2004).
Dalam dinamika
masyarakat, organisasi beradaptasi kepada tuntunan perubahan melalui
perencanaan. Menurut Johnson (1973) bahwa: “The planning process can be
considered as the vehicle for accomplishment of system change”. Tanpa
perencanaan sistem tersebut tak dapat berubah dan tidak dapat menyesuaikan diri
dengan kekuatan-kekuatan lingkungan yang berbeda. Dalam sistem terbuka, perubahan
dalam sistem terjadi apabila kekuatan lingkungan menghendaki atau menuntut
bahwa suatu keseimbangan baru perlu diciptakan dalam organisasi tergantung pada
rasionalitas pembuat keputusan. Bagi sistem sosial, satu-satunya wahana untuk
perubahan inovasi dan kesanggupan menyesuaikan diri ialah pengambilan keputusan
manusia dan proses perencanaan.
Dalam konteks
lembaga pendidikan, untuk menyusun kegiatan lembaga pendidikan, diperlukan data
yang banyak dan valid, pertimbangan dan pemikiran oleh sejumlah orang yang
berkaitan dengan hal yang direncanakan. Oleh karena itu kegiatan perencanaan
sebaiknya melibatkan setiap unsur lembaga pendidikan tersebut dalam rangka
peningkatan mutu pendidikan.
Menurut Rusyan
(1992) ada beberapa hal yang penting dilaksanakan terus menerus dalam manajemen
pendidikan sebagai implementasi perencanaan, diantaranya:
-
Merinci tujuan dan menerangkan kepada setiap
pegawai/personil lembaga pendidikan.
-
Menerangkan atau menjelaskan mengapa unit
organisasi diadakan.
-
Menentukan tugas dan fungsi, mengadakan
pembagian dan pengelompokkan tugas terhadap masing-masing personil.
-
Menetapkan kebijaksanaan umum, metode, prosedur
dan petunjuk pelaksanaan lainnya.
-
Mempersiapkan uraian jabatan dan merumuskan
rencana/sekala pengkajian.
-
Memilih para staf (pelaksana), administrator
dan melakukan pengawasan.
-
Merumuskan jadwal pelaksanaan, pembakuan hasil
kerja (kinerja), pola pengisian staf dan formulir laporan pengajuan.
-
Menentukan keperluan tenaga kerja, biaya (uang)
material dan tempat.
-
Menyiapkan anggaran dan mengamankan dana.
-
Menghemat ruangan dan alat-alat perlengkapan.
2.1.2.2
Organizing
Tujuan
pengorganisasian adalah mencapai usaha terkoordinasi dengan menerapkan tugas
dan hubungan wewenang. Malayu S.P. Hasbuan (1995) mendifinisikan
pengorganisasian sebagai suatu proses penentuan, pengelompokkan dan pengaturan
bermacam-macam aktivitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan, menempatkan
orang-orang pada setiap aktivitas ini, menyediakan alat-alat yang diperlukan,
menetapkan wewenang yang secara relative didelegasikan kepada setiap individu
yang akan melakukan aktivitas-aktivitas tersebut. Pengorganisasian fungsi
manajemen dapat dilihat terdiri dari tiga aktivitas berurutan: membagi-bagi
tugas menjadi pekerjaan yang lebih sempit (spesialisasi pekerjaan), menggabungkan
pekerjaan untuk membentuk departemen (departementalisasi), dan mendelegasikan
wewenang (Fred R. David, 2004).
Dalam konteks
pendidikan, pengorganisasian merupakan salah satu aktivitas manajerial yang
juga menentukan berlangsungnya kegiatan kependidikan sebagaimana yang
diharapkan. Lembaga pendidikan sebagai suatu organisasi memiliki berbagai unsur
yang terpadu dalam suatu sistem yang harus terorganisir secara rapih dan tepat,
baik tujuan, personil, manajemen, teknologi, siswa/member, kurikulum, uang,
metode, fasilitas, dan faktor luar seperti masyarakat dan lingkungan sosial
budaya.
Sutisna (1985)
mengemukakan bahwa organisasi yang baik senantiasa mempunyai dan menggunakan
tujuan, kewenangan, dan pengetahuan dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan. Dalam
organisasi yang baik semua bagiannya bekerja dalam keselarasan seakan-akan
menjadi sebagian dari keseluruhan yang tak terpisahkan. Semua itu baru dapat
dicapai oleh organisasi pendidikan, manakala dilakukan upaya: 1) Menyusun
struktur kelembagaan, 2) Mengembangkan prosedur yang berlaku, 3) Menentukan
persyaratan bagi instruktur dan karyawan yang diterima, 4) Membagi sumber daya
instruktur dan karyawan yang ada dalam pekerjaan.
2.1.2.3
Actuating
Dalam
pembahasan fungsi pengarahan, aspek kepemimpinan merupakan salah satu aspek
yang sangat penting. Sehingga definisi fungsi pengarahan selalu dimulai dimulai
dan dinilai cukup hanya dengan mendifinisikan kepemimpinan itu sendiri.
Menurut
Kadarman (1996) kepemimpinan dapat diartikan sebagai seni atau proses untuk
mempengaruhi dan mengarahkan orang lain agar mereka mau berusaha untuk mencapai
tujuan yang hendak dicapai oleh kelompok. Kepemimpinan juga dapat didefinisikan
sebagai suatu kemampuan, proses atau fungsi yang digunakan untuk mempengaruhi
dan mengarahkan orang lain untuk berbuat sesuatu dalam rangka mencapai tujuan
tertentu.
Dari definisi
tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin bertugas untuk memotivasi,
mendorong dan memberi keyakinan kepada orang yang dipimpinnya dalam suatu
entitas atau kelompok, baik itu individu sebagai entitas terkecil sebuah
komunitas ataupun hingga skala negara, untuk mencapai tujuan sesuai dengan
kapasitas kemampuan yang dimiliki. Pemimpin juga harus dapat memfasilitasi
anggotanya dalam mencapai tujuannya. Ketika pemimpin telah berhasil membawa
organisasinya mencapai tujuannya, maka saat itu dapat dianalogikan bahwa ia
telah berhasil menggerakkan organisasinya dalam arah yang sama tanpa paksaan.
Dalam konteks
lembaga pendidikan, kepemimpinan pada gilirannya bermuara pada pencapaian visi
dan misi organisasi atau lembaga pendidikan yang dilihat dari mutu pembelajaran
yang dicapai dengan sungguh-sungguh oleh semua personil lembaga pendidikan.
Soetopo dan Soemanto (1982) menjelaskan bahwa kepemimpinan pendidikan ialah kemampuan
untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang lain untuk mencapai tujuan pendidikan
secara bebas dan sukarela. Di dalam kepemimpinan pendidikan sebagaimana
dijalankan pimpinan harus dilandasi konsep demokratisasi, spesialisasi tugas,
pendelegasian wewenang, profesionalitas dan integrasi tugas untuk mencapai
tujuan bersama yaitu tujuan organisasi, tujuan individu dan tujuan pemimpinnya.
Ada tiga
keterampilan pokok yang dikemukakan Hersey dan Blanchard (1988) -sebagaimana
dikutip oleh Syafaruddin (2005) dalam bukunya Manajemen Lembaga Pendidikan
Islam- yang berlaku umum bagi setiap pimpinan termasuk pimpinan lembaga
pendidikan, yaitu:
1.
Technical skill-ability to use knowledge,
methods, techniques and equipment necessary for the performance of specific
tasks acquired from experiences, education and training.
2.
Human skill-ability and judgment in working
with and through people, including in understanding of motivation and an
application of effective leadership.
3.
Conceptual skill-ability to understand the
complexities of the overall organization and where one’s own operation fits
into the organization. This knowledge permits one to act according to the
objectives of the total organization rather than only on the basis of the goals
and needs of one’s own immediate group.
2.1.2.4
Controling
Sebagaimana
yang dikutif Muhammad Ismail Yusanto (2003), Mockler (1994) mendifinisikan
pengawasan sebagai suatu upaya sistematis untuk menetapkan standar prestasi
kerja dengan tujuan perencanaan untuk mendesain sistem umpan balik informasi;
untuk membandingkan prestasi sesungguhnya dengan standar yang telah ditetapkan
itu; menentukan apakah ada penyimpangan dan mengukur signifikansi penyimpangan
tersebut; dan mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa
semua sumberdaya perusahaan telah digunakan dengan cara yang paling efekif dan
efisien guna tercapainya tujuan perusahaan.
Dalam konteks
pendidikan, Depdiknas (1999) mengistilahkan pengawasan sebagai pengawasan
program pengajaran dan pembelajaran atau supervisi yang harus diterapkan
sebagai berikut:
1)
Pengawasan yang dilakukan pimpinan dengan memfokuskan pada usaha mengatasi
hambatan yang dihadapi para instruktur atau staf dan tidak semata-mata mencari
kesalahan.
2)
Bantuan dan bimbingan diberikan secara tidak langsung. Para staf diberikan
dorongan untuk memperbaiki dirinya sendiri, sedangkan pimpinan hanya membantu.
3)
Pengawasan dalam bentuk saran yang efektif
4)
Pengawasan yang dilakukan secara periodik.
3.
Efektifitas Manajemen dalam Lembaga Pendidikan
Dalam ranah
aktivitas, implementasi manajemen terhadap pengelolaan pendidikan haruslah
berorientasi pada efektivitas terhadap segala aspek pendidikan baik dalam
pertumbuhan, perkembangan, maupun keberkahan (dalam perspektif syariah).
Berikut ini merupakan urgensi manajemen terhadap bidang manajemen pendidikan:
1.
Manajemen Kurikulum
1)
Mengupayakan efektifitas perencanaan
2)
Mengupayakan efektifitas pengorganisasian dan koordinasi
3)
Mengupayakan efektifitas pelaksanaan
4)
Mengupayakan efektifitas pengendalian/pengawasan
1.
Manajemen Personalia
Manajemen ini
berkisar pada staff development (teacher development), meliputi:
1)
Training
2)
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP)
3)
Inservice Education (Pendidikan Lanjutan)
1.
Manajemen Siswa
1)
Penerimaan Siswa (Daya Tampung, Seleksi)
2)
Pembinaan Siswa (Pengelompokkan, Kenaikan Kelas, Penentuan Program, Ekskul)
3)
Pemberdayaan OSIS
1.
Manajemen Keuangan
Dalam keuangan
pengelolaan pendidikan, manajemen harus berlandaskan pada prinsip: efektivitas,
efisiensi dan pemerataan .
1.
Manajemen Lingkungan
Urgensi
manajemen terhadap lingkungan pendidikan bertujuan dalam merangkul seluruh
pihak terkait yang akan berpengaruh dalam segala kebijakan dan keberlangsungan
pendidikan. Manajemen ini berupaya mewujudkan cooperation with Society
dan stake holder identification.
Dalam kontes ini akan dijelaskan mengenai penerapan pendidikan mada
masa ini beserta evaluasi terhadap pendidikan itu sendiri.
Seiring berkembang dan majunya PTAIS, tidak terlepas dari berbagai problem
yang merintangi perjalanannya. Permasalahan yang dialami oleh
PTAIS sangat kompleks, meliputi infrastruktur, mahasiswa, pembiayaan, proses
akademik, kualitas guru dan dosen-dosen.dan kualitas lulusan. Kualitas guru
adalah merupakan salahsatu variebelpenting sangat menentukan dalam upaya untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Melalui lembaga pendidikan yang
berkualitas akan memungkinkan para siswa untuk bisa belajar dengan
maksimal.guru memiliki peran penting untuk memungkinkan para siswa akan dapat
belajar dengan optimal, untuk itu perlu melakukan upaya maksimal yang
sistematis untuk terus meningkatkan kualita spara guru.
Dari segi inftastruktur, walaupun pada umumnya PTAIS telah memiliki kampus,
namun bervariasi antara yang berada di tanah milik dilengkapi dengan bangunan
dan sarana yang memadai, namun ada juga yang masih menyewa, atau di kampus
sendiri namun sarananya masih sederhana dan terbatas. Kampus PTAIS yang berada
di pondok pesantren sangat ideal, namun mahasiswa yang mondok di pesantren
terbatas jumlahnya. Kampus PTAIS rata-rata dilengkapi dengan perpustakaan namun
bervariasi antara yang banyak dan sedikit buku pustakanya. Sedangkan
laboratorium, baik micro teaching, komputer atau bahasa, rata-rata masih
terbatas, bahkan ada yang belum memiliki.
Dari segi mahasiswa, rata-rata Program Studi PTAIS kecil sekali animonya,
apalagi yang selain Prodi PAI, sehingga kualitas in put tidak biasa diseleksi.
Penurunan penerimaan mahasiswa terjadi di semua perguruan tinggi, baik negeri
maupun swasta, hal tersebut karena angka partisipasi kasar nasional masih
rendah, sementara PTN memperluas Program Studi yang menyedot animo yang biasa
masuk PTAIS, dan jumlah PTAIS makin banyak. Salah satu implikasi dari kondisi
ini, PTAIS membuka kelas jauh untuk mengejar animo dengan mendekatkan jarak
antara mahasiswa dengan kampus.
Dampak Dari kecilnya jumlah penerimaan mahasiswa maka mengakibatkan
sulitnya pembiayaan PTAIS, sebab rata-rata pembiayaan PTAIS tergantung pada
dana Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Sedikit sekali, bahkan hampir bisa
dikatakan tidak ada, PTAIS yang mempunyai sumber lain yang menjadi kiprah
usahanya untuk membiayai program akademik. Bantuan dari pemerintah belum
terbuka, harusnya Pemerintah menyetarakan anggaran bagi perguruan tinggi negeri
dan swasta. Terdapat PTAIS yang secara berkala mendapat alokasi anggaran dari
Pemerintah Daerah setempat, terutama yang secara historis kelembagaannya
dibidani oleh Pemerintah Daerah.
Dari problematika sarana yang terbatas, input mahasiswa yang kecil, jumlah
biaya yang tidak memadai, berimplikasi pada problematika proses akademik. Dari
segi kurikulum ditempuh pengurangan SKS sampai batas yang limitatif, dari segi
hari perkuliahan dikurangi jumlahnya perminggu, rekruting dosen terbatas pada
pemenuhan kebutuhan pokok, tidak mustahil terjadi penyederhanaan dalam proses
perkuliahan dan ujian. Yang pasti, darma penelitian masih sangat terabaikan,
kecuali dalam penelitian skripsi yang dilakukan mahasiswa. Begitu juga Kuliah
Kerja Nyata atau yang sejenisnya sebagai salah satu program untuk darma
pengabdian kepada masyarakat, ditunaikan dalam porsi yang terbatas.
Dalam pada itu PTAIS justru menikmati keterbatasan, walaupun tidak tersedia
sarana dan dana yang banyak namun tetap berjuang maksimal dalam proses akademik
melalui mekanisme yang sesuai dengan standar regulasi untuk mengantarkan para
mahasiswa menjadi alumni yang memenuhi kompetensinya.
Problematika di atas berimplikasi bagi masalah kualitas yang belum optimal,
baik kualitas kelembagaannya maupun kualitas lulusan yang menjadi out put
PTAIS. Namun patut disyukuri bahwa berdasarkan hasil akreditasi Badan
Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, PTAIS mendapat akreditasi yang tidak
buruk, walau belum banyak yang mendapat akreditasi puncak, rata-rata
sedang-sedang saja, antara B dan C. Begitu juga lulusan PTAIS, rata-rata
mendapat job di masyarakat karena mayoritas adalah guru agama yang sudah
mendapat status sebelum masuk kuliah atau mendapat tugas setelah lulus, baik
sebagai guru, mubalig, pimpinan organisasi Islam, kader politik dan lain-lain.
Memang masih banyak alumni yang berorientasi untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil
baik di lingkungan Depertemen Agama atau Departemen lain dan Pemerintah Daerah.
Mereka menekuni proses testing yang sudah berulang-ulang namun
kebanyakan dari mereka menjadi Guru Honorer.
Sudah diakui oleh kalayak luas bahwa
perguruan tinggi merupakan tempat untuk meningkatkan kualitas manusia, baik
dari aspek jiwa atau ruh, intelektual,
sosial dan profesionalitasnya. Amanah atau beban itu sebenarnya tidak mudah
dipikul oleh perguruan tinggi, utamanya perguruan tinggi yang tidak didukung oleh finansial yang mencukupi.
Di Indonesia semangat membangun perguruan tinggi sedemikian besar. Semangat
itu terlihat dengan jelas dari jumlah perguruan tinggi yang sedemikian banyak
jumlahnya. Jika dihitung, maka tidak kurang dari 3500 perguruan tinggi di
Indonesia, baik yang berstatus negeri maupun yang berstatus swasta.
Perguruan tinggi negeri, dalam arti
dikelola oleh pemerintah, jumlahnya lebih dari 130 an buah.
Sebagian berada di bawah pengelolaan
kementerian pendidikan dan kebudayaan,
sedang 52 lagi di antaranya dikelola oleh kementerian agama. Dualisme
pengelolaan perguruan tinggi itu tidak lepas dari sejarah kelahirannya.
Perguruan tinggi di Indonesia dilihat dari sejarahnya justru dimulai dari
perguruan tinggi yang berbasis agama. Oleh karena itu tatkala ada pikiran untuk
menyatukan di antara keduanya, bukan merupakan pekerjaan mudah.
Hal lain lagi, menyangkut perguruan tinggi swasta, jumlahnya jauh lebih banyak, hingga
ribuan, dan berada di hampir semua kota
di Indonesia. Hampir-hampir tidak ada kota setingkat kabupaten, apalagi di
pulau Jawa, yang belum memiliki
perguruan tinggi. Perguruan tinggi sudah dirasa serbagai kebutuhan oleh
masyarakat. Oleh karena itu, bagi kota yang belum memiliki perguruan tinggi,
mereka segera mendirikan, setidak-tidaknya berstatus swasta.
Semangat mendirikan perguruan tinggi yang sedemikian besar itu menjadikan
pertumbuhannya sedemikian cepat. Fenomena
itu pada aspek tertentu, memang
menggembirakan. Akan tetapi seringkali penambahan perguruan tinggi itu tidak memperhatikan kualitas yang sebenarnya dibutuhkan. Tidak sedikit perguruan tinggi yang tidak
didukung oleh tenaga pengajar, sarana dan prasarana, dan lingkungan yang dibutuhkan. Ada saja peruruan tinggi
yang menggunakan fasilitas seadanya, hingga program pembelajaran yang
dijalankan juga sebatas memenuhi ukuran formal
dan kemudian yang terjadi adalah
serba formalitas. Inilah satu di antara problem perguruan tinggi.
Problem lainnya adalah menyangkut keterbatasan daya dukung untuk
mengembangkan perguruan tinggi yang seharusnya sudah berorientasi pada
kualitas. Sekalipun jumlah perguruan tinggi
sudah sedemikian banyak, namun baru beberapa saja yang masuk ranking
dunia. Ranking itupun juga masih
berada di urutan akhir, misalnya 400 an
ke atas dari 500 perguruan tinggi besar di dunia. Prestasi
itupun hanya diraih oleh beberapa perguruan tinggi besar, seperti UI,
ITB, UGM, ITS dan lainnya yang jumlahnya beberapa saja.
Berdasarkan data itu menggambarkan
bahwa Indonesia belum memiliki perguruan tinggi yang patut dibanggakan untuk ukuran dunia. Perguruan tinggi di Indonesia belum dijadikan
tempat tujuan belajar bagi bangsa-bangsa
lain, tidak terkecuali oleh bangsa yang
masih berkembang sekalipun. Bahkan
anak-anak Indonesia sendiri masih harus pergi ke negara-negara lain, untuk
mencari lembaga pendidikan tinggi yang dianggap berkualitas. Hanya beberapa
perguruan tinggi saja yang telah kedatangan anak-anak asing.
Problem utama perguruan tinggi di Indonesia, bukan terletak pada kuantitas,
melainkan pada kualitasnya. Selama ini yang dirasakan adalah sama, daya
dukung yang tersedia masih terbatas. Para dosen atau guru besar yang akan
melakukan penelitian, selain keterbatasan dana juga terbatas pula dalam
hal lainnya, misalnya laboratorium,jurnal ilmiah sebagai rujukan maupun
literatur di perpustakaan. Akibatnya,
kegiatan penelitian di kampus-kampus sangat terbatas jumlahnya dan tentu hal
itu juga berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran, dan juga lulusan yang dihasilkan.
Terkait dengan kualitas lulusan perguruan tinggi, pada akhir-akhir ini
terdengar suara yang menyedihkan. Bahwa,
pengangguran di negeri ini ternyata juga terdiri atas para sarjana.
Jumlah pengangguran sarjana itu sudah
sedemikian besar, hingga suara
tentang sarjana menganggur sudah dapat didengarkan di mana-mana. Entah benar
atau tidak, ada informasi bahwa, banyak
tukang ojek di kota-kota besar,
ternyata bergelar sarjana. Jika informasi itu betul, maka perhatian pemerintah terhadap kualitas
perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta,
sudah sangat mendesak untuk diberikan.
Namun di balik itu, juga terdapat suara keras menuntut agar perguruan
tinggi membuka peluang kepada siapapun
yang ingin memasukinya. Perguruan tinggi tidak boleh hanya dinikmati
oleh orang-orang yang memiliki uang, dan
sebaliknya mengabaikan mereka yang tidak berkecukupan. Perguruan
tinggi, terutama yang berstatus negeri,
diharuskan mau menampung bagi siapapun yang berkeinginan dan memiliki
kemampuan intelektual cukup, sekalipun mereka terbatas dari aspek finansialnya.
Tuntutan tersebut sebenarnya terasa
rasional, akan tetapi jelas akan
membebani perguruan tinggi yang
diharapkan mampu mengejar ketertinggalan dari perguruan tinggi lainnya di
dunia. Tanpa dibebani pun, perguruan tinggi yang diharapkan mampu berpacu dimaksud sudah sedemikian berat karena
keterbatasannya, tatkala dukungan dari
pemerintah belum tentu mencukupi. Jika
demikian itu gambarannya, maka keinginan
menjadikan Indonesia memiliki perguruan tinggi kelas dunia pada ranking atau
urutan awal akan semakin jauh.
Oleh karena itu, manakala bangsa ini
ingin dihargai, memiliki harkat dan martabat tinggi di tengah-tengah persaingan
dunia, maka harus ada skala prioritas yang lebih dikedepankan. Beberapa
perguruan tinggi harus didorong untuk maju,
agar mereka mampu mengejar ketertinggalannya dari kemajuan perguruan tinggi kelas dunia. Sementara itu lainnya mendapatkan mandat untuk memenuhi
tuntutan pemerataan.
Dalam bahasa sederhana, perlu dilakukan pembagian tugas di antara perguruan
tinggi yang ada. Beberapa di antaranya dipersilahkan bersaing dengan perguruan
tinggi kelas dunia, dan sebagian lain
diberi mandat untuk melayani masyarakat yang menginginkan belajar hingga
perguruan tinggi. Prioritas terhadap
kualitas dan kuantitas agar bisa berjalan bersama-sama dengan cara
pembagian tugas itu. Jika demikian, maka
tuntutan tersebut akan sama-sama terpenuhi dan problem perguruan tinggi sedikit
banyak terselesaikan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berkenaan dengan manajemen
pendidikan, Islam telah menggariskan bahwa hakikat amal perbuatan haruslah
berorientasi bagi pencapaian ridla Allah SWT. Bila perbuatan manusia memenuhi
dua syarat itu sekaligus, maka amal itu tergolong ahsan (ahsanul amal),
yakni amal terbaik di sisi Allah SWT. Dengan demikian, keberadaan manajemen
organisasi dipandang pula sebagai suatu sarana untuk memudahkan implementasi
Islam dalam kegiatan organisasi tersebut. Implementasi nilai-nilai Islam
berwujud pada difungsikannya Islam sebagai kaidah berpikir dan kaidah amal
dalam seluruh kegiatan organisasi. Nilai-nilai Islam inilah sesungguhnya nilai
utama organisasi yang menjadi payung strategis hingga taktis seluruh aktivitas
organisasi.
Sebagai kaidah berpikir, aqidah
dan syariah difungsikan sebagai asas atau landasan pola pikir dalam
beraktivitas. Sedangkan sebagai kaidah amal, syariah difungsikan sebagai tolok
ukur kegiatan. Tolok ukur syariah digunakan untuk membedakan aktivitas yang
halal atau haram. Hanya kegiatan yang halal saja yang dilakukan oleh seorang
muslim, sementara yang haram akan ditinggalkan semata-mata untuk menggapai
keridloan Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar