Translate

Kamis, 19 Desember 2013

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM



BAB II

KAJIAN PUSTAKA
Istilah manajemen, terjemahannya dalam bahasa Indonesia hingga saat ini belum ada keseragaman.Selanjutnya, bila kita mempelajari literatur manajemen, maka akan ditemukan bahwa istilah manajemen mengandung tiga pengertian yaitu: 1. Manajemen sebagai suatu proses, 2.Manajemen sebagai kolektivitas orang-orang yang melakukan aktivitas manajemen, 3.Manajemen sebagai suatu seni (Art) dan sebagai suatu ilmu pengetahuan (Science)Menurut pengertian yang pertama, yakni manajemen sebagai suatu proses, berbeda-beda definisi yangdiberikan oleh para ahli. Untuk memperlihatkan tata warna definisi manajemen menurut pengertianyang pertama itu, dikemukakan tiga buah definisi.Dalam Encylopedia of the Social Sience dikatakan bahwa manajemen adalah suatu proses denganmana pelaksanaan suatu tujuan tertentu diselenggarakan dan diawasi.Selanjutnya, Hilman mengatakan bahwa manajemen adalah fungsi untuk mencapai sesuatu melalui kegiatan orang lain dan mengawasi usaha-usaha individu untuk mencapai tujuan yang sama. Menurut pengertian yang kedua, manajemen adalah kolektivitas orang-orang yang melakukan aktivitasmanajemen. Jadi dengan kata lain, segenap orang-orang yang melakukan aktivitas manajemen dalamsuatu badan tertentu disebut manajemen.Menurut pengertian yang ketiga, manajemen adalah seni (Art) atau suatu ilmu pnegetahuan. Mengenai ini pun sesungguhnya belum ada keseragaman pendapat, segolongan mengatakan bahwa manajemen adalah seni dan segolongan yang lain mengatakan bahwa manajemen adalah ilmu. Sesungguhnya kedua pendapat itu sama mengandung kebenarannya. Menurut G.R. Terry manajemen adalah suatu proses atau kerangka kerja, yang melibatkan bimbingan atau pengarahan suatu kelompok orang-orang kearah tujuan-tujuan organisasional atau maksud-maksudyang nyata. Manajemen juga adalah suatu ilmu pengetahuan maupun seni. Seni adalah suatu pengetahuan bagaimana mencapai hasil yang diinginkan atau dalam kata lain seni adalah kecakapan yang diperoleh dari pengalaman, pengamatan dan pelajaran serta kemampuan untuk menggunakan pengetahuan manajemen.Menurut Mary Parker Follet manajemen adalah suatu seni untuk melaksanakan suatu pekerjaan melalui orang lain. Definisi dari mary ini mengandung perhatian pada kenyataan bahwa para manajer mencapai suatu tujuan organisasi dengan cara mengatur orang-orang lain untuk melaksanakan apa saja yang pelu dalam pekerjaan itu, bukan dengan cara melaksanakan pekerjaan itu oleh dirinya sendiri. Itulah manajemen, tetapi menurut Stoner bukan hanya itu saja. Masih banyak lagi sehingga tak ada satu definisi saja yang dapat diterima secara universal. Menurut James A.F.Stoner, manajemen adalah suatu proses perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian upaya anggota organisasi danmenggunakan semua sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Berikut ini adalah pendapat para ahli mengenai makna dari manajemen, The Liang Gie,   Manajemen :  perencanaan, peng-organisasian, pengarahan, pengkoordinasian dan pengontrolan terhadap sumber daya manusia dan alam untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Sondang P. Siagian, Manajemen : kemampuan dan ketrampilan untuk memperoleh hasil dalam rangka mencapai tujuan melalui kegiatan orang lain. Malayu S.P. Hasibuan, Manajemen : ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya yang lain secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan tertentu.
Kepekaan melihat kondisi global yang bergulir dan peluang masa depan menjadi modal utama untuk mengadakan perubahan paradigma dalam manajemen pendidikan. Modal ini akan dapat menjadi pijakan yang kuat untuk mengembangkan pendidikan. Pada titik inilah diperlukan berbagai komitmen untuk perbaikan kualitas. Ketika melihat peluang, dan peluang itu dijadikan modal, kemudian modal menjadi pijakan untuk mengembangkan pendidikan yang disertai komitmen yang tinggi, maka secara otomatis akan terjadi sebuah efek domino (positif) dalam pengelolaan organisasi, strategi, SDM, pendidikan dan pengajaran, biaya, serta marketing pendidikan.
Untuk menuju point education change (perubahan pendidikan) secara menyeluruh, maka manajemen pendidikan adalah hal yang harus diprioritaskan untuk kelangsungan pendidikan sehingga menghasilkan out-put yang diinginkan. Walaupun masih terdapat institusi pendidikan yang belum memiliki manajemen yang bagus dalam pengelolaan pendidikannya. Manajemen yang digunakan masih konvensional, sehingga kurang bisa menjawab tantangan zaman dan terkesan tertinggal dari modernitas.
Jika manajemen pendidikan sudah tertata dengan baik dan membumi, niscaya tidak akan lagi terdengar tentang pelayanan sekolah yang buruk, minimnya profesionalisme tenaga pengajar, sarana-prasarana tidak memadai, pungutan liar, hingga kekerasan dalam pendidikan. Manajemen dalam sebuah organisasi pada dasarnya dimaksudkan sebagai suatu proses (aktivitas) penentuan dan pencapaian tujuan organisasi melalui pelaksanaan empat fungsi dasar: planning, organizing, actuating, dan controlling dalam penggunaan sumberdaya organisasi. Karena itulah, aplikasi manajemen organisasi hakikatnya adalah juga amal perbuatan SDM organisasi yang bersangkutan.
2.1.2.1      Planning
Satu-satunya hal yang pasti di masa depan dari organisasi apapun termasuk lembaga pendidikan adalah perubahan, dan perencanaan penting untuk menjembatani masa kini dan masa depan yang meningkatkan kemungkinan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Mondy dan Premeaux (1995) menjelaskan bahwa perencanaan merupakan proses menentukan apa yang seharusnya dicapai dan bagaimana mewujudkannya dalam kenyataan. Perencanaan amat penting untuk implementasi strategi dan evaluasi strategi yang berhasil, terutama karena aktivitas pengorganisasian, pemotivasian, penunjukkan staff, dan pengendalian tergantung pada perencanaan yang baik (Fred R. David, 2004).
Dalam dinamika masyarakat, organisasi beradaptasi kepada tuntunan perubahan melalui perencanaan. Menurut Johnson (1973) bahwa: “The planning process can be considered as the vehicle for accomplishment of system change”. Tanpa perencanaan sistem tersebut tak dapat berubah dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan kekuatan-kekuatan lingkungan yang berbeda. Dalam sistem terbuka, perubahan dalam sistem terjadi apabila kekuatan lingkungan menghendaki atau menuntut bahwa suatu keseimbangan baru perlu diciptakan dalam organisasi tergantung pada rasionalitas pembuat keputusan. Bagi sistem sosial, satu-satunya wahana untuk perubahan inovasi dan kesanggupan menyesuaikan diri ialah pengambilan keputusan manusia dan proses perencanaan.
Dalam konteks lembaga pendidikan, untuk menyusun kegiatan lembaga pendidikan, diperlukan data yang banyak dan valid, pertimbangan dan pemikiran oleh sejumlah orang yang berkaitan dengan hal yang direncanakan. Oleh karena itu kegiatan perencanaan sebaiknya melibatkan setiap unsur lembaga pendidikan tersebut dalam rangka peningkatan mutu pendidikan.
Menurut Rusyan (1992) ada beberapa hal yang penting dilaksanakan terus menerus dalam manajemen pendidikan sebagai implementasi perencanaan, diantaranya:
-            Merinci tujuan dan menerangkan kepada setiap pegawai/personil lembaga pendidikan.
-            Menerangkan atau menjelaskan mengapa unit organisasi diadakan.
-            Menentukan tugas dan fungsi, mengadakan pembagian dan pengelompokkan tugas terhadap masing-masing personil.
-            Menetapkan kebijaksanaan umum, metode, prosedur dan petunjuk pelaksanaan lainnya.
-            Mempersiapkan uraian jabatan dan merumuskan rencana/sekala pengkajian.
-            Memilih para staf (pelaksana), administrator dan melakukan pengawasan.
-            Merumuskan jadwal pelaksanaan, pembakuan hasil kerja (kinerja), pola pengisian staf dan formulir laporan pengajuan.
-            Menentukan keperluan tenaga kerja, biaya (uang) material dan tempat.
-            Menyiapkan anggaran dan mengamankan dana.
-            Menghemat ruangan dan alat-alat perlengkapan.

2.1.2.2      Organizing
Tujuan pengorganisasian adalah mencapai usaha terkoordinasi dengan menerapkan tugas dan hubungan wewenang. Malayu S.P. Hasbuan (1995) mendifinisikan pengorganisasian sebagai suatu proses penentuan, pengelompokkan dan pengaturan bermacam-macam aktivitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan, menempatkan orang-orang pada setiap aktivitas ini, menyediakan alat-alat yang diperlukan, menetapkan wewenang yang secara relative didelegasikan kepada setiap individu yang akan melakukan aktivitas-aktivitas tersebut. Pengorganisasian fungsi manajemen dapat dilihat terdiri dari tiga aktivitas berurutan: membagi-bagi tugas menjadi pekerjaan yang lebih sempit (spesialisasi pekerjaan), menggabungkan pekerjaan untuk membentuk departemen (departementalisasi), dan mendelegasikan wewenang (Fred R. David, 2004).
Dalam konteks pendidikan, pengorganisasian merupakan salah satu aktivitas manajerial yang juga menentukan berlangsungnya kegiatan kependidikan sebagaimana yang diharapkan. Lembaga pendidikan sebagai suatu organisasi memiliki berbagai unsur yang terpadu dalam suatu sistem yang harus terorganisir secara rapih dan tepat, baik tujuan, personil, manajemen, teknologi, siswa/member, kurikulum, uang, metode, fasilitas, dan faktor luar seperti masyarakat dan lingkungan sosial budaya.
Sutisna (1985) mengemukakan bahwa organisasi yang baik senantiasa mempunyai dan menggunakan tujuan, kewenangan, dan pengetahuan dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan. Dalam organisasi yang baik semua bagiannya bekerja dalam keselarasan seakan-akan menjadi sebagian dari keseluruhan yang tak terpisahkan. Semua itu baru dapat dicapai oleh organisasi pendidikan, manakala dilakukan upaya: 1) Menyusun struktur kelembagaan, 2) Mengembangkan prosedur yang berlaku, 3) Menentukan persyaratan bagi instruktur dan karyawan yang diterima, 4) Membagi sumber daya instruktur dan karyawan yang ada dalam pekerjaan.


2.1.2.3      Actuating
Dalam pembahasan fungsi pengarahan, aspek kepemimpinan merupakan salah satu aspek yang sangat penting. Sehingga definisi fungsi pengarahan selalu dimulai dimulai dan dinilai cukup hanya dengan mendifinisikan kepemimpinan itu sendiri.
Menurut Kadarman (1996) kepemimpinan dapat diartikan sebagai seni atau proses untuk mempengaruhi dan mengarahkan orang lain agar mereka mau berusaha untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai oleh kelompok. Kepemimpinan juga dapat didefinisikan sebagai suatu kemampuan, proses atau fungsi yang digunakan untuk mempengaruhi dan mengarahkan orang lain untuk berbuat sesuatu dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin bertugas untuk memotivasi, mendorong dan memberi keyakinan kepada orang yang dipimpinnya dalam suatu entitas atau kelompok, baik itu individu sebagai entitas terkecil sebuah komunitas ataupun hingga skala negara, untuk mencapai tujuan sesuai dengan kapasitas kemampuan yang dimiliki. Pemimpin juga harus dapat memfasilitasi anggotanya dalam mencapai tujuannya. Ketika pemimpin telah berhasil membawa organisasinya mencapai tujuannya, maka saat itu dapat dianalogikan bahwa ia telah berhasil menggerakkan organisasinya dalam arah yang sama tanpa paksaan.
Dalam konteks lembaga pendidikan, kepemimpinan pada gilirannya bermuara pada pencapaian visi dan misi organisasi atau lembaga pendidikan yang dilihat dari mutu pembelajaran yang dicapai dengan sungguh-sungguh oleh semua personil lembaga pendidikan. Soetopo dan Soemanto (1982) menjelaskan bahwa kepemimpinan pendidikan ialah kemampuan untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang lain untuk mencapai tujuan pendidikan secara bebas dan sukarela. Di dalam kepemimpinan  pendidikan sebagaimana dijalankan pimpinan harus dilandasi konsep demokratisasi, spesialisasi tugas, pendelegasian wewenang, profesionalitas dan integrasi tugas untuk mencapai tujuan bersama yaitu tujuan organisasi, tujuan individu dan tujuan pemimpinnya.
Ada tiga keterampilan pokok yang dikemukakan Hersey dan Blanchard (1988) -sebagaimana dikutip oleh Syafaruddin (2005) dalam bukunya Manajemen Lembaga Pendidikan Islam- yang berlaku umum bagi setiap pimpinan termasuk pimpinan lembaga pendidikan, yaitu:
1.   Technical skill-ability to use knowledge, methods, techniques and equipment necessary for the performance of specific tasks acquired from experiences, education and training.
2.   Human skill-ability and judgment in working with and through people, including in understanding of motivation and an application of effective leadership.
3.   Conceptual skill-ability to understand the complexities of the overall organization and where one’s own operation fits into the organization. This knowledge permits one to act according to the objectives of the total organization rather than only on the basis of the goals and needs of one’s own immediate group.
2.1.2.4      Controling
Sebagaimana yang dikutif Muhammad Ismail Yusanto (2003), Mockler (1994) mendifinisikan pengawasan sebagai suatu upaya sistematis untuk menetapkan standar prestasi kerja dengan tujuan perencanaan untuk mendesain sistem umpan balik informasi; untuk membandingkan prestasi sesungguhnya dengan standar yang telah ditetapkan itu; menentukan apakah ada penyimpangan dan mengukur signifikansi penyimpangan tersebut; dan mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumberdaya perusahaan telah digunakan dengan cara yang paling efekif dan efisien guna tercapainya tujuan perusahaan.
Dalam konteks pendidikan, Depdiknas (1999) mengistilahkan pengawasan sebagai pengawasan program pengajaran dan pembelajaran atau supervisi yang harus diterapkan sebagai berikut:
1)      Pengawasan yang dilakukan pimpinan dengan memfokuskan pada usaha mengatasi hambatan yang dihadapi para instruktur atau staf dan tidak semata-mata mencari kesalahan.
2)      Bantuan dan bimbingan diberikan secara tidak langsung. Para staf diberikan dorongan untuk memperbaiki dirinya sendiri, sedangkan pimpinan hanya membantu.
3)      Pengawasan dalam bentuk saran yang efektif
4)      Pengawasan yang dilakukan secara periodik.
3.  Efektifitas Manajemen dalam Lembaga Pendidikan
Dalam ranah aktivitas, implementasi manajemen terhadap pengelolaan pendidikan haruslah berorientasi pada efektivitas terhadap segala aspek pendidikan baik dalam pertumbuhan, perkembangan, maupun keberkahan (dalam perspektif syariah). Berikut ini merupakan urgensi manajemen terhadap bidang manajemen pendidikan:
1.               Manajemen Kurikulum
1)      Mengupayakan efektifitas perencanaan
2)      Mengupayakan efektifitas pengorganisasian dan koordinasi
3)      Mengupayakan efektifitas pelaksanaan
4)      Mengupayakan efektifitas pengendalian/pengawasan
1.               Manajemen Personalia
Manajemen ini berkisar pada staff development (teacher development), meliputi:
1)      Training
2)      Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP)
3)      Inservice Education (Pendidikan Lanjutan)
1.               Manajemen Siswa
1)      Penerimaan Siswa (Daya Tampung, Seleksi)
2)      Pembinaan Siswa (Pengelompokkan, Kenaikan Kelas, Penentuan Program, Ekskul)
3)      Pemberdayaan OSIS
1.               Manajemen Keuangan
Dalam keuangan pengelolaan pendidikan, manajemen harus berlandaskan pada prinsip: efektivitas, efisiensi dan pemerataan .
1.               Manajemen Lingkungan
Urgensi manajemen terhadap lingkungan pendidikan bertujuan dalam merangkul seluruh pihak terkait yang akan berpengaruh dalam segala kebijakan dan keberlangsungan pendidikan. Manajemen ini berupaya mewujudkan cooperation with Society dan stake holder identification.

Dalam kontes ini akan dijelaskan mengenai penerapan pendidikan mada masa ini beserta evaluasi terhadap pendidikan itu sendiri.

Seiring berkembang dan majunya PTAIS, tidak terlepas dari berbagai problem yang merintangi perjalanannya. Permasalahan yang dialami oleh PTAIS sangat kompleks, meliputi infrastruktur, mahasiswa, pembiayaan, proses akademik, kualitas guru dan dosen-dosen.dan kualitas lulusan. Kualitas guru adalah merupakan salahsatu variebelpenting sangat menentukan dalam upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Melalui lembaga pendidikan yang berkualitas akan memungkinkan para siswa untuk bisa belajar dengan maksimal.guru memiliki peran penting untuk memungkinkan para siswa akan dapat belajar dengan optimal, untuk itu perlu melakukan upaya maksimal yang sistematis untuk terus meningkatkan kualita spara guru.
Dari segi inftastruktur, walaupun pada umumnya PTAIS telah memiliki kampus, namun bervariasi antara yang berada di tanah milik dilengkapi dengan bangunan dan sarana yang memadai, namun ada juga yang masih menyewa, atau di kampus sendiri namun sarananya masih sederhana dan terbatas. Kampus PTAIS yang berada di pondok pesantren sangat ideal, namun mahasiswa yang mondok di pesantren terbatas jumlahnya. Kampus PTAIS rata-rata dilengkapi dengan perpustakaan namun bervariasi antara yang banyak dan sedikit buku pustakanya. Sedangkan laboratorium, baik micro teaching, komputer atau bahasa, rata-rata masih terbatas, bahkan ada yang belum memiliki.
Dari segi mahasiswa, rata-rata Program Studi PTAIS kecil sekali animonya, apalagi yang selain Prodi PAI, sehingga kualitas in put tidak biasa diseleksi. Penurunan penerimaan mahasiswa terjadi di semua perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, hal tersebut karena angka partisipasi kasar nasional masih rendah, sementara PTN memperluas Program Studi yang menyedot animo yang biasa masuk PTAIS, dan jumlah PTAIS makin banyak. Salah satu implikasi dari kondisi ini, PTAIS membuka kelas jauh untuk mengejar animo dengan mendekatkan jarak antara mahasiswa dengan kampus.
Dampak Dari kecilnya jumlah penerimaan mahasiswa maka mengakibatkan sulitnya pembiayaan PTAIS, sebab rata-rata pembiayaan PTAIS tergantung pada dana Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Sedikit sekali, bahkan hampir bisa dikatakan tidak ada, PTAIS yang mempunyai sumber lain yang menjadi kiprah usahanya untuk membiayai program akademik. Bantuan dari pemerintah belum terbuka, harusnya Pemerintah menyetarakan anggaran bagi perguruan tinggi negeri dan swasta. Terdapat PTAIS yang secara berkala mendapat alokasi anggaran dari Pemerintah Daerah setempat, terutama yang secara historis kelembagaannya dibidani oleh Pemerintah Daerah.
Dari problematika sarana yang terbatas, input mahasiswa yang kecil, jumlah biaya yang tidak memadai, berimplikasi pada problematika proses akademik. Dari segi kurikulum ditempuh pengurangan SKS sampai batas yang limitatif, dari segi hari perkuliahan dikurangi jumlahnya perminggu, rekruting dosen terbatas pada pemenuhan kebutuhan pokok, tidak mustahil terjadi penyederhanaan dalam proses perkuliahan dan ujian. Yang pasti, darma penelitian masih sangat terabaikan, kecuali dalam penelitian skripsi yang dilakukan mahasiswa. Begitu juga Kuliah Kerja Nyata atau yang sejenisnya sebagai salah satu program untuk darma pengabdian kepada masyarakat, ditunaikan dalam porsi yang terbatas.
Dalam pada itu PTAIS justru menikmati keterbatasan, walaupun tidak tersedia sarana dan dana yang banyak namun tetap berjuang maksimal dalam proses akademik melalui mekanisme yang sesuai dengan standar regulasi untuk mengantarkan para mahasiswa menjadi alumni yang memenuhi kompetensinya.
Problematika di atas berimplikasi bagi masalah kualitas yang belum optimal, baik kualitas kelembagaannya maupun kualitas lulusan yang menjadi out put PTAIS. Namun patut disyukuri bahwa berdasarkan hasil akreditasi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, PTAIS mendapat akreditasi yang tidak buruk, walau belum banyak yang mendapat akreditasi puncak, rata-rata sedang-sedang saja, antara B dan C. Begitu juga lulusan PTAIS, rata-rata mendapat job di masyarakat karena mayoritas adalah guru agama yang sudah mendapat status sebelum masuk kuliah atau mendapat tugas setelah lulus, baik sebagai guru, mubalig, pimpinan organisasi Islam, kader politik dan lain-lain. Memang masih banyak alumni yang berorientasi untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil baik di lingkungan Depertemen Agama atau Departemen lain dan Pemerintah Daerah. Mereka menekuni proses testing yang sudah berulang-ulang namun kebanyakan dari mereka menjadi Guru Honorer.
Sudah diakui oleh kalayak luas bahwa perguruan tinggi merupakan tempat untuk meningkatkan kualitas manusia, baik dari aspek  jiwa atau ruh, intelektual, sosial dan profesionalitasnya. Amanah atau beban itu sebenarnya tidak mudah dipikul oleh perguruan tinggi, utamanya perguruan tinggi yang tidak  didukung oleh finansial yang  mencukupi.
Di Indonesia semangat membangun perguruan tinggi sedemikian besar. Semangat itu terlihat dengan jelas dari jumlah perguruan tinggi yang sedemikian banyak jumlahnya. Jika dihitung, maka tidak kurang dari 3500 perguruan tinggi di Indonesia, baik yang berstatus negeri maupun yang berstatus swasta.
Perguruan tinggi negeri, dalam arti  dikelola oleh pemerintah, jumlahnya lebih dari 130 an buah. Sebagian  berada di bawah pengelolaan kementerian pendidikan dan kebudayaan,  sedang 52 lagi di antaranya dikelola oleh kementerian agama. Dualisme pengelolaan perguruan tinggi itu tidak lepas dari sejarah kelahirannya. Perguruan tinggi di Indonesia dilihat dari sejarahnya justru dimulai dari perguruan tinggi yang berbasis agama. Oleh karena itu tatkala ada pikiran untuk menyatukan di antara keduanya, bukan merupakan pekerjaan mudah.
Hal lain lagi, menyangkut perguruan tinggi swasta,  jumlahnya jauh lebih banyak, hingga ribuan,  dan berada di hampir semua kota di Indonesia. Hampir-hampir tidak ada kota setingkat kabupaten, apalagi di pulau  Jawa, yang belum memiliki perguruan tinggi. Perguruan tinggi sudah dirasa serbagai kebutuhan oleh masyarakat. Oleh karena itu, bagi kota yang belum memiliki perguruan tinggi, mereka  segera mendirikan,  setidak-tidaknya berstatus swasta.
Semangat mendirikan perguruan tinggi yang sedemikian besar itu menjadikan pertumbuhannya sedemikian cepat. Fenomena  itu pada aspek tertentu, memang  menggembirakan. Akan tetapi seringkali penambahan perguruan tinggi  itu tidak memperhatikan kualitas yang  sebenarnya dibutuhkan.  Tidak sedikit perguruan tinggi yang tidak didukung oleh tenaga pengajar, sarana dan prasarana, dan lingkungan  yang dibutuhkan. Ada saja peruruan tinggi yang menggunakan fasilitas seadanya, hingga program pembelajaran yang dijalankan juga sebatas memenuhi ukuran formal  dan kemudian yang  terjadi adalah serba formalitas. Inilah satu di antara problem perguruan tinggi.
Problem lainnya adalah menyangkut keterbatasan daya dukung untuk mengembangkan perguruan tinggi yang seharusnya sudah berorientasi pada kualitas. Sekalipun jumlah perguruan tinggi  sudah sedemikian banyak, namun baru beberapa saja yang masuk ranking dunia.  Ranking itupun juga masih berada  di urutan akhir, misalnya 400 an ke atas dari 500 perguruan tinggi besar di dunia.  Prestasi  itupun hanya diraih oleh beberapa perguruan tinggi besar, seperti UI, ITB, UGM, ITS dan lainnya yang jumlahnya beberapa saja. 
Berdasarkan  data itu menggambarkan bahwa Indonesia belum memiliki perguruan tinggi yang  patut dibanggakan untuk ukuran dunia.  Perguruan tinggi di Indonesia belum dijadikan tempat tujuan belajar  bagi bangsa-bangsa lain,  tidak terkecuali oleh bangsa yang masih berkembang sekalipun.  Bahkan anak-anak Indonesia sendiri masih harus pergi ke negara-negara lain, untuk mencari lembaga pendidikan tinggi yang dianggap berkualitas. Hanya beberapa perguruan tinggi saja yang telah kedatangan anak-anak asing.
Problem utama perguruan tinggi di Indonesia, bukan terletak pada kuantitas, melainkan pada  kualitasnya.  Selama ini yang dirasakan adalah sama, daya dukung yang tersedia masih terbatas. Para dosen atau guru besar yang akan melakukan penelitian,  selain  keterbatasan dana juga terbatas pula dalam hal lainnya, misalnya laboratorium,jurnal ilmiah sebagai rujukan maupun literatur di perpustakaan.  Akibatnya, kegiatan penelitian di kampus-kampus sangat terbatas jumlahnya dan tentu hal itu juga berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran,  dan juga lulusan yang dihasilkan.
Terkait dengan kualitas lulusan perguruan tinggi, pada akhir-akhir ini terdengar suara yang menyedihkan. Bahwa,  pengangguran di negeri ini ternyata juga terdiri atas para sarjana. Jumlah pengangguran sarjana itu sudah  sedemikian besar,  hingga suara tentang sarjana menganggur sudah dapat didengarkan di mana-mana. Entah benar atau tidak, ada informasi bahwa,  banyak tukang ojek di kota-kota besar,  ternyata  bergelar sarjana.  Jika informasi itu betul,  maka perhatian pemerintah terhadap kualitas perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta,  sudah sangat mendesak untuk diberikan.
Namun di balik itu, juga terdapat suara keras menuntut agar perguruan tinggi membuka peluang kepada siapapun  yang ingin memasukinya. Perguruan tinggi tidak boleh hanya dinikmati oleh orang-orang yang memiliki uang,  dan sebaliknya  mengabaikan  mereka yang tidak berkecukupan. Perguruan tinggi, terutama yang berstatus negeri,  diharuskan mau menampung bagi siapapun yang berkeinginan dan memiliki kemampuan intelektual cukup, sekalipun mereka terbatas dari aspek finansialnya.
Tuntutan tersebut sebenarnya  terasa rasional, akan tetapi jelas  akan membebani  perguruan tinggi yang diharapkan mampu mengejar ketertinggalan dari perguruan tinggi lainnya di dunia. Tanpa dibebani pun, perguruan tinggi yang diharapkan mampu berpacu dimaksud  sudah sedemikian berat karena keterbatasannya, tatkala  dukungan dari pemerintah belum tentu mencukupi.  Jika demikian itu gambarannya,  maka keinginan menjadikan Indonesia memiliki perguruan tinggi kelas dunia pada ranking atau urutan awal  akan semakin jauh.
Oleh karena itu,  manakala bangsa ini ingin dihargai, memiliki harkat dan martabat tinggi di tengah-tengah persaingan dunia, maka harus ada skala prioritas yang lebih dikedepankan. Beberapa perguruan tinggi harus didorong untuk maju,  agar mereka mampu mengejar ketertinggalannya dari  kemajuan perguruan  tinggi kelas dunia. Sementara itu  lainnya mendapatkan mandat untuk memenuhi tuntutan pemerataan. 
Dalam bahasa sederhana, perlu dilakukan pembagian tugas di antara perguruan tinggi yang ada. Beberapa di antaranya dipersilahkan bersaing dengan perguruan tinggi kelas dunia, dan  sebagian lain diberi mandat untuk melayani masyarakat yang menginginkan belajar hingga perguruan  tinggi. Prioritas terhadap kualitas dan kuantitas agar bisa berjalan bersama-sama dengan cara pembagian  tugas itu. Jika demikian, maka tuntutan tersebut akan sama-sama terpenuhi dan problem perguruan tinggi sedikit banyak terselesaikan.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Berkenaan dengan manajemen pendidikan, Islam telah menggariskan bahwa hakikat amal perbuatan haruslah berorientasi bagi pencapaian ridla Allah SWT. Bila perbuatan manusia memenuhi dua syarat itu sekaligus, maka amal itu tergolong ahsan (ahsanul amal), yakni amal terbaik di sisi Allah SWT. Dengan demikian, keberadaan manajemen organisasi dipandang pula sebagai suatu sarana untuk memudahkan implementasi Islam dalam kegiatan organisasi tersebut. Implementasi nilai-nilai Islam berwujud pada difungsikannya Islam sebagai kaidah berpikir dan kaidah amal dalam seluruh kegiatan organisasi. Nilai-nilai Islam inilah sesungguhnya nilai utama organisasi yang menjadi payung strategis hingga taktis seluruh aktivitas organisasi.
Sebagai kaidah berpikir, aqidah dan syariah difungsikan sebagai asas atau landasan pola pikir dalam beraktivitas. Sedangkan sebagai kaidah amal, syariah difungsikan sebagai tolok ukur kegiatan. Tolok ukur syariah digunakan untuk membedakan aktivitas yang halal atau haram. Hanya kegiatan yang halal saja yang dilakukan oleh seorang muslim, sementara yang haram akan ditinggalkan semata-mata untuk menggapai keridloan Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar