Translate

Jumat, 20 Desember 2013

Asbabun Nuzul


Bab II
Pembahasan
A.   Pengertian Asbabun Nuzul
Secara etimologi asbabun nuzul terdiri dai dua katayaitu asbab jamak dari sabab yang berarti sebab atau latar belakakang, sedangkan nuzul diambil dari masdar ghairu mim dari madli nazala, yanzilu, nuzulan yang berarti turun. Sedangkan menurut terminologi ialah suatu pristiwa atau kejadian tertentu, kemudianturunlah satu atau beberapa ayat al-Qur’an mengenai pristiwa itu. Atau suatu pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengetahui hukum syara’ atau untuk menafsirkan suatu yang berkaitan dengan agama kemudian turun satu ayat atau beberapa ayat. Maka semua itu disebut dengan Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat)[1].
B.   Faedah Mengetahui Asbabun Nuzul
Mengetahui latar belakang turunnya ayat-ayat Al-Qur’an, akan menimbulkan prespektif dan menambah khazanah perbendaharaan pengetahuan baru. Dengan mengetahui hal tersebut kita akan lebih memahami arti dan makna ayat-ayat itu dan akan menghilangkan keragu-raguan dalam menafsirkannya.
Imam Wahidi berpendapat, untuk mengetahui tafsir suatu ayat Al-Qur’an tidak mungkin bisa tanpa mengetahui latar belakang peristiwa dan kejadian diturunkannya. Ibnu daqiq Al-Ied berpendapat, bahwa keterangan tentang turunnya ayat merupakan jalan yang kuat dalam memahami arti dan ma’na Al-Qur’an. Sedangkan menurut pendapat Ibnu taimiyah, mengetahui latar belakang turunnya suatu ayat, sangat menolong kita dalam memahami ma’na ayat itu sendiri, sebab dengan mengetahui peristiwa turunnya itu memberikan dasar untuk mengetahui penyebabnya. Pengetahuan tentang latar belakang turunnya ayat (asbabun nuzul) dianggap sangat penting oleh para ulama, sehingga banyak di antara mereka yang mengadakan pengumpulan bahan dan mendalamkan penelitian asbabun nuzul[2].
Imam suyuthi[3] dalam kitabnya yang bernama al itqon menyatakan bahwasannya ada seorang ulama ahli tafsir tidak setujuh tentang adanya faedah dalam mengetahui asbabun nuzul karena itu termasuk ilmu sejarah atau sejarah penurunan al-Qur’andan tidak termasuk dalam ilmu al-Qur’an. Namun, qaul seperti itu dianggap salah karena asbabun nuzul berperan sebagai perubahan terhadap ma’na dekat yang dikehendaki oleh Allah azza wajallaI.[4]
Mengetahui asbabun nuzul sangatlah penting. Tidak mungkin orang bias mengetahui tafsir suatu ayat tanpa mengetahui kisah dan penjelasan mengenai turunnya terlebih dahulu. Ibnu Taimiyah[5] berkata mengetahui asbabun nuzul  itu sangat membantu untuk mengetahui ayat, sesungguhnya dengan mengetahui ‘sebab’ akan mendapatkan ilmu Musabbab (Allah)[6]
Dengan demikian, jelas betapa pentingnya asbabun nuzul ini dalam hubungannya dengan ilmu-ilmu al-Qur’an.
Adapun faedah-faedah mengetahui asbabun nuzul sebagai mana berikut:
a.     Dapat mengetahui hikmah disyari’atkannya hukum. Contoh: Marwan mendapatkan kesulitan memaknai ma’na ayat :
Ÿw ¨ûtù|¡øtrB tûïÏ%©!$# tbqãmtøÿtƒ !$yJÎ/ (#qs?r& tbq6Ïtä¨r br& (#rßyJøtä $oÿÏ3 öNs9 (#qè=yèøÿtƒ Ÿxsù Nåk¨]u;|¡øtrB ;oy$xÿyJÎ/ z`ÏiB É>#xyèø9$# ( öNßgs9ur ë>#xtã ÒOŠÏ9r& ÇÊÑÑÈ  
Artinya: “ Janganlah kamu kira mereka yang bersuku ria atas perbuatannya dan suka di puji dengan sesuatu yang tidak mereka perbuat, janganlah kamu kira mereka akan lepas dari siksaan, dan untuk mereka itu siksaan yang paling pedih.” (QS. Ali Imron:188)
Kemudian beliau memerintahkan pembantunya: “pergilah kepada Ibnu Abbas dan katakanlah, ‘Kalau saja setiap orang yang suka atas sesuatu yang telah diperbuat serta suka dipuji atas sesuatu yang tidak diperbuat itu disiksa’”. Ibnu Abbas lalu menerangkan, namun orang itu tetap tidak paham. Kemudian Ibnu Abbas berkata: “Sesungguhnya ayat ini turun pada ahli kitab-Yahudi- ketika mereka ditanya oleh Nabi saw. mereka menyembunyikan sesuatu kepada Nabi saw. Bahkan mereka mengatakan yang lain. Mereka kira tekag mengabarkan sesuatu yang dipertanyakan Nabi saw., dan turunlah ayat tersebut. (HR. Bukhary Muslim)
b.    Membantu memahami ayat dan menghindari ketidak jelasan dari ayat tersebut. Contoh: Urwah bin Zubair r.a kebingungan memaknai friman Allah
* ¨bÎ) $xÿ¢Á9$# nouröyJø9$#ur `ÏB ̍ͬ!$yèx© «!$# ( ô`yJsù ¢kym |MøŠt7ø9$# Írr& tyJtFôã$# Ÿxsù yy$oYã_ Ïmøn=tã br& š§q©Ütƒ $yJÎgÎ/ 4 `tBur tí§qsÜs? #ZŽöyz ¨bÎ*sù ©!$# íÏ.$x© íOŠÎ=tã ÇÊÎÑÈ  
 Sesungguhnya Shafā dan Marwah adalah sebahagian dari syiar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Menerima kebaikan, Maha Mengetahui. (QS. Al Baqoroh: 158)
Tampak lahirnya ayat ini mengisyaratkan bahwa sa’i (antara Shofa dan Marwah) itu tidak wajib. Sampai-sampai Urwah bertanya kepada bibinya Aisyah: “ Wahai bibi! Sesungguhnya Allah berfirman “Maka tiada mengapa ia berlari-lari antara keduanya...” Menurut pendapatku tidak mengapalah orang meninggalkan sa’i antara keduanya, “ Kemudian Aisyah bercerita kepadanya: “ Pada zaman Jahiliyah manusia bersa’i antara Shafa dan Marwah. Mereka menyengaja dua berhala. Satu di shafa namanya Isafa dan satunya lagi di marwah, namanya Na’ilah. Ketika orang-orang telah masuk Islam, maka sebagian sahabat ada yang tidak mau bersa’i lagi, karena takut ibadahnya itu serupa dengan ibadahnya orang-orang Jahiliyah. Kemudian turunlah ayat tadi untuk menolak anggapan berdosa itu dan sekaligus diwajibkan mereka bersa’i karena Allah, bukan karena berhala”. Demikianlah Aisyah menolak paham Urwah bin Zubair. Dan itu disebabkan karena tahu asbabun nuzul.
c.    Menolak anggapan meringkas hukum yang berfaedah  dengan nampaknya peringkasan itu. Contoh:
@è% Hw ßÉ`r& Îû !$tB zÓÇrré& ¥n<Î) $·B§ptèC 4n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜtƒ HwÎ) br& šcqä3tƒ ºptGøŠtB ÷rr& $YByŠ %·nqàÿó¡¨B ÷rr& zNóss9 9ƒÍ\Åz ¼çm¯RÎ*sù ê[ô_Í ÷rr& $¸)ó¡Ïù ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ 4 Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã ¨bÎ*sù š­/u Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÊÍÎÈ  
 “ Katakanlah, ‘Tiada aku peroleh dalam apa yang diwahyukan kepadaku (suatu makanan) yang diharamkan atas orang yang memakannya, kecuali mayat (bangkai), darah yang mengalir atau daging babi, karena demikian itu keji atau fasik (hewan) yang disembelih bukan dengan nama Allah.”(QS. Al An’am: 145)
Imam Syafi’i berkata: “ Ketika orang kafir telah mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah dan menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah, maka datang ayat tersebut untuk membatalkan pendapat mereka. Seolah-olah Allah Swt. mengatakan, ‘Yang halal justru yang telah kamu haramkan dan yang haram justru yang telah kamu halalkan’. Akan tetapi maksud ayat ini hanya menetapkan hukum haram, bukan menetapkan hukum halal[7]. Imam Haromain memberikan komentar: “Inilah pendapat yang amat bagus. Kalau saja imam syafi’i tidak mengemukakan demikian, tentu kami tidak akan diperkenankan berbeda pendapat dengan imam malik dalam meringkas hukum haram dalam apa yang telah disebutkan ayat tersebut[8].
Dan penjelasan makna ayat perlu dikemukakan ada ayat yang lahir menunjukkan “ringkasannya” sesuatu yang diharamkan.
d.   Kekhususan hukum disebabkan oleh sebab tertentu. Contoh: Sebagian Ulama’ tidak mengetahui makna firman Allah Azza wajalla
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ ۚ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا.
“Perempuan-perempuan yang telah putus dari haid (darah yang keluar disetiap bulan), jika kamu ragu-ragu (tentang iddanya), maka iddanya tiga bulan.”
Sehingga meraka mengatakan: “Jelas perempuan yang putus darah haidnya, tidak mempunyai iddah”. Namun pendapat ini salah. Setelah mengetahui asbabun nuzul kesalahpahaman mereka menjadi Nampak. Sebenarnya, ayat ayat itu ditunjukkan pada orang yang tidak mengerti hokum iddah seorang perempuan dan juga masih ragu, apakah mereka itu mempunyai iddah atau tidak. Jadi, makna (ان ارتبتم) adalah: jika kamu kesulitan menghukumi mereka, maka inilah hukum mereka itu. Dan sesunggunya ayat ini turun setelah ada sebagian sahabat mengatakan bahwa iddah seorang wanita itu tidak disebutkan dalam al-Qur’an. Yakni gadis-gadis kecil dan wanita yang berhenti haid dikarenakan faktor lanjut usia. Maka turunlah ayat tersebut untuk menerangkan iddah masing-masing perempuan[9].
e.       Mengerti nama yang dituju oleh turunnya ayat dan sekaligus menghilangkan kesalah pahaman. Contoh: Marwan mengira bahwa ayat 17 surat al-Ahqof: وَالَّذِي قَالَ لِوَالِدَيْهِ أُفٍّ لَكُمَا itu diturunkan pada kisah Abdur Rahman bin Abi Bakar. Aisyah membantanh: “Itu tidak benar”. Kemudian Aisyah menjelaskan sebab turunnya ayat dan perinciannya kepada Marwan, sesuai yang diriwayatkan oleh imam Bukhari r.a:
            “Marwan itu sebagai pejabat di Madinah. Maka Muawiyah berkirim surat kepadanya, mengabarkan bahwa Yazid hendak diangkat sebagai khalifah, marwan segera mengumpulkan orang-orang dan berpidato. Marwan dalam pidatonya menyebutkan tentang Yazid dan mengajak agar berbaiat kepadanya. Kata Marwan “Sungguhnya Amirul Mu’minin menilai Yazid itu mempunya pendapat yang cemerlang. Jika beliau mengangkatnya sebagai khalifah, maka demikianlah Abu Bakar dan Umar’. Mendengar itu Abu bakar berkata, ‘Tidak! Kepemimpiman hanyalah seperti raja-raja romawi’ (Heracliusme). Marwan mengatakan ‘ Inilah sunnah Abu Bakara dan Umar’. Abdurrahman menegaskan lagi. Hiracliusme! Demi Allah Abu Bakar tidak pernah memberikan jabatan itu kepada anak atau keluarganya. Tapi, Muawiyah memberikan kemulyaan itu kepada anaknya’. Kemudian Marwan mendesak, ‘tangkap dia (Abdurrahman)!’, lalu Abdurrahman masuk ke pondoknya Aisyah sementara orang-orang tidak mampu menolongnya. Kata Marwan, ‘Inilah orang-orang yang dikehendaki Allah dalam firmanNya (artinya); Orang yang berkata kepada ibu bapaknya; cis, kamu berdua, adakah kamu janjikan kepadaku bahwa aku akan dikeluarkan (dari dalam kubur) sesungguhnya telah lalu umat sebelumku.”. Maka Aisyah r.a menjawab dari hijab, ‘Allah tidak pernah menurunkan ayat al-Qur’an tentang kasus orang tertentu diantara kita, kecuali ayat yang menurunkan tentang uzurku (kebebasanku). Kalau aku mau memberi nama orang yang ditujuh oleh turunnya ayat, tentu aku sampaikan[10].
C.   Cara Mengetahui Asbabun Nuzul
Perlunya mengetahui asbabun nuzul, al-wahidi berkata:” tidak mungkin kita mengetahui penafsiran ayat al-qur’an tanpa mangetahui kisahnya dan sebab turunnya ayat adalah jalan yang kuat dalam memahami makna al-qur’an”. Ibnu taimiyah berkata: mengetahui sebab turun ayat membantu untuk memahami ayat al-qur’an. Sebab pengetahuan tentang “sebab” akan membawa kepada pengetahuan tentang yang disebabkan (akibat).
Namum sebagaimana telah diterangkan sebelumnya tidak semua al-qur’an harus mempunyai sebab turun, ayat-ayat yang mempunyai sebab turun juga tidak semuanya harus diketahui sehingga, tanpa mengetahuinya ayat tersebut bisa dipahami, ahmad adil kamal menjelaskan bahwa turunnya ayat-ayat al-qur’an melalui tiga cara: Pertama, ayat-ayat turun sebagai reaksi terhadap pertanyaan yang dikemukakan kepada nabi. Kedua, ayat-ayat turun sebagai permulaan tanpa didahului oleh peristiwa atau pertanyaan. Ketiga, ayat-ayat yang mempunyai sebab turun itu terbagi menjadi dua kelmpok;
Ayat-ayat yang sebab turunnya harus diketahui ( hukum ) karena asbabun nuzulnya harus diketahui agar penetapan hukumnya tidak menjadi keliru. Sedangkan ayat-ayat yang sebab turunnya tidak harus diketahui, ( ayat yang menyangkut kisah dalam al-qur’an).
Kebanyakan ayat-ayat kisah turun tanpa sebab yang khusus, namun ini tidak benar bahwa semua ayat-ayat kisah tidak perlu mengetahui sebab turunnya, bagaimanpun sebagian kisah al-qur’an tidak dapat dipahami tanpa pengetahuan tentang sebab turunnya.
Yang menjadi pedoman dasar para ulama dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari Rasulullah atau dari sahabat. Itu disebabkan pemberitahuan seorang sahabat menenai hal seperti ini, bila jelas, itu bukan sekedar pendapat (ra’y), tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada Rasulullah).
Dari uraian di atas jelaslah bahwa asbabun nuzul itu tidak bisa diketahui semata-mata dengan akal (rasio), tidak lain mengetahuinya harus berdasarkan riwayat yang shahih dan didengar langsung dari orang-orang yang mengetahui turunnya al-Qur’an, atau dari orang-orang yang memahami asbabun nuzul, lalu mereka menelitinya dengan cermat, baik dari kalangan sahabat, tabi’in atau lainnya dengan catatan pengatahuan mereka diperoleh dari ulama-ulama yang dapat dipercaya. Sehingga tidak dimungkinkan adanya ijtihad.
Cara yang digunakan para sahabat untuk mengetahui sebab turunya al-Qur’an tidaklah sama, diantaranya adalah:
1.    Apabila perawi sendiri menyatakan lafadh sebab dengan ungkapan yang jelas, seperti:
        سَبَبُ نُزُوْلِ هذِهِ الْايَةِ كذَا (sebab turunnya ayat ini demikian).
Ungkapan ini secara definitif menunjukkan asbabun nuzul dan tidak mengandung kemungkinan makna lain.
2.      Bila perawi menyatakan riwayatnya dengan memasukkan huruf “fa’ ta’qibiyah” pada        kata-kata “nazala” seperti kata-kata perawi: حَدَّثَ كَذَا ... أَوْ سُئِلَ النَّبِيُ عَلَيْهِ السَّلَامُ عَنْ كَذَا فَنَزَلَتْ
Riwayat yang demikian juga merupakan nash yang sharih dalam sebab nuzul.
3.      Apabila seorang perawi menyatakan نَزَلَتْ هذِهِ الْايَةُ فِيْ كَذَا    (ayat ini turun tentang itu), maka ibarat ini mengandung dua kemungkinan, yakni: mungkin itu merupakan sebab turun ayat tersebut dan mungkin pula mengandung suatu hukum dalam ayat itu.
Dalam hal ini al-Zarkasyi dalam kitabnya al-Burhan berkata:
قَدْ عُرِفَ مِنْ عَادَةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ اَنَّ اَحَدَهُمْ اِذَا قَالَ : نَزَلَتْ هذِهِ الْايَةُ فِيْ كَذَا فَإِنَّهُ يُرِيْدُ بِذلِكَ اَنَّ هذِهِ الايَةَ تَتَضَمَّنُ هذَا الْحُكْمُ لَا اَنَّ هذَا كَانَ السَّبَبَ فِي نُزُوْلِهَا
 “Telah diketahui kebiasaan para sahabat dan tabiin, bahwa apabila mereka mengatakan: ‘Turun ayat ini tentang itu’, maka maksud mereka ialah menerangkan, bahwa ayat itu mengandung hukum itu, bukan dimaksudkan untuk menerangkan sebab turun ayat.”[11]
D.   Ayat Al-Qur’an yang Diturunkan Pertama
Para ulama mempunyai banyak pendapat dalam masalah ayat apa yang pertama kali diturunkan dan apa yang terakhir. Di sini syekh Mana’ Qoththon[12] memaparkan masalah ini secara singkat dan memilah-milah mana pendapat yang paling kuat.
1.    Yang turun pertama kali
a)      Pendapat yang paling shohih mengenai yang pertama kali turun ialah firman Allah,
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ   t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ   ù&tø%$# y7š/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ   Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ   zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ ÇÎÈ  
“Bacalah dengan menyebut nama Allah yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu lebih muliah. Yang mengajarkan manusia (Adam) dengan perantaran kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al Alaq: 1-5)
Dasar pendapat ini adalah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dari Aisyah r.a yang mengatakan, “Wahyu yang pertama kali yang dialami Rasul saw. Adalah mimpi yang benar diwaktu tidur. Beliau melihat dalam mempi itu datangnya bagaikan terangnya pagi hari. Kemudian beliau suka menyendiri. Beliau pergi ke gua Hira’ untuk beribadah beberapa malam. Untuk itu beliau membawa bekal. Kemudian beliau pulang lagi ke Khadijah r.a, maka Khadijah pun membekali beliau seperti yang terdahulu. Lalu, di gua Hira’ datanglah kepada beliau suatu kebenaran, yaitu malaikat Jibril, yang berkata kepada Nabi saw, “Bacalah!” Rasulallah saw menceritakan, maka akupun menjawab, ‘Aku tidak bisa membaca. ‘Malaikat tersebut kemudian memelukku sehingga aku merasa amat payah. Lalu aku dilepaskan, dan dia berkata lagi, “Bacalah!”. Rasulallah menceritakan, maka akupun menjawab, ‘Aku tidak bisa membaca. ‘Kemudian dia memelukku yang kedua kalinya sampai aku kepayahan. Kemudian dia lepaskan lagi dan berkata, “Bacalah!”. Aku menjawab, ‘Aku tidak bisa membaca. ‘Maka dia merangkulku yang ketiga kalinya sehingga aku kepayahan, kemudian dia berkata, ‘Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan...’sampai dengan’...apa yang tidak diketahuinya”
2.    Dikatan pula, bahwa ayat yang pertama kali turun adalah ayat g “ياايهاالمدثر” (Hai orang-orang yang berselimut). Ini didasarkan pada hadist yan diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Salama bin Abdirrahman. Dia berkata, “Aku bertanya kepada Jabir bin Abdullah, ‘Yang di antara Qur’an itu yang turun pertama kali?’Dia menjawab, ‘ياايهاالمدثر . ‘Aku bertanya lagi, ‘Bukannya إقراءباسم ربك ?’ Dia menjawab ‘Aku katakan kepadamu apa yang dikatakan Rosulallah kepada kami. Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku berdiam diri di gua Hira’, Maka ketika habis masa diamku, aku turun kemudian aku telusuri lembah, aku lihat ke muka, ke belakang, ke kanan dan ke kiri. Lalu aku lihat ke langit, tiba-tiba aku melihat Jibril yang amat menakutkan. Maka aku pulang ke Khadijah. Khadijah memerintahkan mereka untuk menyelimuti aku. Lalu Allah menurunkan, ‘Wahai orang yang berselimut; bangkitlah, dan berilah pringatan.
Hadist Jabir dapat dijelaskan bahwa pertanyaan itu mengenai surat yang diturunkan secara penuh. Jabir menjelaskan bahwa surat al-Mudatsir-lah yang turun secara penuh sebelum surat Iqra’ selesai diturunkan semuanya. Sebab, yaqng turun pertama kali dari surat Iqra’ itu hanyalah permulaannya saja. Hal seperti ini juga diperkuat oleh Abu Salamah dari jabir. Jabir berkata, “Aku mendengar dari Rosulallah saw. ketika beliau berbicara tentang masa diturunkan wahyu. Beliau berkata, ‘Ketika aku berjalan, aku mendengar suara dari langit. Lalu aku angkat kepalaku. Kemudian aku melihat malaikat yang mendatangiku di gua Hira’ itu duduk di atas kursi diantara langit dan bumi. Akupun segera pulang dan aku berkata; Selimutilah aku! Maka mereka pun menyelimutiku. Lalu Allah menurunkan “"ياايهاالمدثر.
3.    Pendapat lain mengatakan, bahwa yeng pertama kali turun adalah surat al-Fatehah. Mungkin yang dimaksud adalah surat yang pertama kali turun secara lengkap.
4.    Ada juga yang berpendapat, bahwa ayat yang pertama kali turun adalah Bismillahirohmanirrohim, karena basmallah ikut turun mendahului setiap surat. Dalil-dalil kedua pendapat diatas adalah hadist-hadist mursal.[13] Pendapat pertama yang didukung oleh hadist Aisyah itulah pendapat yang paling kuat dan mashur.
E.   Pelajaran dari Ayat Al-Qur’an yang Diturunkan Pertama
Wahyu pertama diawali dengan perintah membaca, mengapa?
Ketika Nabi menginjak usia 40, beiau dikagetkan oleh kedatangan Jibril yang tiba-tiba menyuruhnya untuk membaca. Kalau kita merenung sejenak, bukankah saat itu Nabi berada di Gua Hiro dan waktu malam? Sudah dapat dipastikan pasti suasananya gelap-gulita, tetapi mengapa Jibril menyuruh Nabi membaca? Hingga akhirnya terjadi tarik-ulur antara Jibril dan Muhammad, dan menurut riwayat kejadian tersebut hingga berulang tiga kali. Kenapa tiga kali, apa Jibril tidak merasa kasihan atau apa karena Jibril tidak mengerti keadaan Muhammad?
Alangkah bijak bila kita mencoba mengambil hikmah dari kejadian tersebut. Mungkin, bukan karena Jibril tidak mengerti kondisi Nabi, perintah dan pelukannya itu sebagai upaya agar Muhammad tidak merasa ragu akan apa yang bakal diterimanya. Sebab, jangan-jangan kalau langsung diajari surat Al-Alaq, Nabi akan merasa ragu kalau itu dari Tuhan atau malah menganggap dirinya dalam keadaan tidak sadar atau itu semua dianggapnya sebagai mimpi belaka.
Dengan demikian, kemungkinan besar, prosesi tarik ulur itu bertujuan agar Nabi betul-betul menyadari bahwa beliau sedang berhadapan dengan utusan Tuhan, yang mengabarinya dengan kenabian, ia tidak dalam keadaan ngigau. Walaupun kenyataan tersebut menyadarkan beliau bahwa dia menerima pengajaran dalam keadaan terjaga, toh Nabi masih merasa ragu kalau pengajaran itu berasal dari Tuhan, sehingga ketika ia kembali kepada Khadijah, beliau diajak menemui pamannya. Dari penjelasan pamannya, Nabi menjadi lebih merasa yakin kalau dirinya sudah diangkat menjadi nabi.
Lebih lanjut, ayat pertama dari wahyu pertama “Bacalah dengan nama Tuhanmu” memunculkan pertanyaan “apa yang harus dibaca?”. Ditinjau dari prespektif kebahasaan, jika satu ungkapan tidak disebutkan maf’ul (obyek)-nya, maka ia menunjukkan umum, mencangkup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut, seperti alam raya dan masyarakat. Dengan demikian, tuhan menyuruh Nabi agar mambaca ayat-ayat Tuhan yang tertulis ataupun ayat-ayat yang tercipta.tetapi yang menjadi titik tekan ayattersebut adalah pembacaan tersebut haruslah dilandasi atas nama Tuhan. Dengan pembacaan itu menjadikannya beliau sadar akan kefakiran diri di hadapan Allah.
Akan tetapi bila ayat tersebut dihubungkan dengan ayat kedua, tampak bahwa yang harus dibaca Nabi pada khususnya dan manusia pada umumnya adalah diri sendiri: “yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah”. Secara tersirat, ayat kedua ini menuntut manusia agar membaca dirinya, sehingga pertanyaan abadi yang terkadang sudah dilupakan manusia itu kembali muncul (Siapakah, dari manakah, hendak kemana aku?) pertanyaan inilah yang jika direnungkanterus-menerus akan melahirkan kesadaran keberhambaan seseorang.
Pada ayat selanjutnya Tuhan menyatakan:”Bacalah, dan Tuhanmu yang Mahamulia”. Menurut Ash-Shabuni, pengulangan kata iqro’ berfungsi untuk memberikan semangat dalam aktifitas membaca pengetahuan. Senada dengan pendapat tersebut, wahbah menyebutkan bahwa pengulangan tersebut sebagai penegasan terhadap arti pentingnya membaca. Artinya, kemuliaan Tuhan akan segera tercurahkan bagi siapa saja yang telah melakukan pembacaan terhadap dirinya.
Di samping kata iqro’ yang terulan dua kali, kata insan pun dalam lima ayat pertama terulang dua kali. Pertama, manusia dalam konteks berhadapan dengan Tuhan, sebagai makhluk yang diciptakan, yakni diciptakan dari segumpal darah. Kedua, manusia sebagai makhluk yang menerima pelajaran, yang memperoleh pengetahuan, dengan perantaraan suatu alat (qolam). Ayat terakhir menyebut satu proses perpindahan dari keadaan tidak tahu menjadi tahu. Dalam hal ini, tampak satu pengingatan kesadaran bahwa manusia bukan hanya sekadar makhluk biologis, tetapi juga makhluk rohani (makhluk yang harus mengejawentahkan nama-nama Tuhan dalam pentas kehidupannya)[14].
F.    Ayat Al-Qur’an yang Diturunkan Terakhir
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ èps)ÏZy÷ZßJø9$#ur äosŒqè%öqyJø9$#ur èptƒÏjŠuŽtIßJø9$#ur èpysÏܨZ9$#ur !$tBur Ÿ@x.r& ßìç7¡¡9$# žwÎ) $tB ÷LäêøŠ©.sŒ $tBur yxÎ/èŒ n?tã É=ÝÁZ9$# br&ur (#qßJÅ¡ø)tFó¡s? ÉO»s9øF{$$Î/ 4 öNä3Ï9ºsŒ î,ó¡Ïù 3 tPöquø9$# }§Í³tƒ tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. `ÏB öNä3ÏZƒÏŠ Ÿxsù öNèdöqt±øƒrB Èböqt±÷z$#ur 4 tPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYƒÏŠ àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMŠÅÊuur ãNä3s9 zN»n=óM}$# $YYƒÏŠ 4 Ç`yJsù §äÜôÊ$# Îû >p|ÁuKøƒxC uŽöxî 7#ÏR$yftGãB 5OøO\b}   ¨bÎ*sù ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÈ  
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S Al-Maidah 3)
Asbabun Nuzul
Pada waktu Hibban sedang menanak daging bangkai dan Posulullah SAW berada di tengah-tengah mereka, Allah SWT menurunkan ayat ke-3 sebagai larangan terhadap daging bangkai. Seketika itu pula daging bangkai yang dimasak Hibban dibuang bersama pancinya, tidak jadi dimakan. (HR. Ibnu Mandah dalam kitab Kitabus Shahabah dari Abdillah bin Jabalah bin Hibban bin Hajar dari ayahnya dari datuknya, yaitu Hibban bin hajar).
Pada waktu itu Rosulullah SAW sedang melaksanakan ibadah haji akbar dan melakukan wukuf di Arofah. Beliau sedang menasihati para sahabat dalam suatu jama’ah. Di tengah-tengah khutbah keheninagan yang disampaikan Rosulullah SAW, malaikat Jibril datang denga membawa wahyu ayat ke-3, yang berbunyi:
tPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYƒÏŠ àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMŠÅÊuur ãNä3s9 zN»n=óM}$# $YYƒÏŠ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu”. Dengan turunnya ayat ini para sahabat menangis, sehingga Rosulullah bertanya kepada mereka: “Mengapa kalian menangis?”. Jawab mereka:”bagaimana kami tidak menangis,wahai Rosulullah. Kami masih menginginkan tambahnya agama kami. Karena barang sesuatu yang telah sempurna pasti akan ada kekurangannya”. Jawab Rosulullah:”Betul apa yang kamu katakan. Islam datang pada awal mula dalam keadaan gharib (tidak dikenal) dan akan pergipun dalam keadaan gharib. Berbahagialah orang-orang yang gharib (mengenal Islam di kala tidak dikenal orang)”.
Ketika Umar bin Khathab menagis karena turunnya ayat ini, orang-orang Yahudi mengatakan:” Wahai Umar bin Khathab, kalau ayat ini diturunkan kepada kami, tentu hari di mana ayat ini diturunkan kami jadikan sebagai hari raya”. (HR. Ibnu Jarir, Ibnu Marduwaih, thabrani dan yang lain dari Hai’ah dari Khalid bin Abi Imran dari Hansyi bin Abdillah as-Shan’ani dari Ibnu Abbas)
Keterangan:
Turunnya ayat ini ada perbedaan pendapat di kalangan Ulama. Ada yang mengatakan turun pada hari Jum’at di mana Rosulullah SAW sedang berada di padang Arofah. Sedangkan Ibnu Abbas menegaskan, bahwa ayat ini diturunkan pada hari Senin, karena beliau Rosulullah dilahirkan pada hari senin, keluar dari Makkah dan sampai madinah pada hari Senin, dan perang badar dimulai hari senin pula. Di antara ulama yang mengatakan ayat ini turun pada hari Jum’at adalah Umar bin Khathab. Ayat ini merupakan ayat yang terakhir diturunkan kepada Rosulullah SAW. Namun sebagian ulama ada yang mengatakan, bahwa ayat yang terakhir turun adalah ayat “Kalalah”, yaitu ayat ke-176 dari surat “An-Nisa”.[15]










Bab III
Penutup
A.   Kesimpulan
Untuk memahami Al-Qur’an secara utuh, seseorang harus mengetahui asbabun nuzul/latar belakang mengapa ayat tersebut diturunkan atau ayat tersebut berkenaan dengan peristiwa apa. Sehingga akan lebih jelas dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an yang ada karena maksud atau kandungan ayat tidak akan jauh dari latar belakang diturunkannya.
B. Saran
Ada banyak perbedaan pendapat dari para ulama tentang ayat Al-Qur’an yang pertama kali diturunkan. Akan tetapi hendaknya perbedaan itu tidak dijadikan jurang yang bisa memisahkan antara yang setuju dengan yang tidak setuju. Perbedaan adalah rahmad, oleh karena itu jadikan perbedaan sebagai tambahan khasanah ilmu. 


[1] Syekh Ali As Shobuni. At Tibyan fi Ulumil Qur’an (Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis) hal 31. Pustaka Amani. Jakarta 2001.
[2] A.Mujab Mahali. Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al Qur’an 2. CV.Rajawali. Jakarta. cet. 1. 1989. VII-VIII.
[3] Jalaluddin As Syuyuthi Abdurrohman bin Kamaluddin Abu Bakar bin Muhammad bin Sabiquddin 1505 M(911 H)
[4] Abu Hasan Ali bin Ahmad bin Muhammad Ali Al Wahidy Asbabun Nuzulil Qur’an. Darul miman Mamlakah al Arobiyah as Su’udiyah 2005. Hal 41
[5] Abul Abas Taqiyuddin Ahmad bin Abdussalam bin Abdullah bin Taimiyah al-Harrani 1328 M/728 H.
[6] Syekh Ali As Shobuni. At Tibyan fi Ulumil Qur’an (Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis) hal 24. Pustaka Amani. Jakarta 2001.
[7] Abu Hasan Ali bin Ahmad bin Muhammad Ali Al Wahidy Asbabun Nuzulil Qur’an. Darul miman Mamlakah al Arobiyah as Su’udiyah 2005. Hal 42
[8] Jalaluddin Syuyuthy Assafi’i. Al Itqon fi Ulumil qur’an. Hal 30.
[9] Syekh Ali As Shobuni. At Tibyan fi Ulumil Qur’an (Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis) hal 26. Pustaka Amani. Jakarta 2001.

[10] Syekh Ali As Shobuni. At Tibyan fi Ulumil Qur’an (Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis) hal 29. Pustaka Amani. Jakarta 2001
[11] Ahmad Syadali dan Ahmad Rifa’i, Ulumul Qur’an I, Bandung: Pustaka Setia, 2006, hlm. 89
Subhi Shalih, Mabahits fi ‘Ulumul Qur’an, Dar al-Qalam li Al-Malayyin, Beirut, 1988, hlm. 132.
[12]Syekh Manna’ Qoththon.  Pengantar Study Ilmu Al-Qur’an(Terjemah). Pustaka Al Kautsar. Jaktim 2008 hal 78.
[13] Adalah hadits yang gugur perawi dari sanadnya setelah tabi’in. Seperti bila seorang tabi’in mengatakan,”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda begini atau berbuat begini”.
[14] Dr. Nurwadjah Ahmad E.Q, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, Bandung: MARJA, 2007, hlm 197-199.
[15] A.Mujab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al Qur’an 2, Jakarta: CV.Rajawali, cet. 1, 1989, hlm. 3-5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar