Bab II
Pembahasan
A. Pengertian Asbabun Nuzul
Secara etimologi asbabun nuzul terdiri dai dua
katayaitu asbab jamak dari sabab yang berarti sebab atau latar belakakang,
sedangkan nuzul diambil dari masdar ghairu mim dari madli nazala, yanzilu, nuzulan yang berarti turun. Sedangkan menurut terminologi ialah suatu
pristiwa atau kejadian tertentu, kemudianturunlah satu atau beberapa ayat
al-Qur’an mengenai pristiwa itu. Atau suatu pertanyaan yang diajukan kepada
Nabi Muhammad saw. untuk mengetahui hukum syara’ atau untuk menafsirkan suatu
yang berkaitan dengan agama kemudian turun satu ayat atau beberapa ayat. Maka
semua itu disebut dengan Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat)[1].
B. Faedah
Mengetahui Asbabun Nuzul
Mengetahui latar belakang turunnya
ayat-ayat Al-Qur’an, akan menimbulkan prespektif dan menambah khazanah
perbendaharaan pengetahuan baru. Dengan mengetahui hal tersebut kita
akan lebih memahami arti dan makna ayat-ayat itu dan akan menghilangkan
keragu-raguan dalam menafsirkannya.
Imam Wahidi berpendapat, untuk mengetahui
tafsir suatu ayat Al-Qur’an tidak mungkin bisa tanpa mengetahui latar belakang
peristiwa dan kejadian diturunkannya. Ibnu daqiq Al-Ied berpendapat,
bahwa keterangan tentang turunnya ayat merupakan jalan yang kuat dalam memahami
arti dan ma’na Al-Qur’an. Sedangkan menurut pendapat Ibnu taimiyah, mengetahui
latar belakang turunnya suatu ayat, sangat menolong kita dalam memahami ma’na
ayat itu sendiri, sebab dengan mengetahui peristiwa turunnya itu memberikan
dasar untuk mengetahui penyebabnya. Pengetahuan
tentang latar belakang turunnya ayat (asbabun nuzul) dianggap sangat penting
oleh para ulama, sehingga banyak di antara mereka yang mengadakan pengumpulan
bahan dan mendalamkan penelitian asbabun nuzul[2].
Imam suyuthi[3] dalam kitabnya yang bernama al itqon
menyatakan bahwasannya ada seorang ulama ahli tafsir tidak setujuh tentang
adanya faedah dalam mengetahui asbabun nuzul karena itu termasuk ilmu
sejarah atau sejarah penurunan al-Qur’andan tidak termasuk dalam ilmu
al-Qur’an. Namun, qaul seperti itu dianggap salah karena asbabun
nuzul berperan sebagai perubahan terhadap ma’na dekat yang dikehendaki oleh
Allah azza wajallaI.[4]
Mengetahui
asbabun nuzul sangatlah penting. Tidak mungkin orang bias mengetahui tafsir
suatu ayat tanpa mengetahui kisah dan penjelasan mengenai turunnya terlebih
dahulu. Ibnu Taimiyah[5]
berkata mengetahui asbabun nuzul itu
sangat membantu untuk mengetahui ayat, sesungguhnya dengan mengetahui ‘sebab’
akan mendapatkan ilmu Musabbab (Allah)[6]
Dengan
demikian, jelas betapa pentingnya asbabun nuzul ini dalam hubungannya dengan
ilmu-ilmu al-Qur’an.
Adapun
faedah-faedah mengetahui asbabun nuzul sebagai mana berikut:
a. Dapat
mengetahui hikmah disyari’atkannya
hukum. Contoh: Marwan mendapatkan kesulitan
memaknai ma’na ayat :
w ¨ûtù|¡øtrB tûïÏ%©!$# tbqãmtøÿt !$yJÎ/ (#qs?r& tbq6Ïtä¨r br& (#rßyJøtä $oÿÏ3 öNs9 (#qè=yèøÿt xsù Nåk¨]u;|¡øtrB ;oy$xÿyJÎ/ z`ÏiB É>#xyèø9$# ( öNßgs9ur ë>#xtã ÒOÏ9r& ÇÊÑÑÈ
Artinya: “ Janganlah kamu kira mereka yang bersuku
ria atas perbuatannya dan suka di puji dengan sesuatu yang tidak mereka
perbuat, janganlah kamu kira mereka akan lepas dari siksaan, dan untuk mereka
itu siksaan yang paling pedih.” (QS. Ali Imron:188)
Kemudian beliau memerintahkan pembantunya:
“pergilah kepada Ibnu Abbas dan katakanlah, ‘Kalau saja setiap orang yang suka
atas sesuatu yang telah diperbuat serta suka dipuji atas sesuatu yang tidak
diperbuat itu disiksa’”. Ibnu Abbas lalu menerangkan, namun orang itu tetap
tidak paham. Kemudian Ibnu Abbas berkata: “Sesungguhnya ayat ini turun
pada ahli kitab-Yahudi- ketika mereka ditanya oleh Nabi saw. mereka menyembunyikan sesuatu kepada Nabi saw.
Bahkan mereka mengatakan yang lain. Mereka kira tekag mengabarkan sesuatu yang
dipertanyakan Nabi saw., dan turunlah ayat tersebut. (HR. Bukhary Muslim)
b. Membantu memahami ayat dan menghindari ketidak jelasan dari ayat tersebut. Contoh: Urwah
bin Zubair r.a kebingungan memaknai friman Allah
* ¨bÎ) $xÿ¢Á9$# nouröyJø9$#ur `ÏB Ìͬ!$yèx© «!$# ( ô`yJsù ¢kym |Møt7ø9$# Írr& tyJtFôã$# xsù yy$oYã_ Ïmøn=tã br& §q©Üt $yJÎgÎ/ 4 `tBur tí§qsÜs? #Zöyz ¨bÎ*sù ©!$# íÏ.$x© íOÎ=tã ÇÊÎÑÈ
“Sesungguhnya Shafā
dan Marwah adalah sebahagian dari syiar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah
haji ke Baitullah atau ber-umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i
antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan
kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Menerima kebaikan, Maha Mengetahui. (QS. Al Baqoroh: 158)
Tampak lahirnya ayat ini mengisyaratkan bahwa sa’i
(antara Shofa dan Marwah) itu tidak wajib. Sampai-sampai Urwah bertanya kepada
bibinya Aisyah: “ Wahai bibi! Sesungguhnya Allah berfirman “Maka tiada mengapa
ia berlari-lari antara keduanya...” Menurut pendapatku tidak mengapalah orang
meninggalkan sa’i antara keduanya, “ Kemudian Aisyah bercerita kepadanya: “
Pada zaman Jahiliyah manusia bersa’i antara Shafa dan Marwah. Mereka menyengaja
dua berhala. Satu di shafa namanya Isafa dan satunya lagi di marwah, namanya Na’ilah.
Ketika orang-orang telah masuk Islam, maka sebagian sahabat ada yang tidak mau
bersa’i lagi, karena takut ibadahnya itu serupa dengan ibadahnya orang-orang
Jahiliyah. Kemudian turunlah ayat tadi untuk menolak anggapan berdosa itu dan
sekaligus diwajibkan mereka bersa’i karena Allah, bukan karena berhala”.
Demikianlah Aisyah menolak paham Urwah bin Zubair. Dan itu disebabkan karena
tahu asbabun nuzul.
c.
Menolak anggapan meringkas hukum yang berfaedah dengan
nampaknya peringkasan itu. Contoh:
@è% Hw ßÉ`r& Îû !$tB zÓÇrré& ¥n<Î) $·B§ptèC 4n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜt HwÎ) br& cqä3t ºptGøtB ÷rr& $YBy %·nqàÿó¡¨B ÷rr& zNóss9 9Í\Åz ¼çm¯RÎ*sù ê[ô_Í ÷rr& $¸)ó¡Ïù ¨@Ïdé& ÎötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ 4 Ç`yJsù §äÜôÊ$# uöxî 8ø$t/ wur 7$tã ¨bÎ*sù /u Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÊÍÎÈ
“ Katakanlah, ‘Tiada aku peroleh dalam apa
yang diwahyukan kepadaku (suatu makanan) yang diharamkan atas orang yang
memakannya, kecuali mayat (bangkai), darah yang mengalir atau daging babi,
karena demikian itu keji atau fasik (hewan) yang disembelih bukan dengan nama
Allah.”(QS. Al An’am:
145)
Imam Syafi’i berkata: “ Ketika orang kafir telah
mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah dan menghalalkan sesuatu yang
diharamkan Allah, maka datang ayat tersebut untuk membatalkan pendapat mereka.
Seolah-olah Allah Swt. mengatakan, ‘Yang halal justru yang telah kamu haramkan
dan yang haram justru yang telah kamu halalkan’. Akan tetapi maksud ayat ini
hanya menetapkan hukum haram, bukan menetapkan hukum halal[7].
Imam Haromain memberikan komentar: “Inilah pendapat yang amat bagus. Kalau saja
imam syafi’i tidak mengemukakan demikian, tentu kami tidak akan diperkenankan
berbeda pendapat dengan imam malik dalam meringkas hukum haram dalam apa yang
telah disebutkan ayat tersebut[8].
Dan penjelasan makna ayat perlu dikemukakan ada
ayat yang lahir menunjukkan “ringkasannya” sesuatu yang diharamkan.
d. Kekhususan hukum disebabkan oleh sebab
tertentu. Contoh: Sebagian Ulama’ tidak mengetahui makna firman Allah Azza
wajalla
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ
إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ ۚ
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ وَمَنْ يَتَّقِ
اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا.
“Perempuan-perempuan yang
telah putus dari haid (darah yang keluar disetiap bulan), jika kamu ragu-ragu
(tentang iddanya), maka iddanya tiga bulan.”
Sehingga meraka
mengatakan: “Jelas perempuan yang putus darah haidnya, tidak mempunyai iddah”.
Namun pendapat ini salah. Setelah mengetahui asbabun nuzul kesalahpahaman
mereka menjadi Nampak. Sebenarnya, ayat ayat itu ditunjukkan pada orang yang
tidak mengerti hokum iddah seorang perempuan dan juga masih ragu, apakah mereka
itu mempunyai iddah atau tidak. Jadi, makna (ان ارتبتم) adalah: jika kamu
kesulitan menghukumi mereka, maka inilah hukum mereka itu. Dan sesunggunya ayat
ini turun setelah ada sebagian sahabat mengatakan bahwa iddah seorang wanita
itu tidak disebutkan dalam al-Qur’an. Yakni gadis-gadis kecil dan wanita yang
berhenti haid dikarenakan faktor lanjut usia. Maka turunlah ayat tersebut untuk
menerangkan iddah masing-masing perempuan[9].
e. Mengerti nama yang dituju oleh turunnya
ayat dan sekaligus menghilangkan kesalah pahaman. Contoh: Marwan mengira bahwa
ayat 17 surat al-Ahqof: وَالَّذِي قَالَ
لِوَالِدَيْهِ أُفٍّ لَكُمَا itu diturunkan pada kisah
Abdur Rahman bin Abi Bakar. Aisyah membantanh: “Itu tidak benar”. Kemudian
Aisyah menjelaskan sebab turunnya ayat dan perinciannya kepada Marwan, sesuai
yang diriwayatkan oleh imam Bukhari r.a:
“Marwan
itu sebagai pejabat di Madinah. Maka Muawiyah berkirim surat kepadanya,
mengabarkan bahwa Yazid hendak diangkat sebagai khalifah, marwan segera
mengumpulkan orang-orang dan berpidato. Marwan dalam pidatonya menyebutkan
tentang Yazid dan mengajak agar berbaiat kepadanya. Kata Marwan “Sungguhnya
Amirul Mu’minin menilai Yazid itu mempunya pendapat yang cemerlang. Jika beliau
mengangkatnya sebagai khalifah, maka demikianlah Abu Bakar dan Umar’. Mendengar
itu Abu bakar berkata, ‘Tidak! Kepemimpiman hanyalah seperti raja-raja romawi’
(Heracliusme). Marwan mengatakan ‘ Inilah sunnah Abu Bakara dan Umar’.
Abdurrahman menegaskan lagi. Hiracliusme! Demi Allah Abu Bakar tidak pernah
memberikan jabatan itu kepada anak atau keluarganya. Tapi, Muawiyah memberikan
kemulyaan itu kepada anaknya’. Kemudian Marwan mendesak, ‘tangkap dia
(Abdurrahman)!’, lalu Abdurrahman masuk ke pondoknya Aisyah sementara
orang-orang tidak mampu menolongnya. Kata Marwan, ‘Inilah orang-orang yang
dikehendaki Allah dalam firmanNya (artinya); Orang yang berkata kepada ibu
bapaknya; cis, kamu berdua, adakah kamu janjikan kepadaku bahwa aku akan
dikeluarkan (dari dalam kubur) sesungguhnya telah lalu umat sebelumku.”. Maka
Aisyah r.a menjawab dari hijab, ‘Allah tidak pernah menurunkan ayat al-Qur’an
tentang kasus orang tertentu diantara kita, kecuali ayat yang menurunkan
tentang uzurku (kebebasanku). Kalau aku mau memberi nama orang yang ditujuh
oleh turunnya ayat, tentu aku sampaikan[10].
C. Cara
Mengetahui Asbabun Nuzul
Perlunya mengetahui asbabun nuzul,
al-wahidi berkata:” tidak mungkin kita mengetahui penafsiran ayat al-qur’an
tanpa mangetahui kisahnya dan sebab turunnya ayat adalah jalan yang kuat dalam
memahami makna al-qur’an”. Ibnu taimiyah berkata: mengetahui sebab turun
ayat membantu untuk memahami ayat al-qur’an. Sebab pengetahuan tentang “sebab”
akan membawa kepada pengetahuan tentang yang disebabkan (akibat).
Namum sebagaimana telah diterangkan
sebelumnya tidak semua al-qur’an harus mempunyai sebab turun, ayat-ayat yang
mempunyai sebab turun juga tidak semuanya harus diketahui sehingga, tanpa
mengetahuinya ayat tersebut bisa dipahami, ahmad adil kamal menjelaskan bahwa
turunnya ayat-ayat al-qur’an melalui tiga cara: Pertama, ayat-ayat turun
sebagai reaksi terhadap pertanyaan yang dikemukakan kepada nabi. Kedua, ayat-ayat turun sebagai permulaan
tanpa didahului oleh peristiwa atau pertanyaan. Ketiga, ayat-ayat yang mempunyai sebab turun itu terbagi
menjadi dua kelmpok;
Ayat-ayat yang
sebab turunnya harus diketahui ( hukum ) karena asbabun nuzulnya harus
diketahui agar penetapan hukumnya tidak menjadi keliru. Sedangkan ayat-ayat
yang sebab turunnya tidak harus diketahui, ( ayat yang menyangkut kisah dalam
al-qur’an).
Kebanyakan
ayat-ayat kisah turun tanpa sebab yang khusus, namun ini tidak benar bahwa
semua ayat-ayat kisah tidak perlu mengetahui sebab turunnya, bagaimanpun
sebagian kisah al-qur’an tidak dapat dipahami tanpa pengetahuan tentang sebab
turunnya.
Yang menjadi
pedoman dasar para ulama dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih
yang berasal dari Rasulullah atau dari sahabat. Itu disebabkan pemberitahuan
seorang sahabat menenai hal seperti ini, bila jelas, itu bukan sekedar pendapat
(ra’y), tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada Rasulullah).
Dari uraian di
atas jelaslah bahwa asbabun nuzul itu tidak bisa diketahui semata-mata dengan
akal (rasio), tidak lain mengetahuinya harus berdasarkan riwayat yang shahih
dan didengar langsung dari orang-orang yang mengetahui turunnya al-Qur’an, atau
dari orang-orang yang memahami asbabun nuzul, lalu mereka menelitinya dengan
cermat, baik dari kalangan sahabat, tabi’in atau lainnya dengan catatan
pengatahuan mereka diperoleh dari ulama-ulama yang dapat dipercaya. Sehingga
tidak dimungkinkan adanya ijtihad.
Cara yang
digunakan para sahabat untuk mengetahui sebab turunya al-Qur’an tidaklah sama,
diantaranya adalah:
1. Apabila
perawi sendiri menyatakan lafadh sebab dengan ungkapan yang jelas, seperti:
سَبَبُ نُزُوْلِ هذِهِ
الْايَةِ كذَا (sebab
turunnya ayat ini demikian).
Ungkapan ini secara
definitif menunjukkan asbabun nuzul dan tidak mengandung kemungkinan makna
lain.
2. Bila
perawi menyatakan riwayatnya dengan memasukkan huruf “fa’ ta’qibiyah” pada kata-kata “nazala” seperti kata-kata
perawi: حَدَّثَ كَذَا ... أَوْ سُئِلَ النَّبِيُ عَلَيْهِ السَّلَامُ عَنْ كَذَا
فَنَزَلَتْ
Riwayat yang demikian
juga merupakan nash yang sharih dalam sebab nuzul.
3.
Apabila
seorang perawi menyatakan نَزَلَتْ
هذِهِ الْايَةُ فِيْ كَذَا (ayat ini turun tentang itu), maka ibarat
ini mengandung dua kemungkinan, yakni: mungkin itu merupakan sebab turun ayat
tersebut dan mungkin pula mengandung suatu hukum dalam ayat itu.
Dalam hal ini
al-Zarkasyi dalam kitabnya al-Burhan berkata:
قَدْ عُرِفَ مِنْ عَادَةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ اَنَّ اَحَدَهُمْ اِذَا قَالَ : نَزَلَتْ هذِهِ الْايَةُ فِيْ كَذَا فَإِنَّهُ يُرِيْدُ بِذلِكَ اَنَّ هذِهِ الايَةَ تَتَضَمَّنُ هذَا الْحُكْمُ لَا اَنَّ هذَا كَانَ السَّبَبَ فِي نُزُوْلِهَا
“Telah diketahui kebiasaan para sahabat dan
tabiin, bahwa apabila mereka mengatakan: ‘Turun ayat ini tentang itu’, maka
maksud mereka ialah menerangkan, bahwa ayat itu mengandung hukum itu, bukan
dimaksudkan untuk menerangkan sebab turun ayat.”[11]
D. Ayat
Al-Qur’an yang Diturunkan Pertama
Para ulama mempunyai banyak pendapat dalam
masalah ayat apa yang pertama kali diturunkan dan apa yang terakhir. Di sini
syekh Mana’ Qoththon[12]
memaparkan masalah ini secara singkat dan memilah-milah mana pendapat yang
paling kuat.
1. Yang turun pertama kali
a) Pendapat yang paling shohih mengenai yang
pertama kali turun ialah firman Allah,
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷èt ÇÎÈ
“Bacalah dengan
menyebut nama Allah yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu lebih muliah. Yang mengajarkan manusia
(Adam) dengan perantaran kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya. (QS. Al
Alaq: 1-5)
Dasar pendapat ini adalah hadist yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dari Aisyah r.a yang mengatakan,
“Wahyu yang pertama kali yang dialami Rasul saw. Adalah mimpi yang benar
diwaktu tidur. Beliau melihat dalam mempi itu datangnya bagaikan terangnya pagi
hari. Kemudian beliau suka menyendiri. Beliau pergi ke gua Hira’ untuk
beribadah beberapa malam. Untuk itu beliau membawa bekal. Kemudian beliau
pulang lagi ke Khadijah r.a, maka Khadijah pun membekali beliau seperti yang
terdahulu. Lalu, di gua Hira’ datanglah kepada beliau suatu kebenaran, yaitu
malaikat Jibril, yang berkata kepada Nabi saw, “Bacalah!” Rasulallah saw
menceritakan, maka akupun menjawab, ‘Aku tidak bisa membaca. ‘Malaikat tersebut
kemudian memelukku sehingga aku merasa amat payah. Lalu aku dilepaskan, dan dia
berkata lagi, “Bacalah!”. Rasulallah menceritakan, maka akupun menjawab, ‘Aku
tidak bisa membaca. ‘Kemudian dia memelukku yang kedua kalinya sampai aku
kepayahan. Kemudian dia lepaskan lagi dan berkata, “Bacalah!”. Aku menjawab,
‘Aku tidak bisa membaca. ‘Maka dia merangkulku yang ketiga kalinya sehingga aku
kepayahan, kemudian dia berkata, ‘Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang
telah menciptakan...’sampai dengan’...apa yang tidak diketahuinya”
2. Dikatan pula, bahwa ayat yang pertama kali
turun adalah ayat g “ياايهاالمدثر” (Hai orang-orang yang berselimut). Ini didasarkan
pada hadist yan diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Salama bin
Abdirrahman. Dia berkata, “Aku bertanya kepada Jabir bin Abdullah, ‘Yang di
antara Qur’an itu yang turun pertama kali?’Dia menjawab, ‘ياايهاالمدثر
. ‘Aku bertanya lagi, ‘Bukannya إقراءباسم ربك ?’ Dia menjawab ‘Aku
katakan kepadamu apa yang dikatakan Rosulallah kepada kami. Beliau bersabda, “Sesungguhnya
aku berdiam diri di gua Hira’, Maka ketika habis masa diamku, aku turun
kemudian aku telusuri lembah, aku lihat ke muka, ke belakang, ke kanan dan ke
kiri. Lalu aku lihat ke langit, tiba-tiba aku melihat Jibril yang amat
menakutkan. Maka aku pulang ke Khadijah. Khadijah memerintahkan mereka untuk
menyelimuti aku. Lalu Allah menurunkan, ‘Wahai orang yang berselimut;
bangkitlah, dan berilah pringatan.
Hadist Jabir dapat dijelaskan bahwa
pertanyaan itu mengenai surat yang diturunkan secara penuh. Jabir menjelaskan
bahwa surat al-Mudatsir-lah yang turun secara penuh sebelum surat Iqra’ selesai
diturunkan semuanya. Sebab, yaqng turun pertama kali dari surat Iqra’ itu
hanyalah permulaannya saja. Hal seperti ini juga diperkuat oleh Abu Salamah
dari jabir. Jabir berkata, “Aku mendengar dari Rosulallah saw. ketika beliau
berbicara tentang masa diturunkan wahyu. Beliau berkata, ‘Ketika aku
berjalan, aku mendengar suara dari langit. Lalu aku angkat kepalaku. Kemudian
aku melihat malaikat yang mendatangiku di gua Hira’ itu duduk di atas kursi
diantara langit dan bumi. Akupun segera pulang dan aku berkata; Selimutilah
aku! Maka mereka pun menyelimutiku. Lalu Allah menurunkan “"ياايهاالمدثر.
3. Pendapat lain mengatakan, bahwa yeng
pertama kali turun adalah surat al-Fatehah. Mungkin yang dimaksud adalah surat
yang pertama kali turun secara lengkap.
4. Ada juga yang berpendapat, bahwa ayat yang
pertama kali turun adalah Bismillahirohmanirrohim, karena basmallah ikut
turun mendahului setiap surat. Dalil-dalil kedua pendapat diatas adalah
hadist-hadist mursal.[13]
Pendapat pertama yang didukung oleh hadist Aisyah itulah pendapat yang paling
kuat dan mashur.
E. Pelajaran
dari Ayat Al-Qur’an yang Diturunkan Pertama
Wahyu pertama diawali dengan perintah membaca,
mengapa?
Ketika Nabi menginjak usia 40, beiau
dikagetkan oleh kedatangan Jibril yang tiba-tiba menyuruhnya untuk membaca.
Kalau kita merenung sejenak, bukankah saat itu Nabi berada di Gua Hiro dan
waktu malam? Sudah dapat dipastikan pasti suasananya gelap-gulita, tetapi
mengapa Jibril menyuruh Nabi membaca? Hingga akhirnya terjadi tarik-ulur antara
Jibril dan Muhammad, dan menurut riwayat kejadian tersebut hingga berulang tiga
kali. Kenapa tiga kali, apa Jibril tidak merasa kasihan atau apa karena Jibril
tidak mengerti keadaan Muhammad?
Alangkah bijak bila kita mencoba mengambil
hikmah dari kejadian tersebut. Mungkin, bukan karena Jibril tidak mengerti
kondisi Nabi, perintah dan pelukannya itu sebagai upaya agar Muhammad tidak
merasa ragu akan apa yang bakal diterimanya. Sebab, jangan-jangan kalau
langsung diajari surat Al-Alaq, Nabi akan merasa ragu kalau itu dari Tuhan atau
malah menganggap dirinya dalam keadaan tidak sadar atau itu semua dianggapnya
sebagai mimpi belaka.
Dengan demikian, kemungkinan besar,
prosesi tarik ulur itu bertujuan agar Nabi betul-betul menyadari bahwa beliau
sedang berhadapan dengan utusan Tuhan, yang mengabarinya dengan kenabian, ia
tidak dalam keadaan ngigau. Walaupun kenyataan tersebut menyadarkan beliau
bahwa dia menerima pengajaran dalam keadaan terjaga, toh Nabi masih merasa ragu
kalau pengajaran itu berasal dari Tuhan, sehingga ketika ia kembali kepada
Khadijah, beliau diajak menemui pamannya. Dari penjelasan pamannya, Nabi
menjadi lebih merasa yakin kalau dirinya sudah diangkat menjadi nabi.
Lebih lanjut, ayat pertama dari wahyu
pertama “Bacalah dengan nama Tuhanmu” memunculkan pertanyaan “apa yang harus
dibaca?”. Ditinjau dari prespektif kebahasaan, jika satu ungkapan tidak
disebutkan maf’ul (obyek)-nya, maka ia menunjukkan umum, mencangkup segala
sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut, seperti alam raya dan
masyarakat. Dengan demikian, tuhan menyuruh Nabi agar mambaca ayat-ayat Tuhan
yang tertulis ataupun ayat-ayat yang tercipta.tetapi yang menjadi titik tekan
ayattersebut adalah pembacaan tersebut haruslah dilandasi atas nama Tuhan.
Dengan pembacaan itu menjadikannya beliau sadar akan kefakiran diri di hadapan
Allah.
Akan tetapi bila ayat tersebut dihubungkan
dengan ayat kedua, tampak bahwa yang harus dibaca Nabi pada khususnya dan
manusia pada umumnya adalah diri sendiri: “yang telah menciptakan manusia dari
segumpal darah”. Secara tersirat, ayat kedua ini menuntut manusia agar membaca
dirinya, sehingga pertanyaan abadi yang terkadang sudah dilupakan manusia itu
kembali muncul (Siapakah, dari manakah, hendak kemana aku?) pertanyaan inilah
yang jika direnungkanterus-menerus akan melahirkan kesadaran keberhambaan
seseorang.
Pada ayat selanjutnya Tuhan
menyatakan:”Bacalah, dan Tuhanmu yang Mahamulia”. Menurut Ash-Shabuni,
pengulangan kata iqro’ berfungsi untuk memberikan semangat dalam aktifitas
membaca pengetahuan. Senada dengan pendapat tersebut, wahbah menyebutkan bahwa
pengulangan tersebut sebagai penegasan terhadap arti pentingnya membaca.
Artinya, kemuliaan Tuhan akan segera tercurahkan bagi siapa saja yang telah
melakukan pembacaan terhadap dirinya.
Di samping kata iqro’ yang terulan dua
kali, kata insan pun dalam lima ayat pertama terulang dua kali. Pertama,
manusia dalam konteks berhadapan dengan Tuhan, sebagai makhluk yang diciptakan,
yakni diciptakan dari segumpal darah. Kedua, manusia sebagai makhluk yang
menerima pelajaran, yang memperoleh pengetahuan, dengan perantaraan suatu alat
(qolam). Ayat terakhir menyebut satu proses perpindahan dari keadaan tidak tahu
menjadi tahu. Dalam hal ini, tampak satu pengingatan kesadaran bahwa manusia
bukan hanya sekadar makhluk biologis, tetapi juga makhluk rohani (makhluk yang
harus mengejawentahkan nama-nama Tuhan dalam pentas kehidupannya)[14].
F. Ayat
Al-Qur’an yang Diturunkan Terakhir
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ÍÌYÏø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ èps)ÏZy÷ZßJø9$#ur äosqè%öqyJø9$#ur èptÏjutIßJø9$#ur èpysÏܨZ9$#ur !$tBur @x.r& ßìç7¡¡9$# wÎ) $tB ÷Läêø©.s $tBur yxÎ/è n?tã É=ÝÁZ9$# br&ur (#qßJÅ¡ø)tFó¡s? ÉO»s9øF{$$Î/ 4 öNä3Ï9ºs î,ó¡Ïù 3 tPöquø9$# }§Í³t tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. `ÏB öNä3ÏZÏ xsù öNèdöqt±ørB Èböqt±÷z$#ur 4 tPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYÏ àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMÅÊuur ãNä3s9 zN»n=óM}$# $YYÏ 4 Ç`yJsù §äÜôÊ$# Îû >p|ÁuKøxC uöxî 7#ÏR$yftGãB 5OøO\b} ¨bÎ*sù ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÈ
“Diharamkan bagimu
(memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama
selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan
diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan
(diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga)
mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah
kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan)
agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang
siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S Al-Maidah 3)
Asbabun Nuzul
Pada
waktu Hibban sedang menanak daging bangkai dan Posulullah SAW berada di
tengah-tengah mereka, Allah SWT menurunkan ayat ke-3 sebagai larangan terhadap
daging bangkai. Seketika itu pula daging bangkai yang dimasak Hibban dibuang
bersama pancinya, tidak jadi dimakan. (HR. Ibnu Mandah dalam kitab Kitabus
Shahabah dari Abdillah bin Jabalah bin Hibban bin Hajar dari ayahnya dari
datuknya, yaitu Hibban bin hajar).
Pada waktu itu Rosulullah SAW sedang
melaksanakan ibadah haji akbar dan melakukan wukuf di Arofah. Beliau sedang
menasihati para sahabat dalam suatu jama’ah. Di tengah-tengah khutbah
keheninagan yang disampaikan Rosulullah SAW, malaikat Jibril datang denga membawa
wahyu ayat ke-3, yang berbunyi:
tPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYÏ àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMÅÊuur ãNä3s9 zN»n=óM}$# $YYÏ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam
itu Jadi agama bagimu”. Dengan turunnya ayat ini para sahabat menangis,
sehingga Rosulullah bertanya kepada mereka: “Mengapa kalian menangis?”. Jawab
mereka:”bagaimana kami tidak menangis,wahai Rosulullah. Kami masih menginginkan
tambahnya agama kami. Karena barang sesuatu yang telah sempurna pasti akan ada
kekurangannya”. Jawab Rosulullah:”Betul apa yang kamu katakan. Islam datang
pada awal mula dalam keadaan gharib (tidak dikenal) dan akan pergipun dalam
keadaan gharib. Berbahagialah orang-orang yang gharib (mengenal Islam di kala
tidak dikenal orang)”.
Ketika Umar bin Khathab menagis karena
turunnya ayat ini, orang-orang Yahudi mengatakan:” Wahai Umar bin Khathab,
kalau ayat ini diturunkan kepada kami, tentu hari di mana ayat ini diturunkan
kami jadikan sebagai hari raya”. (HR. Ibnu Jarir, Ibnu Marduwaih, thabrani dan
yang lain dari Hai’ah dari Khalid bin Abi Imran dari Hansyi bin Abdillah
as-Shan’ani dari Ibnu Abbas)
Keterangan:
Turunnya
ayat ini ada perbedaan pendapat di kalangan Ulama. Ada yang mengatakan turun
pada hari Jum’at di mana Rosulullah SAW sedang berada di padang Arofah.
Sedangkan Ibnu Abbas menegaskan, bahwa ayat ini diturunkan pada hari Senin,
karena beliau Rosulullah dilahirkan pada hari senin, keluar dari Makkah dan
sampai madinah pada hari Senin, dan perang badar dimulai hari senin pula. Di
antara ulama yang mengatakan ayat ini turun pada hari Jum’at adalah Umar bin
Khathab. Ayat ini merupakan ayat yang terakhir diturunkan kepada Rosulullah
SAW. Namun sebagian ulama ada yang mengatakan, bahwa ayat yang terakhir turun
adalah ayat “Kalalah”, yaitu ayat ke-176 dari surat “An-Nisa”.[15]
Bab III
Penutup
A. Kesimpulan
Untuk memahami Al-Qur’an secara utuh,
seseorang harus mengetahui asbabun nuzul/latar belakang mengapa ayat tersebut
diturunkan atau ayat tersebut berkenaan dengan peristiwa apa. Sehingga akan
lebih jelas dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an yang ada karena maksud atau
kandungan ayat tidak akan jauh dari latar belakang diturunkannya.
B. Saran
Ada banyak perbedaan pendapat dari para
ulama tentang ayat Al-Qur’an yang pertama kali diturunkan. Akan tetapi
hendaknya perbedaan itu tidak dijadikan jurang yang bisa memisahkan antara yang
setuju dengan yang tidak setuju. Perbedaan adalah rahmad, oleh karena itu
jadikan perbedaan sebagai tambahan khasanah ilmu.
[1] Syekh Ali As Shobuni. At Tibyan fi
Ulumil Qur’an (Ikhtisar Ulumul
Qur’an Praktis) hal 31.
Pustaka Amani. Jakarta 2001.
[2] A.Mujab
Mahali. Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al Qur’an 2. CV.Rajawali. Jakarta. cet.
1. 1989. VII-VIII.
[3]
Jalaluddin As Syuyuthi Abdurrohman bin Kamaluddin Abu Bakar bin Muhammad bin
Sabiquddin 1505 M(911 H)
[4] Abu Hasan Ali bin Ahmad bin Muhammad Ali
Al Wahidy Asbabun Nuzulil Qur’an. Darul miman Mamlakah al Arobiyah as
Su’udiyah 2005. Hal 41
[5] Abul
Abas Taqiyuddin Ahmad bin Abdussalam bin Abdullah bin Taimiyah al-Harrani 1328
M/728 H.
[6] Syekh Ali As Shobuni. At Tibyan fi
Ulumil Qur’an (Ikhtisar Ulumul
Qur’an Praktis) hal 24. Pustaka Amani. Jakarta 2001.
[7] Abu Hasan Ali bin Ahmad bin Muhammad Ali
Al Wahidy Asbabun Nuzulil Qur’an. Darul miman Mamlakah al Arobiyah as
Su’udiyah 2005. Hal 42
[8] Jalaluddin Syuyuthy Assafi’i. Al
Itqon fi Ulumil qur’an. Hal 30.
[9] Syekh Ali As Shobuni. At Tibyan fi
Ulumil Qur’an (Ikhtisar Ulumul
Qur’an Praktis) hal 26. Pustaka Amani. Jakarta 2001.
[10] Syekh Ali As Shobuni. At Tibyan fi
Ulumil Qur’an (Ikhtisar Ulumul
Qur’an Praktis) hal 29. Pustaka Amani. Jakarta 2001
[11] Ahmad
Syadali dan Ahmad Rifa’i, Ulumul Qur’an I, Bandung: Pustaka Setia, 2006, hlm.
89
Subhi Shalih, Mabahits
fi ‘Ulumul Qur’an, Dar al-Qalam li Al-Malayyin, Beirut, 1988, hlm. 132.
[12]Syekh Manna’ Qoththon. Pengantar Study Ilmu Al-Qur’an(Terjemah). Pustaka
Al Kautsar. Jaktim 2008 hal 78.
[13] Adalah hadits yang gugur perawi
dari sanadnya setelah tabi’in. Seperti bila seorang tabi’in
mengatakan,”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda begini atau
berbuat begini”.
[14] Dr. Nurwadjah Ahmad E.Q, Tafsir
Ayat-ayat Pendidikan, Bandung: MARJA, 2007, hlm 197-199.
[15] A.Mujab Mahali, Asbabun Nuzul:
Studi Pendalaman Al Qur’an 2, Jakarta: CV.Rajawali, cet. 1, 1989, hlm. 3-5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar