BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kemu’jizatan
Menurut bahasa kata Mu’jizat berasal
dari katai’jaz diambil dari kata kerja a’jaza-i’jaza yang
berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Pelakunya (yang melemahkan)
dinamai mu’jiz. Bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat
menonjol sehingga mampu membungkam lawan, ia dinamai mu’jizat. [1]
Menurut istilah Mukjizat adalah
peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seseorang yang mengaku Nabi,
sebagai bukti kenabiannya. Dengan
redaksi yang berbeda, mukjizat didefinisikan pula sebagai suatu yang luar biasa
yang diperlihatkan Allah SWT.Melalui para Nabi dan Rasul-Nya, sebagai bukti
atas kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulannya.
Kata I’jaz
(kemu’jizatan) adalah menetapkan kelemahan.dalam bahasa Arab berarti menganggap
lemah kepada orang lain. Sebagimana Allah berfirman:
المائدة:
31) أَعْجَزَتُ أَنْ أَكُوْنَ مِثْلَ هَذَاالْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْءَةَ أَخِيْ
Artinya:
Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat
menguburkan mayat saudaraku ini” (QS. Al Maidah (5): 31
Yang dimaksud I’jaz dalam pembahasan ini adalah menampakkan kebenaran Nabi
dalam pengakuannya sebagai rosul dengan menampakkan kelemahan orang arab untuk
menghadapi mu’jizat yang abadi yaitu Al Qur’an, dan kelemahan generasi-generasi
sesudah mereka. Qur’an al karim digunakan Nabi untuk menantang orang arab
tetapi mereka tidak sanggup mennadinginya, padahal mereka sedemikian tinggi
tingkat fasahah dan balagahnya. Hal
ini tiada lain karena All-Qur’an adalah mu’jizat[2]
Rosulullah
telah meminta orang arab untuk menandingi AlQur’an dalam tiga tahapan:
1)
Menantang
mereka dengan seluruh Qur’an
dalam uslub umum yang meliputi orang arab sendiri dan orang lain, manusia dan
jin, dengan tantangannya mengalahkan kemmapuan mereka secara padu melalui
firmanNya:
“Sesungguhnya
jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya
mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian
mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".(AL iaraa’[17]88)
2)
Menantang
mereka dengan sepuluh surah saja dari Al Qur’an dalam firmanNya:
Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad telah membuat-buat Al Quran
itu", Katakanlah: "(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh
surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang
kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang
benar". jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu)
itu Maka ketahuilah, Sesungguhnya Al Quran itu diturunkan dengan ilmu Allah,
dan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia, Maka maukah kamu berserah diri
(kepada Allah)
3)
Menantang
mereka dewngan satu surah saja dari Qur’an, dalam firmanNya:
Atau (patutkah) mereka mengatakan "Muhammad membuat-buatnya."
Katakanlah: "(Kalau benar yang kamu katakan itu), Maka cobalah datangkan
sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil
(untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar."
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan
kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah[31] satu surat (saja) yang semisal Al
Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang
yang benar.[3]
Unsur-unsur
mukjizat, sebagaimana dijelaskan oleh Quraish Shihab, adalah:
1. Hal atau
peristiwa yang luar biasa
Peristiwa-peristiwa
alam, yang terlihat sehari-hari, walaupun menakjubkan, tidak dinamai
mukjizat.Hal ini karena peristiwa tersebut merupakan suatu yang biasa.Yang
dimaksud dengan “luar biasa” adalah sesuatu yang berbeda di luar jangkauan
sebab akibat yang hukum-hukumnya diketahui secara umum.Demikian pula dengan
hipnotis dan sihir, misalnya sekilas tampak ajaib atau luar biasa, karena dapat
dipelajari, tidak termasuk dalam pengertian “luar biasa” dalam definisi di
atas.
2. Terjadi atau
dipaparkan oleh seseorang yang mengaku Nabi.
Hal-hal
di luar kebiasaan tidak mustahil terjadi pada diri siapapun.Apabila keluarbiasaan
tersebut bukan dari seorang yang mengaku Nabi, hal itu tidak
dinamaimukjizat.Demikian pula sesuatu yang luar biasa pada diri seseorang yang
kelak bakal menjadi Nabi ini pun tidak dinamai mukjizat, melainkan
irhash.Keluarbiasaan itu terjadi pada diri seseorang yang taat dan dicintai
Allah, tetapi inipun tidak disebut mukjizat, melainkan karamahatau
kerahmatan.Bahkan, karamah ini bisa dimiliki oleh seseorang yang durhaka
kepada-Nya, yang terakhir dinamai ihanah (penghinaan) atau Istidraj (rangsangan
untuk lebih durhaka lagi).
Bertitik
tolak dari kayakinan umat Islam bahwa Nabi Muhammad SAW.adalah Nabi terakhir,
maka jelaslah bahwa tidak mungkin lagi terjadi suatu mukjizatsepeninggalannya.
Namun, ini bukan berarti bahwa keluarbiasaan tidak dapat terjadi dewasa ini.[4]
3. Mendukung
tantangan terhadap mereka yang meragukan kenabian
Tentu
saja ini harus bersamaan dengan pengakuannya sebagai Nabi, bukan sebelum dan
sesudahnya. Di saat ini, tantangan tersebut harus pula merupakan sesuatu yang
berjalan dengan ucapan sang Nabi. Kalau misalnya ia berkata, “batu ini dapat
bicara”, tetapi ketika batu itu berbicara, dikatakannya bahwa “Sang penantang
berbohong”, maka keluarbiasaan ini bukan mukjizat, tetapi ihanah atau istidraj.
4. Tantangan
tersebut tidak mampu atau gagal dilayani
Bila
yang ditantang berhasil melakukan hal serupa, ini berarti bahwa pengakuan sang
penantang tidak terbukti. Perlu digaris bawahi di sini bahwa kandungan tantangan
harus benar-benar dipahami oleh yang ditantang.Untuk membuktikan kegagalan
mereka, aspek kemukjizatan tiap-tiap Nabi sesuai dengan bidang keahlian
umatnya.[5]
B.
Apek-Aspek
Kemu’jizatan
Kelahiran ilmu
kalam di dalam islam mempunyai implikasi yang lebih tepat untuk dikatakan
sebagai kalam di dalam kalam. Percikan pemikiran yang ada di dalamnya menarik
pengikutnya ke dalam kerancuan pembicaraan yang tumpah tindih, sebagiannya
berada di atas penderitaan yang lain. Tragedy tokoh-tokoh ilmu kalam ini mulai
tampak ketika membicarakan kemakhlukan Al Qur’an.Maka pendapat dan pandangan
mereka berbeda-beda dan beragam.[6]
Abu
Ishaq Ibrahim An Nizam dan pengikutnya dari kaum syi’ah seperti Al Murtada
berpendapat , kemu’jizatan Al Qur’an adalah dengan cara pemalingan(syirfah).
Arti syirfah dalam pandangan An Nizam ialah Allah memalingkan orang-orang arab
untuk menantang Al Qur’an padahal sebenarnya mereka mampu menghadapinya. Maka
pemalingan inilah yang luar biasa(mu’jizat). Sedang syirfah menurut pandangan
Al Murtada ialah, bahwa Allah telah
mencabut dari mereka ilmu-ilmu yang diperlukan untuk menghadapi Al Qur’an agar
mereka tidak mampu membuat seperti Al Qur’an. Pendapat ini menunjukkan
kelemahan pemiliknya itu sendiri.
Berkata Qadi abu bakar al baqalani: salah satu hal yang membatalkan
pendapat syirfah ialah, kalaulah menandingi Al Qur’an itu mungkin tapi mereka
dihalangi oleh syirfah, maka kalam Allah itu tidak mu’jizat, melainkan syirfah
itulah yang mu’jizat. Dengan
demikian kalam tersebut tidak mempunyai kelebihan apapun atas kalam yang lain.
Pendapat Al
Qur’an itu batil ditolak sendiri oleh Al Qur’an sendiri dalam firmannya :
Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk
membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang
serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian
yang lain".
Ayat ini
menunjukkan kelemahan mereka meskipun mereka masih mempunyai kemampuan. Dan
seandainya kemampuan mereka telah dicabut, maka berkumpulnya jin dan manusia
tidak lagi berguna karena perkumpulan itu sama halnya dengan perkumpulan
orang-orang mati. Sedang kelamahan orang mati bukanlah sesuatu yang patut di
sebut-sebut.[7]
1.
Satu
golongan ulama’ berpendapat, Qur’an itu
mu’jizat dengan balagah nya yang mencapai tingkat tinggi dan tidak ada
bandingannya. Ini adalah pendapat ahli bahasa arab yang gemar akan bentuk
bentuk makna yang hidup dalam untaian kata-kata yang terjalin kokoh dan
retorika yang menarik
2.
Sebagian
mereka berpendapat, segi kemu’jizatan Qur’an itu ialah karena ia mengandung
badi’ yang sangat unik dan berbeda dengan apa yang telah dikenal dalam
perkataan orang arab, seperti fasilah dan maqta
3.
Golongan
lain berpendapat, kemu’jizatan Qur’an itu terletak pada pemberitaan tentang hal
ghaib yang akan dating yang tak dapat diketahui kecuali dengan wahyu, dan pada
pemberitaan tentang hal-hal yang sudah terjadi sejak masa penciptaan makhluk,
yang tidak mungkin dapat diterangkan oleh seorang ummi yang tidak pernah
berhubungan dengan ahli kitab. Misalnya firman Allah tentang penduduk badar :
“Golongan Itu
Pasti Akan Dikalahkan Dan Mereka Akan Mundur Ke Belakang” (Al Qamar [54]: 45)
“Sesungguhnya
Allah Akan Membuktikan Kepada Rasulnya Tentang Kebenaran Mimpinya Dengan
Sebenarnya ” (Al Fath [48]: 27)
“Allah Telah
Berjanji Kepada Orang-Orang Yang Beriman Di Antara Kamu Dan Mengerjakan
Amal-Amal Saleh Bahwa Ia Sungguh-Sungguh Akan Menjadikan Mereka Berkuasa Di
Bumi. “ (An Nur[24]:55)
“Alif lam
mim. Telah dikalahkan bangsa romawi. Di negeri yang terdekat, dan ereka sesudah
dikalahkan itu akan menang”(Ar Rum[30]1:3)
“itu adalah di
antara berita-berita penting tentang yang gaib yang kami wahyukan kepadamu
(Muhammad) tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak pula kaummu sebelum
ini.(Hud[11]:49)”
Pandangan
golongan ini tidak dapat diterima atau mardud,sebab ia menuntut ayat ayat yang
tidak mengandung cerita tentang hal gaib yang akan dating dan yang telah lalu,
tidak mengandung mu’jizat. Dan ini adalah batil, sebab Allah telah menjadikan
setiap surah sebagai mu’jizat tersendiri.[8]
4.
Satu
golongan berpendapat, Qur’an itu mu’jizat karena ia mengandung bermacam-macam
ilmu dan hikmah yangs sangat dalam. Dan masih banyak lagi aspek-aspek
kemu’jizatan lainnya yang berkisar pada sekitar tema-tema di atas, sebagaimana
dihimpun oleh para ulama’ mencapai sepuluh aspek atau lebih.
Pada hakikatnya , Qur’an itu mu’jizat dengan segala makna yang dibawakan
dan di kandung oleh lafaz-lafaznya.
Ia mu’jizat
dalam lafaz-lafaz dan uslubnya. Satu huruf daripadanya yang berada ditempatnya
merupakan mu’jizat yang diperlukan oleh lainnya dalam ikatan kata, satu kata
yang berada ditempatmya juga merupakan mu’jizat dalam ikatan kalimatm dan satu
kalimat yang ada ditempatnya merupakan mu’jizat dalam jalinan surah.
Ia mu’jizat
dalam hal bayan (penjelasan atau retorika) dan nazam (jalinan)Nya. Di dalamnya
seorang pembaca akan menemukan gambaran hidup dari kehidupan, alam dan manusia.
Ia adalah mu’jizat dalam makna-makna yang telah menyingkap tabir hakikat
kemanusiaan dan misinya di dalam kosmos ini.
Ia mu’jizat
dengan segala ilmu dan pengetahuan yang sebagian besar hakikatnya yang gaib
telah diakui dan dibuktikan oleh ilmu pengetahuan modern
Ia mu’jizat
dalam tasyri’ dan pemeliharaannya terhadap hak asai manusia serta dalam pembentukan
mesyarakat teladan yang ditangannya dunia akan bahagia[9]
C.
Kadar
kemu’jizatan Al Qur’an
1.
Golongan
Mu’tazilah berpendapat
bahwa kemukjizatan itu berkaitan dengan keseluruhan Al-Quran, bukan dengan
sebagianya, atau dengan setiap surahnya secara lengkap.
2.
Sebagian
ulama’ berpendapat, sebagian kecil atau sebagian besar dari qur’an, tanpa harus
satu surah penuh, juga merupakan mukjizat, berdasarkan firman Allah:
“
Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Quran….”(at-tur[52]:34).
3.
Ulama’ yang lain berpendapat, kemukjizatan itu cukup satu
surat sekalipun pendek lengkap, atau dengan ukuran satu surah, baik satu ayat
maupun beberapa ayat.
Memang, Qur’an telah mengajukan tantangan agar
didatangkan sesuatu yang hurufnya sangat persisis dengan qur’an; dengan
keseluruhanya ( al Isra’ [17]:88), dengan sepuluh surah (Hud [11]:13), dengan
satu surah (Yunus [10]:38), dan dengan suatu pembicaraan seperti Qur’an (at-Tur
[52]:34).
Namun demikian, kita tidak berpendapat, kemuizatan itu
hanya terdapat pada kadar tertentu, sebab, kita dapat menemukanya pula pada
bunyi huruf-hurufnya dan alunan kata katanya, sebagaimana kita mendapatkanya
pada ayat ayat dan surah surahnya, qur’an adalah kalamulla, itu aja cukup.
Adapun mengenai segi atau kadar manakah yang mukjizat
itu, maka jika seorang penyelidik yang obyektif dengan mencari kebenaran
memperhatikan qur’an dari aspek manapun yang ia sukai, segi uslubnya, segi ilmu
pengetahuanya, segi pengaruh yang ditimbulkannya didalam dunia dan wajah
sejarah yang diubahnya, atau semua segi tersebut, tentu kemukjizatan itu ia
dapatkan dengan jelas dan terang.
Dan sudah sepantasntasnya jika dibawah ini kami
membicarakan tiga aspek kemukjizatan alqur’an, aspek bahasa,aspek ilmiah, dan
aspek tasyri’i (penetapan ukum)
D.
Segi-segi
kemu’jitan Al Qur’an
1.
Mukjizat Al-Quran Ditinjau Dari
Aspek Kebahasaan
Al-Quran
pertama kali berinteraksi dengan masyarakat Arab pada masa Nabi Muhammad SAW. Keahlian
mereka adalah bahasa dan sastra Arab.Di mana-mana terjadi musabaqah
(perlombaan) dalam menyusun syair atau khutbah, petuah, dan nasihat.Penyair
mendapat kedudukan yang sangat istimewa dalam masyarakat Arab.Mereka dinilai
sebagai pembela kaumnya.Dengan syair dan gubahan, mereka mengangkatreputasi
satu kaum atau seseorang dan juga sebaliknya dapat menjatuhkannya.
Keunikan dan keistimewaan Al-Quran dari segi bahasa merupakan
kemukjizatan utama dan pertama yang ditujukan kepada masyarakat Arab yang
dihadapi Al-Quran lima belas abad yang lalu.
a)
Gaya Bahasa
Gaya bahasa Al-qur’an membuat orang
Arab pada saat itu merasa kagum dan terpesona. Kehalusan ungkapan bahasanya
banyak membuat banyak dian tara mereka masuk Islam. Bahkan Umar bin Khatab pun
yang mulanya dikenal sebagai orang yang paling membenci atau memusuhi nabi
Muhammad SAW dan bahkan berusaha untuk membunuhnya, memutuskan untuk masuk
Islam dan beriman pada kerasulan Muhammad hanya karena membaca petikan
ayat-ayat Al-Qur’an. Susunan Al-Qur’an tidak dapat disamakan
oleh karya sebaik apapun.[10]
Bahasa atau
kalimat-kalimat al-qur’an adalah kalimat –kalimat yang menakjubkan, yang
berbeda sekali dengan kalimat-kalimat bahasa Arab. Ia
mampu mengeluarkan sesuatu yang abstrak kepada fenomena yang dapat dirasakan
sehingga didalamnya dapat dirasakan ruh dinamika. Adapun huruf tidak lain hanya
simbol makna-makna, sementara lafadz memiliki petunjuk-petunjuk etimologis yang
berkaitan dengan makna-makna tersebut. Menuangkan makna-makna yang
abstrak tersebut kepada batin seseorang dan kepada hal-hal yang biasa dirasakan
(al-mabsusat) yang bergerak didalam imajinasi dan perasaan, bukan hal yang mudah dilakukan.
Al-qur’an
mencapai tingkat tertinggi dari segi keindahan bahasanya sehingga membuat
kagum, bukan hanya bagi orang-orang mukmin, tetapi juga bagi orang-orang kafir.
Berbagai riwayat menyatakan bahwa tokoh-tokoh kaum musyrik seringakali secara
sembunyi-sembunyi mendengarkan ayat-ayat Al-qur’an yang dibaca oleh kaum
muslim.
Berdasarkan
sifatnya, mukjizat (Al-Qur`an) yang diberikan kepada nabi Muhammad SAW
sangatlah berbeda dengan mukjizat-mukjizat yang diberikan kepada nabi-nabi
terdahulu. Jika para nabi sebelumnya bersifat
Hissiy-Matrial sedangkan Al-Qur`an bersifat maknawi atau immateri. Perbedaan tersebut bertolak pada dua hal
mendasar yaitu pertama, para nabi
sebelum Muhammad SAW ditugaskan pada masyarakat dan masa tertentu. Oleh
karenanya mukjizat tersebut hanya sementara. Sedangkan Al-Qur`an tidak terbatas
pada masyarakat dan masa tertentu sehingga berlaku sepanjang masa. Kedua, secara historis-sosiologis
dalam pemikirannya manusia mengalami perkembangan. Auguste Comte(1798-1857)
sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab, ia berpendapat bahwa pikiran manusia
dalam perkembangannya mengalami tiga fase. Pertama Fase keagamaan, dikarenakan
keterbatasan pengetahuan manusia ia mengembalikan penafsiran semua gejala yang
terjadi pada kekuatan Tuhan atau dewa yang diciptakan dari benaknya. Kedua fase
metafisika, yaitu manusia berusaha menafsirkan gejala yang ada dengan
mengembalikan pada sumber dasar atau awal kejadiannya.Ketiga fase ilmiah,
dimana manusia dalam menafsirkan gejala atau fenomena berdasarkan pengamatan
secara teliti dan eksperimen sehingga didapatkan hukum-hukum yang mengatur
fenomena tersebut.[11]
Posisi Al-Qur`an sebagai mukjizat adalah pada fase ketiga dimana ditengarahi bahwa
potensi pikir rasa manusia sudah luar biasa sehingga bersifat universal dan
eternal.
Letak mukjizat
Al-Qur’an pada lafadz-lafadznya uang dapat dibaca dan didengarkan bisa
menumbuhkan hidup yang baru dalam jiwa setiap muslim. Khususnya,
bagi mereka yang pandai berbahasa Arab dan mengerti dengan
rahasia-rahasianya.Rahasia-rahasianya dan hakikat-hakikat yang dikandung dalam
Al-qur’an tidak saja tertuju padahal yang bersifat ilmiah. Ia juga mengandung
rahasia-rahasia dan hakikat hakikat jiwa dan ruh yang bisa meninggikan
derajat manusia dan mendorongnya menuju kesempurnaan. Hakikat ini bisa
ditemukan dalam Al-qur’an oleh ahli ilmu sosial, filsafat, dan ilmu jiwa.Bisa
juga ditemukan oleh mereka yang tidak mengeri makna tersirat dari bahasa selain
dari hanya sekedar tahu bahasa percakapan.
b)
Susunan kalimat
Kendatipun
Al-Qur’an itu hadis qudsi, dan hadis nabawi sama-sama keluar dari mulut nabi,
tetapi uslub (style) atau susunan bahasanya jauh berbeda.Uslub bahasa Al-Qur’an
jauh lebih tinggi kualitasnya bila dibandingkan dengan lainnya. Al-Qur’an
muncul dengan uslub yang begitu indah. Didalam uslub tersebut terkandung
nilai-nilai istimewa yang tidak pernah ada pada ucapan manusia.
Sebelum
seseorang terpesona dengan keunikan atau kemukjizatan pesan kandungan
Al-Qur’an, terlebih dahulu ia akan terpukau oleh beberapa hal yang berkaitan
dengan susunan kata dan kalimatnya. Beberapa hal tersebut, antara lain,
menyangkut:
1)
Nada dan langgamnya
2)
Singkat dan padat
3)
Memuaskan para pemikir dan orang
kebanyakan
4)
Memuaskan akal dan jiwa
Dalam Al-qur’an , misalnya banyak
ayat yang mengandung tasybih (penyerupaan) yang disusun dalam bentuk yang
sangat indah lagi sangat mempesona. Jauh lebih indah daripada apa yang dibuat
oleh para penyair dan sastrawan. Dapat dilihat dalam contoh surat Al-Qori’ah
ayat 5, Allah berfirman:
“Dan gunung-gunung adalah seperti
bulu yang dihambur-hemburkan “
Bulu yang dihambur-hamburkan ini
sebagai gambaran dari gunung gunung yang telah hancur lebur berserakan
bagian-bagiannya.
Kajian mengenai Style
Al-Qur`an, Shihabuddin menjelaskan dalam bukunya Stilistika Al-Qur`an, bahwa
pemilihan huruf dalam Al-Qur`an dan penggabungannya antara konsonan dan vocal
sangat serasi sehingga memudahkan dalam pengucapannya. Lebih lanjut –dengan
mengutip Az-Zarqoni keserasian tersebut adalah tata bunyi harakah, sukun, mad
dan ghunnah (nasal). Dari paduan ini bacaan Al-Qur`an akan menyerupai suatu
alunan musik atau irama lagu yang mengagumkan. Perpindahan dari satu nada ke
nada yang lain sangat bervariasi sehingga warna musik yang ditimbulkan pun
beragam. Keserasian akhir ayat melebihi keindahan puisi, hal ini dikarenakan
Al-Qur`an mempunyai purwakanti beragam sehingga tidak menjemukan.
Misalnya dalam surat Al-Kahfi(18:
9-16) yang diakhiri vocal “a” dan diiringi konsonan yang bervariasi, sehingga
tak aneh kalau mereka (masyarakat Arab) terenyuh dan mengira Muhammad berpuisi.
Namun Walid Al-mughiroh membantah karena berbeda dengan kaidah-kaidah puisi
yang ada, lalu ia mengira ucapan Muhammad adalah sihir karena mirip dengan keindahan
bunyi sihir (mantra) yang prosais dan puitis. Sebagaimana pula dilontarkan oleh
Montgomery Watt dalam bukunya “bell’s Introduction to the Qoran” bahwa style
Quran adalah Soothsayer Utterance (mantera tukang tenung), karena gaya
itu sangat tipis dengan ganyanya tukang tenung, penyair dan orang gila.[13]
Terkait dengan nada dan lagam bahasa ini, Quraish Shihab mengutip pendapat
Marmaduke cendikiawan Inggris, ia mengatakan bahwa Al-Qur`an mempunyai simponi
yang tidak ada taranya dimana setiap nada-nadanya bisa menggerakkan manusia
untuk menangis dan bersuka cita. Misalnya dalam surat An-Naazi’at ayat 1-5.
Kemudian dilanjutkan dengan lagam yang berbeda ayat 6-14, yang ternyata
perpaduan lagam ini dapat mempengaruhi psikologis seseorang.[14]
2.
Mukjizat
Al-quran Ditinjau Dari Aspek Ilmiah
Banyak orang terjebak dalam kesalahan ketika
mereka menginginkan agar Al-Quran mengandung segala teori ilmiah.Setiap lahir
sebuah teori baru, mereka mencari ayat yang diklaim telah terlebih dahulu
menemukan teori tersebut.Perlu dicatat bahwa hakikat-hakikat ilmiah yang
disinggung Al-Quran dikemukakannya dalam redaksi yang singkat dan sarat makna,
sekaligus tidak terlepas dari ciri umum redaksinya yakni memuaskan orang
kebanyakan dan para pemikir melalui renungan dan analisis mendapatkan
makna-makna yang tidak terjangkau oleh orang kebanyakan itu.
Keilmiahan Al-Quran
tidaklah terletak pada cakupannya terhadap teori-teori ilmiahan yang selalu
berubah karena memang pada dasarnya teori itu akan terus berkembang sesuai
dengan metode yang dipakai dalam membuktikan teori tersebut, sementara Al-Quran
tidaklah berubah. Dengan begitu, menurut kami bahwa keilmiahan
Al-Quran tersebut terletak pada dorongannya untuk berfikir dan menggunakan
akal.
3.
Mukjizat
Al-quran Ditinjau Dari Aspek Hukum
Allah SWT telah banyak meletakkan
fondasi-fondasi hukum di dalam Al-Quran.Ini juga merupakan salah satu
kemukjizatan Al-Quran yang tidak bisa diabaikan.Al-Quran turun pada masa bangsa
Arab “hanya” memikirkan perang, tanpa ada kepedulian terhadap kehidupan sosial.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Teks-teks mukjizat tidak akan berarti apa-apa jika teks itu hanya
disakralkan tanpa menjadi kitab yang dapat menjadi motor bagi umatnya untuk
melakukan perombakan. Namun bagaimanapun, umat islam tetap harus mengakui bahwa
didunia ini tidak ada sebuah kitabpun yang mendapatkan perhatian dan sorotan
seperti yang didapatkan al-quran, baik dari musuh al-quran atau para
pencintanya. Mungkin inilah sisi kemukjizatan yang baru yang dapat merangkum
semua dimensi kemukjizatan al quran. Seseorang yang berangkat dari disiplin
keilmuan apapun akan menemukan dimensi kemukjizatan didalam alquran. Bahasa,
Kisah atau Cerpen, Petuah, Teladan, Kabar ghaib, Tarbiyah, temuan ilmiah. Pada
akhirnya dapat dikatakan bahwa dimensi kemukjizatan adalah keterbukaan al-quran
untuk selalu menjadi kitab mukjizat disepanjang zaman.
Bagaimana al-qur an dapt menjadi
kitab yang dapat menggerakkan (motor) bagi umat islam dan mencairkan
kebekuan yang melilit sendi sendi
perkembangan dan pemikiran islam. Umat islam sekarang hanya mampu bersikap
defensif dan diam menunggu tanpa
memberikan kreasi inovatif baru yang sudah diciptakan Al-Quran..
[2]Manna’
Khalil al Qattan.Studi Ilmu-Ilmu Qur’an . Bogor Baru , PT Pustaka Litera
Antar Nusa1992. hlm.371
[3]Ibid, Hlm.372
[4]Op, Cit. Hlm. 24
[5]Op,Cit. Hlm. 25
[6]Op,Cit. Hlm.374
[7]Op,Cit. Hlm.375
[8]Op,Cit. Hlm. 376
[9]Op,Cit. Hlm.377
[10]Muhammad Ali
Ash-Shabuni, At-tibyan fi ‘Ulum
Al-Qur’an, Maktabah Al-Ghazali, (Damaskus,1390), hlm.105.
[11]M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, (Misan:
Bandung,1999), hlm. 36-37.
[13]Shihabuddin Qulyubi, Stilistika Al-Quran, (Titan
Ilahi Pers:Yogyakarta, 1997), hlm. 39-41.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar