BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Terjemah Al-Qur’an
a.
Sejarah Singkat Penerjemahan Al-Qur’an
Menurut
Afnan Fatani dalam "Translation and the Qur'an". Upaya menerjemahkan
ayat-ayat Al-Qur’an boleh dibilang pertama kali dilakukan pada era Rasulullah
SAW. Suatu hari, Nabi Muhammad pernah berkirim surat kepada dua penguasa, yakni
Kaisar Negus dari Abysinia dan Kaisar Heraclius dari Bizantium. Dalam surat
itu, Rasulullah mencantumkan ayat-ayat dari Al-Qur’an yang di dalamnya terselip
juga terjemahan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut, yaitu surat Ali Imran: 64 yang
ditujukan kepada Kaisar Heraclius, serta penggalan surat Maryam: 19 kepada
Kaisar Negus.[1]
Guru
Besar Sastra Arab Universitas Islam Madinah Al Munawwarah, Syekh Tamir Salum,
mengungkapkan berdasarkan data sejarah, permintaan untuk menerjemahkan
Al-Qur’an diajukan oleh umat Islam dari Persia. Mereka memohon kepada Salman
Al-Farisi untuk menerjemahkan kepada mereka beberapa ayat Al-Qur’an. Salman
kemudian menerjemahkan untuk Muslim Persia tersebut surat Al-Fatihah. Salman
merupakan salah seorang sahabat Nabi SAW yang berasal dari non-Arab. Ia berasal
dari desa Ji di Isfahan, Persia.
Sedangkan,
penerjemahan Al-Qur’an secara lengkap pertama kali dilakukan pada 884 M
di Alwar (Sindh, India sekarang bagian dari Pakistan). Terjemahan Al-Qur’an
tersebut, sebagaimana dikutip dari laman Wikipedia, dibuat atas perintah
Khalifah Abdullah bin Umar bin Abdul Aziz. Saat itu, penguasa Hindu, Raja
Mehruk memohon agar kitab suci umat Islam itu diterjemahkan.[2]
b.
Pengertian terjemah Al-Qur’an
Terjemah
adalah pemindahan lafadz dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain, atau
menjelaskan suatu ungkapan yang terdapat dalam suatu bahasa dengan menggunakan
bahasa lain.[3]
Kata
“terjemah” dapat dipergunakan pada dua arti:
a.
Terjemah harfiyah, yaitu mengalihkan
lafadz-lafadz dari satu bahasa ke dalam lafadz-lafadz yang serupa dari bahasa
lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua.[4]
Terjemah harfiyah ini dapat dikategorikan ke
dalam dua bentuk, yaitu kandungan terjemahan persis sama dengan kandungan
ungkapan yang diterjemahkan kandungan terjemahan tidak persis sama dengan
bahasa yang diterjemahkan. Yang pertama tidak mungkin dilakukan dalam
Al-Qur’an. Sebab, bahasa Al-Qur’an itu merupakan mukjizat yang tidak mungkin
dapat ditandingi dan disamakan dengan bahasa apapun juga. Ayat-ayatnya sarat
dengan makna, di mana tidak ada bahasa yang dapat mewakilinya untuk
menyampaikan semua makna yang terkandung di dalamnya.
Adz-Dzahabi menjelaskan, “Terjemah harfiyah
Al-Qur’an tidak mungkin dapat menempati atau menggantikan bahasa aslinya dalam
hal menghasilkan segala yang dimakdsudkan oleh bahasa asli tersebut.”[5]
b.
Terjemah tafsiriyah atau terjemah maknawiyah,
yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan
tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.[6]
Qur’an
berada pada puncak fasahah dan balagah bahasa Arab. Ia mempunyai
karakteristik susunan, rahasia uslub, pelik-pelik makna dan ayat-ayat kemukjizatan
lainnya yang semua itu tidak dapat diberikan oleh bahasa apa dan mana pun juga.
c.
Hukum Terjemah Qur’an
a. Hukum
Terjemah Harfiyah
Atas
dasar petimbangan di atas maka tidak seorang pun merasa ragu tentang haramnya
menerjemahkan Qur’an dengan terjemah harfiyah. Sebab Qur’an adalah
Kalamullah yang ditutunkan kepada Rasul-Nya, merupakan mukjizat dengan lafadz
dan maknanya, serta membacanya dipandang sebagai ibadah. Disamping itu, tidak
seorangpun berpendapat, kalimat-kalimat Qur’an itu jika diterjemahkan,
dinamakan pula Kalamullah. Sebab Allah tidak berfirman kecuali dengan Qur’an
yang kita baca dalam bahasa Arab, dan kemukjizatanpun tidak akan terjadi dengan
terjemahan, karena kemukjizatan hanya khusus bagi Qur’an yang diturunkan dalam
bahasa Arab. Kemudian yang dipandang sebagai ibadah ialah Qur’an berbahasa Arab
yang jelas, berikut lafadz-lafadz, huruf-huruf dan tertib kata-katanya.
Dengan
demikian, penerjemahan Qur’an dengan terjemah harfiyah, betapapun
penerjemah memahami betul bahasa, uslub-uslub dan susunan kalimatnya, dipandang
telah mengeluarkan Qur’an dari keadaannya sebagai Qur’an.[7]
b.
Hukum Terjemah Maknawiyah
Qur’an
al-Karim, demikian juga semua kalam Arab yang balig, mempunyai makna-makna asli
(pokok utama) dan makna-makna sanawi (sekunder). Yang dimaksud dengan
makna asli ialah makna yang dipahami secara sama oleh setiap orang yang
mengetahui pula segi-segi susunan secara global. Sedang yang dimaksud makna
sanawi ialah karakteristik (kaistimewaan) susunan kalimat yang menyebabkan
suatu perkataan berkualitas tinggi. Dan dengan makna inilah Qur’an dinilai
sebagai mukjizat.[8]
Pendapat
yang dipilih oleh Syatibi di atas dianggapnya sebagai hujjah tentang kebolehan
menerjemahkan makna asli Qur’an tidaklah mutlak. Sebab sebagai ulama membatasi
kebolehan penerjemahan seperti itu
dengan kadar darurat dalam menyampaikan dakwah. Yaitu yang berkenaan
dengan tauhid dan rukun-rukun ibadah, tidak lebih dari itu. Sedang bagi mereka
yang ingin menambah pengetahuannya, diperintahkan untuk mempelajari bahasa
Arab.[9]
d.
Syarat-Syarat Penerjemah
Ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh penerjemah. Syarat-syarat itu
menyangkut dua hal, yaitu pribadi penerjemah dan pekerjaan penerjemah.
a.
Syarat yang menyangkut pribadi penerjemah. Hal
ini meliputi:
1)
Penerjemah harus seorang muslim. Maka
penerjemah non muslim tidak boleh diterima secara mutlak, tetapi perlu
kahati-hatian dan meragukan terjemahnnya.
2)
Penerjemah harus seorang yang adil dan
bijaksana. Maka penerjemah yang fasiq tidak dapat diterima.
3)
Memenuhi adab mufassir, seperti keikhlasan dan
tidak mengharap apa-apa dari terjemahannya kecuali penyebaran ajaran Islam.
b.
Syarat yang menyangkut dengan pekerjaan
menerjemah. Hal ini meliputi:
1)
Penerjemah harus menguasai syarat-syarat
tafsir
2)
Terjemah itu mestilah lafal dan makna Al-Qur’an,
bukan susunannya. Sebab susunan lafal dan ayat Al-Qur’an (an-nuzhum
al-qur’aniyyah) adalah mukjizat; manusia tidak mungkin membuat seperti itu
dengan bahasanya sendiri.
3)
Terjemahan itu mesti menggunakan bhasa yang
mudah, memilih makna dan lafal yang lebih sesuai, dan menyebutkan makna ayat
secara sempurna jika ayat itu berbicara mengenai topik yang sama. Selain itu,
penerjemah juga semestinya meminta bantuan kepada orang yang lebih tahu tentang
bahasa terjemahan.
4)
Penerjemah harus merujuk kepada karya para
mufassir. Hal ini berguna bagi memberikan kemudahan kepada penerjemah.
5)
Penerjemah mesti meyebutkan dalam kata
pengantarnya, bahwa terjemahannya itu bukanlah Al-Qur’an; ia hanya sebagai
terjemah tafsiriyah.[10]
2.2 Tafsir
Al-Qur’an
a. Pengertian Tafsir
Secara bahasa kata Tafsir ( تفســير ) berasal dari kata فَسَّرَ
yang mengandung arti:
menjelaskan, menyingkap dan menampak-kan atau menerangkan makna yang abstrak.
Kata الفســر berarti menyingkapkan sesuatu yang tertutup.[11]
Tafsir dalam disiplin ilmu Al-Quran tidak sama
dengan interpretasi teks lainnya; baik itu teks karya sastra maupun teks suatu
kitab yang dianggap sebagai kitab suci agama tertentu. Ketika kita membahas
tafsir Al-Quran, maka pengertiannya harus merujuk pada pengertian yang sesuai dengan
sudut pandang Islam. Dalam bahasa Arab, kata tafsir (التفسير) berarti
“menjelaskan”.[12] Lafal
dengan makna ini disebutkan di dalam Al-Quran,
Ÿwur
y7tRqè?ù'tƒ
@@sVyJÎ
žwÎ)
y7»oY÷¥Å_
Èd,ysø9$$Î
z`|¡ômr&ur
#·ŽÅ¡øÿs?
ÇÌÌÈ
“Tidaklah
orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan
Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik tafsirnya.” (QS
Al-Furqan: 33). Selain itu, kata tafsir berasal dari derivasi (isytiqâq) al-fasru
(الفسر) yang berarti “menerangkan
dan menyingkap”. Di dalam kamus, kata al-fasru juga bermakna menerangkan
dan menyingkap sesuatu yang tertutup.[13]
Tafsir atau At-Tafsir menurut bahasa mengandung arti antara lain:
a. Menjelaskan, menerangkan, yakni: ada sesuatu yang
semula belum atau tidak jelas memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga
terang dan jelas.
b. Keterangan sesuatu, yakni : perluasan dan
pengembangan dari ungkapan-ungkapan yang masih sangat umum, sehingga menjadi
lebih terperinci, mudah difahami serta dihayati.
c. Tafsiroh, yakni alat
kedokteran yang mengungkap penyakit seseorang pasien, maka tafsir bisa
dikatakan makna yang tersimpan dari Al-Qur’ an
Tafsir menurut istilah, para ulama memberikan rumusan-rumusan yang berbeda,
antara lain adalah sebagai berikut:
1. Menurut Syaikh Thahir al-Jazairy,
dalam at-Taujih: “Tafsir pada hakekatnya
ialah menerangkan lafazh yang sukar difahami oleh pendengar dengan uraian yang
lebih memperjelas pada maksud baginya, baik dengan mengemukakan sinonimnya atau
kata yang mendekati sinonim itu, atau dengan mengemukakan uraian yang mempunyai
petunjuk kepadanya melalui suatu jalan dalalah”.
2. Menurut Syaikh Al-Jurjani dalam
Al-Ta’riifat: “Pada asalnya, tafsir
berarti membuka dan melahirkan. Dalam pengertian syara’ ialah menjelaskan makna
ayat : dari segala persoalannya kisahnya, sababunnujulnya dengan menggunakan
lafazh yang menunjukkan kepadanya secara terang”.
3. Menurut az-Zarkasyi adalah
sebagai berikut: “Tafsir adalah ilmu yang
mengakji tentang pemahaman kitabullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw,
menerangkan makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukum yang dikandungnya serta
ilmu-ilmu yang ada di dalamnya”.
Dari beberapa ta’rif tersebut di atas dapat dilihat bahwa rumusan-rumusan
yang dikemukakan oleh para ulama tersebut adalah berbeda dalam titik
perhatiannyaa yakni menjelaskan, ada yang titik perhatiannya pada lafazh, ada
yang pada ayat dan ada pula yang langsung kepada kitabullah.
Maka berdasarkan rumusan-rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa: “Tafsir adalah usaha yang bertujuan
menjelaskan Al-Qur’an atau ayat-ayatnya atau lafazh-lafazhnya agar yang tidak
jelas menjadi jelas, yang samar-samar menjadi terang, yang sulit difahami
menjadi mudah difahami, sehingga Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia
benar-benar dapat difahami, dihayati dan diamalkan, demi tercapainya
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.”
Unsur-unsur pokok untuk memahami pengertian tafsir adalah sebagai berikut:
1. Hakekatnya ialah
menjelaskan maksud ayat-ayat Al-Qur’an, yang sebagian besar masih dalam bentuk
yang sangat global.
2. Tujuannya untuk
memperjelas apa yang sulit difahami dari Al-Qur’an itu sendiri.
3. Sasarannya agar
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup dan hidayah dari Allah benar-benar berfungsi
sebagaimana Al-Qur’an itu diturunkan.
4. Sarana pendukung
pekerjaan menafsirkan Al-Qur’an itu meliputi berbagai ilmu yang berhubungan
dengan itu.
5. Bahwa upaya
menafsirkan Al-Qur’an bukaan untuk memastikan-demikianlah yang dikehendaki
Tuhan- namun pencaharian makna itu hanyalah menurut kadar kemampuan manusia
dengan keterbatasan ilmunya.[14]
b. Bentuk Tafsir Al-Qur'an
Adapun bentuk-bentuk tafsir Al-Qur'an yang dihasilkan secara garis besar
dapat dibagi menjadi tiga:
1.
Tafsir bi al-ma’tsur
Tafsir bi al-ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang
bersumber dari nash-nash, baik nash al-Qur’an, sunnah Rasulullah saw, pendapat
(aqwal) sahabat, ataupun perkataan (aqwal) tabi’in. Dengan kata lain yang
dimaksud dengan tafsir bi al-ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat al-Qur’an
dengan ayat al-Qur’an, menafsirkan ayat Al Qur’an dengan sunnah, menafsirkan
ayat al-Qur’an dengan pendapat para sahabat, atau menafsirkan ayat al-Qur’an
dengan perkataan para tabi’in.
Beberapa kitab tafsir bil ma`tsuur yang terkenal diantaranya tafsir Ibnu
Abbas dengan judul Tanwiirul Miqbas min Tafsiiri Ibn Abbas, tafsir at Thabari
dengan judul Jamii’ul Bayaan fii Tafsiiril Qur`an, tafsir Ibnu ‘Atiyyah dengan
judul Muharrarul Wajiiz fi Tafsiiril Kitaabil ‘Aziz, dan tafsir Ibnu Katsir
dengan judul Tafsiirul Qur`aanul ‘Azhiim.[15]
Setelah tafsir resmi menjadi disiplin ilmu yang
otonom, maka ditulis dan terbitlah karya-karya tafsir yang secara khusus memuat
tafsir bi al-Ma’tsur lengkap dengan jalur sanad sampai kepada nabi SAW, kepada
para sahabat, tabi’in dan tabi’i al-tabi’in. diantara contohnya
a. Tafsir
al-Qur’an dengan al-Qur’an
Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu.
(yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan
haji. (al-Ma’idah ; 1)
Dijelaskan oleh firman Allah
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan)
yang disembelih atas nama selain Allah, (al-Ma’idah ; 3)
b. Tafsir
al-Qur’an dengan as-Sunnah
Jalan orang-orang yang Telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan
(jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
(al-Fatihah:7)
Disini Rosulullah menafsirkan al-Maghdhubi dan adh-Dholin
adalah Yahudi dan Nashrani.
Di antara keistimewaan tafsir bil Ma’tsur ini seperti yang dicatat oleh
Quraisy Syihab, yaitu sebagai berikut;
1. Menekankan
pentingnya bahasa dalam memahami Al-Qur’an.
2. Memaparkan
ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya.
3.
Mengikat muufassir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya untuk tidak
terjerumus ke dalam subjektivitas yang berlebihan.
Diantara keistimewaannya, Tafsir-tafsir bi al-ma’tsur
juga mempunyai kelemahan antara lain;
1. Terjadinya pemalsuan dalam tafsir yang mana terjadi pada tahun-tahun
ketika terjadi perpecahan dikalangan umat islam yang menumbulkan beberapa
aliran seperti Syi’ah, Khawarij dan Murji’ah. Diantaranya karena fanatisme,
politik, dan usaha-usaha umat islam. Penganut-penganut Syi’ah amat tertarik
hatinya untuk mengumpulkan makna-makna al-Qur’an sesuai dengan keinginan
mereka.
2. Masuknya unsur Israiliyyat yang didefinisikan
sebagai unsur-unsur Yahudi dan Nashrani yang masuk ke dalam penafsiran
al-Qur’an, persoalan Israiliyyat sebenarnya sudah ada sejak Nabi masih ada.
3. Eksistensi sanad yang menjadi salah satu
kualifikasi keakuratan sebuah riwayat, ternyata pada sebagian tafsir bi
al-ma’tsur tidak ditemukan lagi.
4. Terjerumusnya sang mufassir kedalam uraian
kebahasaan dan kesastraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok al-Qur’an
menjadi kabur.
5. Sering konteks turunnya ayat atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat
hukum yang dipaham dari uraian (nasikh mansukh) hampir dapat dikatakan
terabaikan sama sekali sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun di
tengah-tengah masyarakat yang hampa budaya.[16]
Tafsir bi al-ma’tsur dengan keindahan istinbath dan
kemampuan mentarjih, adalah tafsir yang pertama untuk dihargai. Namun demikian
kita tidak boleh membatasi diri pada kemampuan mentarjihkan. Untuk mentakwilkan
ayat atau beberapa ayat, kita harus kembali kepada beberapa macam tafsir.
Pada masa kini menggunakan corak bi al-ma’tsur
membutuhkan pengembangan, disamping seleksi yang cukup ketat. Pengembangan yang
dimaksud adalah tidak sekedar mengover alih apa adanya produk penafsiran bi
al-ma’tsur karya klasik, tetapi yang lebih penting lagi adalah menyeleksi mana
yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan masa kini dan mana yang tidak.
Perbedaan sosial kultural yang dihadapi para mufassir sekarang tentu saja
menjadikan sebagian hasil penafsiran klasik tidak berhasil menjawab persoalan
kekinian. Ini bertolak dari asumsi bahwa penafsiran al-Qur’an pada dasarnya
adalah usaha mufassir pada sekat tertentu untuk menjawab persoalan-persoalan
yang dihadapinya. Dengan demikian, tafsir seharusnya bersifat dinamis seiring
dengan dinamika perkembangan sosio-kultural masyarakat.
2.
al-Tafsir bi al-Ra’yi
Cara penafsiran bil ma’qul atau lebih populer lagi bir ra`yi menambahkan
fungsi ijtihad dalam proses penafsirannya, di samping menggunakan apa yang
digunakan oleh tafsir bil ma`tsuur. Penjelasan-penjelasannya bersendikan kepada
ijtihad dan akal dan berpegang teguh kepada prinsip-prinsip bahasa Arab dan
adat-istiadat orang Arab dalam mempergunakan bahasanya.
Husayn al Dhahaby menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tafsir bir ra`yi
adalah penafsiran al Qur`an atas dasar ijtihadnya yang berlandaskan
pengetahuannya tentang penuturan bangsa Arab dan arah pembicaraan mereka serta
pengetahuannya tentang lafal bahas Arab dan makna yang ditunjukkannya dengan
menjadikan syair jahily sebagai acuan dan panduannya. Meskipun demikian, lanjut
al Dhahaby, asbaabun nuzuul, naasikh wa mansuukh, dan alat bantu lainnya
merupakan pengetahuan-pengetahuan yang tetap harus dikuasai dan digunakan dalam
penafsiran ini.[17] Ulama’
berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya metode tafsir bi Al - Ro’yi. Sebagian
ulama’ melarang penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan metode ini, sebagian
yang lain memperbolehkannya. Rincian dari perbedaan ini hanyalah sebatas pada
lafadz bukan hakikatnya. Dan golongan pertama tidak sampai melewati batas-batas
ketentuan penafsiran. Sedangkan golongan kedua berpendapat bahwa tiap-tiap
golongan telah melewati batas, dengan alasan bahwa meniadakan ma’na dalam
lafadz yang manqul adalah suatu hal yang berlebihan dan membahas penafsiran
bagi semua orang adalah suatu perbuatan yang tercela. Akan tetapi kalau kita
kaji lebih dalam perbedaan-perbedaan mereka kita bisa mengambil kesimpulan,
bahwa semuanya sepakat tidak di perbolehkannya menafsiri Al-Qur’an hanya dengan
mengandalkan pendapat pribadi.
Mengenai keabsahan tafsir bi al-ra’yi, para ulama terbagi ke dalam dua
kelompok :
1.
Kelompok yang melarangnya.
Bahkan menjelang abad ke II H., “corak” penafsiran
ini belum mendapat legitimasi yang luas dari para ulama yang menolaknya.
Diantara argumentasi-argumentasinya;
a.
Menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan ra’yi berarti
membicarakan (firman) Allah tanpa pengetahuan. Dengan demikian hasil
penafsirannya hanya bersifat pikiran semata. Padahal Allah berfirman;
Ÿwur
ß#ø)s?
$tB
}§øŠs9
y7s9
ÏmÎ
íOù=Ïæ
4 ¨bÎ)
yìôJ¡¡9$#
uŽ|Çt7ø9$#ur
yŠ#xsàÿø9$#ur
‘@ä.
y7Í´¯»s9'ré&
tb%x.
çm÷Ytã
Zwqä«ó¡tB
Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.
(QS.
al-Isra’ : 36)
b.
Yang berhak menjelaskan Al-Qur’an adalah Nabi, berdasarkan firman Allah
ÏM»uZÉit7ø9$$Î
Ìç–“9$#ur
3 !$uZø9t“Rr&ur
y7ø‹s9Î)
tò2Ïe%!$#
tûÎiüt7çFÏ9
Ĩ$¨Z=Ï9
$tB
tAÌh“çR
öNÍköŽs9Î)
öNßg¯=yès9ur
šcrã©3xÿtGtƒ
Keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan
pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan (QS. Al Nahl: 44)
c.
Rosulullah bersada:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ
النَّارِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
“Siapa
saja menafsirkan Al-Qur’an atas dasar pikirannya semata, atas dasar sesuatu
yang belum diketahuinya, maka persiapkanlah mengambil tempat di neraka”
d. Sudah merupakan tradisi di kalangan sahabat dan tabi’in untuk
berhati-hati ketuka berbicara tentag penafsiran Al-Qur’an.
2.
Kelompok yang mengizinkannya.diantara argumentasiya
a. Di dalam Al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang menyerukan untuk
mendalami kandungan Al-Qur’an. Misalnya firman Allah;
Ÿxsùr& tbrãy‰tGtƒ šc#uäöà)ø9$# ôQr& 4’n?tã A>qè=è% !$ygä9$xÿø%r& ÇËÍÈ
Maka
apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?
(QS:Muhammad:24)
b. Seandainya tafsir bi al-Ra’yi dilarang, mengapa ijtihad diperbolehkan,
nabi sendiri tidak menjelaskan setiap ayat Al-Qur’an
c. Para sahabat sudah biasa berselisih pendapat mengenai penafsiran suatu
ayat.
Menurut Manna’ Khalil Qaththan menafsirkan al qur`an dengan akal dan
ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah haram, tidak boleh dilakukan.
Menurutnya, cara penafsiran seperti ini dilakukan oleh mayoritas ahli bid’ah
dan madzhab batil dalam rangka melegitimasi golongannya dengan memelintir
ayat-ayat al Qur`an agar sesuai dengan kehendak hawa nafsunya.
Corak Tafsir dengan ra’yi (pikiran) dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
1.
Tafsir dengan pikiran yang tercela (madzum / mardud).
Ialah
bila mufassir dalam memahami pengertian kalimat yang khas dan ministimbatkan
hukum hanya dengan menggunakan pikirannya saja dan tidak sesuai dengan ruh
syari’at. Yang banyak menggunakan penafsiran bentuk ini ialah tokoh-tokoh
bid’ah yang menurut pikiran mereka saja. Umpamanya tafsir Jabba’i, Rummani,
Qadhi Abdul Jabbar, Zamakh Syari, dan Abdul Rahman bin Kisan Ashmi.
2.
Tafsir dengan menggunakan pikiran yang terpuji (mahmudah / maqbul)
a) Ialah bila tidak bertentangan dengan tafsir
maktsuur
b) Ia
berbentuk ijtihad muqayyad atau yang dikaitkan dengan satu kait berpikir
mengenai kitab Allah menurut hidayah sunnah Rasul yang mulia.
Sedangkan
menurut Imam Al-Dzahabi dalam menanggapi permasalahan ini beliau berkata:
Tafsir bi Al-Ra’yi ada dua:
a. Dengan menggunakan kaidah bahasa arab, akan tetapi
tetap mengikuti Al-Kitab dan sunnah serta tetap mengikuti kaidah ilmu tafsir.
Dan hal ini diperbolehkan.
b. Tidak memakai kaidah bahasa arab dan kaidah-kaidah
ilmu syari’at serta tidak mengikuti kaidah ilmu tafsir. Dan hal ini sangat
dibenci dan tidak di terima oleh para ulama’, seperti yang di sampaikan oleh
Ibnu Mas’ud: “akan ada suatu kaum yang mengajak untuk memahami Al-Qur’an, akan
tetapi mereka tidak mengamalkannya. Maka wajib bagi kalian untuk mendalami
Al-Qur’an, dan menjauhi segala bentuk bid’ah”.
Kitab-kitab
tafsir bir ra`yi diantaranya tafsir ar Razi yang berjudul Mafaatihul Ghaib,
tafsir Ibnu Hayyan yang berjudul Al Bahrul Muhiit, dan tafsir az Zamakhsyari
yang berjudul Al Kasysyaf ‘an Haqaa`iqit Tanziil wa ‘Uyuunil Aqaawiil fii
Wujuuhit Tanwil.[18]
3. al-Tafsir al-Isyari
Tafsir bil-isyarah atau tafsirul isyari: adalah takwil Al Qur’an berbeda
dengan lahirnya lafal atau ayat, karena isyarat-isyarat yang sangat rahasia
yang hanya diketahui oleh sebagian ulul ‘ilmi yang telah diberi cahaya oleh
Allah swt dengan ilhamNya. Atau dengan kata lain, dalam tafsirul isyari seorang
Mufassir akan melihat makna lain selain makna zhahir yang terkandung dalam Al
Qur’an. Namun, makna lain itu tidak tampak oleh setiap orang, kecuali
orang-orang yang telah dibukakan hatinya oleh Allah SWT.
Hukum Tafsir bil-isyarah: Telah berselisih para ulama dalam menghukumi
tafsir isyari, sebagian mereka ada yang memperbolehkan (dengan syarat), dan
sebagian lainnya melarangnya.
Ibnu Abbas berkata: Sesungguhnya Al Qur’an itu mengandung banyak ancaman
dan janji, meliputi yang lahir dan bathin. Tidak pernah terkuras keajaibannya,
dan tak terjangkau puncaknya. Barangsiapa yang memasukinya dengan hati-hati
akan selamat. Namun barangsiapa yang memasukinya dengan ceroboh, akan jatuh dan
tersesat. Ia memuat beberapa khabar dan perumpamaan, tentang halal dan haram,
nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, zhahir dan batin. Zhahirnya adalah
bacaan, sedang bathinnya adalah takwil. Tanyakan ia pada ulama, jangan bertanya
kepada orang bodoh.
Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat
Dan (ingatlah), ketika Musa Berkata kepada kaumnya:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina."
Yang mempunyai makna zhahir adalah “......Sesungguhnya Allah menyuruh
kamu menyembelih seekor sapi betina...” tetapi dalam tafsir Isyari diberi
makna dengan “....Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu
hewaniah...”.
Beberapa karya tafsir Isyari yang terkenal antara lain: Tafsir An
Naisabury, Tafsir Al Alusy, Tafsir At Tastary, Tafsir Ibnu Araby.[19]
c. Metode Tafsir
Metode tafsir adalah suatu cara untuk memahami makna isi kandungan
Al-Qur’an secara mendalam dari berbagai aspek, sehingga bisa memahami Al-Qur’an
dengan benar. Dari beberapa penafsiran Al-Qur’an yang berkembang dikalangan
ahli tafsir, para ulama menyimpulkan bahwa ada Empat macam metode yang
digunakan oleh para mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur’an :
a. Metode
Tahlili
Metode tahlili ialah
tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan
aspek yang terkandung didalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat dalam
mushaf Ustmani. Metode tahlili adalah metode tafsir paling tua dibandingkan
dengan metode-metode lainnya. Tafsir ini berasal sejak masa para sahabat Nabi,
pada mulanya tafsir tahlili terdiri atas beberapa bagian ayat saja, kadangkala
mencakup penjelasan mengenai kosa-katanya. Dalam perkembangan selanjutnya para
ahli tafsir merasakan kebutuhan untuk menafsirkan seluruh isi Al-Qur’an.
Metode tahlili adalah
metode penafsiran yang sangat luas dan menyeluruh, melalui penafsiran ini ayat
Al-Qur’an nampak mempunyai wawasan atau jangkauan yang sangat luas. Penafsiran
dalam bentuk ini dilakukan dari berbagai segi yang ditinjau dari berbagai
disiplin ilmu, segala sesuatu yang dianggap perlu oleh seorang mufassir tahlili
selalu diuraikannya, sehingga ayat alqur’an dapat dipahami dari berbagai sudut
keilmuan.
b. Metode Ijmali
Metode ijmali ialah metode penafsiran Al-Qur’an
terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara singkat, padat dan global. Dengan
metode ini mufassir menjelaskan makna-makna yang terkandung didalam Alqur’an
secara global, sistematikanya mengikuti urutan surah-surah Al-Qur’an, sehingga
maknanya dapat saling berhubungan.
Dalam menyajikan makna-makna, kalimat atau ayat,
mufassir mengambil ungkapan yang diambil dari Al-Qur’an itu sendiri, dengan
menambahkan kata atau kaliamat penghubung sehingga memberi kemudahan para
pembaca untuk memahaminya. Dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan metode
ijmali ini para mufassir juga meneliti, mengkaji dan menyajikan sebab nujul
atau peristiwa yang melatarbelakangi turunya ayat, dengan cara meneliti
hadis-hadis yang berhubungan dengananya.
c.
Metode Muqarram
Metode Muqarram adalah metode tafsir dengan
menggunakan perbandingan antara satu dengan yang lainnaya, misalnya seperti
filsafat dengan hukum den sebagainya
d.
Metode Maudlui
Metode Maudlui adalah suatu metode tafsir dengan menggunakan pilihan
topik-topik al-Qur’an. Metode tematik yang memilih persoalan-persoalan sosial
politik, sosial ekonomi dan sebagainya. Awalnya untuk kepentingan penelitian
tetapi kemudian berkembang menjadi jenis tafsir konteporer. Maka ibnu Qayyim
menulis At-Tibyan fie aqsamil Qur’an, Abu Ubaidah menulis Majazul
Qur’an dan lain sebagainya.
2.3 Ta’wil
Al-Quran
a. Pengertian
“Kata ta’wil dalam al-Qur’an tersebut
sebanyak 17 kali sementara kata tafsir muncul hanya sekali”.[20] Ini menunjukkan bahwa kata ta’wil
lebih popular pemakaiannya dalam bahasa pada umumnya, dan dalam teks khususnya,
dari pada kata tafsir Adapun pengertian ta’wil ditinjau dari aspek
etimologi ialah mengembalikan/ memalingkan ayat. Sebagai contoh, dapat dilihat
dari pemakaiannya dalam Q.S.Ali Imran: 7, sebagai berikut:
uqèd
üÏ%©!$#
tAtRr&
y7øn=tã
|=»tGÅ3ø9$#
çm÷ZÏB
×M»t#uä
ìM»yJs3øtC
£`èd
Pé&
É=»tGÅ3ø9$#
ãyzé&ur
×M»ygÎ7»t±tFãB
( $¨Br'sù
tûïÏ%©!$#
Îû
óOÎgÎ/qè=è%
Ô÷÷y
tbqãèÎ6®Kusù
$tB
tmt7»t±s?
çm÷ZÏB
uä!$tóÏGö/$#
ÏpuZ÷GÏÿø9$#
uä!$tóÏGö/$#ur
¾Ï&Î#Írù's?
3 $tBur
ãNn=÷èt
ÿ¼ã&s#Írù's?
wÎ)
ª!$#
3 tbqãź§9$#ur
Îû
ÉOù=Ïèø9$#
tbqä9qà)t
$¨ZtB#uä
¾ÏmÎ/
@@ä.
ô`ÏiB
ÏZÏã
$uZÎn/u
3 $tBur
ã©.¤t
HwÎ)
(#qä9'ré&
É=»t6ø9F{$#
Artinya:
“Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya
ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang
mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari
ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”. (Q.S.Ali Imran: 7)
Ta’wil berasal dari akar kata “aulu”
yang berarti kembali, mengembalikan kepada konteks yang ada dalam rangkaian
kalimat. Sedangkan kata al-tawil berarti ungkapan atau penjelasan suatu
pandangan.[21]
Ta’wil menurut istilah, para ulama tampil
mengemukakan dalam formulasi yang berbeda-beda. Muhammad Husain al-Zahabi
berusaha merangkum berbagai pendapat tersebut lalu mengelompokkan ulama menjadi
dua kelompok yaitu ulama salaf dan ulama khalaf. Menurut ulama salaf
bahwa pengertian ta’wil mengandung dua pengertian, yaitu : 1) ta’wil
merupakan keterangan dan penjelasan arti suatu kalimat, 2) ta’wil berarti
kalimat yang dimaksudkan itu sendiri. Sedangkan menurut ulama khalaf, ta’wil
adalah suatu upaya memalingkan atau mengembalikan suatu lafaz dari makna
biasanya ke makna lain yang memungkinkan karena ada dalil atau argumentasi yang
menyertainya.[22] Dengan demikian, ta’wil adalah
ilmu yang menjelaskan makna umum dan makna khusus dari susunan kalimat
ayat-ayat al-Qur’an.
Dalam
kisah Nabi Yusuf as, kata ta’wil yang di idofkan ke الأحاديثdi artikan sebagai tafsir atau ta’bir
mimpi-mimpi, terekam dalam Q.S. Yusuf: 6, yaitu:
y7Ï9ºxx.ur
Î;tFøgs
y7/u
y7ßJÏk=yèãur
`ÏB
È@Írù's? Ï]Ï%tnF{$#
…
Artinya: “Dan Demikianlah Tuhanmu, memilih kamu
(untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta'bir
mimpi-mimpi”.(Q.S.Yusuf: 6)
Ungkapan ta’wil al-ahadits tak lain hanyalah ta’wil terhadap
mimpi. Ini terlihat jelas dari penggantian kata ahlam (mimpi) dengan
kata ahadits pada ayat lain ketika sang raja meminta kepada para
punggawanya untuk memberikan tafsir terhadap mimpi yang meresahkannya:
(#þqä9$s%
ß]»tóôÊr&
5O»n=ômr&
( $tBur
ß`øtwU
È@Írù'tGÎ/
ÄN»n=ômF{$#
tûüÏJÎ=»yèÎ/
Artiya:
“Mereka menjawab: "(Itu) adalah mimpi-mimpi yang kosong dan Kami
sekali-kali tidak tahu ta’wilnya."(Q.S.Yusuf: 44)
Kata hadits
dipergunakan untuk pengertian mimpi disebabkan karena juru ta’wil tidak
semata-mata men-ta’wil mimpi itu sendiri. Ia men-ta’wil hadits (cerita)
yang disampaikan oleh orang yang bermimpi. Dengan kata lain, bahwa ia melakukan
ta’wil atas ungkapan-ungkapan verbal yang dipergunakan oleh orang yang
bermimpi untuk memformulasikan gambar-gambar yang dilihat dalam tidurnya.
Dengan demikian, ta’wil disini difokuskan pada gambaran-gambaran yang
dijelaskan oleh mediator, yaitu hadits.
Oleh
karena itu, dalam cerita Nabi Yusuf kita menemukan kata ta’wil dikaitkan
dengan ahlam, ahadits, dan ru’yah. Semuanya memiliki pengertian
yang sangat berdekatan. Semuanya dalam hal ini sama, apakah yang menceritakan
(ta’wil) tersebut Ya’qub, seperti pada ayat ke 6, ataupun punggawa raja,
seperti pada ayat ke-44, ataupun “yang mengatakan” teks, seperti pada ayat
berikut ini:
tA$s%ur
Ï%©!$#
çm1utIô©$#
`ÏB
uóÇÏiB
ÿ¾ÏmÏ?r&tøBew
ÍGÌò2r&
çm1uq÷WtB
#Ó|¤tã
br&
!$oYyèxÿYt
÷rr&
¼çnxÏGtR
#V$s!ur
4 y7Ï9ºx2ur
$¨Y©3tB
y#ßqãÏ9
Îû
ÇÚöF{$#
¼çmyJÏk=yèãYÏ9ur
`ÏB
È@Írù's?
Ï]Ï$ymF{$#
4 ª!$#ur
ë=Ï9%yñ
#n?tã
¾ÍnÌøBr&
£`Å3»s9ur
usYò2r&
Ĩ$¨Z9$#
w cqßJn=ôèt
Artinya:
“Dan orang Mesir yang membelinya berkata kepada isterinya: "Berikanlah
kepadanya tempat (dan layanan) yang baik, boleh Jadi Dia bermanfaat kepada kita
atau kita pungut Dia sebagai anak." dan demikian pulalah Kami memberikan
kedudukan yang baik kepada Yusuf di muka bumi (Mesir), dan agar Kami ajarkan
kepadanya ta'bir mimpi. dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi
kebanyakan manusia tiada mengetahuinya”.(Q.S.Yusuf: 21)
Setelah
mimpinya menjadi kenyataan, Yusuf menyebutnya dengan ru’yah:
yìsùuur
Ïm÷uqt/r&
n?tã
ĸöyèø9$#
(#ryzur
¼çms9
#Y£Úß
( tA$s%ur
ÏMt/r'¯»t
#x»yd
ã@Írù's?
}»töäâ
`ÏB
ã@ö6s%
ôs%
$ygn=yèy_
În1u
$y)ym
(
Artinya:
“Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. dan mereka (semuanya)
merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf. dan berkata Yusuf: "Wahai ayahku Inilah
ta'bir mimpiku yang dahulu itu; Sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu
kenyataan.(Q.S.Yusuf: 100)
Meskipun
demikian, pengertian ta’wil yang dipergunakan Al-Qur’an tidak terbatas pada
ahadits yang berhubungan dengan mimpi. Sebab, Yusuf berkata kepada
teman-temannya dalam penjara setelah mereka menceritakan perihal mimpi mereka
kepadanya:
tA$s%
w $yJä3Ï?ù't
×P$yèsÛ
ÿ¾ÏmÏR$s%yöè?
wÎ)
$yJä3è?ù'¬6tR
¾Ï&Î#Írù'tGÎ/
@ö6s%
br&
$yJä3uÏ?ù't
4 $yJä3Ï9ºs
$£JÏB
ÓÍ_yJ¯=tæ
þÎn1u
4 ÎoTÎ)
àMø.ts?
s'©#ÏB
7Qöqs%
w tbqãZÏB÷sã
«!$$Î/
Nèdur
ÍotÅzFy$$Î/
öNèd
tbrãÏÿ»x.
Atrinya:
“Yusuf berkata: "tidak disampaikan kepada kamu berdua makanan yang akan
diberikan kepadamu melainkan aku telah dapat menerangkan jenis makanan itu,
sebelum makanan itu sampai kepadamu. yang demikian itu adalah sebagian dari apa
yang diajarkan kepadaku oleh Tuhanku. Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka ingkar kepada hari
kemudian”.(Q.S.Yusuf: 37)
Pengertian
ta’wil dalam konteks ini adalah memberitahukan “kejadian” sebelum
terjadi secara faktual. Di sini, Yusuf berusaha menegaskan kepada
teman-temannya bahwa kemampuan memberikan ta’wil yang ia miliki, tidak
terbatas hanya pada ta’wil mimpi saja, tetapi lebih dari itu. Ia mampu
menceritakan sesuatu sebelum terjadi. Dari penggunaan tersebut, dapatlah
disimpulkan bahwa ta’wil terhadap mimpi didasarkan pada medium atau tafsirah,
melalui medium tersebut juru ta’wil dapat mengungkapkan makna yang
tersembunyi, dan bahwa ada tipe lain dari ta’wil yang tidak memerlukan
medium atau tafsirah, makna “peristiwa” dapat ditemukan dan
diprediksi secara langsung sebelum peristiwa itu terjadi.[23]
b. Persamaan Dan Perbedaan Tafsir Wa
Ta’wil Al-Qur’an
Titik
persamaan dari tafsir dan ta’wil Al-Qur’an ini adalah sama-sama menjelaskan
atau menerangkan makna ayat-ayat Al-Qur’an. Adapun mengenai perbedaannya para
ulama berbeda pendapat antara kedua kata tersebut. Berdasarkan pada pembahasan
diatas tentang makna tafsir dan ta’wil, maka kita dapat
menyimpulkan pendapat terpenting diantaranya sebagai berikut:
1. Apabila kita berpendapat, ta’wil
adalah menafsirkan perkataan dan menjelaskan maknanya, maka “ta’wil” dan
“tafsir” adalah dua kata yang berdekatan atau sama maknanya. Termasuk
pengertian ini ialah doa Rasulullah untuk Ibnu Abbas, “Ya Allah, berikanlah
kepadanya kemampuan untuk memahami agama dan ajarkanlah kepadanya ta’wil”
2. Apabila kita berpendapat, ta’wil esensi
yang dimaksud dari suatu perkataan, maka ta’wil dari thalab
(tuntutan) adalah esensi perbuatan yang dituntut dan ta’wil dari khabar
adalah esensi sesuatu yang diberitakan. Atas dasar ini maka perbedaan antara tafsir
dengan ta’wil cukup besar, sebab tafsir merupakan syarah dan
penjelasan bagi suatu perkataan dan penjelasan ini berada dalam pikiran dengan
cara memahami dan dalam lisan dengan ungkapan yang menunjukannya. Sedang ta’wil
ialah esensi sesuatu yang berada dalam realitas (bukan dalam pikiran). Sebagai
contoh jika dikatakan “matahari telah terbit “, maka ta’wil ucapan ini adalah
“terbitnya matahari itu sendiri”.
3. Dikatakan, tafsir adalah apa
yang telah jelas didalam Kitabullah atau tertentu (pasti) dalam sunnah yang sahih
karena maknanya telah jelas dan gamlang. Sedang ta’wil adalah apa yang
disimpulkan para ulama. Karena itu para ulama mengatakan, “Tafsir adalah
apa yang berhubungan dengan riwayat sedang ta’wil adalah apa yang
berhubungan dengan dirayah”.
4. Dikatakan pula, tafsir lebih
banyak dipergunakan dalam menerangkan lafaz dan mufrad (kosa
kata), sedang ta’wil lebih banyak dipakai dalam (menjelaskan) makna dan
susunan kalimat.[24]
5. Proses tafsir membutuhkan “tafsirah”,
yaitu medium yang dicermati mufasir sehingga ia dapat menyingkapkan apa yang
dikehendakinya, sementara “ta’wil” merupakan proses yang tidak selalu
membutuhkan medium ini, bahkan kadang-kadang berdasarkan pada gerak mental
dalam menemukan asal mula dari sebuah gejala atau dalam mengamati akibatnya.
Dengan kata lain, ta’wil dapat dijalankan atas dasar semacam hubungan
langsung antara “zat/subjek” dan “objek”, sementara dalam hubungan ini dalam
proses “tafsir” bukanlah hubungan langsung tetapi hubungan melalui
medium yang berupa teks bahasa, atau berupa sesuatu yang bermakna.[25]
Contoh Tafsir Wa
Ta’wil Al-Qur’an
Berikut ini akan
penulis kemukakan beberapa contoh dari tafsir dan ta’wil yang
diambil dalam Al-Qur’an yakni sebagai berikut:
¨bÎ) y7/u
Ï$|¹öÏJø9$$Î7s9
“Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar
mengawasi”. (Q.S. Al-Fajr: 14)
Jika
diartikan, Allah benar-benar mengawasi segala perilaku hambanya maka itu adalah
tafsir. Sedangkan ta’wilnya adalah anjuran untuk bersikap waspada
dari sikap meremehkan perintah Allah dan melupakan kenikmatan-kenikmatannya
serta mempersiapkan diri untuk menghadap kepadanya. Dalil-dalil yang qat’I
menunjukkan bahwa penjelasan maknanya adalah berbeda dengan makna kata itu dari
sisi bahasa.
Adapun contoh tafsir
dan ta’wil yang lain seperti pada Q.S. Al-Baqarah ayat 2 yang berbunyi:
y7Ï9ºs
Ü=»tGÅ6ø9$#
w |=÷u
¡ ÏmÏù
…
“Kitab (Al Quran) ini tidak ada
keraguan padanya”.(Q.S.Al-Baqarah: 2)
Jika
diartikan, “la syakka fihi” (tidak ada kebimbangan didalamnya) maka ini adalah tafsir.
Jika diartikan, “tidak ada keraguan dikalangan kaum beriman” maka ini adalah ta’wil.
BAB III
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Tafsir adalah ilmu al-Qur’an
yang berfungsi sebagai pembuka hijab dari ketidak jelasan, yang semula gelap
akan menjadi terang dan yang telah terang menjadi lebih terang lagi. Rahasia-rahasia yang ada dibalik ayat-ayatnya ditemukan dengan
menggunakan ilmu tafsir.
Ta’wil adalah
pengertian-pengertian yang samar / yang tersirat yang di-istinmbath-kan
(diproses) dari ayat-ayat al-qur’an, yang memerlukan renungan dan pemikiran dan
merupakan prosesing membuka tabir atau makna yang terkandung didalamnya.
Sedangkan terjemah adalah pengalihan bahasa dari satu bahasa kedalam bahasa
lain tanpa harus menyamakan secara persis dengan karakteristik bahasa pertama.
2.
Perbedaan antara ketiganya yaitu :
Takwil adalah esensi yang dimaksud
dari suatu perkataan, maka takwil dari talab (tuntutan) adalah esensi
perbuatan yang dituntut itu sendiri dan takwil dari khabar adalah esensi
yang diberitakan.
Dikatakan tafsir adalah apa yang
telah jelas didalamnya kitabullah atau tertentu (pasti) dalam sunnah yang sohih karena
maknanya telah jelas dan gamblang.
Sedangkan terjemah hanya merupakan
pengalihan bahasa dari bahasa arab yang digunakan al-qur’an kedalam bahasa
lain.
3. Perbedaan
yang amat jelas sekali dari kedua tafsir ini dibedakan atas sumbernya. Tafsir bi
al-ma’sur adalah metode penafsiran al-qur’an dengan menggunakan al-Qur’an,
hadist, ataupun perkataan sahabat rosul. Sedangkan tafsir bi al-ra’yi menggunakan
akal pada umum penafsiranya dan hanya sedikit pengambilan dalil dari qur’an dan
hadis tapi lebih menekan pada pemikiran dengan jalan berijtihad.
[1] Ahmad Van Denffer, Ilmu Al-Quran: Pengenalan Dasar,
(Jakarta: Rajawali Pers. 1988)., hal. 169
[2]http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/04/17/m2m933-melacak-sejarah-penerjemahan-Al-Qur’an,
diakses pada Kamis tanggal 23 Mei 2013.
[4]
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar
Nusa, 2012 ).,
hal. 443
[5]
Kadar M. Yusuf , Op.Cit., hal.
130
[7]
Ibid., hal. 444
[9]
Ibid., hal 445-446
[21] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu
Qur’an,(Bandung: Pustaka Al-Kautsar Penerbit Buku
Islam Utama, 2009), Cet 2., hal. 409
[22] Muhammad Husain al-Dzahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun I (Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsal,1976),Cet.2., hal. 17
[24] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu
Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2012 )., hal. 412
[25] M.Dawam Rihardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial
Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci.(Jakarta: Pramadina, 2002), hal. 231
terima kasih banyak min
BalasHapusburung ciblek
resep kue bawang
contoh kata pengatar
sama-sama, semoga bermanfaat..
BalasHapus