Translate

Jumat, 20 Desember 2013

Terjemah, Tafsir, dan Takwil al-quran



BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Terjemah Al-Qur’an
a.    Sejarah Singkat Penerjemahan Al-Qur’an
Menurut Afnan Fatani dalam "Translation and the Qur'an". Upaya menerjemahkan ayat-ayat Al-Qur’an boleh dibilang pertama kali dilakukan pada era Rasulullah SAW. Suatu hari, Nabi Muhammad pernah berkirim surat kepada dua penguasa, yakni Kaisar Negus dari Abysinia dan Kaisar Heraclius dari Bizantium. Dalam surat itu, Rasulullah mencantumkan ayat-ayat dari Al-Qur’an yang di dalamnya terselip juga terjemahan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut, yaitu surat Ali Imran: 64 yang ditujukan kepada Kaisar Heraclius, serta penggalan surat Maryam: 19 kepada Kaisar Negus.[1]
Guru Besar Sastra Arab Universitas Islam Madinah Al Munawwarah, Syekh Tamir Salum, mengungkapkan berdasarkan data sejarah, permintaan untuk menerjemahkan Al-Qur’an diajukan oleh umat Islam dari Persia. Mereka memohon kepada Salman Al-Farisi untuk menerjemahkan kepada mereka beberapa ayat Al-Qur’an. Salman kemudian menerjemahkan untuk Muslim Persia tersebut surat Al-Fatihah. Salman merupakan salah seorang sahabat Nabi SAW yang berasal dari non-Arab. Ia berasal dari desa Ji di Isfahan, Persia.
Sedangkan, penerjemahan Al-Qur’an secara lengkap pertama kali dilakukan pada  884 M di Alwar (Sindh, India sekarang bagian dari Pakistan). Terjemahan Al-Qur’an tersebut, sebagaimana dikutip dari laman Wikipedia, dibuat atas perintah Khalifah Abdullah bin Umar bin Abdul Aziz. Saat itu, penguasa Hindu, Raja Mehruk memohon agar kitab suci umat Islam itu diterjemahkan.[2]
b.   Pengertian terjemah Al-Qur’an
Terjemah adalah pemindahan lafadz dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain, atau menjelaskan suatu ungkapan yang terdapat dalam suatu bahasa dengan menggunakan bahasa lain.[3]
Kata “terjemah” dapat dipergunakan pada dua arti:
a.    Terjemah harfiyah, yaitu mengalihkan lafadz-lafadz dari satu bahasa ke dalam lafadz-lafadz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua.[4]
Terjemah harfiyah ini dapat dikategorikan ke dalam dua bentuk, yaitu kandungan terjemahan persis sama dengan kandungan ungkapan yang diterjemahkan kandungan terjemahan tidak persis sama dengan bahasa yang diterjemahkan. Yang pertama tidak mungkin dilakukan dalam Al-Qur’an. Sebab, bahasa Al-Qur’an itu merupakan mukjizat yang tidak mungkin dapat ditandingi dan disamakan dengan bahasa apapun juga. Ayat-ayatnya sarat dengan makna, di mana tidak ada bahasa yang dapat mewakilinya untuk menyampaikan semua makna yang terkandung di dalamnya.
Adz-Dzahabi menjelaskan, “Terjemah harfiyah Al-Qur’an tidak mungkin dapat menempati atau menggantikan bahasa aslinya dalam hal menghasilkan segala yang dimakdsudkan oleh bahasa asli tersebut.”[5]
b.    Terjemah tafsiriyah atau terjemah maknawiyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.[6]
Qur’an berada pada puncak fasahah dan balagah bahasa Arab. Ia mempunyai karakteristik susunan, rahasia uslub, pelik-pelik makna dan ayat-ayat kemukjizatan lainnya yang semua itu tidak dapat diberikan oleh bahasa apa dan mana pun juga.
c.    Hukum Terjemah Qur’an
a.    Hukum Terjemah Harfiyah
Atas dasar petimbangan di atas maka tidak seorang pun merasa ragu tentang haramnya menerjemahkan Qur’an dengan terjemah harfiyah. Sebab Qur’an adalah Kalamullah yang ditutunkan kepada Rasul-Nya, merupakan mukjizat dengan lafadz dan maknanya, serta membacanya dipandang sebagai ibadah. Disamping itu, tidak seorangpun berpendapat, kalimat-kalimat Qur’an itu jika diterjemahkan, dinamakan pula Kalamullah. Sebab Allah tidak berfirman kecuali dengan Qur’an yang kita baca dalam bahasa Arab, dan kemukjizatanpun tidak akan terjadi dengan terjemahan, karena kemukjizatan hanya khusus bagi Qur’an yang diturunkan dalam bahasa Arab. Kemudian yang dipandang sebagai ibadah ialah Qur’an berbahasa Arab yang jelas, berikut lafadz-lafadz, huruf-huruf dan tertib kata-katanya.
Dengan demikian, penerjemahan Qur’an dengan terjemah harfiyah, betapapun penerjemah memahami betul bahasa, uslub-uslub dan susunan kalimatnya, dipandang telah mengeluarkan Qur’an dari keadaannya sebagai Qur’an.[7]
b.    Hukum Terjemah Maknawiyah
Qur’an al-Karim, demikian juga semua kalam Arab yang balig, mempunyai makna-makna asli (pokok utama) dan makna-makna sanawi (sekunder). Yang dimaksud dengan makna asli ialah makna yang dipahami secara sama oleh setiap orang yang mengetahui pula segi-segi susunan secara global. Sedang yang dimaksud makna sanawi ialah karakteristik (kaistimewaan) susunan kalimat yang menyebabkan suatu perkataan berkualitas tinggi. Dan dengan makna inilah Qur’an dinilai sebagai mukjizat.[8]
Pendapat yang dipilih oleh Syatibi di atas dianggapnya sebagai hujjah tentang kebolehan menerjemahkan makna asli Qur’an tidaklah mutlak. Sebab sebagai ulama membatasi kebolehan penerjemahan seperti itu  dengan kadar darurat dalam menyampaikan dakwah. Yaitu yang berkenaan dengan tauhid dan rukun-rukun ibadah, tidak lebih dari itu. Sedang bagi mereka yang ingin menambah pengetahuannya, diperintahkan untuk mempelajari bahasa Arab.[9]
d.   Syarat-Syarat Penerjemah
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh penerjemah. Syarat-syarat itu menyangkut dua hal, yaitu pribadi penerjemah dan pekerjaan penerjemah.
a.    Syarat yang menyangkut pribadi penerjemah. Hal ini meliputi:
1)   Penerjemah harus seorang muslim. Maka penerjemah non muslim tidak boleh diterima secara mutlak, tetapi perlu kahati-hatian dan meragukan terjemahnnya.
2)   Penerjemah harus seorang yang adil dan bijaksana. Maka penerjemah yang fasiq tidak dapat diterima.
3)   Memenuhi adab mufassir, seperti keikhlasan dan tidak mengharap apa-apa dari terjemahannya kecuali penyebaran ajaran Islam.
b.      Syarat yang menyangkut dengan pekerjaan menerjemah. Hal ini meliputi:
1)   Penerjemah harus menguasai syarat-syarat tafsir
2)   Terjemah itu mestilah lafal dan makna Al-Qur’an, bukan susunannya. Sebab susunan lafal dan ayat Al-Qur’an (an-nuzhum al-qur’aniyyah) adalah mukjizat; manusia tidak mungkin membuat seperti itu dengan bahasanya sendiri.
3)   Terjemahan itu mesti menggunakan bhasa yang mudah, memilih makna dan lafal yang lebih sesuai, dan menyebutkan makna ayat secara sempurna jika ayat itu berbicara mengenai topik yang sama. Selain itu, penerjemah juga semestinya meminta bantuan kepada orang yang lebih tahu tentang bahasa terjemahan.
4)   Penerjemah harus merujuk kepada karya para mufassir. Hal ini berguna bagi memberikan kemudahan kepada penerjemah.
5)   Penerjemah mesti meyebutkan dalam kata pengantarnya, bahwa terjemahannya itu bukanlah Al-Qur’an; ia hanya sebagai terjemah tafsiriyah.[10]

2.2 Tafsir Al-Qur’an
a.  Pengertian Tafsir
Secara bahasa kata Tafsir ( تفســير ) berasal dari kata فَسَّرَ  yang mengandung arti: menjelaskan, menyingkap dan menampak-kan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata الفســر  berarti menyingkapkan sesuatu yang tertutup.[11]
Tafsir dalam disiplin ilmu Al-Quran tidak sama dengan interpretasi teks lainnya; baik itu teks karya sastra maupun teks suatu kitab yang dianggap sebagai kitab suci agama tertentu. Ketika kita membahas tafsir Al-Quran, maka pengertiannya harus merujuk pada pengertian yang sesuai dengan sudut pandang Islam. Dalam bahasa Arab, kata tafsir (التفسير) berarti  “menjelaskan”.[12] Lafal dengan makna ini disebutkan di dalam Al-Quran,
Ÿwur y7tRqè?ù'tƒ @@sVyJÎ žwÎ) y7»oY÷¥Å_ Èd,ysø9$$Î z`|¡ômr&ur #·ŽÅ¡øÿs? ÇÌÌÈ
 “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik tafsirnya.” (QS Al-Furqan: 33). Selain itu, kata tafsir berasal dari derivasi (isytiqâq) al-fasru (الفسر) yang berarti “menerangkan dan menyingkap”. Di dalam kamus, kata al-fasru juga bermakna menerangkan dan menyingkap sesuatu yang tertutup.[13]
Tafsir atau At-Tafsir menurut bahasa mengandung arti antara lain:
a. Menjelaskan, menerangkan, yakni: ada sesuatu yang semula belum atau tidak jelas memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga terang dan jelas.
b.  Keterangan sesuatu, yakni : perluasan dan pengembangan dari ungkapan-ungkapan yang masih sangat umum, sehingga menjadi lebih terperinci, mudah difahami serta dihayati.
c.    Tafsiroh, yakni alat kedokteran yang mengungkap penyakit seseorang pasien, maka tafsir bisa dikatakan makna yang tersimpan dari Al-Qur’ an
Tafsir menurut istilah, para ulama memberikan rumusan-rumusan yang berbeda, antara lain adalah sebagai berikut:
1.   Menurut Syaikh Thahir al-Jazairy, dalam at-Taujih: “Tafsir pada hakekatnya ialah menerangkan lafazh yang sukar difahami oleh pendengar dengan uraian yang lebih memperjelas pada maksud baginya, baik dengan mengemukakan sinonimnya atau kata yang mendekati sinonim itu, atau dengan mengemukakan uraian yang mempunyai petunjuk kepadanya melalui suatu jalan dalalah”.
2.   Menurut Syaikh Al-Jurjani dalam Al-Ta’riifat: “Pada asalnya, tafsir berarti membuka dan melahirkan. Dalam pengertian syara’ ialah menjelaskan makna ayat : dari segala persoalannya kisahnya, sababunnujulnya dengan menggunakan lafazh yang menunjukkan kepadanya secara terang”.
3.    Menurut az-Zarkasyi adalah sebagai berikut: “Tafsir adalah ilmu yang mengakji tentang pemahaman kitabullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw, menerangkan makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukum yang dikandungnya serta ilmu-ilmu yang ada di dalamnya”.
Dari beberapa ta’rif tersebut di atas dapat dilihat bahwa rumusan-rumusan yang dikemukakan oleh para ulama tersebut adalah berbeda dalam titik perhatiannyaa yakni menjelaskan, ada yang titik perhatiannya pada lafazh, ada yang pada ayat dan ada pula yang langsung kepada kitabullah.
Maka berdasarkan rumusan-rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa: “Tafsir adalah usaha yang bertujuan menjelaskan Al-Qur’an atau ayat-ayatnya atau lafazh-lafazhnya agar yang tidak jelas menjadi jelas, yang samar-samar menjadi terang, yang sulit difahami menjadi mudah difahami, sehingga Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia benar-benar dapat difahami, dihayati dan diamalkan, demi tercapainya kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.”
Unsur-unsur pokok untuk memahami pengertian tafsir adalah sebagai berikut:
1.      Hakekatnya ialah menjelaskan maksud ayat-ayat Al-Qur’an, yang sebagian besar masih dalam bentuk yang sangat global.
2.      Tujuannya untuk memperjelas apa yang sulit difahami dari Al-Qur’an itu sendiri.
3.      Sasarannya agar Al-Qur’an sebagai pedoman hidup dan hidayah dari Allah benar-benar berfungsi sebagaimana Al-Qur’an itu diturunkan.
4.      Sarana pendukung pekerjaan menafsirkan Al-Qur’an itu meliputi berbagai ilmu yang berhubungan dengan itu.
5.      Bahwa upaya menafsirkan Al-Qur’an bukaan untuk memastikan-demikianlah yang dikehendaki Tuhan- namun pencaharian makna itu hanyalah menurut kadar kemampuan manusia dengan keterbatasan ilmunya.[14]
b.  Bentuk Tafsir Al-Qur'an
Adapun bentuk-bentuk tafsir Al-Qur'an yang dihasilkan secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga:
1. Tafsir bi al-ma’tsur
Tafsir bi al-ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang bersumber dari nash-nash, baik nash al-Qur’an, sunnah Rasulullah saw, pendapat (aqwal) sahabat, ataupun perkataan (aqwal) tabi’in. Dengan kata lain yang dimaksud dengan tafsir bi al-ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, menafsirkan ayat Al Qur’an dengan sunnah, menafsirkan ayat al-Qur’an dengan pendapat para sahabat, atau menafsirkan ayat al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in.
Beberapa kitab tafsir bil ma`tsuur yang terkenal diantaranya tafsir Ibnu Abbas dengan judul Tanwiirul Miqbas min Tafsiiri Ibn Abbas, tafsir at Thabari dengan judul Jamii’ul Bayaan fii Tafsiiril Qur`an, tafsir Ibnu ‘Atiyyah dengan judul Muharrarul Wajiiz fi Tafsiiril Kitaabil ‘Aziz, dan tafsir Ibnu Katsir dengan judul Tafsiirul Qur`aanul ‘Azhiim.[15]
Setelah tafsir resmi menjadi disiplin ilmu yang otonom, maka ditulis dan terbitlah karya-karya tafsir yang secara khusus memuat tafsir bi al-Ma’tsur lengkap dengan jalur sanad sampai kepada nabi SAW, kepada para sahabat, tabi’in dan tabi’i al-tabi’in. diantara contohnya
a.  Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. (al-Ma’idah ; 1)
Dijelaskan oleh firman Allah
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, (al-Ma’idah ; 3)
b.   Tafsir al-Qur’an dengan as-Sunnah
Jalan orang-orang yang Telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (al-Fatihah:7)
Disini Rosulullah menafsirkan al-Maghdhubi dan adh-Dholin adalah Yahudi dan Nashrani.
Di antara keistimewaan tafsir bil Ma’tsur ini seperti yang dicatat oleh Quraisy Syihab, yaitu sebagai berikut;
1.      Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Qur’an.
2.      Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya.
3.      Mengikat muufassir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya untuk tidak terjerumus ke dalam subjektivitas yang berlebihan.
Diantara keistimewaannya, Tafsir-tafsir bi al-ma’tsur juga mempunyai kelemahan antara lain;
1. Terjadinya pemalsuan dalam tafsir yang mana terjadi pada tahun-tahun ketika terjadi perpecahan dikalangan umat islam yang menumbulkan beberapa aliran seperti Syi’ah, Khawarij dan Murji’ah. Diantaranya karena fanatisme, politik, dan usaha-usaha umat islam. Penganut-penganut Syi’ah amat tertarik hatinya untuk mengumpulkan makna-makna al-Qur’an sesuai dengan keinginan mereka.
2. Masuknya unsur Israiliyyat yang didefinisikan sebagai unsur-unsur Yahudi dan Nashrani yang masuk ke dalam penafsiran al-Qur’an, persoalan Israiliyyat sebenarnya sudah ada sejak Nabi masih ada.
3. Eksistensi sanad yang menjadi salah satu kualifikasi keakuratan sebuah riwayat, ternyata pada sebagian tafsir bi al-ma’tsur tidak ditemukan lagi.
4. Terjerumusnya sang mufassir kedalam uraian kebahasaan dan kesastraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok al-Qur’an menjadi kabur.
5. Sering konteks turunnya ayat atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipaham dari uraian (nasikh mansukh) hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun di tengah-tengah masyarakat yang hampa budaya.[16]
Tafsir bi al-ma’tsur dengan keindahan istinbath dan kemampuan mentarjih, adalah tafsir yang pertama untuk dihargai. Namun demikian kita tidak boleh membatasi diri pada kemampuan mentarjihkan. Untuk mentakwilkan ayat atau beberapa ayat, kita harus kembali kepada beberapa macam tafsir.
Pada masa kini menggunakan corak bi al-ma’tsur membutuhkan pengembangan, disamping seleksi yang cukup ketat. Pengembangan yang dimaksud adalah tidak sekedar mengover alih apa adanya produk penafsiran bi al-ma’tsur karya klasik, tetapi yang lebih penting lagi adalah menyeleksi mana yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan masa kini dan mana yang tidak. Perbedaan sosial kultural yang dihadapi para mufassir sekarang tentu saja menjadikan sebagian hasil penafsiran klasik tidak berhasil menjawab persoalan kekinian. Ini bertolak dari asumsi bahwa penafsiran al-Qur’an pada dasarnya adalah usaha mufassir pada sekat tertentu untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya. Dengan demikian, tafsir seharusnya bersifat dinamis seiring dengan dinamika perkembangan sosio-kultural masyarakat.

2. al-Tafsir bi al-Ra’yi
Cara penafsiran bil ma’qul atau lebih populer lagi bir ra`yi menambahkan fungsi ijtihad dalam proses penafsirannya, di samping menggunakan apa yang digunakan oleh tafsir bil ma`tsuur. Penjelasan-penjelasannya bersendikan kepada ijtihad dan akal dan berpegang teguh kepada prinsip-prinsip bahasa Arab dan adat-istiadat orang Arab dalam mempergunakan bahasanya.
Husayn al Dhahaby menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tafsir bir ra`yi adalah penafsiran al Qur`an atas dasar ijtihadnya yang berlandaskan pengetahuannya tentang penuturan bangsa Arab dan arah pembicaraan mereka serta pengetahuannya tentang lafal bahas Arab dan makna yang ditunjukkannya dengan menjadikan syair jahily sebagai acuan dan panduannya. Meskipun demikian, lanjut al Dhahaby, asbaabun nuzuul, naasikh wa mansuukh, dan alat bantu lainnya merupakan pengetahuan-pengetahuan yang tetap harus dikuasai dan digunakan dalam penafsiran ini.[17] Ulama’ berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya metode tafsir bi Al - Ro’yi. Sebagian ulama’ melarang penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan metode ini, sebagian yang lain memperbolehkannya. Rincian dari perbedaan ini hanyalah sebatas pada lafadz bukan hakikatnya. Dan golongan pertama tidak sampai melewati batas-batas ketentuan penafsiran. Sedangkan golongan kedua berpendapat bahwa tiap-tiap golongan telah melewati batas, dengan alasan bahwa meniadakan ma’na dalam lafadz yang manqul adalah suatu hal yang berlebihan dan membahas penafsiran bagi semua orang adalah suatu perbuatan yang tercela. Akan tetapi kalau kita kaji lebih dalam perbedaan-perbedaan mereka kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa semuanya sepakat tidak di perbolehkannya menafsiri Al-Qur’an hanya dengan mengandalkan pendapat pribadi.
Mengenai keabsahan tafsir bi al-ra’yi, para ulama terbagi ke dalam dua kelompok :
1.    Kelompok yang melarangnya.
Bahkan menjelang abad ke II H., “corak” penafsiran ini belum mendapat legitimasi yang luas dari para ulama yang menolaknya. Diantara argumentasi-argumentasinya;
a.       Menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan ra’yi berarti membicarakan (firman) Allah tanpa pengetahuan. Dengan demikian hasil penafsirannya hanya bersifat pikiran semata. Padahal Allah berfirman;
Ÿwur ß#ø)s? $tB }§øŠs9 y7s9 ÏmÎ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# uŽ|Çt7ø9$#ur yŠ#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
(QS. al-Isra’ : 36)
b. Yang berhak menjelaskan Al-Qur’an adalah Nabi, berdasarkan firman Allah
ÏM»uZÉit7ø9$$Π̍ç9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (QS. Al Nahl: 44)
c. Rosulullah bersada:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
“Siapa saja menafsirkan Al-Qur’an atas dasar pikirannya semata, atas dasar sesuatu yang belum diketahuinya, maka persiapkanlah mengambil tempat di neraka”
d. Sudah merupakan tradisi di kalangan sahabat dan tabi’in untuk berhati-hati ketuka berbicara tentag penafsiran Al-Qur’an.

2. Kelompok yang mengizinkannya.diantara argumentasiya
a. Di dalam Al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang menyerukan untuk mendalami kandungan Al-Qur’an. Misalnya firman Allah;
Ÿxsùr& tbr㍭ytGtƒ šc#uäöà)ø9$# ôQr& 4n?tã A>qè=è% !$ygä9$xÿø%r& ÇËÍÈ
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci? (QS:Muhammad:24)
b. Seandainya tafsir bi al-Ra’yi dilarang, mengapa ijtihad diperbolehkan, nabi sendiri tidak menjelaskan setiap ayat Al-Qur’an
c. Para sahabat sudah biasa berselisih pendapat mengenai penafsiran suatu ayat.
Menurut Manna’ Khalil Qaththan menafsirkan al qur`an dengan akal dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah haram, tidak boleh dilakukan. Menurutnya, cara penafsiran seperti ini dilakukan oleh mayoritas ahli bid’ah dan madzhab batil dalam rangka melegitimasi golongannya dengan memelintir ayat-ayat al Qur`an agar sesuai dengan kehendak hawa nafsunya.
Corak Tafsir dengan ra’yi (pikiran) dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
1. Tafsir dengan pikiran yang tercela (madzum / mardud).
Ialah bila mufassir dalam memahami pengertian kalimat yang khas dan ministimbatkan hukum hanya dengan menggunakan pikirannya saja dan tidak sesuai dengan ruh syari’at. Yang banyak menggunakan penafsiran bentuk ini ialah tokoh-tokoh bid’ah yang menurut pikiran mereka saja. Umpamanya tafsir Jabba’i, Rummani, Qadhi Abdul Jabbar, Zamakh Syari, dan Abdul Rahman bin Kisan Ashmi.
2. Tafsir dengan menggunakan pikiran yang terpuji (mahmudah / maqbul)
a)  Ialah bila tidak bertentangan dengan tafsir maktsuur
b) Ia berbentuk ijtihad muqayyad atau yang dikaitkan dengan satu kait berpikir mengenai kitab Allah menurut hidayah sunnah Rasul yang mulia.
Sedangkan menurut Imam Al-Dzahabi dalam menanggapi permasalahan ini beliau berkata: Tafsir bi Al-Ra’yi ada dua:
a. Dengan menggunakan kaidah bahasa arab, akan tetapi tetap mengikuti Al-Kitab dan sunnah serta tetap mengikuti kaidah ilmu tafsir. Dan hal ini diperbolehkan.
b. Tidak memakai kaidah bahasa arab dan kaidah-kaidah ilmu syari’at serta tidak mengikuti kaidah ilmu tafsir. Dan hal ini sangat dibenci dan tidak di terima oleh para ulama’, seperti yang di sampaikan oleh Ibnu Mas’ud: “akan ada suatu kaum yang mengajak untuk memahami Al-Qur’an, akan tetapi mereka tidak mengamalkannya. Maka wajib bagi kalian untuk mendalami Al-Qur’an, dan menjauhi segala bentuk bid’ah”.
     Kitab-kitab tafsir bir ra`yi diantaranya tafsir ar Razi yang berjudul Mafaatihul Ghaib, tafsir Ibnu Hayyan yang berjudul Al Bahrul Muhiit, dan tafsir az Zamakhsyari yang berjudul Al Kasysyaf ‘an Haqaa`iqit Tanziil wa ‘Uyuunil Aqaawiil fii Wujuuhit Tanwil.[18]

3. al-Tafsir al-Isyari
Tafsir bil-isyarah atau tafsirul isyari: adalah takwil Al Qur’an berbeda dengan lahirnya lafal atau ayat, karena isyarat-isyarat yang sangat rahasia yang hanya diketahui oleh sebagian ulul ‘ilmi yang telah diberi cahaya oleh Allah swt dengan ilhamNya. Atau dengan kata lain, dalam tafsirul isyari seorang Mufassir akan melihat makna lain selain makna zhahir yang terkandung dalam Al Qur’an. Namun, makna lain itu tidak tampak oleh setiap orang, kecuali orang-orang yang telah dibukakan hatinya oleh Allah SWT.
Hukum Tafsir bil-isyarah: Telah berselisih para ulama dalam menghukumi tafsir isyari, sebagian mereka ada yang memperbolehkan (dengan syarat), dan sebagian lainnya melarangnya.
Ibnu Abbas berkata: Sesungguhnya Al Qur’an itu mengandung banyak ancaman dan janji, meliputi yang lahir dan bathin. Tidak pernah terkuras keajaibannya, dan tak terjangkau puncaknya. Barangsiapa yang memasukinya dengan hati-hati akan selamat. Namun barangsiapa yang memasukinya dengan ceroboh, akan jatuh dan tersesat. Ia memuat beberapa khabar dan perumpamaan, tentang halal dan haram, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, zhahir dan batin. Zhahirnya adalah bacaan, sedang bathinnya adalah takwil. Tanyakan ia pada ulama, jangan bertanya kepada orang bodoh.
Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat
Dan (ingatlah), ketika Musa Berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina."
Yang mempunyai makna zhahir adalah “......Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina...” tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna dengan “....Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah...”.
Beberapa karya tafsir Isyari yang terkenal antara lain: Tafsir An Naisabury, Tafsir Al Alusy, Tafsir At Tastary, Tafsir Ibnu Araby.[19]

c.  Metode Tafsir
Metode tafsir adalah suatu cara untuk memahami makna isi kandungan Al-Qur’an secara mendalam dari berbagai aspek, sehingga bisa memahami Al-Qur’an dengan benar. Dari beberapa penafsiran Al-Qur’an yang berkembang dikalangan ahli tafsir, para ulama menyimpulkan bahwa ada Empat macam metode yang digunakan oleh para mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur’an :
a.  Metode Tahlili        
Metode tahlili ialah tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung didalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat dalam mushaf Ustmani. Metode tahlili adalah metode tafsir paling tua dibandingkan dengan metode-metode lainnya. Tafsir ini berasal sejak masa para sahabat Nabi, pada mulanya tafsir tahlili terdiri atas beberapa bagian ayat saja, kadangkala mencakup penjelasan mengenai kosa-katanya. Dalam perkembangan selanjutnya para ahli tafsir merasakan kebutuhan untuk menafsirkan seluruh isi Al-Qur’an.
Metode tahlili adalah metode penafsiran yang sangat luas dan menyeluruh, melalui penafsiran ini ayat Al-Qur’an nampak mempunyai wawasan atau jangkauan yang sangat luas. Penafsiran dalam bentuk ini dilakukan dari berbagai segi yang ditinjau dari berbagai disiplin ilmu, segala sesuatu yang dianggap perlu oleh seorang mufassir tahlili selalu diuraikannya, sehingga ayat alqur’an dapat dipahami dari berbagai sudut keilmuan.
b.  Metode Ijmali
Metode ijmali ialah metode penafsiran Al-Qur’an terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara singkat, padat dan global. Dengan metode ini mufassir menjelaskan makna-makna yang terkandung didalam Alqur’an secara global, sistematikanya mengikuti urutan surah-surah Al-Qur’an, sehingga maknanya dapat saling berhubungan.
Dalam menyajikan makna-makna, kalimat atau ayat, mufassir mengambil ungkapan yang diambil dari Al-Qur’an itu sendiri, dengan menambahkan kata atau kaliamat penghubung sehingga memberi kemudahan para pembaca untuk memahaminya. Dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan metode ijmali ini para mufassir juga meneliti, mengkaji dan menyajikan sebab nujul atau peristiwa yang melatarbelakangi turunya ayat, dengan cara meneliti hadis-hadis yang berhubungan dengananya.
   c.  Metode Muqarram  
Metode Muqarram adalah metode tafsir dengan menggunakan perbandingan antara satu dengan yang lainnaya, misalnya seperti filsafat dengan hukum den sebagainya
   d.  Metode Maudlui
Metode  Maudlui adalah suatu metode tafsir dengan menggunakan pilihan topik-topik al-Qur’an. Metode tematik yang memilih persoalan-persoalan sosial politik, sosial ekonomi dan sebagainya. Awalnya untuk kepentingan penelitian tetapi kemudian berkembang menjadi jenis tafsir konteporer. Maka ibnu Qayyim menulis At-Tibyan fie aqsamil Qur’an, Abu Ubaidah menulis Majazul Qur’an dan lain sebagainya.

2.3 Ta’wil Al-Quran
a.    Pengertian
 “Kata ta’wil dalam al-Qur’an tersebut sebanyak 17 kali sementara kata tafsir muncul hanya sekali”.[20] Ini menunjukkan bahwa kata ta’wil lebih popular pemakaiannya dalam bahasa pada umumnya, dan dalam teks khususnya, dari pada kata tafsir Adapun pengertian ta’wil ditinjau dari aspek etimologi ialah mengembalikan/ memalingkan ayat. Sebagai contoh, dapat dilihat dari pemakaiannya dalam Q.S.Ali Imran: 7, sebagai berikut:
uqèd üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»tƒ#uä ìM»yJs3øtC £`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB ( $¨Br'sù tûïÏ%©!$# Îû óOÎgÎ/qè=è% Ô÷÷ƒy tbqãèÎ6®KuŠsù $tB tmt7»t±s? çm÷ZÏB uä!$tóÏGö/$# ÏpuZ÷GÏÿø9$# uä!$tóÏGö/$#ur ¾Ï&Î#ƒÍrù's? 3 $tBur ãNn=÷ètƒ ÿ¼ã&s#ƒÍrù's? žwÎ) ª!$# 3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# tbqä9qà)tƒ $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ/ @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã $uZÎn/u 3 $tBur ㍩.¤tƒ HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$#  
Artinya: “Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”. (Q.S.Ali Imran: 7)
Ta’wil berasal dari akar kata “aulu” yang berarti kembali, mengembalikan kepada konteks yang ada dalam rangkaian kalimat. Sedangkan kata al-tawil berarti ungkapan atau penjelasan suatu pandangan.[21]
Ta’wil menurut istilah, para ulama tampil mengemukakan dalam formulasi yang berbeda-beda.  Muhammad Husain al-Zahabi berusaha merangkum berbagai pendapat tersebut lalu mengelompokkan ulama menjadi dua kelompok yaitu ulama salaf dan ulama khalaf. Menurut ulama salaf bahwa pengertian ta’wil mengandung dua pengertian, yaitu : 1) ta’wil merupakan keterangan dan penjelasan arti suatu kalimat, 2) ta’wil berarti kalimat yang dimaksudkan itu sendiri. Sedangkan menurut ulama khalaf, ta’wil adalah suatu upaya memalingkan atau mengembalikan suatu lafaz dari makna biasanya ke makna lain yang memungkinkan karena ada dalil atau argumentasi yang menyertainya.[22] Dengan demikian, ta’wil adalah ilmu yang menjelaskan makna umum dan makna khusus dari susunan kalimat ayat-ayat al-Qur’an.
Dalam kisah Nabi Yusuf as, kata ta’wil yang di idofkan ke الأحاديثdi artikan sebagai tafsir atau ta’bir mimpi-mimpi, terekam dalam Q.S. Yusuf: 6, yaitu:
y7Ïxx.ur šŠÎ;tFøgs y7/u y7ßJÏk=yèãƒur `ÏB ÈÍrù's? Ï]ƒÏŠ%tnF{$#
Artinya: “Dan Demikianlah Tuhanmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta'bir mimpi-mimpi”.(Q.S.Yusuf: 6)
Ungkapan ta’wil al-ahadits tak lain hanyalah ta’wil terhadap mimpi. Ini terlihat jelas dari penggantian kata ahlam (mimpi) dengan kata ahadits pada ayat lain ketika sang raja meminta kepada para punggawanya untuk memberikan tafsir terhadap mimpi yang meresahkannya:
(#þqä9$s% ß]»tóôÊr& 5n=ômr& ( $tBur ß`øtwU ÈÍrù'tGÎ/ Än=ômF{$# tûüÏJÎyèÎ/ 
Artiya: “Mereka menjawab: "(Itu) adalah mimpi-mimpi yang kosong dan Kami sekali-kali tidak tahu ta’wilnya."(Q.S.Yusuf: 44)
Kata hadits dipergunakan untuk pengertian mimpi disebabkan karena juru ta’wil tidak semata-mata men-ta’wil mimpi itu sendiri. Ia men-ta’wil hadits (cerita) yang disampaikan oleh orang yang bermimpi. Dengan kata lain, bahwa ia melakukan ta’wil atas ungkapan-ungkapan verbal yang dipergunakan oleh orang yang bermimpi untuk memformulasikan gambar-gambar yang dilihat dalam tidurnya. Dengan demikian, ta’wil disini difokuskan pada gambaran-gambaran yang dijelaskan oleh mediator, yaitu hadits.
Oleh karena itu, dalam cerita Nabi Yusuf kita menemukan kata ta’wil dikaitkan dengan ahlam, ahadits, dan ru’yah. Semuanya memiliki pengertian yang sangat berdekatan. Semuanya dalam hal ini sama, apakah yang menceritakan (ta’wil) tersebut Ya’qub, seperti pada ayat ke 6, ataupun punggawa raja, seperti pada ayat ke-44, ataupun “yang mengatakan” teks, seperti pada ayat berikut ini:
tA$s%ur Ï%©!$# çm1uŽtIô©$# `ÏB uŽóÇÏiB ÿ¾ÏmÏ?r&tøBew ÍG̍ò2r& çm1uq÷WtB #Ó|¤tã br& !$oYyèxÿYtƒ ÷rr& ¼çnxÏ­GtR #V$s!ur 4 y7ÏxŸ2ur $¨Y©3tB y#ßqãÏ9 Îû ÇÚöF{$# ¼çmyJÏk=yèãYÏ9ur `ÏB ÈÍrù's? Ï]ƒÏŠ$ymF{$# 4 ª!$#ur ë=Ï9%yñ #n?tã ¾Ín̍øBr& £`Ås9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw šcqßJn=ôètƒ
Artinya: “Dan orang Mesir yang membelinya berkata kepada isterinya: "Berikanlah kepadanya tempat (dan layanan) yang baik, boleh Jadi Dia bermanfaat kepada kita atau kita pungut Dia sebagai anak." dan demikian pulalah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di muka bumi (Mesir), dan agar Kami ajarkan kepadanya ta'bir mimpi. dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya”.(Q.S.Yusuf: 21)
Setelah mimpinya menjadi kenyataan, Yusuf menyebutnya dengan ru’yah:
yìsùuur Ïm÷ƒuqt/r& n?tã ĸöyèø9$# (#ryzur ¼çms9 #Y£Úß ( tA$s%ur ÏMt/r'¯»tƒ #x»yd ãÍrù's? }‘»tƒöäâ `ÏB ã@ö6s% ôs% $ygn=yèy_ În1u $y)ym ( 
Artinya: “Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf. dan berkata Yusuf: "Wahai ayahku Inilah ta'bir mimpiku yang dahulu itu; Sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan.(Q.S.Yusuf: 100)
Meskipun demikian, pengertian ta’wil yang dipergunakan Al-Qur’an tidak terbatas pada ahadits yang berhubungan dengan mimpi. Sebab, Yusuf berkata kepada teman-temannya dalam penjara setelah mereka menceritakan perihal mimpi mereka kepadanya:
tA$s% Ÿw $yJä3‹Ï?ù'tƒ ×P$yèsÛ ÿ¾ÏmÏR$s%yöè? žwÎ) $yJä3è?ù'¬6tR ¾Ï&Î#ƒÍrù'tGÎ/ Ÿ@ö6s% br& $yJä3uÏ?ù'tƒ 4 $yJä3ÏsŒ $£JÏB ÓÍ_yJ¯=tæ þÎn1u 4 ÎoTÎ) àMø.ts? s'©#ÏB 7Qöqs% žw tbqãZÏB÷sム«!$$Î/ Nèdur ÍotÅzFy$$Î/ öNèd tbrãÏÿ»x. 
Atrinya: “Yusuf berkata: "tidak disampaikan kepada kamu berdua makanan yang akan diberikan kepadamu melainkan aku telah dapat menerangkan jenis makanan itu, sebelum makanan itu sampai kepadamu. yang demikian itu adalah sebagian dari apa yang diajarkan kepadaku oleh Tuhanku. Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka ingkar kepada hari kemudian”.(Q.S.Yusuf: 37)
Pengertian ta’wil dalam konteks ini adalah memberitahukan “kejadian” sebelum terjadi secara faktual. Di sini, Yusuf berusaha menegaskan kepada teman-temannya bahwa kemampuan memberikan ta’wil yang ia miliki, tidak terbatas hanya pada ta’wil mimpi saja, tetapi lebih dari itu. Ia mampu menceritakan sesuatu sebelum terjadi. Dari penggunaan tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa ta’wil terhadap mimpi didasarkan pada medium atau tafsirah, melalui medium tersebut juru ta’wil dapat mengungkapkan makna yang tersembunyi, dan bahwa ada tipe lain dari ta’wil yang tidak memerlukan medium atau tafsirah, makna “peristiwa” dapat ditemukan dan diprediksi secara langsung sebelum peristiwa itu terjadi.[23]
b.   Persamaan Dan Perbedaan Tafsir Wa Ta’wil Al-Qur’an
Titik persamaan dari tafsir dan ta’wil Al-Qur’an ini adalah sama-sama menjelaskan atau menerangkan makna ayat-ayat Al-Qur’an. Adapun mengenai perbedaannya para ulama berbeda pendapat antara kedua kata tersebut. Berdasarkan pada pembahasan diatas tentang makna tafsir dan ta’wil, maka kita dapat menyimpulkan pendapat terpenting diantaranya sebagai berikut:
1.      Apabila kita berpendapat, ta’wil adalah menafsirkan perkataan dan menjelaskan maknanya, maka “ta’wil” dan “tafsir” adalah dua kata yang berdekatan atau sama maknanya. Termasuk pengertian ini ialah doa Rasulullah untuk Ibnu Abbas, “Ya Allah, berikanlah kepadanya kemampuan untuk memahami agama dan ajarkanlah kepadanya ta’wil”
2.       Apabila kita berpendapat, ta’wil esensi yang dimaksud dari suatu perkataan, maka ta’wil dari thalab (tuntutan) adalah esensi perbuatan yang dituntut dan ta’wil dari khabar adalah esensi sesuatu yang diberitakan. Atas dasar ini maka perbedaan antara tafsir dengan ta’wil cukup besar, sebab tafsir merupakan syarah dan penjelasan bagi suatu perkataan dan penjelasan ini berada dalam pikiran dengan cara memahami dan dalam lisan dengan ungkapan yang menunjukannya. Sedang ta’wil ialah esensi sesuatu yang berada dalam realitas (bukan dalam pikiran). Sebagai contoh jika dikatakan “matahari telah terbit “, maka ta’wil ucapan ini adalah “terbitnya matahari itu sendiri”.
3.      Dikatakan, tafsir adalah apa yang telah jelas didalam Kitabullah atau tertentu (pasti) dalam sunnah yang sahih karena maknanya telah jelas dan gamlang. Sedang ta’wil adalah apa yang disimpulkan para ulama. Karena itu para ulama mengatakan, “Tafsir adalah apa yang berhubungan dengan riwayat sedang ta’wil adalah apa yang berhubungan dengan dirayah”.
4.      Dikatakan pula, tafsir lebih banyak dipergunakan dalam menerangkan lafaz dan mufrad (kosa kata), sedang ta’wil lebih banyak dipakai dalam (menjelaskan) makna dan susunan kalimat.[24]
5.      Proses tafsir membutuhkan “tafsirah”, yaitu medium yang dicermati mufasir sehingga ia dapat menyingkapkan apa yang dikehendakinya, sementara “ta’wil” merupakan proses yang tidak selalu membutuhkan medium ini, bahkan kadang-kadang berdasarkan pada gerak mental dalam menemukan asal mula dari sebuah gejala atau dalam mengamati akibatnya. Dengan kata lain, ta’wil dapat dijalankan atas dasar semacam hubungan langsung antara “zat/subjek” dan “objek”, sementara dalam hubungan ini dalam proses “tafsir” bukanlah hubungan langsung tetapi hubungan melalui medium yang berupa teks bahasa, atau berupa sesuatu yang bermakna.[25]
Contoh Tafsir Wa Ta’wil Al-Qur’an
Berikut ini akan penulis kemukakan beberapa contoh dari tafsir dan ta’wil yang diambil dalam Al-Qur’an yakni sebagai berikut:
¨bÎ) y7­/u ÏŠ$|¹öÏJø9$$Î7s9   
“Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi”. (Q.S. Al-Fajr: 14)
Jika diartikan, Allah benar-benar mengawasi segala perilaku hambanya maka itu adalah tafsir. Sedangkan ta’wilnya adalah anjuran untuk bersikap waspada dari sikap meremehkan perintah Allah dan melupakan kenikmatan-kenikmatannya serta mempersiapkan diri untuk menghadap kepadanya. Dalil-dalil yang qat’I menunjukkan bahwa penjelasan maknanya adalah berbeda dengan makna kata itu dari sisi bahasa.
Adapun contoh tafsir dan ta’wil yang lain seperti pada Q.S. Al-Baqarah ayat 2 yang berbunyi:
y7ÏsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ Ïm‹Ïù
“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya”.(Q.S.Al-Baqarah: 2)
Jika diartikan, “la syakka fihi” (tidak ada kebimbangan didalamnya) maka ini adalah tafsir. Jika diartikan, “tidak ada keraguan dikalangan kaum beriman” maka ini adalah ta’wil.
BAB III
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1.   Tafsir adalah ilmu al-Qur’an yang berfungsi sebagai pembuka hijab dari ketidak jelasan, yang semula gelap akan menjadi terang dan yang telah terang menjadi lebih terang lagi. Rahasia-rahasia yang ada dibalik ayat-ayatnya ditemukan dengan menggunakan ilmu tafsir.
Ta’wil adalah pengertian-pengertian yang samar / yang tersirat yang di-istinmbath-kan (diproses) dari ayat-ayat al-qur’an, yang memerlukan renungan dan pemikiran dan merupakan prosesing membuka tabir atau makna yang terkandung didalamnya. Sedangkan terjemah adalah pengalihan bahasa dari satu bahasa kedalam bahasa lain tanpa harus menyamakan secara persis dengan karakteristik bahasa pertama.
2.   Perbedaan antara ketiganya yaitu :
Takwil adalah esensi yang dimaksud dari suatu perkataan, maka takwil dari talab (tuntutan) adalah esensi perbuatan yang dituntut itu sendiri dan takwil dari khabar adalah esensi yang  diberitakan.
Dikatakan tafsir adalah apa yang telah jelas didalamnya kitabullah atau tertentu  (pasti) dalam sunnah yang sohih karena maknanya telah jelas dan gamblang.
Sedangkan terjemah hanya merupakan pengalihan bahasa dari bahasa arab yang digunakan al-qur’an kedalam bahasa lain.
3.   Perbedaan yang amat jelas sekali dari kedua tafsir ini dibedakan atas sumbernya. Tafsir bi al-ma’sur adalah metode penafsiran al-qur’an dengan menggunakan al-Qur’an, hadist, ataupun perkataan sahabat rosul. Sedangkan tafsir bi al-ra’yi menggunakan akal pada umum penafsiranya dan hanya sedikit pengambilan dalil dari qur’an dan hadis tapi lebih menekan pada pemikiran dengan jalan berijtihad.


[1] Ahmad Van Denffer, Ilmu Al-Quran: Pengenalan Dasar, (Jakarta: Rajawali Pers. 1988)., hal. 169
[3] Kadar  M. Yusuf, Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2009),. hal. 130
[4] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2012 )., hal. 443
[5] Kadar  M. Yusuf , Op.Cit., hal. 130
[6] Ibid., hal. 443
[7] Ibid., hal. 444
[8] Ibid., hal. 445
[9] Ibid., hal 445-446
[10] Kadar  M. Yusuf , Op.Cit., hal. 131-132
[11]Manna’ khalil al-qattan, studi ilmu-ilmu qur’an. Jakarta, 2007., Hal. 455
[12] Rif’at Syauqi, Pengantar Ilmu Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta, 1988., Hal. 139
[13] Rosihan Anwar, Ulum Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, Cet II, 2010., hal. 209
[14]  Rif’at Syauqi, Op,cit., Hal. 140-143
[15] Rif’at Syauqi, Op,cit., hal. 162
[16] Rosihan Anwar, Op,cit., hal. 217-219
[17] Rosihan Anwar, Op,cit., hal. 220
[18] Rosihan Anwar, Op,cit., hal. 221-225
[19]  Rif’at Syauqi, Op,cit., Hal. 157
[20] Mawardi,”Urgensi Tafsir dan Ta’wil Dalam Memahami Al-Qur’an”., hlm 146
[21] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,(Bandung: Pustaka Al-Kautsar Penerbit Buku Islam Utama, 2009), Cet 2., hal. 409
[22] Muhammad Husain al-Dzahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun I (Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsal,1976),Cet.2., hal. 17
[23] Nasr Hamid Abu Zaid, op.cit., hal. 285-287
[24] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2012 )., hal. 412
[25] M.Dawam Rihardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci.(Jakarta: Pramadina, 2002), hal. 231

2 komentar: